Nagasasra   Leave a comment

271

BAGAIMANAPUN besar jiwa kepahlawanan penduduk Gedangan serta kecintaan mereka terhadap kampung halaman mereka, namun mendengar nama itu diucapkan hati mereka menjadi tergoncang. Sima Rodra Gunung Tidar di telinga mereka adalah seolah-olah nama hantu yang siap menerkam nyawa setiap orang yang melawan kehendaknya. Tetapi yang sama sekali tak mereka ketahui apakah salah mereka terhadap hantu-hantu itu, sehingga pedukuhan itu harus menjadi korbannya.

Tuan… kata Wiradapa, Lalu apakah yang mesti kami kerjakan apabila benar-benar yang datang itu Sima Rodra Gunung Tidar?

Manahan menyesal telah menyebut nama itu, sehingga telah menakut-nakuti dan memperkecil hati mereka. Karena itu untuk mengembalikan keberanian laskar Gedangan, Manahan menjawab dengan tertawa kecil, Kakang Wiradapa, bukankah kami sudah bertekad untuk mempertahankan setiap jengkal tanah dengan tetesan darah? Sedangkan mengenai suami-istri Sima Rodra itu serahkanlah kepadaku serta anakku Bagus Handaka. Mereka adalah kenalan lamaku. Mungkin ia akan berpendirian lain setelah melihat aku di sini.

Untuk beberapa saat mereka tampak ragu-ragu. Tetapi hati mereka kemudian menjadi tegar ketika mereka melihat Manahan melangkah diikuti oleh muridnya, dengan wajah yang tenang, ke arah api yang menyala-nyala di ujung pedukuhan itu.

Kakang Wiradapa… kata Manahan sebelum meninggalkan halaman. Kepunglah mereka. Hancurkan laskarnya sedapat mungkin. Biarkan pimpinannya aku layani dengan muridku ini.

Baiklah Tuan, jawab Wiradapa mantap.

Setelah itu dengan tengara kentongan, pasukan itu berpencar menurut siasat yang telah dipersiapkan. Dengan petunjuk Manahan pula atas pengalaman yang pernah diperoleh Ki Asem Gede, laskar Gedangan supaya menyerang dengan senjata jarak jauh. Panah dan api. Mereka supaya menghindari pertempuran perseorangan. Sebab nilai perseorangan laskar Gedangan tidak akan dapat mengimbangi nilai perseorangan laskar yang datang dari bukit hantu itu.

Sebentar kemudian terjadilah pertempuran yang dahsyat sekali. Agaknya cara-cara yang pernah dipakai oleh Ki Asem Gede itu benar-benar membingungkan laskar Sima Rodra. Karena itulah tiba-tiba terdengar Sima Rodra mengaum hebat menunjukkan kemarahannya. Setiap dada yang disinggung oleh getaran suara itu menjadi bergetaran seperti terhantam angin ribut.

Suara yang terlontar dari mulut harimau liar itu benar-benar dahsyat akibatnya. Laskar Gedangan, yang mula-mula berbesar hati melihat hasil perjuang-an mereka, tiba-tiba keberaniannya kuncup dan hampir lenyap. Apalagi ketika melihat seorang laki-laki bertubuh besar kekar di atas kudanya mengamuk sejadi-jadinya.

Tetapi pada saat mereka sudah hampir kehabisan akal, tiba-tiba muncul di dalam pertempuran, seseorang yang dengan tenangnya menyapa orang bertubuh besar kekar yang sedang mengamuk di atas kudanya itu.

Selamat datang Sima Rodra. Maafkanlah bahwa aku agak terlambat menyambutmu.

Kesan dari sapa itu adalah luar biasa pula. Sima Rodra tampaknya terkejut sekali, sehingga ia menjadi tertegun diam seperti patung. Ia sama sekali tidak mengira bahwa di pedukuhan terpencil itu ditemuinya orang yang menjadi musuh utamanya. Tidak saja musuh perseorangannya tetapi telah benar-benar menjadi musuh golongannya.

Melihat kesan wajah Sima Rodra itu, laskar Gedangan menjadi semakin tergugah semangatnya, disamping semakin besar tanda tanya yang mengetuk-ngetuk hati mereka. Agaknya orang yang menamakan dirinya Manahan itu benar-benar orang yang aneh, sehingga terhadap hantu Gunung Tidar itu pun sikapnya sangat meyakinkan.

Tiba-tiba menggelegarlah suara Sima Rodra, Apa kerjamu di sini Mahesa Jenar?

Mendengar nama itu disebutkan, terasa agak janggal bagi Manahan, yang telah membingungkan mereka.

Aku datang di pedukuhan ini sengaja menunggumu setelah beberapa lama kita tidak bertemu, jawab Manahan sambil tertawa pendek.

Sima Rodra terdengar menggeram marah. Jangan campuri urusanku untuk menumpas tikus-tikus yang telah berani membunuh beberapa orangku beberapa waktu yang lalu.

Berdesirlah hati Manahan oleh jawaban itu. Segera ia dapat menghubungkan kedatangan Sawung Sariti, serangan laskar yang tak dikenal serta keributan-keributan yang ditimbulkan. Karena itu segera ia menjawab sekaligus menebak, Sima Rodra, agaknya kau yang telah menjual diri kepada Sawung Sariti untuk membunuh Kakang Sawungrana?

Kembali Sima Rodra menggeram. Apa pedulimu…..?

Ketahuilah…. sahut Manahan, Akulah yang telah membunuh beberapa orang yang tak aku ketahui golongannya dalam keributan-keributan yang timbul. Aku sangka mereka adalah orang-orang Pamingit atau manapun yang tak kukenal. Dan mereka itu telah ditelan api yang dinyalakan oleh Sawung Sariti sendiri,

Mendengar keterangan Manahan, mata Sima Rodra Suami Istri menjadi merah menyala-nyala. Mereka yang belum pernah mengenal wajah itu menjadi menggigil ketakutan. Bagus Handaka, seorang yang hampir tak mengenal takut, hatinya menjadi berdebar-debar pula.

Kalau begitu…. terdengar suara Sima Rodra bergetar hebat, Kepadamulah aku harus menuntut balas.

Memang demikianlah adilnya, jawab Manahan. Karena itulah aku sudah bersedia melayanimu bersama-sama dengan anak angkatku ini.

Sekali lagi Sima Rodra menggeram hebat. Ia sama sekali tidak mau tersinggung kehormatannya sebagai seorang yang percaya kepada kekuatan diri. Karena itu segera ia berteriak gemuruh.

Hentikan pertempuran. Aku ingin mendapat penyelesaian yang adil dengan Mahesa Jenar.

CERITA BERSAMBUNG = 16 NOVEMBER 1999
NAGASASRA dan SABUK INTEN
Karya SH Mintarja
272

BAGUS….. sahut Mahesa Jenar. Agaknya kau dapat pula bersikap jantan.

Sesaat kemudian berhentilah pertempuran antara laskar Gedangan melawan laskar dari Bukit Tidar. Segera mereka berkerumun untuk menyaksikan pertunjukan yang jarang terjadi di pedukuhan kecil itu.

Tiba-tiba belum lagi mereka bertempur terdengarlah suara istri Sima Rodra itu melengking, Kyai…. serahkanlah orang itu kepadaku. Biarlah aku saja yang menyelesaikannya. Bukankah aku sekarang berbeda dengan dua tiga tahun yang lalu….?

Mendengar kata-kata itu hati Manahan berdesir, meskipun ia tahu bahwa maksud kata-kata itu untuk menakut-nakutinya. Tetapi tidaklah mustahil bahwa apa yang dikatakan itu mengandung kebenaran. Sebab selama itu, ayahnya, Sima Rodra tua dari Lodaya, pasti tidak tinggal diam. Ilmunya yang mengerikan, Macan Liwung, serta kecekatannya bergerak yang mirip seperti seekor harimau, sangat menakjubkan.

Kemudian terdengarlah Sima Rodra menjawab, Berikanlah kesempatan pertama kepadaku sebagai suatu kehormatan yang dapat kami berikan kepadanya yang terakhir.

Manahan benar-benar tersinggung mendengar kata-kata itu. Jangan berebut dahulu. Kalian akan mendapat giliran masing-masing. Tetapi kalau kalian masih membiasakan diri bertempur berpasangan, biarlah Bagus Handaka membantuku, sebab aku merasa pasti bahwa aku tidak akan mampu melawan kalian berdua.

Merahlah telinga Suami Istri Sima Rodra mendengar jawaban itu. Apalagi yang disebutnya dengan nama Handaka tidak lebih dari seorang anak-anak. Karena itu dengan marahnya Harimau Liar itu menjawab, Baiklah biarlah aku binasakan kau sampai kepada muridmu. Supaya untuk seterusnya kau tidak selalu mengganggu.

Selesai dengan kata-katanya itu, segera suami istri itu meloncat dari kudanya dan dengan gerakan seperti badai mereka menyerang Manahan dan Bagus Handaka. Sima Rodra bertempur melawan Manahan, sedang istrinya dengan marahnya menyerang Bagus Handaka.

Melihat gerakan mereka, Manahan agak terkejut. Memang ternyata mereka telah mendapat banyak kemajuan. Karena itu segera ia mencemaskan muridnya. Dalam kesempatan yang pendek ia berbisik, Handaka, hindari setiap benturan serta sentuhan dengan kuku-kuku harimau betina itu. Sebab kuku itu beracun. Aku hanya percaya kepada kecepatanmu bergerak. Bukan kekuatanmu.

Handaka maklum kepada nasehat gurunya. Segera ia sadar bahwa lawannya memiliki ketinggian ilmu di atasnya. Karena itu ia harus melayani dengan otaknya, tidak dengan tenaganya melulu.

Dan ternyata kemudian setelah mereka bertempur beberapa saat, segera Bagus Handaka merasa betapa angin yang sangat membingungkan melibatnya dari segenap arah. Untunglah bahwa ia banyak menaruh perhatian pada setiap gerak yang dianugerahkan kepada alam oleh Penciptanya, kepada setiap makhluk yang paling lemah sekalipun.

Kali ini Bagus Handaka benar-benar menjadi seekor kelinci yang harus menghindari terkaman serigala ganas, seperti yang pernah diamatinya dengan saksama. Atau seperti seekor kancil yang menyelinapkan hidupnya diantara kaki-kaki harimau yang garang.

Karena itulah maka ia tidak dapat bertempur di tempat yang sempit, Bagus Handaka kemudian berkisar dari tempatnya, menyusup pepohonan dan mempergunakan batang-batang pohon sebagai perisai.

Meskipun demikian, ternyata bahwa ia selalu berhasil menyelamatkan dirinya dari libatan gerakan-gerakan yang dahsyat dari Harimau Betina Gunung Tidar yang garang itu, meskipun ia terpaksa berlari-larian dan hanya sekali-sekali saja menyerang, apabila benar-benar ada kesempatan. Bahkan dengan demikian ia berhasil membuat istri Sima Rodra itu semakin marah dan menjerit-jerit tak habis-habisnya.

Sedangkan Manahan dengan tangguhnya bertempur melawan Sima Rodra. Dalam beberapa saat saja, Manahan benar-benar harus mengakui bahwa ilmu lawannya telah meningkat, sedang selama ini ilmunya sendiri tidak seberapa mengalami penambahan, sebab memang tak ada orang yang menuntunnya lebih lanjut. Hanya karena ketekunan diri saja maka Manahan menjadikan ilmunya lebih masak. Maka pertempuran antara dua orang perkasa itu pun berlangsung dengan dahsyatnya. Sima Rodra menjadi semakin garang, karena hatinya dibebani oleh dendam yang meluap-luap, sedang Manahan dengan penuh tekad serta janji kepada diri sendiri, untuk melenyapkan setiap unsur kejahatan yang merusak sendi-sendi penghidupan.

Kemudian mereka pun tidak dapat bertahan bertempur di titik yang sama.

Perlahan-lahan pertempuran itu berkisar dari satu lingkaran ke lingkaran yang lain, dengan menandai bekas-bekas yang mengerikan. Pohon-pohon berderakan roboh, serta batu-batu menghambur-hambur simpang-siur di udara. Kaki-kaki mereka telah memecahkan apa saja yang terinjak.

Medan pertempuran itu kemudian menjadi seolah-olah daerah angin prahara yang belit-membelit dan hantam-menghantam, bahkan kadang-kadang dibarengi dengan teriakan yang membahana seperti guntur disusul dengan benturan-benturan dahsyat dari tangan-tangan mereka yang saling menghantam.

Laskar dari kedua belah pihak yang menyaksikan pertempuran itu menjadi terpukau diam. Meskipun mereka pernah pula menyaksikan pertempuran-pertempuran dahsyat, apalagi laskar dari Gunung Tidar, namun kali ini merupakan suatu pertempuran yang benar-benar jarang terjadi.

Berbeda dengan pertempuran itu, Bagus Handaka masih saja bermain kucing-kucingan. Dengan cerdiknya ia memilih tempat-tempat yang gelap dan berpohon-pohon meskipun kadang-kadang ia dikejutkan oleh pukulan yang dahsyat dari Istri Sima Rodra, yang mematahkan pohon-pohon yang dipergunakan sebagai perisai.

CERITA BERSAMBUNG = 17 NOVEMBER 1999
NAGASASRA dan SABUK INTEN
Karya SH Mintarja
273

KEADAAN itu sebenarnya sangat menggetarkan hati Handaka. Namun adalah suatu keuntungan bahwa baik tubuhnya maupun jiwanya telah tertempa hebat, sehingga bagaimanapun ia tidak kehilangan akal.

Meskipun demikian, disamping melayani lawannya yang tangguh luar biasa, Manahan masih selalu mencemaskan muridnya. Hanya kadang-kadang saja ia sempat melirik Handaka yang berlari-larian di dekatnya, kemudian anak itu menyerang sekali dua kali, kemudian kembali berlindung di balik pohon-pohonan.

Namun bagaimanapun juga akhirnya Manahan terpaksa mengakui bahwa Handaka sama sekali tak akan dapat bertahan lebih lama lagi.

Karena itu Manahan telah berjuang semakin keras. Ia mengharap dapat segera menyelesaikan pertempuran. Dengan demikian ia akan dapat pula menyelamatkan Bagus Handaka. Tetapi ternyata Sima Rodra sekarang bukan lagi Sima Rodra tiga tahun yang alu. Sima Rodra itu ternyata telah memiliki berbagai macam ilmu yang belum dimilikinya dahulu. Gerakannya menjadi sangat garang, cekatan dan sangat berbahaya, sehingga untuk menandinginya, Manahan sudah harus memeras segenap ilmunya. Karena itu ia menjadi gelisah. Bagaimana jadinya Bagus Handaka kalau ia tidak segera dapat menolongnya.

Tetapi tiba-tiba terjadilah suatu hal di luar dugaan. Ketika Bagus Handaka telah benar-benar terdesak, dan tidak mampu untuk berbuat sesuatu, hati Manahan tergoncang hebat. Cepat ia meloncat mundur, menghindar dari lingkaran pertempuran.

Pada saat itu ia melihat tangan istri Sima Rodra itu telah terayun deras sekali, sedang Bagus Handaka yang baru saja kehilangan keseimbangan dan jatuh bergulingan, masih belum sempat meloncat berdiri.

Manahan tidak mempunyai kesempatan lagi untuk meloncat mendekati. Maka satu-satunya kemungkinan adalah menyelamatkan muridnya dari jarak jauh.
Untunglah bahwa ia masih sempat menyambar sebuah batu dan dengan sekuat tenaga batu itu dilemparkan ke arah istri Sima Rodra. Ternyata pertolongannya itu untuk sementara berhasil. Istri Sima Rodra terpaksa meloncat menghindari batu yang dengan derasnya menyambar kepalanya.

Saat yang sangat berharga itu ternyata dapat dipergunakan Handaka dengan baiknya. Cepat ia melenting berdiri dan dengan tangkasnya pula tangannya menyambar tombaknya, Kyai Bancak. Pada saat itu Manahan tidak dapat berbuat lebih banyak lagi. Sebab Sima Rodra telah menggeram dengan hebatnya dan menerkamnya sebagai seekor harimau yang kelaparan. Sehingga sesaat kemudian pertempuran telah berulang lagi dengan dahsyatnya.

Demikian juga Bagus Handaka, ia harus sudah bekerja mati-matian melawan istri Sima Rodra itu. Meskipun di tangannya telah tergenggam Tombak Pusaka Banyubiru, namun ia masih banyak mengalami kesulitan. Tetapi sedikit banyak tombak di tangannya itu akan dapat memperpanjang daya perlawanannya.

Tiba-tiba, ketika Bagus Handaka sekali lagi mengalami tekanan yang hebat, sedang Manahan masih belum sempat untuk menolongnya, datanglah sebuah bayangan yang seperti melayang memasuki lingkaran pertempuran.

Dengan tangan kirinya ia mendorong Bagus Handaka, sehingga anak itu jatuh terpelanting. Dan sesudah itu tanpa mengucapkan sepatah katapun ia langsung menyerang istri Sima Rodra. Bagus Handaka ketika kemudian telah dapat meloncat berdiri, memandang orang itu dengan penuh keheranan. Tenaganya meskipun terasa lunak, namun kuatnya bukan kepalang. Meskipun demikian, dalam keheranannya itu ia menjadi gembira pula.

Sebab menilik kekuatannya, ia mengharap bahwa orang itu dapat mengimbangi istri Sima Rodra. Kemudian dengan mulut ternganga ia memperhatikan pertempuran yang berlangsung dengan hebatnya. Kedua-duanya memiliki kecepatan bergerak yang mengagumkan, sehingga pertempuran itu seolah-olah berubah menjadi bayang-bayang daun yang bergerak-gerak ditiup angin pusaran.

Manahan dan Sima Rodra suami-istri pun tidak pula kalah herannya. Mereka sama sekali tidak mengenal siapakah orang yang telah berani ikut campur dalam pertempuran itu. Namun beberapa saat mereka tidak sempat memperhatikan lebih saksama lagi, karena masing-masing masih harus berjuang diantara hidup dan mati. Hanya kemudian terdengar istri Sima Rodra itu berteriak melengking karena marahnya. He, orang yang tak tahu diri. Siapakah kau yang berani mencampuri urusan kami?

Namun orang yang perkasa itu sama sekali tidak menjawab. Bahkan ia mempercepat gerakannya sehingga istri Sima Rodra itu terpaksa bekerja lebih keras lagi, sejalan dengan memuncaknya kemarahannya. Tetapi agaknya lawannya pun memiliki ketangkasan yang mengagumkan. Tangannya dengan lemasnya bergerak menyambar-nyambar seperti ujung ribuan cambuk yang bergerak bersama-sama, sehingga dengan demikian terasa bahwa serangan orang itu datangnya dari ribuan arah pula.

Hal yang sedemikian itu dapat dilihat pula oleh Sima Rodra. Ia kemudian agak mencemaskan istrinya. Maka sekarang ialah yang bekerja mati-matian untuk segera dapat menundukkan lawannya. Karena itu tandangnya menjadi semakin garang. Serangannya datang bergulung-gulung seperti ombak yang diguncang oleh badai. Namun ternyata lawannya tangguh seperti batu karang, yang sama sekali tak dapat ditundukkan.

Karena itu, maka tiba-tiba Harimau Hitam dari Gunung Tidar itu tidak sabar lagi. Dengan mengaum hebat, direntangkannya kedua belah tangannya, serta tubuhnya menggeletar dengan hebatnya. Itulah tandanya bahwa Hantu Gunung Tidar itu akan mempergunakan Aji Macan Liwung.

Melihat sikap lawannya, Manahan terkejut. Ia pernah melihat sikap yang demikian ketika ia melawan orang berkerudung kulit harimau hitam bersama-sama dengan Gajah Sora. Yang kemudian ternyata bahwa orang itu adalah Sima Rodra tua dari Lodaya. Ia mengenal gerak yang demikian, yang menurut seorang sakti dari Banyuwangi, Titis Anganten, adalah pemusatan tenaga untuk melontarkan Aji Macan Liwung. Karena itu untuk sesaat hatinya tergetar hebat. Tetapi Manahan tidak sempat berbuat banyak. Belum lagi ia sempat berbuat sesuatu, dilihatnya Sima Rodra itu telah meloncat dengan suatu auman yang mengerikan.

CERITA BERSAMBUNG = 18 NOVEMBER 1999
NAGASASRA dan SABUK INTEN
Karya SH Mintarja
274

UNTUNGLAH bahwa Manahan adalah murid Ki Ageng Pengging Sepuh yang mumpuni. Ditambah lagi dengan pengalaman yang telah menempa dirinya siang malam. Karena itu, melihat Sima Rodra menerkamnya dengan ajinya yang sangat berbahaya, Manahan tetap dapat menguasai dirinya. Dengan cermat ia mempelajari gerak lawannya untuk dengan tepat menghindarkan dirinya. Ketika kedua tangan Sima Rodra dengan kuku-kukunya yang mengembang itu melayang ke arahnya, cepat Manahan menjatuhkan diri dan berguling-guling ke arah yang berlawanan, justru lewat di bawah kaki Sima Rodra yang melayang di atas satu kakinya, kakinya yang lain ditekuk ke depan, sebuah tangannya menyilang dada dan yang lain diangkatnya tinggi-tinggi. Dengan gerak secepat petir menyambar, Manahan meloncat dan menghantamkan sisi telapak tangannya ke arah dada Sima Rodra yang baru saja berhasil memutar tubuhnya. Maka terjadilah suatu benturan yang maha dahsyat. Sima Rodra yang telah mengenal pula tanda-tanda yang mengerikan itu, segera mencoba menghimpun kekuatannya untuk melawan. Namun Sasra Birawa adalah suatu ilmu yang jarang ada tandingnya.

Itulah sebabnya maka tubuh Sima Rodra yang besar kekar itu terlempar beberapa langkah, dan kemudian seperti sebuah batu terbanting berguling-guling, dibarengi dengan pekik ngeri yang keluar sekaligus dari mulut istri Sima Rodra dan orang yang melawannya. Untuk beberapa kejap, orang yang bertempur melawan Harimau Betina Gunung Tidar itu diam mematung mengawasi tubuh Sima Rodra yang kemudian terbujur diam tak bergerak. Sedang mata yang membayangkan kengerian dan ketakutan tersirat di wajah istri Sima Rodra. Agaknya ia merasa, dengan kekalahan yang dialami oleh suaminya itu, merupakan suatu titik batas yang tak akan mampu lagi diatasi. Apalagi dengan demikian ia merasa bahwa ia harus berhadap-hadapan dengan orang yang telah berhasil membinasakan suaminya itu, di samping orang yang tak dikenalnya. Karena itu, meskipun dendamnya menggelegak sampai ke lehernya, maka ia lebih baik menghindarkan diri dari kebinasaan, untuk kelak dapat membalaskan sakit hati serta kematian suaminya. Maka selagi mereka masih belum sampai menarik perhatian atasnya, lebih baik ia melenyapkan diri.

Mendapat keputusan itu, secepatnya ia meloncat ke arah kudanya, dan dalam sekejap melontarkan diri ke punggung kuda itu, untuk seterusnya menarik kendali kudanya yang kemudian berlari seperti angin. Berbareng dengan itu mengumandanglah suara Harimau Betina itu berteriak, Tunggulah hari pembalasan akan datang.

Setelah derap suara kuda yang kemudian disusul oleh para pengawalnya itu lenyap, suasana menjadi hening sepi. Mereka kini ternyata telah berada agak jauh dari ujung desa, dimana pertempuran itu dimulai. Manahan, Bagus Handaka, orang yang takdikenal itu, beserta setiap orang yang berada di situ, berdiri diam seperti batu dengan wajah-wajah yang tegang.

Pandangan mereka berganti-ganti beralih dari Manahan, Bagus Handaka yang masih menggenggam Kyai Bancak, orang yang hanya tampak remang-remang dalam gelap malam, dan Sima Rodra yang terbujur diam, meskipun masih terdengar ia lamat-lamat mengerang menahan sakit dengan sisa-sisa tenaga yang masih ada.

Untuk beberapa lama, orang itu mengawasi Sima Rodra pula. Tetapi kemudian, terjadilah suatu hal yang tak seorang pun menduganya. Dengan menggeram orang itu dengan dahsyatnya menjadi terkejut sekali. Untunglah bahwa ia cekatan, sehingga meskipun agak sulit, ia berhasil menghindarkan dirinya. Tetapi agaknya pemuda itu tidak mau berbicara lagi. Sekali lagi ia menyerang Manahan, sekali lagi dan sekali lagi berturut-turut.

Mula-mula Manahan yang masih bingung menebak-nebak, hanya selalu menghindar-hindar saja. Dengan suara bergetar ia mencoba bertanya, Ada apakah Ki Sanak menyerang aku?

Akibat dari pertanyaan itu mengherankan. Orang yang menyerang Manahan itu tiba-tiba terloncat selangkah mundur. Meskipun wajahnya tak begitu jelas dalam gelap malam, namun agaknya orang itu memperhatikan Manahan dengan saksama. Tetapi kemudian kembali ia mengejutkan tidak saja Manahan, juga orang-orang yang hadir menjadi semakin bertanya-tanya dalam hati. Sebab sesaat kemudian orang itu dengan tiba-tiba kembali meloncat menyerang Manahan dengan dahsyatnya.

Kembali Manahan dengan penuh pertanyaan mencoba menghindarkan diri dari serangan-serangan yang sangat berbahaya itu. Sekali dua kali Manahan masih berhasil meloncat-loncat seperti berpijak di atas batubara. Namun apa yang dapat dilakukan itu tidaklah lama. Sebab bagaimanapun juga orang itu ternyata memiliki ilmu yang tinggi pula, sehingga akhirnya Manahanpun menjadi jengkel. Akhirnya terpaksa Manahan pun mulai membalas serangan demi serangan. Dalam sekejap terjadilah kembali pertempuran yang dahsyat. Kedua-duanya memiliki tenaga serta kecepatan gerak yang mengagumkan.

Pertempuran ini pun tidak kalah dahsyatnya dengan pertempuran yang telah terjadi antara Manahan melawan Sim Rodra. Meskipun lawan Manahan ini belum memiliki kedahsyatan tenaga seperti Sima Rodra, namun kelincahannya sangat mengagumkan. Ia memiliki daya serang yang luar biasa serta membingungkan. Dua belah tangannya itu merupakan senjata yang sangat berbahaya.

CERITA BERSAMBUNG = 19 NOVEMBER 1999
NAGASASRA dan SABUK INTEN
Karya SH Mintarja
275

KINI, Manahan seolah-olah kini berhadapan dengan seorang yang memiliki beberapa pasang tangan, yang bergerak bersama-sama menyerangnya.

Itulah sebabnya semakin lama Manahan semakin kehilangan kesabaran. Ia tidak mau menjadi korban dari suatu masalah yang gelap, yang sama sekali tak diketahuinya. Maka akhirnya, dengan mengerahkan kekuatannya, Manahan pun kemudian berjuang dengan hebatnya. Serangannya datang seperti asap yang bergulung-gulung melibat lawannya. Karena itu beberapa lama kemudian terasa bahwa Manahan akan dapat menguasai keadaan. Setapak demi setapak tetapi pasti, ia selalu berhasil mendesaknya.

Tetapi dalam pada itu lawannya pun segera mengerahkan segenap tenaganya. Gerakannya menjadi semakin lincah dan cepat. Agaknya ia pun menyadari bahwa lawannya memiliki beberapa kelebihan daripada dirinya. Karena itu ia bertempur dengan sangat berhati-hati.

Orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu, termasuk Bagus Handaka, tidak habisnya keheran-heranan. Mereka sama sekali tidak tahu persoalan apa yang telah terjadi. Mula-mula mereka melihat seseorang membantu Bagus Handaka melawan istri Sima Rodra sehingga sepasang Harimau Gunung Tidar itu sudah dapat dikalahkan. Tetapi yang tiba-tiba saja malahan orang yang telah membantu itu dengan dahsyatnya berganti menyerang.

Namun demikian tak seorangpun berani berbuat sesuatu. Tak seorangpun yang berani mencoba melerainya. Jangankan para penduduk Gedangan, sedang Bagus Handaka pun melihat pertempuran itu dengan wajah yang kagum. Pada saat Manahan bertempur dengan Sima Rodra, ia sama sekali tidak sempat menyaksikannya, sebab ia sendiri harus selalu berloncat-loncatan menghindari serangan istri Sima Rodra.

Pada saat ia menyaksikan pertempuran antara orang yang menolongnya itu melawan istri Sima Rodra yang tak sehebat gurunya, iapun telah mengaguminya. Apalagi pertempuran itu. Diam-diam ia menjadi semakin kagum melihat keperkasaan Manahan, namun ia heran juga melihat orang dapat bertempur selincah lawan gurunya itu.

Tetapi yang tak seorang pun tahu, adalah kesibukan hati Manahan. Ketika lawannya telah sangat terdesak, dan melawannya dengan segenap ilmu yang dimilikinya, Manahan menjadi berdebar-debar. Agaknya ia pernah bertempur dengan seseorang yang memiliki ilmu yang demikian dahsyat serta lincah. Meskipun demikian sesaat ia masih bertempur sepenuh tenaga. Ia tak mau ditelan oleh angan-angannya, yang belum mendapat kepastian. Karena itulah ia masih saja mendesak maju, serta mempersempit setiap kesempatan bergerak dari lawan, yang bagaimanapun lincahnya, akhirnya merasakan juga ilmunya belum dapat disejajarkan dengan ilmu yang dimiliki oleh Manahan.

Akhirnya ketika ia sudah tidak mampu lagi melawan dengan tangannya, tiba-tiba memancarlah sebuah cahaya yang berkilat-kilat. Di tangan orang itu kemudian tergenggam sehelai pedang yang tipis, yang agak lebih kecil sedikit dibandingkan dengan pedang biasa.

Melihat pedang itu hati Manahan berdesir. Cepat ia meloncat mundur, dan dengan dada bergetaran ia akan mencoba untuk menghentikan pertempuran. Namun belum lagi mulutnya sempat mengucapkan kata-kata, orang itu telah meloncat menyerang dadanya. Tetapi sekarang Manahan tidak lagi berusaha untuk melawan, bahkan menghindar pun tidak.

Ketika ia melihat pedang itu, dan kemudian ia melihat ujung pedang itu selalu bergetar dalam tangan lawannya, ia sudah pasti, siapakah orang itu. Karena itu betapa menyesalnya, bahwa ia telah benar-benar bertempur, dan bahkan mungkin sudah menyakitinya pula.

Dalam sesaat itu, ia sudah dapat mengetahui hampir segala persoalan kenapa tiba-tiba ia diserangnya. Juga ia yakin bahwa lawannya telah pula mengetahui siapakah sebenarnya dirinya.

Sebaliknya, orang itupun terkejut ketika Manahan sama sekali tak menghindari mata pedangnya yang sudah hampir merobek dada itu. Kalau semula ia benar-benar marah dan dendam, namun ketika Manahan sama sekali seolah-olah pasrah diri, hatinya bergoncang.

Tiba-tiba saja timbullah suatu perasaan, bahwa tidak semestinyalah ia harus melukai orang itu, apalagi setelah lawannya itu pasrah. Lebih-lebih sampai mengambil jiwanya. Karena itu, kemudian dengan gugupnya ia mencoba untuk menarik serangannya.

Tetapi sayang bahwa lontaran tenaga loncatnya sedemikian besar. Maka yang dapat dilakukannya adalah mengubah arah pedangnya. Meskipun demikian, karena ujung pedangnya yang setajam pisau pencukur itu sudah hampir melekat dada, maka terpaksa ujung pedang itu masih menggores lengan Manahan.

Mengalami peristiwa itu, Manahan berdesis kecil sambil terdorong setapak ke samping oleh gerak naluriahnya. Tetapi setelah itu, kembali ia tegak seperti patung, tanpa suatu usaha untuk membalas, apalagi membinasakan lawannya.

Berdesirlah setiap dada, dari mereka yang mengelilingi arena pertempuran itu. Sedang diantara mereka, dada Handakalah yang paling terguncang. Tanpa disengajanya ia telah meloncat maju. Tetapi kemudian ia tidak berani melangkah, sebelum mendapat izin dari gurunya.

Meskipun keinginannya untuk melakukan apapun karena kemarahannya yang telah memuncak melihat gurunya dilukai, pada saat gurunya sudah menghentikan perlawanan. Sedangkan ia yakin bahwa kalau saja Manahan menghendaki, pasti ia berhasil menghindari tusukan pedang itu.

Tetapi lebih dari segala keanehan yang telah terjadi, orang-orang di sekitar arena pertempuran itu seolah-olah benar-benar melihat suatu pertunjukan yang sengaja untuk memusingkan kepala mereka. Sebab setelah itu, tiba-tiba ia melihat orang yang telah melukai Manahan itu pun berdiri pula seperti patung sambil menundukkan wajahnya dalam-dalam. Sebenarnyalah bahwa ia pun sangat menyesal bahwa Manahan telah terluka.

276

ORANG itu merasa bersalah, bahkan lebih dari itu, berbagai-bagai perasaan bergulat di dalam hatinya. Karena itu dengan tangan bergetar ia menyarungkan pedangnya perlahan-lahan. Setelah itu, tiba-tiba ia membalikkan tubuhnya dan berlari ke arah Sima Rodra yang masih saja terlentang sambil mengerang kesakitan. Segera ia menjatuhkan dirinya, dan berlutut di sampingnya.

Suasana kemudian dicengkam oleh kesepian yang mendalam. Setiap orang seakan-akan mencoba untuk tidak melakukan suatu gerakan pun. Bahkan suara nafas mereka menjadi tertahan-tahan pula.

Tetapi tiba-tiba di dalam kesepian itu terdengarlah suara tangis yang tertahan. Beberapa orang hampir menjadi tak percaya kepada dirinya sendiri, bahwa mereka telah mendengar tangis seorang perempuan.

Ayah… terdengar suara di antara isak tangis itu.

Untunglah, bahwa pada saat itu sisi telapak tangan Manahan menghantam dada Sima Rodra, ia sedang dalam kesiagaan penuh untuk melontarkan ajinya Macan Liwung, sehingga daya kekuatannya pun telah dipergunakan hampir sepenuhnya. Dengan demikian ia telah terhindar dari kebinasaan yang mengerikan. Bahkan karena kekuatan tubuhnya yang melampaui kekuatan manusia biasa, setelah mengalami penggemblengan dari mertuanya, Sima Rodra tua dari Lodaya, ia masih tetap hidup, meskipun keadaannya sudah sangat payah karena luka-luka di tubuhnya bagian dalam.

Karena itu ia masih dapat mendengar seseorang menangis di sampingnya. Ketika ia membukakan matanya, ia terkejut. Yang menangis berlutut di sampingnya itu adalah orang yang telah bertempur melawan istrinya. Maka dengan penuh keheranan ia memandanginya.

Apalagi sekali lagi ia mendengar orang itu memanggilnya dengan suara sayu, Ayah….

Bagaimanapun buasnya Harimau Gunung Tidar itu, ketika pada saat-saat jiwanya dalam bahaya, dan tiba-tiba seorang dengan sayu menangisinya, kebuasannya tiba-tiba menjadi luluh. Lebih-lebih lagi ketika ternyata suara itu adalah suara perempuan. Disamping perasaan sakit yang menyengat-nyengat hampir seluruh tubuhnya, hatinya diganggu oleh pertanyaan yang hampir tak masuk di akalnya, bahwa masih ada seorang perempuan kecuali istrinya, yang sudi menangisinya, justru baru saja ia bertempur mati-matian melawan istrinya itu.

Maka karena kebingungannya itulah dengan suara yang gemetar ia bertanya, Siapakah kau…?

Orang yang berlutut itu memandang wajah Sima Rodra dengan pandangan lembut penuh haru. Meskipun ia pernah mendendamnya, namun sekarang, di hadapan orang yang telah sama sekali tak mampu bergerak itu, segala perasaan dendamnya seperti lenyap dihanyutkan banjir.
Karena beberapa lama tidak terdengar jawaban, kembali Sima Rodra bertanya terputus-putus, Siapakah kau…?

Orang yang berlutut di hadapannya itu seperti tersadar dari mimpi. Maka dengan suara yang gemetar pula ia menjawab lirih, Ayah…, aku anakmu…, Rara Wilis.

Wilis, kau Rara Wilis…? tanya Sima Rodra dengan suara yang tergagap. Matanya terbelalak, memancarkan cahaya yang aneh.

Ya, ayah…. Aku Rara Wilis.

Wilis… Wilis…. Suara Sima Rodra mengulang-ulang nama itu seperti hendak meyakinkan kebenarannya. Dan mendadak ia berusaha untuk mengangkat kepalanya, namun tenaganya sudah tidak memungkinkan lagi, karena itu segera ia terjatuh kembali.

Untunglah Manahan yang dikenal oleh Sima Rodra dan Rara Wilis dengan nama Mahesa Jenar, dengan cepat menangkap kepala Sima Rodra, sehingga tidak terantuk tanah.

Melihat Mahesa Jenar berusaha menolongnya, Sima Rodra menggeram marah. Meskipun tubuhnya telah terlalu letih, namun ia memaki-maki juga. Pergilah kau Mahesa Jenar yang menyangka bahwa dirimu adalah manusia yang paling tulus di dunia ini. Jangan kau kotori tanganmu dengan kejahatan yang melekat pada tubuhku.

Meskipun demikian, Mahesa Jenar tidak melepaskan tangannya untuk menahan kepala Sima Rodra. Dan karena Sima Rodra tidak berdaya untuk menghindari maka akhirnya ia berdiam diri.

Tenangkanlah hatimu Sima Rodra, bisik Mahesa Jenar. Dalam saat yang demikian tidak seharusnya kau masih mendendam.

Mendengar kata-kata Mahesa Jenar itu kembali Sima Rodra menggeram. Namun ia tidak berkata apa-apa. Akhirnya kembali matanya menatap orang yang mengaku diri anaknya. Maka meluncurlah dari bibirnya yang bergerak perlahan-lahan suatu keluhan singkat. Kemudian ia mencoba berkata pula, Wilis… benarkah kau anakku…?

Ya ayah, aku benar-benar anakmu yang kau tinggalkan bersama ibu, jawab Rara Wilis sedih.

Di mana ibumu sekarang? tanya Sima Rodra semakin lemah.

Kembali Rara Wilis terisak. Dengan kata-kata yang hampir tak terdengar ia membisiki ayahnya, Ibu telah meninggal, setahun sepeninggal ayah.

Sima Rodra menarik nafas dalam-dalam.
Wilis… katanya kemudian, Maafkanlah ayahmu ini. Mungkin kau telah mendengar segenap garis perjalanan hidupku yang dipenuhi oleh noda-noda hitam. Sampaikan pula permintaan maafku kepada kakekmu, Ki Santanu.

Ayah… sahut Rara Wilis, Lupakanlah apa yang pernah terjadi. Aku sudah berjuang dengan sepenuh tenagaku atas petunjuk dan bantuan kakek yang ternyata juga bernama Ki Ageng Pandan Alas.

PANDAN Alas…? ulang Sima Rodra.
Ya ayah, Kakek Santanu adalah Ki Ageng Pandan Alas, jawab Rara Wilis menegaskan.

O… kembali Sima Rodra menarik nafas dalam-dalam. Suaranya semakin perlahan-lahan, meskipun cukup jelas, Alangkah bodohnya aku, dan agaknya mataku telah buta pula. Tetapi, benarkah bahwa Ki Santanu itu Ki Ageng Pandan Alas…? Agaknya daripadanya pula kau memperoleh ilmu yang dahsyat itu….

Rara Wilis mengangguk kecil. Aku pelajari dengan tekun, siang dan malam, untuk dapat merebut ayah kembali dari tangan Harimau Betina Gunung Tidar. Setelah cukup ilmuku, aku pergi merantau mencari ayah pula. Ketika aku mendengar di daerah ini, segera aku menyusul. Dan sekarang aku telah menemukan ayah dalam keadaan parah.

Kembali terdengar Rara Wilis menangis terisak-isak. Sedangkan mata Sima Rodra itu memancarkan sinar kemarahan yang tak terhingga kepada Mahesa Jenar.

Sudahlah Wilis… kata Sima Rodra, Kau adalah seorang gadis yang perkasa melampaui laki-laki biasa. Karena itu jangan menangis. Kalau kau bertemu dengan kakekmu, sampaikan baktiku. Ki Panutan yang telah mendurhaka. Tetapi dapatkah kau buktikan bahwa Ki Santanu adalah Ki Ageng Pandan Alas?

Perlahan-lahan Rara Wilis mengangguk. Ditariknya sebilah keris dari wrangka di lambungnya di balik bajunya. Sambil menunjukkan keris itu ia berkata, Inilah ayah.

Sigar Penjalin… desis Sima Rodra, Cobalah aku merabanya.

Segera keris itu diserahkan kepada Sima Rodra yang menerimanya dengan sisa tenaganya. Meskipun demikian, terjadilah sesuatu diluar dugaan mereka. Dengan tangannya yang lemah Sima Rodra mencoba menggoreskan keris yang sakti tiada taranya itu ke tangan Mahesa Jenar.

Mahesa Jenar terkejut bukan kepalang. Demikian juga Rara Wilis yang sama sekali tidak menduga bahwa ayahnya akan berlaku demikian. Karena itu tidak sesadarnya ia memekik kecil.

Kenapa kau terkejut Wilis…? Biarlah aku mati bersama-sama dengan orang yang telah membunuhku. Adakah kau kenal dia…?

Rara Wilis mengangguk perlahan.

Melihat Rara Wilis mengangguk, Sima Rodra, yang mula-mula bernama Ki Panutan, mengernyitkan alisnya, Hem… desahnya. Siapakah orang ini sebenarnya…?

Sebagai yang ayah kenal, jawab Rara Wilis, Namanya Mahesa Jenar, yang mencoba melawan kejahatan. Menurut kakek, ia adalah bekas seorang prajurit yang bergelar Rangga Tohjaya.

Bekas prajurit…? ulang Ki Panutan, yang kemudian disebut Sima Rodra muda. Apakah hubunganmu atau kakekmu dengan dia?

Tak ada, sahut Rara Wilis.

Tetapi Kakang Mahesa Jenar itu pernah membebaskan aku dari kebuasan Jaka Soka Nusakambangan.

He… Sima Rodra terkejut, setelah itu tubuhnya bertambah lemah. Dengan suara yang hampir berbisik ia berkata, Syukurlah kau terlepas dari tangan Ular Laut yang keji itu.

Kemudian kepada Mahesa Jenar ia berkata, Maafkan aku Mahesa Jenar. Agaknya kau benar-benar telah berjuang untuk menegakkan sendi-sendi kebajikan. Kalau demikian biarlah dalam saat yang terakhir ini aku bercermin diri. Baik… kau Wilis… maupun kau Mahesa Jenar… telah menempatkan diriku pada titik kesadaran. Karena itu aku akan berlalu dengan hati yang lapang.

Ayah… potong Rara Wilis, Aku telah bersusah payah, berusaha untuk menemukan ayah.

Ki Panutan itu tampak tersenyum.

Meskipun wajahnya yang ditumbuhi oleh rambut-rambutnya yang lebat, yang baru beberapa waktu berselang memancarkan cahaya yang mengerikan, sebagai seorang yang menamakan dirinya Sima Rodra, kini tiba-tiba telah berubah sama sekali.

Dengan mata yang bersih bening, serta senyum keikhlasan, ia berbisik perlahan sekali, Wilis… biarlah aku pergi. Puaslah sudah hatiku setelah aku mengetahui bahwa anakku telah menjadi seorang gadis yang perkasa, serta berhati bersih. Kau mau berlutut di sampingku meskipun kau tahu bahwa hidupku penuh diwarnai oleh noda dan dosa.

Setelah itu, nafasnya menjadi semakin sesak. Beberapa kali Ki Panutan itu menggeliat menahan sakit.

Ayah… ayah…. Rara Wilis hampir memekik.

Ki Panutan yang telah memejamkan matanya itu perlahan-lahan membukanya kembali. Sekali lagi ia tersenyum penuh keikhlasan.

Ayah, jangan pergi…. jerit Rara Wilis yang sudah kehilangan keperkasaannya menyaksikan keadaan ayahnya, tetapi ia telah berubah menjadi seorang gadis kembali yang menyaksikan saat-saat terakhir dari ayahnya yang selama ini dicarinya.

Tetapi tak seorang pun yang kuasa menahan renggutan maut. Demikianlah perlahan-lahan Ki Panutan itu menutup matanya. Ia masih sempat menyilangkan tangannya di dadanya sebagai suatu pernyataan keikhlasan hatinya. Diantara rambut yang tumbuh hampir memenuhi wajahnya itu, terseliplah bibirnya membayangkan senyum. Dan sesaat kemudian Ki Panutan yang telah menggemparkan dengan kebiasaannya menculik gadis-gadis untuk upacara-upacara kepercayaannya yang aneh-aneh, serta perampokan dan kejahatan-kejahatan yang pernah dilakukan di bawah nama Sima Rodra serta panji-panji bergambar harimau hitam, kini meninggal dunia di tangan musuh utamanya dengan penuh keikhlasan.

Bersamaan dengan itu terdengarlah Rara Wilis memekik tinggi. Dengan tangis yang memancarkan kekecewaan hatinya, ia menelungkup di atas tubuh ayahnya yang sudah membeku.

Melihat semuanya itu, serta setelah mendengar pembicaraan mereka, orang-orang Gedangan menjadi sedikit banyak dapat menangkap persoalan di antara mereka. Meskipun demikian mereka masih berdiri tegak seperti patung.

CERITA BERSAMBUNG = 22 NOVEMBER 1999
NAGASASRA dan SABUK INTEN
Karya SH Mintarja
278

BAGUS Handaka juga tidak beranjak dari tempatnya. Ia kini sudah teringat siapakah orang itu. Namun ia mengenalnya sebagai Pudak Wangi.

Maka terharulah sekalian yang menyaksikan peristiwa itu. Pertemuan pada saat-saat terakhir yang memilukan. Tidak ketinggalan pula hati Mahesa Jenar. Disamping itu ia tidak mengerti apa yang harus dilakukan.

Tiba-tiba kembali hatinya digetarkan oleh gadis anak Ki Panutan itu. Dengan tangkasnya gadis itu berdiri tegak. Tangan kirinya menggenggam Kyai Sigar Penjalin, sedangkan tangan kanannya menuding ke arah Mahesa Jenar dengan pandangan yang menyala-nyala.

Rara Wilis hampir saja tidak dapat mengendalikan dirinya lagi. Setelah bertahun-tahun ia bekerja keras untuk dapat merebut ayahnya dan kemudian berangan-angan untuk dapat hidup damai kembali di tempat asalnya, ternyata kini pada saat yang diimpi-impikan itu datang, ayahnya terbunuh oleh Mahesa Jenar.

Maka dengan gemetar penuh luapan perasaan ia berkata, Kakang Mahesa Jenar. Kau telah merampas seluruh masa depan yang kuangan-angankan selama ini. Karena itu Kakang, aku akan membuat suatu perhitungan hutang-piutang. Kau telah membebaskan diriku dari tangan Jaka Soka di hutan Tambak Baya. Tetapi kemudian kau binasakan ayahku pada saat aku menemukannya. Dengan demikian maka aku anggap bahwa hutang-piutang kita telah lunas. Sejak ini aku anggap bahwa aku adalah orang yang sama sekali tak ada sangkut-pautnya dengan Mahesa Jenar. Semua persoalan berikutnya adalah persoalan yang harus diperhitungkan tersendiri.

Wilis… jawab Mahesa Jenar. Tetapi ia tidak sempat berkata lebih banyak lagi, sebab sekejap kemudian Rara Wilis telah meloncat dengan kecepatan yang mengagumkan, menerobos ke dalam gelap malam, dan hilang di dalamnya.

Mahesa Jenar kemudian diam tertegun. Banyak hal yang sebenarnya akan diutarakan. Tetapi apa boleh buat. Sebenarnya ia sangat kecewa mendengar kata-kata Rara Wilis. Kalau ia membunuh Sima Rodra, adalah karena Sima Rodra telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan sendi-sendi kehidupan masyarakat. Bertentangan dengan perikemanusiaan, apalagi dipandang dari segi Ketuhanan.

Namun demikian ia percaya, bahwa pada suatu saat Rara Wilis pasti akan dapat menginsyafi hal ini.

Melihat kekisruhan yang sedang membelit hati Mahesa Jenar, yang dikenal oleh penduduk Gedangan bernama Manahan, tak seorang pun berani mendekatinya, apalagi bertanya sesuatu kepadanya, termasuk Bagus Handaka. Baru kemudian ketika Manahan itu telah melangkah pergi dan mengajak muridnya, Wiradapa segera menjejerinya, meskipun ia masih berdiam diri.

Pada pagi hari berikutnya, atas permintaan Mahesa Jenar, diselenggarakanlah pemakaman Sima Rodra muda yang sebenarnya bernama Ki Panutan, dengan baik. Bagaimanapun jahatnya orang itu, namun pada saat terakhirnya, ia sudah menemukan dirinya kembali. Karena itu wajarlah bahwa terhadap jenazah itu tidak perlu dilakukan pembalasan dendam.

Namun bagaimanapun, pada hari itu perasaan Manahan seolah-olah sedang diselimuti oleh kabut tebal. Ia merasa bahwa dirinya telah dihanyutkan oleh keadaan yang sama sekali tak menguntungkan. Adalah suatu kebetulan yang sangat menyulitkan bahwa orang yang pertama-tama dibinasakan adalah Sima Rodra, ayah Rara Wilis.

Meskipun demikian, dengan penuh kesadaran Mahesa Jenar yang juga bernama Manahan itu, tetap pada pendiriannya. Bahwa mereka yang termasuk dalam golongan hitam harus dibinasakan, terutama pemimpinnya, yang mempunyai nama menggetarkan seperti Lawa Ijo, sepasang Uling dari Rawa Pening, Jaka Soka dari Nusakambangan, dan tidak ketinggalan Istri Sima Rodra yang masih tidak kalah berbahayanya.

Maka karena semuanya itu pula Mahesa Jenar teringat pada kesanggupannya untuk mencari Keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Diketemukannya kedua keris itu, akan dapat membuktikan pula bahwa Gajah Sora tidak bersalah.

Karena itu maka ia bermaksud untuk secepatnya meninggalkan Gedangan meneruskan perjalanan. Tetapi kemana…?

Dari Wiradapa ia pernah mendengar seorang yang menamakan diri Panembahan Ismaya. Menurut Wiradapa, berdasarkan kabar yang baru-baru saja didengarnya, orang itu adalah seorang yang sangat luas pengetahuannya.

Meskipun Panembahan Ismaya itu hampir tidak meninggalkan pertapaannya, namun ia adalah seorang yang sakti, yang mungkin dapat menunjukkan di manakah keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, atau setidak-tidaknya petunjuk ke mana ia harus mencari, atau bagaimanakah caranya untuk menemukannya.

Dengan demikian maka timbullah keinginan Manahan untuk bertemu dengan orang yang disebut Panembahan Ismaya itu. Seandainya orang itu tidak dapat menunjukkan pusaka-pusaka yang hilang itu, namun setidak-tidaknya pertemuan dengan seorang Panembahan akan banyak memberinya manfaat.
Maka segera Manahan mengemukakan hasratnya itu kepada Wiradapa, untuk mendapat petunjuk-petunjuk ke mana ia harus pergi serta syarat-syarat yang diperlukan untuk menemui Panembahan Ismaya.

Setelah ia mendapat beberapa petunjuk maka segera ia minta diri untuk menghadap Panembahan itu, serta seterusnya melanjutkan perjalanannya. Tentu saja Wiradapa merasa keberatan, tetapi bagaimanapun juga Manahan terpaksa meninggalkan padukuhan kecil itu.

Setelah Manahan memberikan beberapa petunjuk untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang mungkin datang, baik dari pihak Sawung Sariti maupun dari pihak istri Sima Rodra, dengan memberikan latihan-latihan singkat kepada beberapa orang, barulah Manahan tega meninggalkan pedukuhan Gedangan. Sebab kemungkinan yang paling baik adalah mempergunakan senjata-senjata jarak jauh dengan mengandalkan jumlah yang banyak. Sebab tidak mungkin mereka melakukan perlawanan perseorangan terhadap orang-orang seperti Sawung Sariti ataupun Istri Sima Rodra.

CERITA BERSAMBUNG = 23 NOVEMBER 1999
NAGASASRA dan SABUK INTEN
Karya SH Mintarja
279

DI suatu pagi yang cerah, berangkatlah Manahan dan Bagus Handaka meninggalkan Gedangan untuk menghadap seorang yang menamakan dirinya Panembahan Ismaya, dengan diantar oleh berduyun-duyun penduduk yang ditinggalkan sampai ke ujung desa. Mereka melepas Manahan bersama muridnya dengan hati yang berat. Sedang sebenarnya Manahan pun merasa khawatir pula. Tetapi ia mengharap bahwa apabila masih ada orang-orang yang mendendam, dendam mereka tidak ditujukan kepada rakyat Gedangan, tetapi kepada dirinya yang telah bertekad menghadapi segala akibat dari perbuatannya.

Sebaliknya, dengan perjalanan itu, Handaka menemukan kegembiraannya kembali. Berjalan di alam luas, di bawah langit yang terentang tanpa batas. Batu -batu yang menjorok di lereng-lereng bukit, serta semak-semak yang terserak-serak diantara padang-padang ilalang, tampaknya sangat mengagumkan di bawah cahaya pagi. Gemersik daun-daun yang bergerak ditiup angin, terdengar seperti suara orang yang berbisik-bisik, terpesona oleh kebesaran alam serta Maha Penciptanya.

Di lereng-lereng bukit, di kehijauan rumput yang basah oleh embun, tampak berloncat-loncatan, dan kemudian menghilang di dalam semak anak-anak kijang yang keriangan. Tetapi perjalanan mereka kali ini bukanlah perjalanan yang terlalu jauh. Setelah mereka bermalam satu malam di perjalanan, maka pada keesokan harinya, tanda-tanda yang pertama dari padepokan yang dicarinya telah tampak. Di sebuah puncak bukit kecil, tampaklah dari kejauhan sebatang pohon beringin tua yang menghijau diantara batu-batu padas yang berwarna sawo. Itulah padepokan yang dinamai oleh penghuninya Karang Tumaritis. Di situlah Panembahan Ismaya mengolah diri, bertapa mesuraga.
Belum lagi matahari mencapai titik tertinggi di langit, mereka telah menyusur jalan setapak yang melingkar-lingkar menaiki lereng bukit kecil itu.

Sampai di lambung bukit, Manahan dan Bagus Handaka telah dipesonakan oleh tanam-tanaman berbunga yang asri. Di sana sini tampaklah taman-taman yang teratur rapi, diwarnai oleh dedaunan yang berseling-seling. Tanam-tanaman yang berdaun lebar, berdaun sedang dan tanam-tanaman yan berdaun sempit. Dari yang berwarna hijau muda, hijau tua dan berwarna kemerah-merahan.

Demikianlah Manahan dan Bagus Handaka berjalan di antara keindahan taman bunga yang digarap oleh tangan yang pasti sangat mencintai alam. Beberapa lama kemudian tampaklah dua orang cantrik menuruni lereng itu. Wajahnya jernih cerah dan masih sangat muda, sebaya dengan Bagus Handaka. Meskipun pakaian mereka sangat sederhana, namun tampaknya bersih dan serasi.

Tetapi mereka menjadi terkejut sekali ketika mereka melihat Manahan dan Bagus Handaka menaiki bukit itu. Bahkan mereka kemudian terpaku seperti patung dengan pandangan yang bertanya-tanya. Melihat sikap mereka, segera Manahan mengetahuinya, bahwa pasti bukit kecil yang terpencil ini sangat jarang dikunjungi orang.

Untuk segera menghilangkan kesan yang kurang baik, segera Manahan dan Bagus Handaka mengangguk hormat.

Melihat tamunya mengangguk, kedua cantrik itupun segera menanggapinya, dan dengan ramahnya berkata, Tuan… apakah keperluan Tuan berdua mengunjungi tempat kami yang tak berarti ini?

Dengan ramah pula Manahan menjawab, Ki Sanak, kedatangan kami kemari adalah terdorong dari keinginan kami untuk menghadap yang terhormat Panembahan Ismaya yang bertapa di bukit Karang Tumaritis. Bukankah bukit ini yang bernama Karang …?

Kedua cantrik itu tersenyum. Salah seorang diantaranya menjawab, Benar Tuan, bukit kecil ini memang bernama Karang Tumaritis. Dan di bukit ini pula tinggal Panembahan Ismaya. Kami adalah cantrik-cantrik yang mengabdikan diri pada Panembahan. Kalau Tuan-tuan ingin menghadap, baiklah kami sampaikan nama Tuan-tuan berdua kepada Panembahan Ismaya. Sedang Tuan-tuan kami persilahkan untuk menanti di bawah beringin itu.

Baiklah Ki Sanak, sahut Manahan. Nama kami adalah Manahan dan Bagus Handaka.

Setelah mengangguk sekali lagi, segera kedua cantrik itu berlalu untuk menyampaikan permintaan kedua orang tamu yang akan menghadap Panembahan.

Di bawah beringin tua, Manahan dan Bagus Handaka menanti, sambil menikmati keindahan lembah dan ngarai yang terbentang di bawah bukit kecil itu. Pandangan mata mereka beredar dari relung-relung lembah, padang-padang rumput di dataran yang berseling dengan semak-semak, kemudian merayapi lereng-lereng bukit kecil itu sendiri dan akhirnya taman bunga di sekitar mereka.

Tiba-tiba mereka terkejut ketika mereka melihat beberapa bagian dari taman itu tersulam beberapa jenis tanaman baru. Bukan karena jenis tanaman baru itu akan menambah keasriannya, tetapi jelas bahwa sulaman itu disebabkan karena kerusakan. Dugaan mereka bertambah kuat pula ketika mereka melihat pagar-pagar hidup yang membatasi jalan-jalan sempit di pekarangan itu terdapat beberapa sulaman pula. Siapakah kira-kira yang merusakkan tanaman-tanaman yang begitu rapi itu…?

CERITA BERSAMBUNG = 24 NOVEMBER 1999
NAGASASRA dan SABUK INTEN
Karya SH Mintarja
280

BELUM lagi Manahan dan Bagus Handaka selesai menikmati seluruh isi halaman itu, tampaklah kedua cantrik yang menemuinya tadi berjalan mendekatinya.
Dua cantrik itu baru saja muncul dari sebuah rumah kecil yang berdinding kayu, dan beratap ijuk. Meskipun rumah itu sederhana saja, tetapi tampak betapa cermat pemeliharaannya.

Beberapa langkah di depannya, kedua cantrik itu berhenti. Dan setelah membungkuk hormat, berkatalah salah seorang, Tuan, marilah Tuan berdua kami persilahkan menungu di gubug kami dahulu. Panembahan tengah merendam diri di telaga Pangawikan di bagian selatan bukit ini. Nanti apabila matahari telah surut beliau baru kembali.

Ki Sanak… jawab Manahan, Biarlah kami menunggu di sini saja. Alangkah sejuknya udara, dan alangkah indahnya pemandangan.

Kedua cantrik itu tersenyum, maka berkata yang lain, Tuan terlalu memuji. Tetapi Panembahan selalu tidak puas dengan hasil kerja kami.

Pastilah Panembahan Ismaya seorang yang cinta pada alam, sahut Manahan.

Tuan benar, jawab salah seorang cantrik itu. Sesaat kemudian ia melanjutkan, Namun begitu marilah kami persilahkan beristirahat di gubug kecil itu sambil menunggu kedatangan Panembahan.

Tidak sepantasnyalah kalau Manahan menolak ajakan itu. Maka bersama-sama dengan Bagus Handaka segera mereka diantar memasuki rumah kayu yang beratap ijuk itu. Meskipun rumah itu pendek dan beratap ijuk, namun kesejukan udara terasa meresap ke dalamnya. Mereka berdua dipersilahkan duduk diatas bale-bale bambu yang besar di sisi pintu.

Tuan… kata salah seorang, Kami persilahkan Tuan menunggu sebentar, kami akan minta diri untuk menyelesaikan pekerjaan kami.

Silahkan, kata Manahan sambil mengangguk.

Kedua orang itu segera meninggalkan Manahan dan Bagus Handaka, tetapi sementara itu, muncullah seorang cantrik yang lain, yang agak lebih tua dari kedua cantrik tadi. Dengan senyum ramah pula ia menyapa, Tuankah yang bernama Mahesa Jenar dan Arya Salaka?

Mendengar pertanyaan itu Manahan dan Bagus Handaka serentak terbelalak karena terkejut. Mereka memperkenalkan diri sebagai Manahan dan Bagus Handaka, tetapi cantrik itu menyebut nama-nama mereka yang sebenarnya. Karena itu dada mereka jadi tergetar.

Sebaliknya, cantrik itupun menjadi terkejut pula. Ia tertegun berdiri di pintu seperti kebingungan. Tiba-tiba berkatalah ia, Tuan… kalau demikian agaknya aku salah duga. Mungkin ada tamu yang lain yang bernama seperti yang aku sebutkan tadi. Sebab Panembahan telah memerintahkan kepadaku untuk datang mendahului kemari menemui kedua orang tamu yang bernama Mahesa Jenar dan Arya Salaka, putra Kepala Daerah Perdikan Banyubiru. Maka maafkanlah kesalahan ini. Selanjutnya siapakah Tuan berdua yang barangkali akan menemui Panembahan?
Manahan dan Bagus Handaka menjadi semakin kisruh. Agaknya Panembahan Ismaya telah mengetahuinya, bahkan sampai pada orang tua Arya Salaka. Karena itu maka Manahan menjadi berterus terang, Ki Sanak, benarlah kami berdua yang bernama Mahesa Jenar dan Arya Salaka. Putra Kepala Daerah Perdikan Banyubiru.

Cantrik itulah kemudian yang tampak bingung. Lalu katanya dengan tarikan nafas dalam-dalam, Syukurlah, tetapi agaknya Tuan terkejut ketika aku menyebut nama Tuan.

Mendapat pertanyaan itu, Manahan bertambah sibuk. Namun akhirnya ia berkata dengan jujur, Ki Sanak, pada saat aku datang, aku memperkenalkan diriku dengan nama yang akhir-akhir ini kami pakai dalam pengembaraan kami, yaitu Manahan dan Bagus Handaka. Karena itulah kami terkejut ketika Ki Sanak menyebut nama-nama kami yang sebenarnya.

O…. desis cantrik itu. Aku juga tidak mengerti, dari mana Panembahan tahu nama-nama Tuan yang sebenarnya.

Mendengar keterangan itu, Manahan dan Bagus Handaka menjadi terpesona. Mereka merasa bahwa mereka benar-benar akan bertemu dengan Panembahan Ismaya yang waskita.

Kalau demikian… cantrik itu melanjutkan, Biarlah aku menemani Tuan-tuan di sini seperti perintah Panembahan, sebelum beliau datang.

Kemudian duduklah cantrik itu bersama-sama dengan Mahesa Jenar dan Arya Salaka. Dari cantrik itu pula, Mahesa Jenar tahu bahwa seorang cantrik telah memberitahukan kehadirannya kepada Panembahan yang sedang merendam diri di telaga Pangawikan, yang kemudian memerintahkan cantrik itu untuk menemuinya.

Maka kemudian mereka bercakap-cakap tentang berbagai-bagai masalah, bergeser dari yang satu kepada yang lain. Dari jenis tanam-tanaman sampai berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang mengandung manfaat untuk obat-obatan.

Akhirnya sampailah pembicaraan mereka kepada tanam-tanaman yang tumbuh di halaman serta sulaman-sulaman barunya.

Maka berkatalah cantrik yang bernama Jatirono, Tuan, beberapa waktu berselang, taman kami itu telah dirusakkan oleh beberapa orang berkuda yang tidak kenal keindahan. Mereka datang dengan kuda-kuda mereka menerjang tanaman kami setelah mereka marah-marah dan memaki-maki. Aku tidak tahu apakah sebabnya. Tetapi setelah mereka menghadap Panembahan, agaknya mereka merasa kecewa karena beberapa sebab. Lalu seorang diantaranya yang sebaya dengan Tuan Muda putra Banyubiru itu, marah-marah. Mereka tidak saja merusak taman kami, tetapi mereka juga merusak beberapa perabot rumah kami.

Tidakkah seorangpun dapat mencegahnya? tanya Arya Salaka, meskipun ia agak canggung atas sebutan yang diucapkan oleh cantrik itu.

Cantrik itu menggelengkan kepalanya. Siapakah diantara kami yang mampu mencegah seorang yang perkasa itu? Kami adalah orang-orang lemah yang bertekun diri di padepokan ini untuk suatu pengabdian rokhaniah. Karena itu kami hanya dapat menyaksikan apa yang dilakukan oleh anak muda itu dengan hati yang berdebar-debar.

281

MAHESA Jenar dan Arya Salaka yang sebenarnya lebih senang disebut Bagus Handaka, menarik nafas untuk mengendorkan perasaan mereka. Sebab mereka sudah pasti bahwa anak muda yang merusak-rusak itu adalah Sawung Sariti. Demikian sombongnya anak itu, sehingga mereka berani melakukan hal-hal yang sama sekali tak berkesopanan, di hadapan seorang Panembahan. Tetapi semuanya itu telah lampau, sehingga keduanya hanya dapat menahan perasaan mereka yang melonjak-lonjak.

Ketika mereka sedang bercakap-cakap dengan asyiknya, masuklah seorang gadis kecil menjinjing sebuah nampan berisi minuman dan makanan. Dengan cermatnya gadis itu menyuguhkan mangkok tanah yang berisi air jeruk serta makanan dan buah-buahan kepada tamunya. Dan kemudian membungkuk hormat, berjalan meninggalkan mereka.

Mahesa Jenar tersenyum melihat keprigelan gadis yang baru berumur belasan tahun itu, sehingga meloncatlah pertanyaannya, Alangkah tangkasnya gadis kecil itu. Apakah ia salah seorang endhang di padepokan ini?

Jatirono tertawa kecil. Gadis kecil itu adalah satu-satunya putri cucu Panembahan Ismaya. Saudaranya laki-laki adalah tetua kami para cantrik. Namanya Putut Karang Tunggal, yang sekarang sedang menemani Panembahan berendam di telaga Pangawikan.

O… sahut Mahesa Jenar. Karena itulah maka wajahnya bercahaya.

Siapakah nama gadis kecil cucu Panembahan itu?
Endang Widuri, jawab Jatirono.
Endang Widuri? ulang Mahesa Jenar.

Suatu nama yang bagus. Tetapi lebih dari pada itu, Endang Widuri adalah seorang gadis yang lincah dan cakap, di bawah tuntunan yang sempurna pula.

Mudah-mudahan demikianlah, jawah Jatirono, Meskipun sebagai anak-anak, nakalnya bukan alang kepalang.

Demikianlah setelah Mahesa Jenar dan Arya Salaka menikmati hidangan yang disuguhkan oleh Endang Widuri, maka berkatalah Jatirono, Tuan berdua, kami persilahkan tuan beristirahat di sini. Sebentar lagi Panembahan Ismaya akan sudah dapat menerima Tuan-tuan. Karena itu biarlah aku menengoknya sebentar.

Maka pergilah Jatirono meninggalkan Mahesa Jenar dan Arya Salaka untuk menengok apakah Panembahan Ismaya telah siap menerima tamunya. Hanya sebentar kemudian masuklah ke dalam rumah kecil itu seorang pemuda tampan, bertubuh gagah serta berdada bidang.

Namun geraknya halus dan sopan. Ia tidak berpakaian seperti para cantrik yang lain, tetapi ia mengenakan sebuah jubah putih. Dengan penuh hormat ia berkata, Tuan, Eyang Panembahan Ismaya sudah selesai merendam diri. Sekarang beliau sedang bersiap untuk menerima Tuan-tuan. Karena itu kami persilahkan tuan bersama aku menghadap.

Bagaimanapun juga hati Mahesa Jenar menjadi berdebar-debar. Ia adalah seorang ksatria yang biasa bergaul dengan para kesatria pula, sewaktu ia masih berada di lingkungan istana. Sehingga dengan demikian jaranglah baginya bergaul dengan seorang Panembahan seperti Panembahan Ismaya.

Sedang Arya Salaka, justru karena selama ini ia hidup diantara para petani dan nelayan, ia sama sekali tidak merasakan suatu kejanggalan apapun.

Meskipun dari gurunya ia selalu menerima petunjuk-petunjuk yang berharga tentang sopan santun dan tata pergaulan.

Dari pondok kecil itu mereka menyusur jalan sempit diantara tanam-tanaman hijau dihiasi oleh bunga-bunga dari berbagai warna, menuju ke sebuah pondok lain yang agak lebih besar. Namun pondok ini pun dibuatnya dari kayu dan beratap ijuk pula.

Di rumah itulah Eyang Panembahan akan menerima Tuan-tuan, kata pemuda yang bertubuh tegap itu.

Menilik sebutan yang diucapkan, maka Mahesa Jenar dapat mengetahui bahwa pemuda yang sedikit lebih tua dari Arya Salaka itulah yang bernama Putut Karang Tunggal, saudara laki-laki dari Endang Widuri.

Ketika mereka memasuki rumah itu segera mereka melihat seorang yang telah lanjut usia duduk di atas sebuah batu hitam yang dialasi oleh kulit kayu.

Meskipun kesan wajahnya yang telah tua, serta rambutnya telah memutih kapas, namun tubuhnya masih nampak segar. Agaknya orang itu tampak jauh lebih muda dari umur yang sesungguhnya.

Mahesa Jenar dan Arya Salaka segera mengerti, bahwa orang itulah yang disebut Panembahan Ismaya. Karena itu mereka berlaku sangat sopan dan hati-hati.

Tetapi Mahesa Jenar dan Arya Salaka terkejut ketika tiba-tiba, setelah Panembahan Ismaya itu melihat mereka, segera ia berdiri sambil tergesa-gesa menyongsongnya. Dengan sangat hormat ia menyambut tangan Mahesa Jenar untuk bersalaman. Mahesa Jenar menjadi agak kaku dan heran, kenapa seorang Panembahan sampai sedemikian menghormati tamunya. Apalagi dirinya yang tidak menunjukkan tanda-tanda kebesaran apapun, malahan agaknya tidak cukup pantas untuk mendapat kehormatan bertemu dengan seorang Panembahan.

Silahkan Anakmas, silahkan…. Panembahan Ismaya menyilahkan Mahesa Jenar dan Arya Salaka yang menjadi semakin keheran-heranan. Apalagi ketika Panembahan itu meneruskan, Alangkah bersyukurnya hari ini ketika aku mendapat kabar bahwa Anakmas akan mengunjungi tempat kami yang tak berarti ini.

Untuk menghilangkan kekakuan, Mahesa Jenar pun mengangguk dengan takzimnya sambil menjawab, Berbahagialah aku mendapat kesempatan untuk menghadap Panembahan.

Tetapi apa yang dikatakan oleh Panembahan Ismaya itu semakin mengejutkan Mahesa Jenar, Bagiku kedatangan Anakmas adalah suatu kurnia. Sebab aku sama sekali tidak bermimpi bahwa tempat ini akan mendapat kunjungan dari seorang perwira istana seperti Anakmas Rangga Tohjaya.

CERITA BERSAMBUNG = 26 NOVEMBER 1999
NAGASASRA dan SABUK INTEN
Karya SH Mintarja
282

MAHESA Jenar menjadi semakin sibuk menduga-duga, alangkah jauh dari dugaannya tentang Panembahan itu. Namun demikian Mahesa Jenar menjadi bertambah tidak mengerti, darimanakah orang tua itu dapat mengenalnya sebagai seorang prajurit dan bernama Rangga Tohjaya?

Dalam kebingungan itu terdengar Panembahan Ismaya berkata kembali, Marilah Anakmas….

Seperti orang yang kehilangan kesadaran Mahesa Jenar melangkah masuk diikuti oleh Arya Salaka. Mereka berdua kemudian duduk pula di atas batu hitam yang juga beralaskan kulit kayu. Sedang pemuda tampan yang mengantar mereka tadi dengan takzimnya duduk bersila di lantai di belakang Panembahan Ismaya.

Setelah Panembahan Ismaya menanyakan keselamatan Mahesa Jenar, serta beberapa hal tentang dirinya serta perjalanannya mendaki bukit kecil itu, akhirnya Panembahan Ismaya sampai pada sebuah pertanyaan tentang keperluan Mahesa Jenar.

Untuk beberapa lama Mahesa Jenar diam. Ia masih ragu. Apakah perlu ia mengutarakan keperluannya. Bukankah Panembahan Ismaya yang bijaksana itu telah dapat membaca perasaan yang tersimpan di dalam dadanya.

Melihat Mahesa Jenar termangu berkatalah Panembahan itu, Anakmas, kedatangan Anakmas ke bukit kecil ini pastilah mempunyai suatu maksud. Meskipun tidak sewajarnya kalau aku yang tak berarti ini memberanikan diri untuk menerima pertanyaan Anakmas. Sebab apakah yang dapat aku kerjakan? Aku adalah seorang tua yang tak pernah meninggalkan bukit ini, sehingga pasti yang aku ketahui tidaklah lebih dari katak di bawah tempurung.

Namun bagaimanapun juga Mahesa Jenar menganggap bahwa Panembahan Ismaya itu seolah-olah memiliki indera keenam, yang dapat melihat barang yang tak kasatmata. Karena itu dengan takzimnya ia menjawab, Panembahan telah mengetahui apa yang tidak pernah aku katakan kepada Panembahan, yaitu tentang nama kami berdua. Tetapi karena ketajaman indera Panembahan, Panembahan telah dapat mengetahuinya. Adalah sama sekali tidak pantas kalau aku harus mengatakan keperluanku menghadap Panembahan, seolah-olah aku tidak percaya akan ketajaman pandangan Panembahan.

Mendengar kata Mahesa Jenar, Panembahan Ismaya itu tertawa lirih. Anakmas telah salah duga. Sebenarnya tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui perasaan orang lain dengan tepat, selain Yang Maha Tahu. Tentang nama Anakmas dan cucu Arya Salaka, bukanlah karena aku dapat melihat apa yang belum terjadi, tetapi karena semata-mata nama Anakmas berdua telah demikian tenarnya di sekitar bukit ini. Seorang cantrik yang turun untuk mendapatkan perbekalan kami telah mendengar nama Anakmas berdua sebagai penyelamat di padukuhan Gedangan. Dan hampir setiap mulut dari penduduk pedukuhan itu selalu menyebut nama Tuan yang rangkap, bahkan nama Anakmas sebagai bekas prajurit Demak. Bukankah nama itu disebut-sebut pula oleh anak Sima Rodra yang Anakmas bunuh?

Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Hal itu memang mungkin sekali. Tetapi bagaimanapun juga Mahesa Jenar tidak dapat melarikan diri dari sinar mata tajam yang seolah-olah menusuk sampai ke segala relung jantungnya. Meskipun demikian, maka tak ada cara lain yang baik baginya daripada memenuhi permintaan Panembahan Ismaya, mengutarakan maksud kedatangannya.

Maka dengan agak berat Mahesa Jenar berkata, Bapa Panembahan, aku mendengar tentang kewaskitaan Panembahan dari seorang yang bernama Wiradapa, penduduk dan sekarang menjadi lurah di padukuhan Gedangan. Karena itu aku memberanikan diri menghadap Panembahan untuk memohon petunjuk, barangkali Panembahan berkenan memberitahukan kepada kami berdua, di manakah atau cara bagaimanakah kami berdua dapat menemukan Keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten yang lenyap dari perbendaharaan istana dan pernah menjadi rebutan dari mereka yang menggolongkan diri dalam suatu gerombolan yang ingin merebut pemerintahan dengan segala cara, termasuk Sima Rodra yang beberapa waktu lalu terbunuh di Gedangan.

Mendengar pertanyaan Mahesa Jenar itu Panembahan Ismaya mengernyitkan alisnya.

Perlahan-lahan ia mengangguk-anggukkan kepalanya, dan kemudian dengan tersenyum berkata, Anakmas, dalam waktu yang singkat ada dua orang yang mempunyai pertanyaan yang sama. Beberapa waktu yang lalu, datang padaku seorang yang menyatakan dirinya putra Kepala Daerah Perdikan Pamingit dan Banyubiru. Dan ternyata anak muda itu terlibat dalam suatu bentrokan dengan Anakmas berdua di Gedangan, menurut berita yang sampai di bukit ini. Anak muda yang bernama Sawung Sariti itu, ternyata menanyakan juga kedua keris yang bernama Nagasasra dan Sabuk Inten. Tetapi sayang bahwa aku tak dapat menunjukkannya, sehingga marahlah anak muda itu. Sekarang Anakmas datang pula dengan pertanyaan yang sama. Tentu saja pertanyaan itu amat mencemaskan hatiku. Sebab jangan-jangan Anakmas akan marah pula kepadaku.

Mahesa Jenar menundukkan kepalanya sambil menyahut, Bapa Panembahan, apakah hakku marah kepada Panembahan. Bahwa aku telah mendapat kesempatan untuk menghadap Panembahan, bagiku telah merupakan suatu kesempatan yang tak dapat aku lupakan.

Mendengar jawaban Mahesa Jenar, Panembahan Ismaya itu kembali mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya pula, Aku sudah mengira, bahwa Anakmas tidak akan marah kepadaku seperti anak muda itu. Namun begitu aku sangat menyesal bahwa tak ada pengetahuanku tentang kedua keris itu, yang Anakmas kehendaki itu.

Bagaimanapun juga Mahesa Jenar mencoba menyembunyikan perasaannya namun di wajahnya membayang pula kekecewaan hatinya, apalagi Arya Salaka. Meskipun demikian, Mahesa Jenar sama sekali tak ada perasaan menyalahkan kepada Panembahan Ismaya. Sebab bagaimanapun juga waskitanya seseorang, namun pasti bahwa tidak semua sudut dunia ini dapat diketahuinya.

CERITA BERSAMBUNG = 27 NOVEMBER 1999
NAGASASRA dan SABUK INTEN
Karya SH Mintarja
283

AGAKNYA perasaan Mahesa Jenar itu dapat diketahui oleh Panembahan Ismaya, yang kemudian berkata meneruskan, Anakmas, aku tahu bahwa Anakmas menjadi kecewa. Hal itu disebabkan karena berita yang berlebih-lebihan tentang diriku. Orang menganggap bahwa aku dapat melihat segala isi dunia ini, dari yang paling kasar sampai yang paling halus. Meskipun demikian, aku mempunyai satu permintaan pada Anakmas berdua yang tidak aku sampaikan kepada anak muda yang bernama Sawung Sariti, untuk sementara tinggal bersama-sama aku di Bukit Karang Tumaritis ini. Aku tidak tahu apakah dengan demikian akan ada tanda-tanda yang dapat menunjukkan jalan atas maksud-maksud Anakmas itu. Tetapi pada saat aku melihat Anakmas berdua, aku merasa bahwa aku mempunyai kewajiban untuk membantu.

Mendengar keterangan Panembahan Ismaya yang terakhir itu, mata Mahesa Jenar menjadi bercahaya. Kata-kata itu diucapkan oleh seorang Panembahan. Karena itu ia yakin bahwa artinya pun tidak sesederhana kata-kata itu sendiri.

Maka karena itu segera ia menundukkan kepalanya dalam-dalam sambil menjawab, Panembahan adalah bijaksana. Apa yang Panembahan anggap baik, pastilah amat baik bagi kami. Apalagi kemurahan hati Panembahan untuk memberikan tempat berteduh bagi kami berdua, pasti akan kami junjung tinggi.

Panembahan itu tersenyum, lalu katanya meneruskan, Anakmas berdua terlalu rendah hati. Namun janganlah Anakmas menjadi kecewa kalau akhirnya aku tak dapat berbuat apa-apa atas keinginanku membantu, yang hanya dibekali oleh kemauan melulu.

Sekali lagi Mahesa Jenar mengangguk sambil berkata, Kemauan Panembahan bagi kami adalah jauh lebih berharga dari apapun juga.

Akhirnya Mahesa Jenar dan Arya Salaka diperkenankan untuk beristirahat.

Selanjutnya memenuhi permintaan Panembahan Ismaya, mereka berdua untuk beberapa lama tinggal bersama-sama di Karang Tumaritis. Mereka berdua hidup dan bergaul dengan beberapa orang cantrik yang melayani Panembahan Ismaya dengan rajinnya di bawah pimpinan Putut Karang Tunggal.

Namun setelah tujuh hari mereka tinggal di situ, Panembahan Ismaya sama sekali belum pernah menyinggung- nyinggung tentang kedua pusaka itu. Kalau mereka bertemu, maka apa yang dibicarakan oleh Panembahan Ismaya adalah hal-hal yang sama sekali tak berarti. Bahkan kesempatan untuk bertemu pun sangat terbatas.

Panembahan Ismaya selalu menyepi di ruang samadinya.

Meskipun demikian Mahesa Jenar percaya, bahwa Panembahan Ismaya pada suatu hari akan dapat memberinya bantuan untuk menemukan kedua keris itu.

Selama mereka berada di Karang Tumaritis, mereka mendapat kesempatan untuk mengunjungi setiap lekuk liku pegunungan itu. Sebagai tuan rumah, para cantrik amatlah ramahnya, sehingga Mahesa Jenar dan Arya Salaka merasa seperti di rumah sendiri. Bahkan di bukit itu pun Arya Salaka masih sempat untuk menerima pelajaran-pelajaran dari gurunya, meskipun mereka terpaksa mencari tempat yang agak tersembunyi. Sebab ternyata penghuni bukit itu agaknya tidak pernah membayangkan adanya gerak-gerak kekerasan yang dapat bermanfaat bagi kehidupan mereka, kecuali menelaah masalah-masalah kerohanian di bawah tuntunan Panembahan Ismaya.

Tetapi pada beberapa hari kemudian, terjadilah suatu peristiwa yang sama sekali di luar dugaan Mahesa Jenar dan Arya Salaka. Ketika mereka sedang berjalan-jalan menyusur tebing bukit itu, dilihatnya agak jauh di lembah di belakang bukit itu, beberapa perkemahan yang sedang dipersiapkan.

Mula-mula mereka sama sekali tidak menaruh perhatian sama sekali, sebab mereka menyangka bahwa kemah dari batang-batang ilalang itu telah dibuat oleh para pemburu. Tetapi ketika ternyata di bagian-bagian yang lain di sekitar bukit itu dibuat pula kemah-kemah yang serupa, maka Mahesa Jemar mulai curiga. Apalagi ketika akhirnya ia mempunyai kesimpulan bahwa bukit Karang Tumaritis itu telah dikepung rapat, sehingga setiap jengkal tanah mendapat pengawasan dengan saksama.

Mau tidak mau Mahesa Jenar terpaksa menebak-nebak. Siapakah yang telah membuat perkemahan itu, dan apakah maksudnya.

Pada malam itu, hati Mahesa Jenar menjadi berdebar-debar ketika ia mendapat undangan dari Panembahan Ismaya untuk menghadap. Maka bersama dengan Jatirono dan Arya Salaka Mahesa Jenar pergi memenuhi undangan itu.

Sebagai biasa Panembahan Ismaya menyambut kedatangannya dengan penuh hormat, serta mempersilahkan Mahesa Jenar dan Arya Salaka duduk di atas batu hitam yang beralaskan kulit kayu. Setelah itu dimintanya Jatirono meninggalkan mereka.

Anakmas… kata Panembahan Ismaya kemudian setelah menanyakan keadaan Mahesa Jenar selama tidak bertemu. Perkenankanlah aku menyampaikan suatu berita yang barangkali agak tidak kita harap-harapkan….

Panembahan Ismaya berhenti sejenak, sedang Mahesa Jenar dengan penuh perhatian mendengarkan setiap patah kata yang meluncur dari mulut orang tua itu. Tetapi meskipun Panembahan Ismaya belum menyampaikan berita apakah yang tidak menyenangkan itu, namun Mahesa Jenar sudah dapat meraba bahwa yang dimaksudkan pasti adanya beberapa perkemahan yang mengelilingi bukit itu. Dan ternyata apa yang dirabanya itu benar.

Di sekeliling bukit ini… Panembahan itu meneruskan, Ada beberapa orang yang membangun perkemahan. Barangkali hal itu telah dapat Anakmas lihat pula.

Benar Bapa Panembahan, jawab Mahesa Jenar. Aku telah melihat perkemahan itu, yang seolah-olah berusaha mengepung bukit kecil ini.

Panembahan Ismaya menarik nafas. Kemudian katanya pula, Tak ada diantara kita yang mengetahui apakah maksud orang-orang yang telah melakukan itu. Dan karena itulah maka aku ingin minta tolong kepada Anakmas.

Sampai sekian Panembahan tua itu berhenti pula.

CERITA BERSAMBUNG = 28 NOVEMBER 1999
NAGASASRA dan SABUK INTEN
Karya SH Mintarja
284

MENDENGAR permintaan itu, tentu saja Mahesa Jenar tidak akan menolaknya. Maka jawabnya, Bapa Panembahan, aku akan selalu bersedia untuk melakukan apapun yang mungkin. Apalagi apabila ada hubungannya dengan kemah-kemah yang memang sangat menarik hati itu.

Benar Anakmas, sambung Panembahan, Memang aku bermaksud untuk mengetahui siapakah yang telah membangun perkemahan itu. Aku kira mereka mempunyai maksud-maksud yang tidak dapat mereka katakan secara berterus terang. Sebab apabila demikian, maka mereka pasti tidak akan melakukannya. Kalau persoalan mereka dapat dilakukan dengan baik pastilah mereka akan langsung menaiki bukit ini.

Lalu apakah yang harus aku lakukan Bapa…? tanya Mahesa Jenar.

Anakmas… jawab Panembahan itu, Nanti apabila hari telah larut, aku ingin melihat perkemahan itu. Sudikah Anakmas mengantarkan aku?

Mendengar permintaan itu Mahesa Jenar terkejut. Panembahan Ismaya sendiri akan pergi melihat perkemahan dari orang-orang yang sama sekali belum dikenalnya. Karena itu segera ia menjawab, Bapa Panembahan. Sebenarnya tidaklah perlu Bapa Panembahan sendiri pergi untuk menyaksikan kemah-kemah itu. Biarlah aku dan Arya saja yang melakukan. Sedang hasilnya akan aku laporkan kepada Panembahan.

Panembahan Ismaya tersenyum mendengar jawaban Mahesa Jenar. Maka katanya, Hal itu tak dapat aku benarkan Anakmas. Anakmas adalah tamu di bukit ini. Bukankah tidak semestinya kalau aku sebagai tuan rumah membebankan suatu pekerjaan kepada tamunya melulu, sedang tuan rumah sendiri akan berpangku tangan.

Panembahan… sela Mahesa Jenar, Kalau demikian, bukankah Panembahan dapat menunjuk salah seorang cantrik pergi bersama kami?

Panembahan Ismaya menggelengkan kepala. Katanya, Itupun tidak mungkin. Para cantrik adalah anak-anak yang keselamatannya ada di dalam tanggungjawabku. Aku masih belum tahu, apakah pekerjaan yang akan kita lakukan itu berbahaya atau tidak. Karena itu aku tidak dapat menugaskan orang lain dalam hal ini. Kalau aku berani minta kepada Anakmas, adalah karena aku yakin bahwa Anakmas memiliki kemampuan melampaui manusia biasa. Terus terang saja, bahwa Anakmas mungkin akan dapat melindungi diriku apabila ada hal-hal yang sangat tidak menyenangkan, meskipun seharusnya aku percaya bahwa keselamatan seseorang sangat tergantung kepada garis yang telah digoreskan oleh Yang Maha Kuasa. Dan bukan pula seharusnya aku menaruh curiga kepada hal-hal yang belum pasti.

Hati Mahesa Jenar tergerak mendengar kata-kata itu. Meskipun Panembahan Ismaya itu telah sedemikian lanjut, namun sebagai seorang yang memegang pimpinan dalam bidangnya, ia sangat melindungi orang-orangnya. Karena itu, Mahesa Jenar merasa bahwa apabila ia terpaksa menolak, pasti akan menyinggung perasaan orang tua itu.

Maka yang dapat dikatakan hanyalah, Panembahan, kalau demikian maka aku tidak dapat berbuat lain dari pada memenuhi permintaan Bapa.
Nah, kalau demikian akan senanglah hatiku. Meskipun aku merasa bahwa di dalam hati Anakmas pasti mentertawakan aku, seorang yang menamakan dirinya Panembahan, namun masih mencemaskan keselamatannya.

Mahesa Jenar tidak menjawab, kecuali menunddukkan kepalanya. Sebenarnya ia agak tidak sependapat dengan pernyataan Panembahan Ismaya itu.

Sebagai seorang prajurit, ia membenarkan pada setiap usaha untuk keselamatan diri maupun pasukannya. Hal itu sama sekali bukanlah sesuatu yang perlu disesalkan. Tetapi disamping itu ia mencoba untuk memahami pula alam pikiran Panembahan Ismayaa yang tidak mementingkan persoalan lahiriah.

Maka ketika malam telah larut, Panembahan tua itu kemudian berkemas-kemas untuk turun dari bukit Karang Tumaritis. Orang tua itu sengaja melepaskan jubah putihnya, dan menggantinya dengan kain hitam supaya tidak jelas terlihat di dalam gelapnya malam.

Ketika itu di langit bertaburan jutaan bintang yang berkedip-kedip dengan cemerlangnya. Angin pegunungan yang silir, perlahan-lahan mengusap tubuh mereka yang dengan sangat hati-hati menuruni tebing-tebing bukit Karang Tumaritis.

Mereka, Panembahan Ismaya, Mahesa Jenar dan Arya Salaka, tidak melewati jalan-jalan yang biasa, tetapi mereka menempuh arah yang lain. Sebenarnya Mahesa Jenar sama sekali tak sampai hati melihat Panembahan Ismaya, pada malam yang gelap itu, tertatih-tatih dengan tongkatnya menuruni lambung bukit yang agak sulit itu. Namun kemauan orang itu sama sekali sudah tak dapat diubahnya. Bagi Mahesa Jenar, tebing itu sama sekali tak berarti apa-apa. Juga bagi Arya Salaka. Tetapi lainlah Panembahan Ismaya yang telah lanjut usia.

Karena itulah maka perjalanan mereka sangat perlahan-lahan. Seolah-olah mereka sama sekali tidak maju-maju dari satu titik. Kadang-kadang apabila tebing itu agak terlalu terjal, Mahesa Jenar dan Arya Salaka bersama-sama menolong Panembahan Ismaya, supaya tidak jatuh terperosok. Meskipun demikian, ketika bintang Gubug Penceng telah melampaui garis tegaknya, mereka bertiga telah sampai dikaki bukit kecil itu. Nafas Panembahan tua itu terdengar agak terlalu cepat karena kelelahan. Namun demikian sambil tersenyum ia berkata, Anakmas, bukankah aku mempunyai bakat untuk menjadi prajurit?

Mahesa Jenar tertawa lirih, lalu sahutnya, Kalau Panembahan masih semuda aku ini, barangkali Panembahan jauh lebih kuat daripadaku.

Mendengar jawaban Mahesa Jenar, Panembahan Ismaya tertawa terkekeh-kekeh, sehingga tubuhnya terguncang-guncang. Karena itulah Mahesa Jenar kemudian menjadi cemas, jangan-jangan suara itu didengar oleh orang-orang yang berada di dalam perkemahan yang sudah tidak begitu jauh lagi, sedangkan untuk menegurnya Mahesa Jenar agak segan.

CERITA BERSAMBUNG = 29 NOVEMBER 1999
NAGASASRA dan SABUK INTEN
Karya SH Mintarja
285

PANEMBAHAN Ismaya kemudian sadar dengan sendirinya. Katanya berbisik-bisik, Celaka…. Apakah mereka mendengar suaraku…?

Setelah mereka berdiam diri beberapa saat, ternyata mereka tak mendengar suara apapun. Maka legalah hati mereka, karena ternyata suara Panembahan Ismaya itu tak terdengar oleh orang-orang di dalam kemah-kemah di seberang padang ilalang.

Panembahan… kata Mahesa Jenar kemudian, Aku persilahkan Panembahan menunggu di sini. Biarlah aku mendekati salah satu dari perkemahan mereka yang terdekat itu.

Uh..! keluh Panembahan Ismaya, Aku sudah sampai di sini. Apakah salahnya kalau aku ikut serta.

Sebenarnya Mahesa Jenar agak cemas membiarkan Panembahan Ismaya mendekati perkemahan itu. Mereka masih belum tahu siapakah yang berada di dalamnya. Kalau mereka terdiri dari orang-orang yang cukup berilmu maka kedatangan mereka pasti akan ketahuan, sebab Panembahan Ismaya agaknya kurang dapat mengendalikan geraknya sebagai dirinya atau Arya Salaka, yang sudah biasa berlatih diri. Tetapi ia tidak dapat mengutarakan pikirannya itu berterus terang. Sehingga akhirnya ia terpaksa berkesimpulan, bahwa ia harus benar-benar melindungi Panembahan itu atas segala sesuatu yang mungkin terjadi.

Karena itu, maka kemudian mereka bersama-sama dengan hati-hati sekali mendekati kemah yang terdekat di depan mereka. Adalah suatu kebetulan bahwa kemah yang mereka pilih adalah kemah yang agak lebih besar dari kemah-kemah yang lain. Dengan sangat perlahan-lahan Mahesa Jenar merangkak paling depan menguakkan batang-batang ilalang dan kadang-kadang gerumbul-gerumbul kecil di garis perjalanannya. Di belakangnya merangkak pula Panembahan Ismaya, dan di belakang sekali Arya Salaka, yang kadang-kadang terpaksa tersenyum geli melihat orang tua di depannya.

Ketika jarak kemah itu sudah tidak begitu jauh, Mahesa Jenar sudah mulai mencium bau asap. Agaknya orang-orang itu sedang menghangatkan dirinya di tepi perapian. Karenanya Mahesa Jenar harus bertambah hati-hati. Ia berusaha bahwa setiap geraknya tidak menimbulkan suara. Baginya hal yang demikian itu tidak begitu sulit, namun tidaklah demikian bagi Panembahan Ismaya.

Untunglah bahwa sampai sedemikian jauh, kedatangan mereka masih belum diketahui.

Ketika sekali lagi Mahesa Jenar menguak batang-batang ilalang, maka tiba-tiba ia surut selangkah. Di depannya tampak dua tiga orang sedang duduk mengelilingi api yang sudah hampir padam. Meskipun perlahan-lahan namun percakapan mereka dapat didengar oleh Mahesa Jenar dengan jelas.

Dengan gerak Mahesa Jenar memberi tanda kepada Panembahan tua itu agar berhenti dan berhati-hati. Panembahan Ismaya agaknya mengetahui pula. Karena itu segera ia berhenti dan duduk bersila. Ia tampaknya sudah demikian lelah.

Mahesa Jenar pun segera duduk di sampingnya, dan agak ke dalam tampak Arya Salaka duduk sambil memeluk lututnya. Di situ mereka merasa aman terlindung oleh batang-batang ilalang yang cukup tinggi dan padat. Sedangkan dari tempat itu pula mereka dapat mendengar setiap pembicaraan dari ketiga orang yang sedang menghangatkan tubuhnya itu.

Untuk beberapa lama pembicaraan orang-orang itu sama sekali tidak menyangkut kepentingan mereka berkemah di situ. Mereka hanya membicarakan diri mereka masing-masing. Mereka saling menyombongkan diri tentang kecakapan mereka berburu, berolah senjata dan jumlah orang yang telah pernah mereka bunuh.

Meskipun demikian dari percakapan itu Mahesa Jenar dapat menerka bahwa rombongan itu bukanlah rombongan orang baik-baik. Rombongan itu pasti termasuk dalam golongan para penjahat, bahkan bukan penjahat-penjahat kecil, tetapi mereka termasuk dalam gerombolan yang cukup besar.

Mula-mula Mahesa Jenar hampir menganggap bahwa para penjahat itu hanya melulu menginginkan kekayaan yang mereka sangka banyak terdapat di puncak bukit kecil itu. Kalau demikian halnya maka soalnya akan menjadi sederhana dan mudah.

Arya Salaka sendiri mungkin akan sudah cukup untuk dapat menakut-nakuti mereka. Tetapi tiba-tiba Mahesa Jenar terperanjat oleh percakapan berikutnya. Ketika salah seorang dari mereka menguap dan berdiri akan meninggalkan perapian itu, berkatalah ia, Hati-hatilah kawan. Jangan sampai orang itu lolos. Aku akan tidur sebentar. Kalau lurah kita nanti kehilangan orang itu, mungkin kepala kalian yang akan menjadi gantinya. Ingat, jangan coba menyelesaikan sendiri. Pukul kentongan kalau kau lihat dia. Sebab baginya kau tidak lebih dari seekor tikus tak berarti.

Orang yang masih duduk di tepi perapian yang sudah hampir padam itu tertawa tinggi. Lalu jawabnya, Macam apakah orang itu, yang menganggap kita seekor tikus? Justru karena itu aku ingin melihat orangnya. Kalau ia kuat mengayunkan penggadaku ini dengan sebelah tangan seperti yang aku lakukan, aku akan menyembahnya tujuh kali.

Orang yang berdiri itulah kemudian yang tertawa nyaring. Katanya, Aku akan berdoa mudah-mudahan permintaanmu itu dapat terkabul. Setelah itu ia melangkah pergi memasuki kemah yang agak lebih besar dari kemah-kemah yang lain.

286

DUA orang yang masih duduk itu menggerutu tak habis-habisnya. Salah seorang darinya berkata, Aku kagumi ketangkasan Kakang Sakayon. Sayang hatinya terlalu kecil.

Mendengar kata-kata itu hati Mahesa Jenar berdesir hebat. Ia ingat dengan jelas bahwa orang yang bernama Sakayon adalah salah seorang dari kepercayaan Sima Rodra di Gunung Tidar. Kalau demikian maka orang-orang yang mengepung bukit itu pasti gerombolan Sima Rodra. Mendapat pikiran itu ia menjadi berdebar-debar.

Cepat ia menghubungkannya dengan peristiwa yang baru saja lampau, dimana Sima Rodra telah terbunuh olehnya di padukuhan Gedangan. Maka pikirannya bekerja dengan cepatnya. Yang dihadapi itu hanyalah anak buah gerombolan yang telah diketahui kekuatannya. Karena itu, apakah tidak lebih baik kalau gerombolan itu segera dihancurkannya sama sekali?

Panembahan Ismaya yang melihat kegelisahan Mahesa Jenar berbisik perlahan-lahan, Apakah yang telah Anakmas ketahui tentang percakapan mereka?

Panembahan… jawab Mahesa Jenar berbisik pula, Mereka adalah gerombolan Sima Rodra dari Gunung Tidar. Aku telah mengenal salah seorang diantara mereka. Dan aku mendapat pikiran untuk menghancurkan mereka sekaligus sekarang juga, kemah demi kemah tanpa mereka ketahui. Sebab benar-benar mereka tidak lebih daripada tikus-tikus yang sangat rakus.

Tiba-tiba Panembahan itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Wajahnya menjadi cemas. Katanya tergagap perlahan-lahan, Jangan anakmas, jangan dipakai kekerasan.

Mendengar kata-kata Panembahan Ismaya, Mahesa Jenar menjadi bingung. Bagaimana mungkin menghadapi gerombolan Sima Rodra itu tanpa kekerasan. Karena itu untuk beberapa saat ia menjadi kebingungan dan tidak tahu apa yang akan dikatakan. Dan karena Mahesa Jenar berdiam diri, Panembahan Ismaya meneruskan, Anakmas, bukankah dengan demikian akan terjadi pertempuran?

Hampir tidak sadar Mahesa Jenar berkata, Ya Panembahan, pertempuran dan pertumpahan darah.

O ngger…, aku akan mati ketakutan melihat pertempuran. Maksudku semata-mata hanyalah untuk mengetahui apakah maksud mereka mengepung bukit ini. Setelah itu biarlah aku selesaikan kemudian. Dengan mengetahui maksud itu, bukankah aku telah mempunyai ancang-ancang untuk berbicara dengan mereka?

Mahesa Jenar menjadi bertambah bingung. Meskipun ia dapat mengerti jalan pikiran Panembahan itu, namun sebenarnya ia sangat keberatan untuk melepaskan kesempatan ini.

Orang-orang dari gerombolan hitam yang dalam keadaan terpisah-pisah seperti itu, akan dengan mudahnya untuk digilas, seperti membunuh cacing. Ia dapat memasuki kemah demi kemah dan membinasakan isinya sebelum mereka sempat membunyikan tanda apapun. Kemudian ia akan menghadapi pimpinan mereka, istri Sima Rodra yang pasti akan dapat dibinasakannya pula.

Tetapi Panembahan Ismaya itu melarangnya untuk berbuat demikian.
Dalam kebingungan itu terdengar kembali Panembahan Ismaya berbisik, Anakmas, kita telah berhasil mengetahui maksud kedatangan mereka. Marilah kita kembali dan mempertimbangkan apa yang baik aku lakukan untuk menyelesaikan masalah ini.

Hati Mahesa Jenar bergolak hebat. Karena itu ia masih duduk diam tak bergerak.

Kalau Mahesa Jenar tidak dapat mengerti apa yang akan dilakukan, apalagi Arya Salaka. Meskipun ia berdiam diri, namun tubuhnya telah basah oleh keringat dingin. Bahkan terdengar giginya gemeretak menahan hati.

Melihat gelagat itu, maka Panembahan Ismaya menjadi bertambah cemas. Apalagi ketika ia mendengar Arya Salaka berdesis dengan suara yang gemetar.

Cucu Arya Salaka… bisik Panembahan Ismaya, Apakah rencanaku itu tidak dapat cucu mengerti?

Eyang Panembahan… jawab Arya Salaka memaksa diri untuk berkata, Apakah salahnya kalau sekarang juga aku bertindak. Menurut Paman Mahesa Jenar, darma seorang lelaki adalah termasuk menumpas kejahatan. Bukankah saat ini kesempatan itu ada…?

Kau betul cucu, kau betul. Dan pamanmu Mahesa Jenar pun betul pula. Tetapi adakah untuk menumpas kejahatan harus dilakukan dengan membinasakan mereka?

Bapa Panembahan… Mahesa Jenar menyahut, Setiap sisa dari kejahatan akan dapat menjadi benih pada masa yang akan datang.

Kau juga benar Anakmas, kau juga benar, jawab Panembahan Ismaya, nafasnya menjadi semakin memburu. Tetapi membunuh sebatang pohon tidak harus memotong dahan-dahan serta cabang-cabang saja. Yang penting akarnyalah yang harus dibinasakan.

Akan sampai juga saatnya kelak, potong Arya Salaka.

Cucu… sahut Panembahan Ismaya semakin bingung. Tetapi dari mulutnya meluncur kata-kata yang menunjukkan kedalaman tanggapannya atas keadaan yang dihadapinya.

Kalau kau mulai dengan orang-orang yang menurut pamanmu tidak lebih daripada tikus-tikus yang rakus itu, cucu, maka kau tidak akan menemukan rajanya. Atau kau akan diterkamnya tanpa sepengetahuanmu.

Mendengar kata-kata Panembahan tua itu, Mahesa Jenar menekan dadanya. Ia menjadi seperti orang yang tersadar dari sebuah angan-angan yang dahsyat. Gamblanglah baginya apa yang dikatakan oleh Panembahan Ismaya itu. Ternyata meskipun orang tua itu tidak cukup pengalaman dalam dunia keprajuritan, namun pandangannya yang jauh ternyata sangat bermanfaat.

Tetapi agaknya Arya Salaka sama sekali tidak dapat mengerti pikiran Panembahan Ismaya. Karena itu ia menjawab, Sekarang atau nanti, soalnya sudah jelas. Baik setiap anggota gerombolan itu atau setiap orang yang memegang pimpinan, harus kita binasakan. Apakah bedanya?

Arya… potong Mahesa Jenar dengan tenang, Biarlah kita urungkan niat kita. Biarlah kita dapat menangkap orang yang kita kehendaki tanpa korban yang terlalu banyak.

CERITA BERSAMBUNG = 01 desEMBER 1999
NAGASASRA dan SABUK INTEN
Karya SH Mintarja
287

MENDENGAR pendapat Mahesa Jenar, Arya Salaka terkejut bukan buatan. Ia sama sekali tidak mengira bahwa gurunya akan menjadi sedemikian lunak menghadapi gerombolan hitam yang memuakkan itu. Karena itu wajahnya jadi merah. Jawabnya, Guru… ijinkanlah aku bertindak atas namaku sendiri. Bukankah mereka telah bekerja sama dengan Paman Lembu Sora untuk mencelakakan ayahku…?

Sekali lagi Mahesa Jenar menekan dadanya. Ia dapat merasakan perasaan anak itu. Tetapi ia dapat pula merasakan betapa bijaksananya Panembahan Ismaya dengan pendapatnya. Maka dengan penuh kesabaran seorang guru terhadap murid yang dikasihinya, Mahesa Jenar berkata, Arya Salaka, kalau ada orang yang benci kepada golongan hitam, akulah orangnya yang akan berdiri di baris terdepan. Namun demikian, ada beberapa pertimbangan yang harus kita perhatikan.

Paman… potong Arya Salaka, Haruskah kita menunggu agar mereka menjadi bertambah kuat dan bersiaga dahulu…? Ataukah kita menunggu sampai mereka menggantung aku tinggi-tinggi di pohon beringin tua itu…?

O cucu, jangan sebut-sebut peristiwa-peristiwa yang mengerikan itu, sahut Panembahan Ismaya.

Tetapi hal itu bisa terjadi, Eyang, jawab Arya. Mula-mula ayahkulah yang menjadi korban, kemudian apa yang terjadi atas Paman Sawungrana menambah penjelasan. Dan apakah yang sudah mereka lakukan terhadap orang-orang Banyubiru dan Pamingit?

Arya… potong Mahesa Jenar, Biarlah aku selesaikan penjelasanku dahulu. Kita harus mempunyai beberapa pertimbangan. Pertama kita harus menghormati Bapa Panembahan sebagai tuan rumah. Kedua, kita tidak mau kehilangan pemimpin mereka. Kalau orang-orang itu telah kita binasakan, maka pimpinan mereka tidak akan menginjakkan kakinya di daerah ini. Dengan demikian pekerjaan kita akan bertambah sulit.

Kalau demikian biarlah kita tinggalkan padepokan ini, supaya kita tidak terikat lagi pada sopan santun. Setelah itu kita bebas untuk bertindak atas orang-orang dari gerombolan hitam itu, jawab Arya.

Sehabis ucapannya itu, tiba-tiba Arya sudah mulai bergerak untuk meninggalkan tempat itu.Melihat hal itu Mahesa Jenar terkejut sekali. Karena itu segera ia mencegahnya.

Arya, apa yang akan kau lakukan? Ingat aku adalah gurumu. Dan aku telah mengasuhmu sampai ketingkatan ini.

Mendengar suara gurunya yang sudah mulai keras itu Arya menjadi tergetar hatinya. Rupa-rupanya gurunya benar-benar mempunyai pendapat yang lain dari pendapatnya terhadap orang-orang dari gerombolan hitam yang tinggal memijat hancur itu.

Dalam pada itu, tiba-tiba lembah di kaki bukit Karang Tumaritis itu tergetar oleh suara tertawa yang tinggi nyaring. Suara itu jelas suara perempuan. Hati mereka yang sedang bersembunyi di dalam semak-semak itu tiba-tiba menjadi bergetaran dan berdebar-debar.

Mahesa Jenar dan Arya Salaka sama sekali tidak melupakan bahwa suara itu adalah suara Istri Sima Rodra dari Gunung Tidar. Suara itu kemudian disahut oleh suatu suara yang tenang berat, meskipun terdengar kurang menyenangkan. Sambil tertawa pendek terdengar laki-laki itu berkata, Seharusnya kau sedikit memelihara kecantikanmu daripada terus-menerus merendam kuku-kukumu itu di dalam racun. Dengan begitu aku tidak akan terlalu ngeri memandangmu.

Sekali lagi terdengar tertawa iblis betina itu, bahkan semakin dekat. Dan ketika sekali lagi terdengar suara laki-laki yang bersamanya, dada Mahesa Jenar bergoncang keras. Suara itu adalah suara berdesis dari Ular Laut Nusakambangan.

Jangan coba merayu aku, katanya, Kecuali kalau kau benar-benar dapat menangkap gadis yang kau sebut-sebut anak bekas suamimu yang terbunuh itu. Dengan demikian kau berdua akan aku ambil sekaligus sebagai isteri-isteriku.

Kau benar-benar serigala, jawab istri Sima Rodra, Tetapi apakah kau tidak takut kepada Pandan Alas?

Itu urusanmu. Kau boleh minta pertolongan ayahmu, Sima Rodra tua dari Lodaya, dan barangkali juga Paman Bugel Kaliki akan bersedia pula membantu.

Kenapa urusanku? tanya Istri Sima Rodra.
Banyak sebabnya, jawab Jaka Soka yang berwajah tampan itu. Pertama, Sima Rodra adalah ayahmu. Karena itu permintaanmu akan mendapat perhatiannya. Kedua, Bugel Kaliki adalah sahabat ayahmu itu. Dan ketiga, kau yang minta aku mengawinimu.

He… potong Istri Sima Rodra terkejut. Siapa bilang aku minta kau mengawini aku?

Lalu apa maksudmu menyeret aku kemari serta segala macam tingkah lakumu yang aneh-aneh itu? tanya Jaka Soka keheran-heranan.

Sekali lagi tertawa nyaring yang mengerikan itu meluncur dari mulut harimau betina liar Gunung Tidar itu. Jawabnya, Soka… kau benar-benar telah berubah menjadi seorang yang alim. Coba katakan kepadaku, pernahkah kau mengawini segenap perempuan yang kau kumpulkan di Nusakambangan? Sekarang kau tak usah berpura-pura. Aku juga tidak. Kita tidak usah mengikat diri dengan cara apapun. Sebab itu hanya akan menertawakan orang dan mengurangi kemerdekaan kita masing-masing.

Gila! gerutu Jaka Soka. Ternyata kau jauh lebih liar dari dugaanku. Tetapi bagaimanapun juga bentuk hubungan kita, namun syaratku tetap. Kau harus membawa gadis itu kepadaku. Terserah cara yang akan kau tempuh.
Kau terlalu menyakitkan hatiku, tetapi aku tidak akan marah kepadamu. Jangan takut, gadis itu akan kutangkap dan akan kujadikan umpan untuk memancingmu.

Lalu suara itu disusul oleh suara tawa dengan nada tinggi yang sangat menyakitkan telinga, yang semakin lama semakin menjauh dan ternyata kemudian memasuki kemah yang agak lebih besar dari kemah-kemah yang lain.

CERITA BERSAMBUNG = 02 desEMBER 1999
NAGASASRA dan SABUK INTEN
Karya SH Mintarja
288

MENDENGAR percakapan itu hati Mahesa Jenar seperti tertusuk sembilu. Ketika ia menoleh kearah Panembahan Ismaya, orang tua itu menggigil seperti orang kedinginan. Terdengarlah suaranya yang lemah gemetar, Ya ampun, ada juga manusia-manusia semacam itu di dunia ini.

Itulah pimpinan mereka, sahut Mahesa Jenar. Adakah Panembahan merasa bahwa orang-orang semacam itu dapat diajak berbicara?

Panembahan Ismaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab pertanyaan itu. Malahan ia bertanya tentang hal yang lain.

Katanya, Anakmas, pernahkah kau mendengar nama-nama yang disebut-sebut tadi? Pandan Alas, Sima Rodra tua dan Bugel Kaliki?

Sekali lagi Mahesa Jenar terasa seperti terbangunkan dari sebuah angan-angan yang hebat. Kalau orang-orang itu, Sima Rodra dan Bugel Kaliki, berada di tempat ini pula, maka akibatnya akan hebat sekali. Apakah yang dapat dilakukan terhadap kedua tokoh itu?

Bagaimanapun juga Mahesa Jenar bukan orang yang dengan mudahnya dapat ditelan oleh perasaan saja tanpa pertimbangan-pertimbangan dan perhitungan, sebagaimana harus dilakukan oleh seorang prajurit.

Bapa Panembahan… jawabnya, Orang-orang itu adalah orang-orang yang dahsyat, yang memiliki kesaktian luar biasa. Mereka seolah-olah mampu berbuat sesuatu diluar kemampuan manusia biasa.

Orang tua itu menjadi semakin cemas mendengar keterangan Mahesa Jenar.

Adakah orang-orang itu di tempat ini pula? sambungnya.

Mahesa Jenar menggelengkan kepala.

Entahlah, jawabnya.

Tetapi sesaat kemudian percakapan mereka terhenti oleh suatu suara, He, kau lihat tadi lurah kita?

Kemudian terdengar jawaban, yang ternyata adalah laki-laki yang sedang menghangatkan tubuh perapian yang hampir padam. Ya, aku lihat Nyi Lurah bersama-sama dengan Ular Laut yang sombong itu masuk ke dalam kemah. Apakah ada suatu keperluan?

Ya! jawab orang yang pertama. Sima Rodra tua ingin menemuinya.

Kata-kata yang diucapkan itu, telah cukup menggetarkan dada Mahesa Jenar. Sadarlah ia sekarang bahwa ia berhadapan dengan satu gerombolan lengkap dari Gunung Tidar yang di belakangnya berdiri orang-orang semacam Sima Rodra tua yang dahsyat itu.

Apalagi ketika laki-laki itu meneruskan, Katakan kepadanya bahwa ayahnya dan tamunya, si bongkok dari Lembah Gunung Cerme sudah menunggu.
Kemudian sepi kembali. Yang terdengar hanyalah langkah-langkah mereka yang sesaat kemudian telah lenyap ditelan sepi malam.

Di langit, bintang-bintang masih bermain dengan riangnya. Sekali-sekali selembar awan putih lewat di depan wajah langit yang biru tua, dihanyutkan oleh angin yang berhembus perlahan-lahan. Dingin malam yang dibasahi oleh tetesan embun terasa menyusup sampai ke tulang.

Sesaat Mahesa Jenar terkenang pada pertemuan golongan hitam beberapa tahun yang lampau, ketika ia berlima, dengan Gajah Alit, Paningron, Mantingan dan Wiraraga, terlibat dalam suatu pertempuran melawan Sima Rodra tua itu bersama Pasingsingan. Pada saat itu Sima Rodra dan Pasingsingan bertempur berdua hanya karena mereka bersama-sama ingin membunuh, bukan karena mereka terpaksa menggabungkan kekuatan mereka.

Sekarang, bukit kecil ini telah dikepung rapat oleh sejumlah laskar gerombolan hitam yang terkenal, ditambah lagi dengan kehadiran Sima Rodra dan Bugel Kaliki, disamping istri Sima Rodra muda dan Jaka Soka. Gabungan kekuatan mereka akan merupakan suatu tenaga dahsyat yang tak terbayangkan.

Disamping itu, ia merasa berterima kasih pula kepada Panembahan Ismaya, yang telah melarangnya bertindak, meskipun itu disebabkan oleh ketakutannya melihat kekerasan. Namun dengan demikian tanpa disengaja Panembahan tua itu telah menyelamatkannya beserta muridnya.

Sebentar kemudian kembali terdengar suara Istri Sima Rodra muda yang agaknya telah keluar dari kemahnya. Sakayon… katanya, Kau harus menjaga supaya orang itu tidak dapat lolos.

Baik Nyi Lurah, jawab Sakayon.

Aku akan tinggal di sini, sela suara yang lain, yang ternyata suara Jaka Soka.

Kalau ia akan mencoba menerobos, akulah yang akan membinasakan.

Kau benar, jawab Jaka Soka. Tetapi aku akan membunuhnya beramai-ramai. Bukankah di sini ada Sakayon dan kawan-kawannya…? Setidak-tidaknya aku akan dapat mencegahnya sampai ayahmu datang untuk membinasakannya.

Sekali lagi Harimau betina itu tertawa, sahutnya, Ternyata kau jujur menghadapi lawanmu. Tetapi jangan mimpi ayahku akan membinasakannya.

Kenapa? potong Jaka Soka.

Istri Sima Rodra muda itu tertawa lebih mengerikan lagi. Jawabnya sangat mengejutkan, Aku minta ayah menangkapnya hidup-hidup. Sayang, ia terlalu tampan untuk dibunuh.

Gila kau! bentak Jaka Soka. Dan bersamaan dengan itu dada Mahesa Jenar serasa akan pecah. Tubuhnya menggigil menahan kemuakan hatinya.

Hampir ia kehilangan pengamatan diri, kalau ia tidak mendengar Panembahan tua itu berdesis, Adakah Sima Rodra ayah perempuan itu?

Mahesa Jenar mengangguk, tetapi giginya gemeretak. Sementara itu terdengar suara perempuan itu semakin memuakkan, Jangan cemburu Soka. Aku juga tidak cemburu ketika kau ajukan syarat untuk menangkap gadis anak tiriku itu. Dan jangan kira aku tidak tahu, bahwa aku akan kau jadikan alat saja, dan sesudah itu akan kaulempar jauh-jauh. Tetapi kau tidak dapat melakukan itu. Ayahku akan mencekikmu bersama-sama dengan Pandan Alas. Kecuali kalau itu atas kehendakku.

Gila kau. Pergilah, pergilah ke ayahmu. Aku tidak mempedulikan apa yang akan kau lakukan. Tetapi ingat, sementara kau perlukan aku, syarat itu harus kau penuhi, jawab Jaka Soka.

CERITA BERSAMBUNG = 03 desEMBER 1999
NAGASASRA dan SABUK INTEN
Karya SH Mintarja
289

TERDENGAR kembali suara tertawa iblis betina itu, semakin lama semakin jauh dan kemudian hilang di kejauhan.

Pertunjukan yang dahsyat dan memuakkan itu telah berakhir.

Namun Panembahan tua itu masih menggigil, sedang dada Mahesa Jenar dan Arya Salaka serasa sesak oleh kemarahan dan kemuakan yang meluap-luap.
Anakmas… bisik Panembahan Ismaya, Sungguh mengerikan.

Panembahan… jawab Mahesa Jenar, Aku kira lebih baik Panembahan kembali ke padepokan. Agaknya disini terlalu berbahaya bagi Bapa.

O, ngger, sahut Panembahan itu, Aku tidak dapat berjalan sendiri. Tubuhku tiba-tiba jadi lemas seperti segenap otot bayuku dilolosi. Karena itu sudilah angger berdua menuntunku mendaki bukit kecil ini.

Mahesa Jenar tak dapat menolak permintaan itu. Meskipun ia sebenarnya masih ingin mengetahui lebih banyak lagi tentang kekuatan laskar Gunung Tidar itu. Karena itu, maka perlahan-lahan mereka menggeser semakin dalam menyusup semak-semak dan batang ilalang, untuk kemudian membantu Panembahan tua itu kembali ke Padepokan diatas bukit.

Tak ada yang mereka percakapkan sepanjang jalan. Angan-angan mereka masing-masing dicengkam oleh kengerian dengan alasan yang berbeda-beda.

Dan karena itu pulalah maka Mahesa Jenar dan Arya Salaka seterusnya sama sekali tak dapat memejamkan mata sekejappun, meskipun mereka menghendaki. Pikiran mereka menjadi kalut tak karuan. Disamping itu, Mahesa Jenar pun harus berpikir pula, bagaimanakah sebaiknya ia menghadapi iblis-iblis yang berkumpul di sekitar bukit kecil itu.

Menilik persiapan mereka, maka sudah dapat dipastikan bahwa mereka akan melakukan pengepungan itu untuk waktu yang lama. Bagaimanapun juga orang-orang dari Gunung Tidar tidak mau menganggap Mahesa Jenar sebagai seorang yang tak berdaya menghadapi mereka. Lebih-lebih lagi setelah Mahesa Jenar mendengar percakapan Jaka Soka dengan Janda Sima Rodra.

Tanpa diketahuinya, bulu kuduknya meremang. Ia sama sekali tidak takut menghadapi kemungkinan yang paling berbahaya sekalipun.

Namun terhadap iblis betina itu ia merasa ngeri. Karena itulah dihabiskannya sisa malam itu dengan hati yang berdebar. Pada pagi harinya, sesaat setelah matahari terbit, datanglah Jatirono ke pondok Mahesa Jenar, untuk menyampaikan undangan Panembahan Ismaya. Mahesa Jenar merasa bahwa ada hal yang penting yang akan dibicarakan. Karena itu setelah membersihkan diri, bersama-sama dengan Arya Salaka ia pergi menghadap.

Anakmas… kata Panembahan itu kemudian, Agaknya keadaan sangat gawat bagi Anakmas. Tetapi untung lah bahwa mereka sama sekali tidak mengetahui dengan pasti bahwa Anakmas masih berada di atas bukit ini.

Aku kira tidak demikian Panembahan, jawab Mahesa Jenar. Persiapan mereka menunjukkan bahwa mereka yakin aku masih berada di sini. Hanya barangkali mereka menganggap bahwa untuk menangkap aku, mereka memerlukan waktu yang panjang. Sebab bukit ini banyak sekali relung likunya yang baik sekali untuk bersembunyi. Tetapi Bapa Panembahan, aku sama sekali tidak akan bersembunyi. Kalau mereka naik ke bukit itu, akau akan menemuinya dan apa yang terjadi terserahlah kepada kekuasaan Yang Maha Adil.

Panembahan Ismaya mengangguk-angguk.

Katanya, Angger memang seorang jantan tiada taranya. Yang tidak sisip dengan gelar yang Anakmas miliki, Rangga Tohjaya. Namun demikian anakmas, setiap usaha dibenarkan oleh Tuhan Yang Maha Agung. Juga usaha untuk menyelamatkan diri. Sebab tak ada yang dapat dicapai tanpa suatu usaha apapun.

Ucapan Panembahan tua itu mengena benar di hati Mahesa Jenar. Sebenarnya ia pun sependapat dengan pikiran itu. Bahkan menurut perhitungan, ia pun seharusnya berbuat demikian pula. Tetapi dengan demikian, Panembahan Ismaya akan mengalami akibatnya. Setidak-tidaknya bukit kecil yang telah dipeliharanya dengan baik itu, akan dibongkar oleh rombongan Gunung Tidar yang akan mencarinya.

Panembahan… jawab Mahesa Jenar, Pendapat Bapa adalah benar sama sekali. Tetapi aku tidak mau menyulitkan Panembahan karena kehadiranku di sini. Sebelum aku diketemukan, mereka pasti akan mengaduk Padepokan ini. Bahkan tidak mustahil kalau Panembahan akan mengalami hal-hal yang tidak diharapkan. Karena itu biarlah mereka menemukan diriku tanpa banyak kesulitan. Karena persoalannya adalah persoalanku, dan sama sekali tidak bersangkut paut dengan Panembahan. Karena aku menghadap kemari itulah sebabnya maka bukit kecil yang tenang dan damai itu mengalami kegoncangan. Karena itu, bahkan aku tidak akan menunggu mereka naik. Akulah yang akan berusaha, kalau mungkin menerobos kepungan mereka.

Sekali lagi Panembahan tua itu memancarkan pandangan kekaguman. Maka katanya, Sekali lagi aku menghormati kejantanan Anakmas. Namun meskipun demikian, berilah aku kesempatan berlaku sebagai tuan rumah yang baik. Aku harap Anakmas tidak menolak permintaanku, supaya aku tidak merasa bersedih. Bukankah aku yang menahan Anakmas supaya tinggal di bukit ini untuk beberapa lama? Nah, kalau demikian aku akan menunjukkan sebuah jalan, sebab menurut pendapatku, setelah aku mendengar keterangan dari Anakmas malam tadi, sulitlah untuk menerobos kepungan mereka. Meskipun aku tahu benar maksud Anakmas, bahwa dengan demikian orang-orang itu tidak lagi akan mendaki bukit ini. Dan Anakmas telah mengatakan pula, bahwa mereka tidak akan tergesa-gesa bertindak.

CERITA BERSAMBUNG = 04 desEMBER 1999
NAGASASRA dan SABUK INTEN
Karya SH Mintarja
290

ANAKMAS…, lanjut Panembahan Ismaya, Di lereng sebelah selatan bukit ini ada sebuah goa, Aku tidak tahu, siapakah yang telah membuatnya, atau barangkali hasil perbuatan alam. Goa itu ditakbiri sebuah gerumbul yang cukup besar. Di situ Anakmas dapat menyembunyikan diri dengan aman. Aku yakin bahwa tak seorangpun dapat menemukan mulut goa itu.

Mendengar keterangan Panembahan Ismaya, Mahesa Jenar menjadi terharu. Rupa-rupanya ia akan mempertanggungjawabkan segala sesuatu mengenai dirinya, hanya karena Panembahan tua itu telah menahannya untuk tetap tinggal dibukit kecil itu.

Panembahan… jawab Mahesa Jenar, Aku tidak akan dibenarkan oleh perasaanku, seandainya aku berbuat demikian. Dan adakah Panembahan telah memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi?

Sekali lagi aku minta, potong Panembahan Ismaya, Anakmas jangan membuat aku bersedih. Percayalah bahwa mereka tidak akan berbuat sesuatu atas diriku serta padepokan ini, sebab aku dapat mengingkari kedatangan Anakmas di bukit ini.

Untuk beberapa lama Mahesa Jenar bimbang, sedang Panembahan Ismaya selalu mendesak-desaknya saja.

Panembahan… akhirnya Mahesa Jenar berkata, Memang tidak sepantasnya aku menolak, tetapi bagaimanapun juga, aku ingin supaya aku tidak menyulitkan Bapa Panembahan. Karena itu apabila terjadi kesulitan atas Panembahan Ismaya, maka perkenankanlah aku bertindak atas pertimbanganku sendiri.

Baiklah Anakmas, saratmu aku terima, jawab Panembahan itu.

Setelah itu kemudian Panembahan Ismaya memerintahkan kepada cantrik-cantriknya untuk menyediakan perbekalan. Sebab Mahesa Jenar akan tinggal di dalam goa itu untuk waktu yang tidak tertentu.

Demikianlah pada hari itu Mahesa Jenar dan Arya Salaka diantar oleh seorang cantrik pergi ke goa di lereng selatan bukit kecil itu.

Setelah menyibakkan sebuah gerumbul yang cukup lebat, tampaklah di hadapan mereka sebuah mulut goa yang kecil. Seseorang hanya dapat memasukinya dengan merangkak.

Di dalam goa itulah kami biasa bermain-main, kata cantrik yang mengantarkan itu.

He…? Mahesa Jenar agak terkejut. Kalian bermain-main di dalam goa ini?

Ya, jawab Cantrik itu, Di dalam goa itu terdapat sebuah lobang yang tembus keatas. Dari situlah sinar matahari menerangi bagian dalam goa ini.
Kemanakah lubang goa ini tembus? tanya Mahesa Jenar.

Kami tidak tahu, jawab Cantrik itu, Kami belum pernah menyusurnya jauh ke dalam. Sebab diujung sebelah dalam goa itu gelap sekali.

Setelah itu maka masuklah cantrik itu ke dalam goa sambil membawa beberapa macam bekal. Setelah itu baru Mahesa Jenar dan Arya Salaka merangkak masuk. Memang sebenarnyalah di dalam goa itu, agak ke dalam, tampak sinar jatuh dari lubang di atas.

Lubang itu tidak seberapa besarnya, namun terdapat lebih dari satu lubang. Sehingga dengan demikian, beberapa berkas sinar cukup untuk menerangi sebagian dari ruangan di dalam goa itu.

Goa itu sebenarnya tidaklah seperti kebiasaan goa-goa. Lantainya licin bersih. Dan yang lebih menyenangkan lagi, di dalam goa itu terdapat sebuah bale-bale bambu. Agaknya para cantrik yang sering bermain-main di dalam goa itu telah membuatnya sebuah bale-bale di dalam.

Nah, Tuan… kata cantrik itu kemudian, Sekarang perkenankanlah aku meninggalkan Tuan-tuan. Setiap kali aku akan dapat kemari untuk menengok perbekalan Tuan.

Menurut pesan Panembahan, tempat ini harus menjadi tempat rahasia. Sebab siapa tahu orang-orang yang mengepung bukit ini telah mengirimkan orang untuk memata-matai keadaan di sekitar bukit ini. Kalau aku terlalu sering datang kemari, atau Tuan keluar dari goa ini jangan-jangan orang-orang mereka dapat melihatnya.

Pergilah, jawab Mahesa Jenar, Berilah kami kabar apabila terjadi sesuatu atas padepokan ini, lebih-lebih Bapa Panembahan.

Cantrik itu mengangguk hormat. Pesan Tuan akan kami laksanakan dengan baik, katanya.

Kemudian pergilah ia keluar lewat lubang sempit itu, dan seterusnya menyibakkan daun-daun gerumbul yang menutup lubang goa itu.

Untuk beberapa saat Mahesa Jenar dan Arya Salaka mengamat-amati dinding goa itu. Dan kemudian mereka menemukan suatu ruangan yang agak lebar dengan lubang-lubang pula di atasnya.

Arya… kata Mahesa Jenar, Kita tidak tahu berapa lama kita harus meringkuk di dalam lubang ini. Tetapi aku kira sehari dua hari ini Sima Rodra masih belum akan bertindak.

Karena itu kita mempunyai cukup waktu untuk menyusur goa ini sebelum kita mendapat kabar dari cantrik tadi.

Arya Salaka adalah seorang anak yang ingin mengetahui segalanya. Karena itu segera ia menjawab, Paman, tidakkah kita mencoba melihat setiap segi goa ini?

Marilah, jawab Mahesa Jenar.

Maka segera dengan hati-hati mereka mulai memasuki ke bagian yang lebih dalam lagi. Di beberapa bagian, lubang-lubang yang menembus ke atas masih saja terdapat. Dan sepanjang bagian yang masih mendapat penerangan itu, ternyata terdapat bekas-bekas tempat bermain para cantrik.

Di situ terdapat pula alat-alat memasak dan beberapa perlengkapan lain. Tetapi ketika kemudian mereka sampai ke bagian yang lebih gelap, hilanglah semua bekas-bekas yang menunjukkan bahwa tempat itu pernah didatangi oleh para cantrik.

Perlahan-lahan Mahesa Jenar dan Arya Salaka menyusuri lubang goa yang semakin lama menjadi semakin sempit dan gelap.

291

PADA hari yang pertama, mereka menghentikan pengamatan mereka sampai di situ. Tak ada yang istimewa di dalamnya. Kecuali di beberapa tempat terdapat tetesan-tetesan air yang jernih. Agaknya para cantrik sering menampung air yang tetes itu pula, untuk masak-memasak.

Pada hari kedua, Mahesa Jenar dan Arya Salaka kembali menyusuri lubang goa itu jauh lebih ke dalam. Karena pandangan mereka yang sudah agak biasa di dalam gelap, maka meskipun remang-remang mereka dapat melihat di dalam goa itu. Namun yang tampak hanyalah bayangan batu-batu yang menjorok tak teratur. Ada yang runcing, ada yang seperti gerigi, dan ada yang halus licin seperti digosok.

Juga pada hari kedua mereka tak mendapatkan apapun yang menarik perhatian. Dengan perasaan jemu mereka kembali ke ujung goa, dimana mereka menemukan cantrik yang mengantarkan mereka, telah berada di situ.
Ada sesuatu yang terjadi? tanya Mahesa Jenar tak sabar.

Cantrik itu menggeleng tenang. Tak ada, jawabnya.

Lalu apakah yang dilakukan oleh orang-orang laskar Gunung Tidar itu selama ini? sambung Mahesa Jenar.

Menari dan menyanyi-nyanyi seperti orang gila, jawab cantrik itu. Mereka berbuat aneh-aneh. Kami tidak melihatnya dengan jelas. Tadi malam kami mencoba mengintip mereka, meskipun kami sama sekali tak berani mendekati.

Tetapi dari jarak yang sedang, kami melihat mereka menari-nari mengelilingi perapian dengan laku yang aneh-aneh. Lebih mengherankan lagi bahwa diantara mereka terdapat pula laskar-laskar perempuan. Dan apa yang kami lihat adalah sangat mengerikan. Kami hampir tak percaya pada mata kami. Lebih-lebih lagi, perempuan yang mereka anggap pimpinan mereka, yang mendapat gelar Harimau Betina dari Gunung Tidar.

Mendengar ceritera cantrik itu, mulut Mahesa Jenar serasa terkunci. Tak sepatah katapun ia menjawab. Dadanya berdentang-dentang dengan kerasnya. Apalagi ketika ia sadar bahwa tak ada sesuatu yang dapat dilakukan. Dengan adanya Sima Rodra dari Alas Lodaya dan Bugel Kaliki, maka setiap usahanya pasti akan sia-sia. Karena itu untuk sementara ia terpaksa membiarkan segalanya terjadi sampai ia menemukan suatu cara untuk mengatasinya.

Cantrik itu tidak lama tinggal di dalam goa. Segera setelah ia menambah bekal-bekal buat Mahesa Jenar, ia minta diri. Dengan hati-hati sekali ia mengendap keluar, dan kemudian hilang dibalik semak-semak di muka mulut goa.

Ceritera cantrik itu menambah prihatin Mahesa Jenar. Ia merasa seperti orang yang sama sekali tak berarti. Alangkah bodoh dan picik pengetahuan yang dimilikinya, sehingga ia terpaksa membiarkan kemaksiatan itu berlaku di hadapannya tanpa suatu daya apapun untuk mencegahnya.

Karena kejemuannya pula, maka pada hari ketiga Mahesa Jenar dan Arya Salaka memasuki goa itu lebih dalam lagi. Batu-batu runcing bertebaran di sepanjang dindingnya.

Ketika mereka sampai di bagian lebih dalam lagi, tiba-tiba langkah mereka terhenti. Lamat-lamat mereka mendengar gemerisik halus di sekitar tempat itu.

Dengan ketajaman pancainderanya Mahesa Jenar mencoba untuk mengetahui sumber bunyi itu. Tetapi sebentar kemudian bunyi itu telah lenyap. Namun meskipun demikian Mahesa Jenar dan Arya Salaka menjadi bertambah berhati-hati.

Apalagi sesaat kemudian bunyi itu terdengar lagi. Agak lebih dekat. Sekarang jelas bagi Mahesa Jenar, bahwa bunyi itu bunyi langkah manusia. Karena itu ia menggamit Arya Salaka, dan dengan isyarat ia menyuruhnya untuk waspada. Tetapi kemudian suara itu lenyap kembali.

Kemudian Mahesa Jenar dan Arya Salaka pun tidak mau berkisar dari tempatnya. Mereka berdua perlahan-lahan sekali mendekat pada dinding goa. Untuk beberapa lama mereka bertahan di situ. Mereka menunggu setiap kemungkinan yang dapat terjadi.

Dan apa yang mereka tunggu-tunggu tiba-tiba muncullah. Di dalam gelap mereka melihat sesosok tubuh berjalan perlahan-lahan sekali dan sangat hati-hati. Tetapi agaknya ia masih belum melihat Mahesa Jenar dan Arya Salaka yang berdiri melekat dinding, meskipun barangkali orang itu telah mendengar langkah mereka, sebab ternyata orang itu berjalan mendekati mereka.

Tetapi ketika jarak mereka tinggal beberapa langkah, agaknya orang itu dapat pula melihat Mahesa Jenar dan Arya Salaka. Cepat ia menghentikan langkahnya, dan tiba-tiba ia meloncat dan berlari menjauh.

Mahesa Jenar dan Arya Salaka menjadi curiga. Karena segera mereka menyusulnya. Namun orang itu berlari terus meskipun tidak begitu cepat karena gelap. Sedang Mahesa Jenar dan Arya Salaka tidak dapat berlari cepat.

Karang-karang yang runcing terbujur lintang tak tentu arah. Meskipun demikian langkah Mahesa Jenar setidak-tidaknya dapat menyamai langkah orang yang dikejarnya, sehingga jarak mereka tidak menjadi semakin jauh.
Ketika orang itu sadar bahwa ia dikejar, maka ia pun mempercepat langkahnya. Belum sedemikian jauh ia berusaha untuk melenyapkan dirinya, masuk ke dalam sebuah lekuk. Tetapi ternyata bahwa lekuk itu hanya merupakan sebuah mulut saja dari cabang goa itu yang cukup dalam pula. Mula-mula Mahesa Jenar agak ragu. Tetapi karena keinginannya untuk mengetahui siapakah orang itu, maka segera ia mengejarnya ke dalam cabang goa itu.

Beberapa lama mereka berkejar-kejaran. Orang itu agaknya sudah amat mengenal keadaan di dalam goa sehingga dengan mudahnya ia memasuki hampir setiap lobang yang ada. Ternyata di dalam goa itu tidak saja terdapat satu dua jalur lubang, tetapi berpuluh-puluh. Karena itulah Mahesa Jenar menjadi sulit untuk mengejar orang yang sudah mengenal tempat itu dengan baik.

Akhirnya ketika ia merasa bahwa usahanya tidak akan berhasil, dan orang yang dikejarnya itu sudah tidak nampak pula, segera ia menghentikan langkahnya. Peluh dinginnya telah merembes hampir membasahi seluruh tubuhnya.

CERITA BERSAMBUNG = 06 desEMBER 1999
NAGASASRA dan SABUK INTEN
Karya SH Mintarja
292

TETAPI yang lebih mengejutkan lagi, ketika ia menoleh, Arya Salaka tidak dilihat bersamanya. Mahesa Jenar tertegun untuk beberapa saat. Namun kemudian ia sadar bahwa mungkin anak itu tidak dapat mengikuti kecepatannya.

Dalam pada itu Mahesa Jenar jadi gelisah. Gelisah karena kehadiran orang lain didalam goa itu, ditambah dengan terpisahnya Arya Salaka. Karena itu, untuk beberapa saat ia menanti. Mungkin Arya akan segera menyusulnya, atau orang yang dikejarnya itu muncul kembali. Tetapi usahanya itu sia-sia. Telah beberapa lama ia tinggal di situ, namun tak seorang pun yang nampak.
Mahesa Jenar kemudian bertambah gelisah lagi. Jangan-jangan Arya Salaka tak dapat menemukan jalan. Bukan itu saja, tetapi dirinya sendiripun menjadi kebingungan pula.

Ketika kemudian ia meninggalkan tempat itu dan berusaha kembali ke mulut goa kembali. Beberapa kali ia berputar-putar melingkar-lingkar, namun yang dicarinya tidak dapat diketemukannya. Dengan demikian ia pun yakin bahwa Arya Salakapun pasti kehilangan jalan.

Dalam kegelisahannya, kemudian Mahesa Jenar berteriak memanggil-manggil. Namun ia sama sekali tak mendengar suara Arya menyahut. Beberapa kali suaranya sendiri melingkar-lingkar dan kembali meraung-raung di dalam relung-relung goa itu. Akhirnya ia pun kelelahan sendiri. Dibantingkannya dirinya di atas sebuah batu dengan masgulnya. Disekitarnya takbir kegelapan merubunginya. Di sana-sini meremang batu-batu yang menjorok seperti bayangan-bayangan hantu yang akan menerkamnya.

Mahesa Jenar sama sekali tidak takut menghadapi keadaan sekitarnya. Tetapi ia bingung karena kehilangan muridnya. Apapun yang terjadi atasnya bukanlah soal, sedangkan Arya masih memiliki masa depan yang panjang dengan penuh harapan-harapan.

Sekali lagi ia masih mencoba memanggil Arya. Namun suaranya memercik kembali berulang-ulang. Bagi Mahesa Jenar pantulan suaranya itu terdengar seperti guruh yang memukul-mukul dadanya yang gelisah.

Tiba-tiba dalam keriuhan perasaan itu, Mahesa Jenar dikejutkan oleh suara orang tertawa. Suara itu perlahan-lahan sekali, tetapi jelas dan dekat disekitarnya. Mendengar suara itu darah Mahesa Jenar berdesir hebat. Karena itu segera ia meloncat berdiri dan bersiaga. Namun kemudian, suara itu terhenti dan tidak ada apa-apa lagi yang terdengar.

Oleh peristiwa itu hatinya menjadi bertambah gelisah. Ia mempunyai dugaan, bahwa seseorang telah sengaja memancingnya sampai ke tempat yang membingungkan ini. Dan mungkin sekaligus memisahkannya dari muridnya.
Ketika kemudian suara tertawa itu terdengar lagi, Mahesa Jenar menjadi marah bukan buatan. Dipusatkannya segenap inderanya untuk mengetahui arah suara yang mengganggunya. Mahesa Jenar adalah seorang yang terlatih baik, jasmaniah dan rohaniah. Karena itu, meskipun perlahan-lahan akhirnya ia dapat menemukan sumber suara itu. Maka perlahan-lahan sekali ia berkisar dari tempatnya, menuju ke arah suara yang menyeramkan.

Beberapa langkah kemudian ia berhenti di tikungan. Suara itu berasal dari sebuah lubang dinding cabang goa itu. Dengan hati-hati dan penuh kewaspadaan ia memasukinya dengan melekatkan tubuhnya di dinding.

Tiba-tiba hampir ia terlonjak ketika suara itu terdengar kembali hampir melekat di hidungnya. Dan bersamaan dengan itu dilihatnya sebuah bayangan bergerak-gerak di hadapannya.

Tetapi agaknya orang itu pun terkejut pula atas kehadiran Mahesa Jenar yang tiba-tiba itu. Ternyata suara tertawanya terputus, dan bayangan itu pun segera bergerak menjauh. Kali ini Mahesa Jenar tidak mau melepaskannya lagi. Ia telah kehilangan muridnya karena mengejar-ngejar bayangan itu. Maka sekarang ia harus menangkapnya untuk dipaksanya menunjukkan segala liku-liku goa untuk mencari muridnya.

Kembali terjadi kejar-mengejar di dalam goa yang gelap. Untunglah bahwa penglihatan Mahesa Jenar tajamnya melampaui mata burung hantu, sehingga meskipun agak sulit ia masih dapat terus-menerus membayangi buruannya. Tetapi seperti semula amat sulitlah untuk mendekatinya. Goa itu mempunyai beratus-ratus tikungan yang sangat membingungkan.

Hampir meledaklah dada Mahesa Jenar ketika sekali lagi ia kehilangan orang yang dikejarnya itu. Tubuhnya menggigil seperti orang kedinginan. Giginya gemeretak. Kedua tangannya mengepal tinju. Tetapi tak seorang pun yang dihadapinya.

Dalam keadaan yang serupa itu, tiba-tiba sekali lagi Mahesa Jenar terperanjat. Tidak beberapa jauh di hadapannya, ia melihat sebuah bayangan sinar yang meremang. Segera perhatiannya beralih kepada bayangan itu.

Cepat-cepat ia melangkah mendekati. Dan apa yang diketemukan adalah sebuah lubang yang agak besar. Yang lebih mendebarkan hatinya adalah, di seberang lubang itu, ia melihat cahaya yang lebih terang dari keadaan di dalam goa. Maka dengan hati-hati ia berjongkok dan mengintip keluar. Namun tak ada sesuatu yang mencurigakan.

Akhirnya Mahesa Jenar mengambil keputusan untuk memasuki lubang itu. Dengan penuh kewaspadaan akhirnya ia merangkak masuk. Tetapi alangkah terkejutnya. Ketika seluruh kepalanya telah berada diluar lubang, pertama-tama benda yang disentuhnya adalah batang ilalang. Karena itu segera seperti meloncat ia melontarkan seluruh tubuhnya.

Pada saat itulah angin senja menghembus tubuhnya dengan segarnya. Batang-batang ilalang di sekitarnya, yang tingginya melampaui tubuhnya, bergoyang-goyang ditiup angin. Di sebelah barat masih membayang warna-warna merah, tetapi matahari telah tenggelam di bawah kaki langit.

Untuk sementara Mahesa Jenar tertegun heran. Tiba-tiba saja ia telah berdiri di luar goa. Tetapi mulut goa ini bukanlah mulut goa dari mana ia masuk.
Bagaimanapun juga ia menjadi agak bimbang. Apakah sekarang yang akan dilakukan. Akhirnya ia mengambil keputusan untuk menghadap Panembahan Ismaya, sebab ia yakin bahwa ia masih berada di bukit Karang Tumaritis.

CERITA BERSAMBUNG = 07 desEMBER 1999
NAGASASRA dan SABUK INTEN
Karya SH Mintarja
293

KETIKA Mahesa Jenar mulai bergerak, kembali ia tertegun. Didengarnya agak jauh di bawah suara kuda meringkik, disusul oleh gelak tertawa dan sorak sorai yang riuh. Sekali lagi perhatiannya teralih.

Mahesa Jenar tiba-tiba ingin melihat apakah yang terjadi, dan sekaligus ia mengharap dapat memecahkan teka-tekinya sendiri, serta hilangnya Arya Salaka.

Karena itu segera ia melangkahkan kakinya dengan hati-hati ke arah suara yang ramai itu. Ketika suara itu telah semakin dekat, Mahesa Jenar mulai merangkak diantara batang-batang ilalang. Dan pada saat terakhir, ketika ia menyibakkan daun ilalang, ia melihat suatu pemandangan yang hampir membuatnya pingsan.

Yang mula-mula dilihatnya adalah perapian. Meskipun malam baru menginjak diambang pintu. Kemudian di dekat perapian itu ia melihat Janda Sima Rodra berdiri bertolak pinggang, sedang di hadapannya, di atas sebuah batu tampak Jaka Soka duduk memandang lidah api yang menjilat-jilat. Sikapnya acuh tak acuh saja kepada Harimau Betina yang buas itu.

Soka… kata Janda Sima Rodra, Syaratmu telah aku penuhi.

Bohong! jawab Jaka Soka masih acuh tak acuh.

Jangan pura-pura tidak tahu. Aku lihat pada wajah serigalamu itu suatu kerakusan yang tak tertahan-tahan lagi. Jangan begitu. Gadis itu hanya sekadar syarat. Syaratku. Jadi jelas, akulah yang penting, sahut perempuan itu.

Jaka Soka menoleh. Lalu dipandangnya orang-orang yang berada di sekitarnya. Kenapa kalian berhenti berteriak-teriak? Tetapi tak seorang pun menjawab. Karena tak seorang pun menjawab, ia melanjutkan, Teruskan, teruskan. Aku akan ikut serta.

Jawab pertanyaanku, potong Harimau Betina itu.

Bagus. Bagus kau, jawab Jaka Soka. Aku tak pernah mengingkari janji. Tetapi tunjukkan syarat itu di hadapanku. Terdengarlah tertawa iblis betina itu. Sangat mengerikan.

Kau tidak percaya kepada Sima Rodra tua dari Lodaya? Dan juga Bugel Kaliki dari Lembah Gunung Cerme?

Siapa bilang tidak percaya? sahut Jaka Soka cepat-cepat. Aku hanya minta kau tunjukkan itu kepadaku.

Bagus, jawab Janda Sima Rodra muda. Sakayon… perintahnya, Bawa bunga pandan itu kemari. Awas Soka, durinya sangat tajam.

Jaka Soka tidak menjawab. Ia hanya tersenyum saja. Senyuman yang sudah pernah dikenal oleh Mahesa Jenar sebagai senyuman Ular yang bisanya tajam bukan buatan. Dan karena senyuman itu pulalah dahulu ia mengikutinya sampai ke tengah-tengah hutan Tambak Baya, sehingga ia dapat menyelamatkan Rara Wilis. Dan sekarang, agaknya Ular Laut itu masih belum menyerah. Dengan segala cara ia agaknya berhasil memperalat Janda Sima Rodra itu untuk menangkap gadis itu.

Sebentar kemudian darah Mahesa Jenar serasa berhenti mengalir. Tiba-tiba saja dadanya bergetaran dan kepalanya menjadi pening ketika ia melihat dari dalam salah sebuah kemah, seorang yang digiring keluar dengan tangan terikat. Orang itu tidak lain adalah Pudak Wangi, yang dikenalnya dalam keadaannya sebagai seorang gadis bernama Rara Wilis.

Sampai di tepi lingkaran laskar Gunung Tidar, Pudak Wangi itu berhenti. Matanya yang merah menyala-nyala karena marahnya, beredar pada setiap wajah yang berada di lingkaran itu. Pada saat itu seorang pengawal dengan sombongnya mendorong punggung Pudak Wangi dengan kerasnya. Karena itu Pudak Wangi yang tidak bersedia, terdorong dua langkah ke depan. Tetapi setelah itu tiba-tiba ia memutar tubuhnya, dan dengan cepatnya kakinya bergerak. Malanglah nasib pengawal yang sombong itu, ketika tumit Pudak Wangi mengenai perutnya. Meskipun tendangan itu tidak terlalu keras, tetapi karena tepat mengenai arah ulu hati, maka segera orang itu jatuh tersungkur tak sadarkan diri.

Melihat peristiwa itu, dengan cepatnya Janda Sima Rodra meloncat maju, dengan marahnya. Teriaknya, Dalam keadaanmu itu kau masih berani menyombongkan diri di hadapanku? Tetapi sebelum Harimau Betina itu dengan kuku-kukunya menyobek wajah Pudak Wangi, terdengar tertawa yang rendah memuakkan. Dan terdengarlah Jaka Soka berkata, Kau benar-benar seorang pemarah. Kalau syarat yang kau bawa itu kau rusakkan, batallah perjanjian kita.

Langkah Janda Sima Rodra muda terhenti. Setelah merenung sejenak ia menjawab, Ular Laut, kau benar-benar membuat aku gila dan berbuat hal-hal yang sangat bertentangan dengan kehendakku. Tetapi biarlah. Akan aku serahkan umpan ini dengan utuh kepadamu.

Sekali lagi terdengar Jaka Soka tertawa pendek. Matanya yang redup tetapi memancarkan sinar yang mengerikan memandangi Pudak Wangi dari ujung rambutnya sampai ke ujung kakinya.

Jangan memandang begitu, kata Janda Sima Rodra, Kalau aku yang kau pandang demikian, mungkin aku sudah pingsan.

Jaka Soka tidak menjawab. Tetapi ia berdiri dan melangkah ke arah Pudak Wangi yang masih berdiri terpaku dengan wajah yang merah membara. Ketika Janda Sima Rodra muda itu melihatnya, maka dengan tertawa nyaring berkata, Jaka Soka, aku masih belum menyerahkannya kepadamu.

Apa lagi yang ditunggu? sahut Jaka Soka.

Aku akan menyerahkan kepadamu dalam satu upacara resmi di hadapan laskarku sebagai saksi. Tetapi tidak sekarang. Aku masih memerlukannya. Sebab dengan adanya gadis itu di dalam tanganku, aku mengharap kehadiran seorang lagi.

Wajah Jaka Soka seketika berubah menjadi merah. Tetapi ia masih mengendalikan dirinya. Kau benar-benar setan betina. Terserahlah kepadamu. Kalau dengan demikian kau akan mengangkat harga diriku, kau akan kecewa. Sebab kedatanganku kemari adalah atas permintaanmu.

CERITA BERSAMBUNG = 08 desEMBER 1999
NAGASASRA dan SABUK INTEN
Karya SH Mintarja
294

SEKALI lagi keadaan jadi tenang karena suara tertawa Iblis betina yang bergetar membentur dinding-dinding pegunungan memenuhi lembah. Lalu kemudian ia berkata lantang, Marilah kita berpesta. Kita ajak tamu kita ini serta, mungkin dengan demikian ia akan mendapatkan kegembiraan.
Sesaat kemudian ia telah memerintahkan kepada laskarnya untuk mulai dengan teriakan-teriakan dan nyanyian-nyanyian yang sama sekali tak menyedapkan.

Pada saat itu, Mahesa Jenar yang bersembunyi di belakang semak-semak menjadi gemetar.

Ia ingat pada peritiwa yang pernah diketemukan bekas-bekasnya di atas Gunung Ijo, Prambanan. Pada saat itu ia masih belum dapat membayangkan, apakah yang terjadi. Tetapi sekarang, barulah agak jelas baginya, bahwa benar-benar rombongan Sima Rodra yang sering menculik gadis-gadis itu mempunyai kebiasaan yang mengerikan.

Mengingat kerangka-kerangka gadis-gadis di Gunung Ijo itu bulu Mahesa Jenar meremang. Dan sekarang dihadapannya ia melihat upacara itu berlangsung.

Teriakan-teriakan dan nyanyian-nyanyian yang tak sedap, yang keluar dari mulut-mulut yang kasar itu semakin lama semakin menjadi-jadi. Mereka bergerak semakin cepat mengelilingi perapian. Janda Sima Rodra dan Jaka Soka yang berdiri sebelah-menyebelah dengan Pudak Wangi, berada di luar lingkaran. Tetapi wajah mereka membayangkan bahwa perasaan mereka telah hanyut pula dalam keadaan yang hampir tak sadar.

Melihat hal itu Mahesa Jenar menjadi sangat cemas. Cemas akan keselamatan Pudak Wangi. Sebab dalam keadaan serupa itu, bisa saja malapetaka menimpanya setiap saat, meskipun selama Janda Sima Rodra itu masih berada di situ, keselamatannya agaknya masih terjamin.

Meskipun demikian, Mahesa Jenar telah bersiaga penuh. Kalau terjadi sesuatu atas gadis yang berpakaian mirip seorang laki-laki itu, dalam loncatan pertama ia sudah siap mempergunakan aji Sasra Birawanya, meskipun seterusnya akan sangat membahayakan jiwanya sendiri. Sebab ia yakin bahwa Sima Rodra tua dan Bugel Kaliki berada di sekitar tempat itu pula.

Tetapi apa boleh buat.

Sementara itu, upacara gila-gilaan itu menjadi semakin panas. Dan tiba-tiba lingkaran upacara itu melebar dan melingkar di luar tempat Harimau Betina itu berdiri. Dalam keadaan yang demikian tampaklah betapa cemasnya Pudak Wangi.

Dalam keadaan hampir tak sadar tiba-tiba Janda Sima Rodra itu kemudian menarik tangan Jaka Soka dan diseretnya untuk ikut serta melonjak-lonjak dan berteriak-teriak. Agaknya Jaka Soka pun menjadi seperti seorang yang tak berperasaan lagi. Tanpa membantah ia pun langsung ikut serta dalam pesta-pesta yang mengerikan itu.

Sesaat kemudian Pudak Wangi memalingkan wajahnya. Upacara itu benar-benar telah menjadi-jadi. Tetapi kemanapun ia memandang, ia melihat keadaan yang serupa. Sehingga akhirnya ia memejamkan matanya.
Mahesa Jenar akhirnya tak tahan lagi. Darahnya yang sudah mendidih itu sudah tidak dapat disabarkan. Karena itulah segera ia bersiap untuk bertindak.

Tetapi sebelum ia bergerak, terdengarlah derap suara seekor kuda. Semakin lama semakin dekat. Orang-orang yang sedang melakukan perbuatan-perbuatan gila itu sama sekali tidak mendengar derap itu. Sehingga kuda itu telah menjadi dekat sekali. Dengan mata yang tajam, Mahesa Jenar melihat seseorang diatas seekor kuda merah kehitam-hitaman meluncur seperti anak panah ke arah api yang masih menyala-nyala.

Sesaat orang itu mengekang kudanya agak jauh dari perapian itu, tetapi sesaat kemudian seperti angin kuda itu meluncur kembali langsung menerjang orang-orang yang sedang sibuk dengan kelakuan-kelakuan mereka yang gila itu. Karena itu, ketika seekor kuda merah kehitam-hitaman menerjang mereka, mereka menjadi kalang kabut dan untuk sementara kehilangan akal.

Namun tidak demikianlah Harimau Betina Gunung Tidar dan Jaka Soka.

Meskipun mereka baru saja tenggelam dalam irama kegilaan, namun dalam waktu sekejap mereka telah dapat menguasai diri mereka kembali.

Karena itu segera mereka berloncatan mundur sambil bersiaga, sehingga ketika orang berkuda itu mengulangi serangannya, mereka sudah siap pula menghindar.

Maka sesaat kemudian terdengarlah Janda Sima Rodra itu berteriak dengan marahnya. Dan dalam keadaan yang demikian, segera tampak jari-jarinya yang memiliki kuku-kuku yang panjang itu berkembang mengerikan. Sedang Jaka Sokapun merasa terhina pula. Dengan hebatnya ia menggeram, dan sesaat kemudian ia telah meloncat menghadang kuda yang telah berputar pula.

Ketika wajah orang berkuda itu kemudian menjadi jelas oleh api yang menyala ditengah-tengah mereka, segera terdengar suara Pudak Wangi nyaring, Kakang Sarayuda….

Suara Pudak Wangi yang melengking lembut itu bagi Mahesa Jenar ternyata mempunyai akibat yang hebat sekali. Dalam saat yang bersamaan, ia telah mengenal pula wajah itu. Sarayuda, yang membuatnya berdebar-debar.

Bagaimanapun juga Mahesa Jenar tidak dapat melupakan, bahwa pemuda yang perkasa itu telah pernah mengecewakannya, meskipun mungkin sama sekali tidak disengaja. Dan kehadirannya saat inipun telah menimbulkan suatu persoalan baru di dalam dadanya.

Dalam saat yang tegang itu terdengarlah Jaka Soka berteriak kasar, Hai Janda Sima Rodra, adakah orang ini yang kau pancing dengan umpanmu itu?

Terdengarlah suara Janda Sima Rodra itu menjawab, Aku tak kenal orang ini. Betapapun gagahnya, namun ia adalah sombong sekali.

Pada saat itu, kuda merah kehitam-hitaman itu dengan garangnya menyambar Jaka Soka. Tetapi Ular Laut itu, bukanlah anak-anak kemarin sore yang baru mampu bermain kucing-kucingan. Dengan menarik tubuhnya satu langkah ke samping, ia telah bebas dari serangan lawannya. Sambil berjongkok ia menyodok perut kuda itu dengan tongkat hitamnya. Akibatnya hebat sekali. Kuda itu terkejut dan memekik berdiri. Saat yang demikian memang ditunggunya. Dengan cepatnya ia melompat dan menghantam punggung Sarayuda.

Tetapi Demang Gunung Kidul itupun bukan pula anak ingusan. Ia adalah murid tertua Ki Ageng Pandan Alas.

CERITA BERSAMBUNG = 09 desEMBER 1999
NAGASASRA dan SABUK INTEN
Karya SH Mintarja
295

KETIKA Demang Gunung Kidul merasa sebuah serangan mengarah ke punggung, sedang kudanya belum dapat dikuasainya, maka dengan kecepatan yang sama ia telah berhasil meloncat dan jatuh berguling, untuk kemudian melenting bangkit dan bersiaga.

Dalam sekejap kemudian terjadilah pertempuran yang seru. Jaka Soka, Bajak Laut yang ditakuti di daerah perairan Nusakambangan dan mendapat julukan Ular Laut, menyerang dengan ganasnya, sedang Sarayuda bertempur dengan gagahnya pula. Dengan teguhnya ia berdiri di atas kedua kakinya yang lincah menari-nari membingungkan lawannya.

Pada saat yang demikian itu terdengarlah suara Janda Sima Rodra kepada laskarnya, Sakayon, jagalah tawanan ini. Kepung rapat-rapat dan jangan beri kesempatan bergerak. Biar aku membantu Jaka Soka membinasakan tamu yang sombong itu.

Sesaat kemudian, berloncatanlah anak buah Sima Rodra dengan senjata terhunus berdiri rapat-rapat melingkari Pudak Wangi yang terikat tangannya.
Kemudian, Janda Sima Rodra itu pun, dengan kuku-kukunya yang tajam beracun mulai melibatkan diri dalam pertempuran melawan Sarayuda.

Sarayuda adalah seorang yang tangkas, tangguh dan perkasa. Namun demikian, ketika ia harus melawan Ular Laut dan Janda Sima Rodra itu bersama-sama, segera terasa bahwa memang kekuatan mereka tidak berimbang, karena Ular Laut dan Janda Sima Rodra itu masing-masing juga merupakan tokoh-tokoh perkasa dari golongan hitam.

Dalam keadaan yang terdesak, Sarayuda segera mencabut pedangnya. Pedang yang gemerlapan itu berputar-putar memancar berkilat-kilat karena cahaya api. Sinarnya yang putih, serta pantulan sinar kemerah-merahan, menjadikan pedang itu seperti memancarkan bunga-bunga api. Sarayuda, murid Ki Ageng Pandan Alas itu, kemudian menyerang dengan tangkasnya. Pedangnya bergetaran dalam ilmu khusus perguruan Ki Ageng Pandan Alas, terasa sangat membingungkan lawannya.

Tetapi dalam pada itu, segera tampak pula sinar putih bergulung-gulung belit-membelit dengan bayangan yang kehitam-hitaman melawan pedang Sarayuda. Itulah senjata Jaka Soka. Pedang kecil yang lentur, yang dicabutnya dari dalam tongkat hitamnya di tangan kanan, dan tongkat itu sendiri ditangan kiri, merupakan sepasang senjata yang menakjubkan.

Dibarengi dengan 10 batang kuku-kuku berbisa diujung jari Harimau Betina dari Gunung Tidar, senjata-senjata itu merupakan gabungan kekuatan yang mengerikan.

Untuk sesaat Mahesa Jenar terpesona memandangi pertempuran yang hebat itu.

Ia kagum akan ketangkasan Sarayuda dan memuji kelincahan Jaka Soka, yang bertempur dengan gerakan-gerakan yang cepat, melingkar, menyerang dan mematuk-matuk, benar-benar seperti laku seekor Ular yang berbahaya.
Mahesa Jenar baru sadar ketika dilihatnya bahwa Sarayuda benar-benar dalam keadaan yang sangat berbahaya.

Dalam keadaan yang sedemikian, tiba-tiba sekali lagi Mahesa Jenar dikejutkan oleh suatu pemandangan yang tidak diduganya. Di tempat yang agak jauh dari lingkaran pertempuran itu, yang hanya dapat dicapai oleh cahaya api yang sangat lemah, dilihatnya pula seseorang bertempur melawan dua orang. Tetapi pertempuran ini jauh berbeda dengan pertempuran antara Sarayuda melawan kedua lawannya. Pertempuran yang dilihatnya kemudian itu seolah-olah hanyalah sebuah permainan lontar-melontar yang kadang-kadang diseling dengan pukulan-pukulan lamban. Namun agaknya gerak-gerak itu merupakan gerak-gerak yang meloncatkan kekuatan tiada taranya.

Sesaat kemudian Mahesa Jenar segera dapat mengenalnya. Yang seorang itu adalah Ki Ageng Pandan Alas, sedang kedua lawannya adalah Sima Rodra tua dari Lodaya dan Bugel Kaliki dari Lembah Gunung Cerme.

Melihat pertempuran itu Mahesa Jenar menjadi bertambah cemas. Ki Ageng Pandan Alas yang datang untuk menolong cucunya, ternyata menjumpai lawan yang seangkatan dan berdua pula.

Meskipun apa yang terjadi diantara mereka adalah diatas kemampuannya, namun Mahesa Jenar dapat pula melihat, bahwa Ki Ageng Pandan Alas pun menemui kesulitan untuk melawan kedua tokoh tua dari golongan hitam itu, sebagaimana Sarayuda juga menemui kesulitan dalam perjuangannya melawan Jaka Soka dan Janda Sima Rodra muda.

Dalam waktu yang singkat itu terjadilah suatu pergolakan di dalam dada Mahesa Jenar. Sudah pasti, bahwa ia tidak akan berguna sama sekali apabila ia berani mencoba-coba mencampuri urusan Ki Ageng Pandan Alas. Apa yang dapat dikerjakan hanyalah untuk sementara memperingan pekerjaan orang tua itu. Untuk sementara saja. Sebab kemudian ia akan segera binasa. Maka yang mungkin dilakukan hanyalah melibatkan diri dalam lingkaran pertempuran antara Sarayuda dan lawan-lawannya. Meskipun sebagai manusia biasa, terdapat beberapa benih keseganan untuk membantunya, namun darah kesatria yang mengalir di dalam tubuhnya telah melanda kepicikan pandangan itu.

Dengan merapatkan giginya, Mahesa Jenar berusaha untuk melupakan apa yang pernah dialaminya. Persoalan-persoalan pribadi antara dirinya dan Demang Gunung Kidul itu. Sehingga sesaat kemudian telah bulatlah hatinya untuk terjun langsung membantu Sarayuda. Ia mengharap bahwa dengan aji Sasra Birawa dan Aji Cunda Manik yang dimiliki oleh Sarayuda akan mempercepat penyelesaian, sehingga ia mengharap dapat menyelamatkan Pudak Wangi. Setelah itu, ia mengharap pula bahwa Ki Ageng Pandan Alas dapat menyelamatkan dirinya sendiri.

Meskipun apa yang akan dilakukan itu mengandung bahaya yang maha besar, namun tak ada pilihan lain daripada berjuang untuk membebaskan gadis cucu Pandan Alas itu. Memang akan mungkin sekali, untuk sementara salah seorang lawan Pandan Alas meninggalkan orang tua itu untuk membantu Jaka Soka dan Janda Sima Rodra, yang berarti kebinasaan baginya dan bagi Sarayuda. Tetapi itu akan merupakan sebuah pertanggungjawaban dari perjuangan. Karena itu segera Mahesa Jenar menggulung lengan bajunya dan menyangkutkan kainnya.

296

KEMBALI dada Mahesa Jenar digetarkan oleh suatu peristiwa yang tak dapat dimengertinya.

Ketika ia sudah mulai bergerak untuk meloncat, tiba-tiba didengarnya gemerisik halus di bekalangnya. Cepat ia bersiaga dan membalikkan tubuhnya. Tetapi apa yang dilihatnya hampir tak masuk diakalnya.

Dalam remang-remang cahaya bintang serta sinar api yang menyusup di celah-celah daun ilalang, Mahesa Jenar melihat sebuah bayangan yang seolah-olah dirinya sendiri sedang terbang dan melontar cepat lewat disampingnya.

Dengan pandangan yang penuh kebingungan, matanya mengikuti bayangan itu dengan tanpa berkedip. Apalagi ketika ia melihat bayangan itu dengan lincahnya meloncat diatas batu karang tidak jauh dari perapian yang masih menyala-nyala. Dengan tangan bertolak pinggang serta kaki renggang, terdengarlah bayangan itu tertawa nyaring. Suaranya mengumandang seperti guntur yang menggelegar membentur dinding pegunungan, sambil berkata:

Inilah murid Ki Ageng Pengging Sepuh yang dikenal dengan nama Mahesa Jenar serta bergelar Rangga Tohjaya.

Mendengar suara yang mengguruh itu, isi dada Mahesa Jenar seperti diguncang-guncang. Cepat ia memusatkan kekuatan batinnya untuk melawan pengaruh suara yang aneh itu. Ia pernah mendengar Pasingsingan menghantamnya dengan suara tertawa yang mengerikan di alun-alun Banyu BIru.

Dan sekarang, suara orang yang berdiri diatas batu karang itu tidak pula kalah dahsyatnya menghantam dadanya.

Agaknya bukan saja Mahesa Jenar yang merasa terpukul oleh getaran suara yang dilontarkan dengan landasan kekuatan batin yang tinggi itu. Sarayuda, Jaka Soka dan Janda Sima Rodra yang sedang bertempur itupun segera berloncatan mundur dan mempergunakan kekuatan batinnya untuk menahan supaya dadanya tidak rontok.

Pudak Wangipun tampak menundukkan kepala sambil memejamkan matanya. Agaknya cucu dan sekaligus murid Pandan Alas yang muda itupun berusaha untuk membebaskan diri dari getaran yang memukul-mukul dadanya. Bahkan lebih dari pada itu, Pandan Alas, Sima Rodra dan Bugel Kaliki, tokoh-tokoh tua yang sudah banyak makan pahit asinnya penghidupan itupun menjadi terkejut pula.

Ternyata bahwa karena itu pertempuran mereka jadi terhenti. Dengan pandangan yang keheran-heranan mereka memperhatikan orang yang berdiri diatas batu karang dengan kaki renggang dan kedua tangan bertolak pinggang.

Mahesa Jenar yang telah lebih dahulu melihat orang yang menyebut dirinya Mahesa Jenar, murid Ki Ageng Pengging Sepuh itu, ketika sinar api mencapai wajahnya, segera ia mengenalnya, bahwa wajah itu sama sekali tidak jelas.

Rambut yang kasar tumbuh lebat hampir melingkari seluruh muka, bersambungan dengan kumis dan janggut yang rapat tak teratur.

Dalam pada itu Mahesa Jenar telah berusaha keras untuk tidak tenggelam dalam suatu perasaan yang aneh, bahwa hampir-hampir ia merasa bahwa orang yang berdiri diatas batu karang itu adalah dirinya sendiri, yang dalam keadaan puncak keprihatinan, sehingga sama sekali tidak sempat memelihara diri. Meskipun beberapa kali Mahesa Jenar sudah pernah melihat wajahnya di permukaan air, namun ia dalam saat yang aneh itu, harus berjuang mati-matian untuk dapat mengenal dirinya kembali, dan membedakannya dengan orang yang berdiri diatas batu karang itu.

Untunglah bahwa Mahesa Jenar mempunyai kekuatan batin yang tinggi pula, sehingga dalam sesaat ia telah berhasil menguasai dirinya kembali. Semakin lama ia menjaid semakin jelas melihat batas antara dirinya dan orang itu. Bahkan akhirnya ia dapat memperhitungkan berbagai masalah mengenai dirinya dan orang yang mengaku Mahesa Jenar itu. Orang itu pasti sengaja memakai rambut, kumis dan janggut yang kasar dan lebat, supaya wajahnya tidak segera dikenal. Tetapi, yang Mahesa Jenar masih belum dapat menemukan jawabnya, adalah gerak gerik orang itu hampir mirip bahkan tepat seperti gerak geriknya, tapi berada diatas kemampuannya. Dan hal itulah kemudian yang menjadi teka-teki yang tak dapat dipecahkannya.

Sudah untuk kedua kalinya Mahesa Jenar mengalami hal yang serupa. Ketika ia harus bertempur berlima melawan Sima Rodra dan Pasingsingan, tiba-tiba saja ia melihat dua orang Mahesa Jenar melibatkan diri. Kedua orang itu ternyata Ki Paniling atau yang nama sebenarnya adalah Radite dan Darba atau Anggara.

Namun bagaimanapun juga akhirnya ia dapat mengenal kedua orang itu.
Tetapi ternyata orang yang menyerupai dirinya kali ini lebih membingungkannya. Sebab gerak geriknya mirip sekali dengan geraknya sendiri dalam ilmu warisan Ki Ageng Pengging Sepuh.

Dalam keadaan yang demikian, suasana menjadi hening tegang. Kecuali suara berderai yang meluncur dari mulut orang yang berdiri diatas batu karang itu, selainnya sunyi.

Tetapi tiba-tiba orang itu meloncat mirip seekor garuda yang terbang menukik dari atas batu karang itu langsung ke arah Pudak Wangi yang masih berdiri mematung.

Sarayuda, Jaka Soka dan Janda Sima Rodra itupun segera tahu maksudnya. Sebab di mata mereka, orang itu tidak lain adalah Mahesa Jenar yang sedang berusaha untuk membebaskan Rara Wilis. Maka kemudian terdengar suara Janda Sima Rodra itu nyaring, Soka, tamuku sudah datang. Tolong, tangkap dia. Sesudah itu kau boleh mengambil kami berdua sebagai istrimu. Tapi ingat, aku tidak mau kau ikat.(perkawinan)

Jaka Sokapun kemudian teringat apa yang pernah tejadi di hutan Tambak Baya. Orang yang menamakan diri Mahesa Jenar telah menggagalkan niatnya, waktu ia hendak menculik Rara Wilis. Karena pada waktu itu, ia tidak berhasil mengalahkannya. Tetapi sekarang ia telah bekerja keras untuk menambah ilmunya.

CERITA BERSAMBUNG = 11 desEMBER 1999
NAGASASRA dan SABUK INTEN
Karya SH Mintarja
297

JAKA SOKA merasa bahwa ia tidak perlu takut lagi kepada Mahesa Jenar, meskipun terhadap Sasra Birawa ia masih harus sangat hati-hati dan yang dapat dilakukannya hanyalah menghindarkan diri. Apalagi sekarang ia dapat bekerja sama dengan Janda Sima Rodra.

Sedangkan Sarayuda, ia mengharap bahwa salah seorang dari Sima Rodra tua atau Bugel Kaliki mengurusnya.

Juga terhadap Mahesa Jenar itu akhirnya, apabila dirinya menemui kesulitan, meskipun ia bekerja sama dengan Janda Sima Rodra, Jaka Soka mengharap Sima Rodra Tua mau membantu menangkapnya untuk kepentingan anaknya.

Dalam pada itu, Janda Sima Rodra itu menjadi gembira. Ia ingin Mahesa Jenar tertangkap hidup-hidup. Ia ingin membalas sakit hatinya karena suaminya terbunuh. Tetapi lebih daripada itu, keliarannya telah mendorongnya untuk melakukan niat yang memuakkan. Tetapi ketika ia melihat wajah Mahesa Jenar yang kasar dan berambut lebat itu ia menjadi agak kecewa. Namun demikian ia sama sekali tidak mengurungkan niatnya.

Orang ketiga, yang berdiri di dalam arena itu adalah Sarayuda. Ia mempunyai tanggapan sendiri atas kehadiran Mahesa Jenar. Meskipun ia menduga bahwa kehadiran Mahesa Jenar kali inipun bermaksud untuk menyelamatkan Pudak Wangi, namun tiba-tiba menjalarlah suatu perasaan cemburu yang meluap-luap.

Beberapa tahun yang lalu ia pernah bertempur dengan Mahesa Jenar ketika ia menolong Arya Salaka. Pada saat itu, ia merasakan suatu perhubungan yang aneh dengan orang itu. Apalagi ketika tiba-tiba saja Mahesa Jenar pergi meninggalkan pondok Ki Ageng Pandan Alas tanpa pamit. Dan sejak itulah ia mempunyai perasaan bersaing. Meskipun sejak itu Mahesa Jenar tidak pernah muncul kembali dan agaknya Ki Ageng Pandan Alaspun sangat membesarkan hatinya, namun Pudak Wangi sendiri tidak pernah membuka hatinya.Ia yakin kalau hal itu disebabkan karena hati itu telah dirampas oleh orang yang bernama Mahesa Jenar.

Berbeda dengan perasaan Mahesa Jenar sendiri, yang meskipun ia memiliki perasaan yang sama dengan Sarayuda, namun ia mendahulukan keselamatan Pudak Wangi dari perasaannya yang mengganggu. Ia memang sudah membiasakan diri, berkorban untuk kepentingan yang lebih besar dan luas tanpa pamrih, daripada kepentingan diri sendiri.

Karena perasaan itulah maka Sarayuda justru merasa tersinggung karena hadirnya Mahesa Jenar. Apalagi setelah ia berjuang mati-matian untuk membebaskan gadis cucu gurunya, namun tidak ada tanda-tanda akan berhasil, bahkan akhirnya gurunya sendiri menemui kesulitan pula karena hadirnya kecuali Sima Rodra tua yang memang sudah diduga sebelumnya, juga Bugel Kaliki.

Maka sebelum orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu sampai ke tengah-tengah arena itu, ia berteriak, Mahesa Jenar, murid utama Ki Ageng Pengging Sepuh, janganlah mengganggu permainan kami. Biarlah kami yang sudah dewasa ini mencoba menyelesaikan persoalan kami sendiri.

Terdengarlah orang itu tertawa pendek sambil berhenti beberapa langkah dari mereka.

Aku datang untuk membantumu, katanya.
Aku tidak perlu bantuanmu, potong Sarayuda.

Orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu mengerutkan alisnya. Kemudian ia berkata pula, Jangan lekas tersinggung. Bukankah kita masing-masing berjanji di dalam hati untuk menghancurkan setiap kejahatan…? Apapun persoalan yang ada di antara kita jangan menjadi sebab, bahwa kita tidak bisa bekerja bersama. Sebab juga menjadi kewajibanku untuk membebaskan Adi Pudak Wangi.

Mendengar nama itu disebut, hati Sarayuda menjadi bertambah berdebar-debar. Lalu katanya, Pergilah, jangan ikut campur.

Tetapi orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu tidak pergi, malahan ia berkata kepada semua yang ada di arena itu, Dengarlah, aku datang untuk membebaskan Pudak Wangi. Siapun yang menghalangi, tidak peduli siapa saja, akan berhadapan dengan Mahesa Jenar.

Setelah itu kembali ia bergerak maju. Pada saat itu, Jaka Soka dan Janda Sima Rodra yang paling berkepentingan untuk menangkap Mahesa Jenar itu dan menggagalkan maksudnya. Karena itulah maka mereka berloncatan maju menghalangi. Sedang Sarayuda menjadi ragu, dan untuk beberapa saat ia kehilangan pegangan, apakah yang akan dilakukannya. Sementara itu orang-orang tua yang menyaksikan perbantahan mereka menjadi tertegun heran. Sima Rodra dan Pandan Alas, dengan jelas mengetahui sampai di mana tingkat ilmu Mahesa Jenar itu, mereka menjadi agak keheran-heranan.

CERITA BERSAMBUNG = 12 desEMBER 1999
NAGASASRA dan SABUK INTEN
Karya SH Mintarja
298

MEREKA yakin, bahwa segala gerakan Mahesa Jenar itu adalah khusus peninggalan Ki Ageng Pengging Sepuh yang dahsyat itu.

Tetapi yang paling heran diantara mereka adalah Mahesa Jenar sendiri. Apalagi setelah ia menyaksikan orang itu bertempur melawan Jaka Soka dan Janda Sima Rodra. Setiap gerak tubuhnya, sampai ke ujung bulunya, adalah tepat sekali apa yang selalu dilakukannya atas dasar ilmu gurunya.

Karena itulah maka Jaka Soka dan Janda Sima Rodra yang memang benar-benar pernah bertempur dengan Mahesa Jenar, sama sekali tidak mempunyai curiga apapun terhadap lawannya. Namun Jaka Soka yang merasa bahwa setelah beberapa tahun ia menekuni ilmunya, yang diduganya telah dapat melampaui ilmu Mahesa Jenar, ternyata menjadi kecewa. Sebab Mahesa Jenar yang dihadapinya saat itu, bahkan berdua dengan Janda Sima Rodra, adalah Mahesa Jenar yang memiliki ilmu yang belum dapat disamai dengan jarak yang seolah-olah tidak berubah seperti pada saat ia bertempur di Tambak Baya beberapa tahun berselang. Demikianlah pertempuran itu menjadi semakin lama semakin dahsyat.

Orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu bertempur laksana burung Rajawali yang menyambar-nyambar melawan Ular Laut yang bertempur bersama-sama dengan seekor Harimau Liar.

Bagaimanapun, Jaka Sokapun ternyata memiliki ilmu yang luar biasa. Ketika pertempuran itu menjadi semakin hebat, gerakan-gerakan Jaka Soka menjadi bertambah membingungkan.

Serangan-serangan Jaka Soka yang sebagian besar mengarah ke perut lawannya, dibarengi dengan sambaran-sambaran sinar putih yang belit membelit dengan bayangan hitam, merupakan tarian maut yang mengerikan.

Sedangkan Janda Sima Rodra yang bersenjatakan kuku-kukunya terdengar beberapa kali menjerit-jerit sambil menerkam dengan garangnya. Jari-jarinya yang mengembang dan kukunya yang gemerlapan merupakan jaringan-jaringan maut yang sukar dapat ditembus. Apalagi mereka berdua dengan Jaka Soka, selalu berusaha isi mengisi kelemahan masing-masing.

Tetapi orang yang menamakan dirinya Mahesa Jenar itu, dalam keadaan yang demikian, bahkan seolah-olah berubah menjadi Wisnu dalam bentuknya sebagai Kresna penggembala, yang menari-nari di atas seekor ular Naga yang berkepala tujuh. Namun perlahan-lahan tetapi pasti, satu demi satu kepala-kepala ular itu dipangkasnya.

Demikianlah, Jaka Soka dan Janda Sima Rodra itu semakin lama menjadi semakin terdesak. Tenaga mereka yang dicurahkan habis-habisan, tanpa memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi, menjadi semakin lama semakin surut. Sedang lawan mereka, malahan tampak menjadi semakin garang.

Sesaat kemudian jelaslah apa yang akan terjadi dengan pertempuran itu. Hal itu dilihat pula oleh Sima Rodra tua dan Bugel Kaliki. Sudah tentu mereka tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Sedangkan Pandan Alas menjadi termangu-mangu. Ia dapat membaca perasaan kedua orang itu. Mahesa Jenar dan Sarayuda. Sedangkan ia sendiri tidak dapat memihak salah seorang diantaranya. Sehingga dengan demikian, ketika ia mendengar perbantahan Sarayuda dan Mahesa Jenar, menjadi agak bingung.

Namun bagaimanapun juga keselamatan cucunya adalah suatu hal yang mutlak baginya. Karena itulah maka ketika ia melihat Sima Rodra tua dan Bugel Kaliki mulai bersiap-siap, iapun bersiap pula.

Tetapi belum mereka berbuat sesuatu, mereka dikejutkan oleh seseorang yang terjun dalam arena pertempuran itu. Ia adalah Sarayuda. Dengan menggeram marah ia berkata, Mahesa Jenar, sekali lagi aku minta kau tinggalkan pertempuran ini. Kau yang selama ini tidak berbuat apa-apa, sekarang kau akan berlagak menjadi pahlawan. Akulah yang pertama-tama bertindak untuk keselamatan Pudak Wangi. Biarlah urusanku itu aku selesaikan.

Bukan main terkejutnya orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu ketika Sarayuda membentak-bentaknya dengan kasar. Sambil meloncat mundur ia menjawab, Sadarkah kau dengan tindakanmu itu?

Jaka Soka dan Janda Sima Rodra pun menjadi tercengang-cengang. Mereka sama sekali tidak mengira bahwa Sarayuda dan orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu akan bertengkar sendiri.

Dalam pada itu tiba-tiba Ular Laut yang tampan itu tersenyum-senyum sambil berkata, Kita mempunyai kepentingan yang sama. Aku, tamu kita yang bernama Sarayuda dan Mahesa jenar. Diantara kita bertiga, ternyata akulah yang paling rendah tingkat kepandaianku.

Alangkah senangnya kalau aku dapat menarik keuntungan dari perang tanding antara kedua tokoh yang sempurna ini. Tetapi agaknya akupun telah dapat memperhitungkan siapakah yang akan menang. Sebab aku telah bertempur dengan kalian berdua berganti-ganti. Sarayuda bukan tandingan Mahesa Jenar.

Sarayuda merasakan dengan tepat singgungan kata-kata itu. Ia memang merasa bahwa ilmunya berada di bawah tingkat kepandaian Mahesa jenar. Hal yang serupa telah dirasakannya pula pada saat ia bertempur dahulu. Justru karena itulah dadanya serasa terbelah.

Dengan tidak menghiraukan apapapun lagi, dengan wajah yang menyala-nyala ia bersiap menyerang Mahesa jenar yang masih berdiri mematung. Berbareng dengan itu, terdengarlah jerit Pudak Wangi yang sejak tadi berdiam diri kebingungan. Bertempurlah kalian…, bertempurlah sampai binasa. Setelah itu arwah kalian akan puas melihat aku binasa pula dengan hinanya di tengah-tengah iblis ini.

Suara itu jelas merupakan luapan hati seorang gadis yang mencemaskan kehormatannya, bukan nyawanya.

Sebagai cucu dan murid Ki Ageng Pandan Alas, Pudak Wangi bukanlah seorang pengecut, yang merengek-rengek menghadapi kematian. Tetapi terhadap Ular Laut dari Nusakambangan itu, ia benar-benar menjadi ngeri.
Sarayuda tersentak hatinya. Ia tegak seperti patung, dadanya digoncang oleh kebingungan yang bergelora. Tetapi dalam pada itu, orang yang menamakan dirinya Mahesa jenar merasa bahwa ia tidak mempunyai banyak waktu.

CERITA BERSAMBUNG = 13 desEMBER 1999

NAGASASRA dan SABUK INTEN
Karya SH Mintarja
299

ORANG itu sadar, bahwa apa yang dilakukan oleh Sarayuda adalah luapan perasaannya saja. Karena itu, tiba-tiba orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu, sekali lagi meloncat mundur, seterusnya apa yang dilakukan sama sekali tak dapat dilihat dengan jelas. Sekali lagi seperti seekor Rajawali, orang itu terbang dengan kecepatan kilat, menyambar Pudak Wangi.

Orang-orang yang berdiri memagari gadis itu, yang sebagian telah diruntuhkan perasaannya dengan suara tertawa yang menghentak-hentak dada, dapat ditembus dengan mudahnya. Kemudian berubahlah Rajawali itu menjadi bayangan hantu menyambar Pudak Wangi, yang seterusnya lenyap ke dalam kegelapan bayang-bayang gerumbul-gerumbul lebat di sekitar tempat itu.
Kejadian itu hanya berlangsung dalam waktu yang sangat singkat. Bahkan merupakan sebuah pesona yang seolah-olah merampas kesadaran dari semua orang yang menyaksikan. Pandan Alas, Sima Rodra tua dan Bugel Kaliki pun sampai beberapa saat berdiri seperti patung. Baru setelah bayangan itu terbang, mereka menjadi tersadar dari sebuah mimpi yang hebat. Dan sadar pulalah mereka bahwa apa yang mereka usahakan selama itu, menjadi lenyap di hadapan hidungnya.

Sima Rodra dan Bugel Kaliki yang sudah bersusah payah menangkapnya, dan Pandan Alas yang bersusah payah pula mencari cucunya itu, ditambah lagi dengan Jaka Soka dan Sarayuda yang mempunyai kepentingan yang sama pada saat itu, seolah-olah digerakkan oleh satu daya penggerak, berloncatanlah mereka menyusul ke arah hilangnya bayang-bayang itu.

Sesaat kemudian, seperti dihisap oleh kegelapan malam, lenyaplah semua orang yang mula-mula dengan riuhnya mengelilingi perapian, yang sampai saat itu, apinya sudah jauh surut. Maka sepilah suasana di tempat itu, setelah semua orang berlari-larian pergi. Yang terdengar kemudian kecuali keretak sisa-sisa kayu yang dimakan api, adalah napas Mahesa Jenar yang tersengal-sengal seperti berebut dahulu meloloskan diri dari tubuhnya yang gemetar.

Apa yang disaksikan itu, bagi Mahesa Jenar seperti gambaran di dalam mimpi. Namun bagaimanapun, gambaran-gambaran itu telah membingungkannya. Apa yang dilakukan oleh orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu adalah tepat seperti apa yang akan dilakukannya seandainya ia mampu. Sebab secara jujur, ia mengakui, bahwa orang yang menyerupainya itu mempunyai kemampuan yang luar biasa sehingga ia dapat melakukan pekerjaan itu di hadapan segerombolan orang yang sudah siap untuk menghalang-halangi.

Dalam pada itu kembali Mahesa Jenar ragu. Apakah yang dilihat selama itu hanyalah khayalan-khayalan saja. Berkali-kali ia mengusap-usap matanya.

Namun cahaya api yang redup itu masih saja mengganggu kegelapan malam. Ataukah jiwanya sendiri yang telah meloncat keluar dari tubuhnya, dan kemudian melakukan segala pekerjaan itu untuknya? Mahesa Jenar menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia bukan pemimpi. Karena itu segera ia sadar, bahwa memang telah ada seseorang yang melakukannya. Hanya yang aneh baginya, setiap gerak, setiap kata yang diucapkan, tepat seperti yang terkandung di dalam hatinya.

Untuk beberapa lama Mahesa Jenar masih merenung-renung di dalam lindungan batang-batang ilalang. Bahkan semakin lama hal itu direnungkan, semakin kaburlah perasaannya. Tetapi lebih dari pada itu, di dalam sudut hatinya yang paling dalam, muncullah perasaan kecewanya. Pudak Wangi, yang sebenarnya bernama Rara Wilis itu, untuk kesekian kalinya ia telah menyakiti hati gadis itu.

Sewaktu ayah gadis itu terbunuh olehnya, dan sekarang, gadis itu lenyap di hadapannya dibawa oleh seseorang yang menyerupai dirinya. Karena itulah maka sekali lagi ia merasa kehilangan atas sesuatu yang belum pernah dimilikinya, namun sebaliknya, telah merampas seluruh hatinya.

Dalam kekalutan pikiran itu, tiba-tiba terdengarlah suara tertawa lunak perlahan di belakangnya. Tersentak Mahesa Jenar berdiri dan bersiaga. Tetapi kemudian kembali ia menjadi bingung, ketika di hadapannya berdiri orang yang menamakan diri Mahesa Jenar.

Orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itupun memandanginya dengan saksama dari ujung kaki sampai ke ujung kepalanya. Kemudian terdengarlah ia berkata, Ki Sanak, apakah yang kau lakukan di sini? Dan siapakah kau sebenarnya?

Mendapat pertanyaan itu Mahesa Jenar menjadi bingung. Ia sendiri sama sekali tidak bermaksud untuk melakukan sesuatu di tempat itu. Ia hanya tertarik oleh suara-suara riuh, serta keinginannya untuk mendapat jejak dalam usahanya mencari Arya Salaka. Sekarang, tiba-tiba seseorang, yang sejak semula telah membingungkannya, menanyakan keperluannya.
Untuk beberapa saat Mahesa Jenar tidak menjawab, sehingga kembali orang itu berkata, Agaknya kau terkejut melihat kehadiranku di sini?

Ya, jawab Mahesa Jenar dengan jujur. Aku datang ke tempat ini tanpa aku sengaja.

Sekali lagi orang itu tertawa lunak. Adalah suatu kemustahilan bahwa seseorang sampai ke tempat ini tanpa sengaja. Aku kira kau datang ke tempat ini untuk mengintip apa yang terjadi di padang rumput itu. Ataukah kau memang salah seorang diantaranya?

Bagaimanapun juga Mahesa Jenar merasa tersinggung oleh pertanyaan itu. Maka jawabnya, Ki Sanak, memang aku telah mengintip apa yang terjadi. Aku kagum keperkasaanmu. Kau mampu melepaskan diri dari tangan-tangan Jaka Soka, Janda Sima Rodra ditambah kemudian dengan Sarayuda. Bahkan kau berhasil melepaskan dirimu pula dari kejaran orang-orang seperti Sima Rodra dan Bugel Kaliki, apalagi kau membawa beban seseorang.

Hem… Orang itu menarik nafas. Kau terlalu memuji. Tetapi kau sendiri agaknya seorang yang luar biasa sehingga kehadiranmu sama sekali tak diketahui oleh seorangpun diantara mereka.

He… sambung orang itu tiba-tiba seperti orang terkejut, Kau kenal kepada setiap orang yang ada di padang rumput itu? Siapakah kau sebenarnya?

CERITA BERSAMBUNG = 14 desEMBER 1999

NAGASASRA dan SABUK INTEN
Karya SH Mintarja
300

SEKALI lagi Mahesa Jenar termangu-mangu. Namun bagaimanapun juga ia harus menjawab pertanyaan itu. Maka katanya, Akulah yang sebenarnya bernama Mahesa Jenar. Bukankah nama itu telah kau pinjam pada saat kau mengadakan pameran kekuatan?

Orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu tampak terkejut bukan buatan. Sekali lagi ia memandang Mahesa Jenar dari ujung kakinya sampai ke ujung kepalanya. Dengan suara yang bergetar ia berkata, Kau bernama Mahesa Jenar…?

Mahesa Jenar mengangguk.

Kalau demikian… sambung orang itu, Kita bersamaan nama. Aku juga bernama Mahesa Jenar. Memang demikian. Bukan nama pinjaman seperti dugaanmu.

Ia berhenti sebentar, lalu meneruskan, Tetapi tak apalah. Banyak orang di dunia ini mempunyai nama yang sama.

Mahesa Jenar menggelengkan kepala. Lalu katanya, Jangan pura-pura terkejut, dan jangan katakan tentang nama yang sama. Kau telah menyebut dirimu lengkap seperti diriku. Kau mengaku murid Ki Ageng Pengging Sepuh dan bernama Mahesa Jenar yang bergelar Rangga Tohjaya. Tidak sahabat. Tidak mungkin persamaan di antara kita sampai sedemikian jauhnya.

Kembali wajah orang itu membayangkan keheranan. Matanya menatap dengan tajamnya.

Kemudian hampir berdesis ia berkata, Ki Sanak, janganlah mencari persoalan. Kita belum saling mengenal sebelumnya. Apakah sebabnya maka Ki Sanak bersikap sedemikian terhadapku. Dalam keadaanku seperti sekarang ini, sebenarnya aku memerlukan perlindungan dan sahabat. Barangkali kau dapat melihat apa yang telah aku lakukan. Aku sedang berusaha menyelamatkan Pudak Wangi dari tangan para penjahat itu. Dan gadis itu sudah berhasil aku sembunyikan. Muridku yang bernama Arya Salaka telah hilang. Dan sekarang aku sedang berusaha mencarinya.

Mendengar uraian itu dada Mahesa Jenar bergetar dahsyat. Tetapi Mahesa Jenar adalah seseorang yang berotak cemerlang. Karena itu segera ia menjawab sambil menebak, Kalau demikian, kaulah yang telah memancingku dan melibatkan diriku dalam goa yang mempunyai ratusan cabang yang membingungkan itu, sehingga kau dapat mengetahui dengan tepat bahwa muridku telah hilang.

Kembali orang itu terkejut. Katanya kemudian, Anehlah yang aku alami selama ini. Apa yang seharusnya aku katakan, sudah kau katakan. Sedang kau merasa bahwa apa yang akan kau katakan, sudah aku katakan. Jangan memutar balik keadaan. Sekarang tunjukkan kepadaku, di mana Arya Salaka. geram Mahesa Jenar yang mulai kehilangan kesabaran.

Jangan mengigau, bentak orang itu. Dengan igauanmu itu kau bisa membuat aku gila.

Mendengar orang itu membentak-bentak, darah Mahesa Jenar bertambah cepat mengalir. Segera ia merasa bahwa suatu bentrokan jasmaniah sukar dihindarkan. Karena itu segera iapun bersiaga penuh, sebab seperti telah disaksikan sendiri, orang yang berdiri di hadapannya memiliki tingkat ilmu yang tinggi.

Namun bagaimanapun juga, Mahesa Jenar harus menghadapi setiap kemungkinan dengan kejantanan. Maka iapun kemudian membentak pula, Apakah keuntunganmu dengan segala macam ceritera isapan jempol itu? Nah, sekarang katakan kepadaku, kepada Mahesa Jenar yang bergelar Rangga Tohjaya, di mana muridku Arya Salaka dan di mana Pudak Wangi kau sembunyikan?

Orang itu menarik alisnya. Kemudian warna merah tersirat di wajahnya. Maka sahutnya, Tak kusangka bahwa di dunia ini ada orang semacam kau ini. Orang yang senang pada pertengkaran tanpa sebab. Aku juga tidak tahu, apakah keuntunganmu dengan kelakuanmu yang aneh-aneh itu. Meskipun demikian apa boleh buat. Agaknya kau hanya ingin mengetahui, benarkah Mahesa Jenar, murid Ki Ageng Pengging Sepuh ini dapat menjunjung tinggi nama perguruannya.

Dada Mahesa Jenar menjadi semakin bergelora ketika nama gurunya disebut-sebut, sehingga ia tak dapat menahan diri.

Dengan meloncat ia berteriak, Baiklah kita lihat, siapakah murid Ki Ageng Pengging Sepuh.

Agaknya orang itu telah bersiaga pula. Ketika serangan Mahesa Jenar tiba, segera ia mengelakkan diri. Bahkan dengan gerakan yang tidak kalah cepatnya, orang itu pun telah membalas menyerang. Sesaat kemudian terjadilah pertempuran yang sengit. Pertempuran antara dua orang perkasa yang mempergunakan satu jenis ilmu keturunan dari Ki Ageng Pengging Sepuh.

Yang memusingkan kepala Mahesa Jenar adalah orang itu dapat bergerak dan mempergunakan ilmu peninggalan gurunya dengan sempurna. Bahkan dalam beberapa hal, orang itu memiliki kelebihan-kelebihan dari Mahesa Jenar.

Demikianlah kedua orang itu berjuang sekuat tenaga untuk mempertahankan kebenaran kata masing-masing.

Mahesa Jenar yang bertubuh tegap kekar berjuang dengan tangguhnya seperti seekor banteng yang tak surut menghadapi segala macam bahaya, sedang lawannya pun berjuang seperti seekor banteng yang tak mengenal mundur. Sehingga perang tanding itu merupakan perang tanding yang maha dahsyat. Apalagi seolah-olah bagi kedua-duanya sudah saling dapat memperhitungkan gerakan-gerakan lawan.

Dengan demikian yang terjadi seakan-akan hanyalah suatu adu kekuatan. Kalau dalam beberapa pertempuran mereka kadang-kadang berhasil menembus kelemahan lawan dengan unsur-unsur gerak yang membingungkan, tetapi kali ini mereka sama sekali tidak dapat saling mencuri kesempatan.

Sebab mereka seakan-akan mempunyai satu otak yang menggerakkan dua belah anak permainan macanan dengan tangan kanan di sebelah dan tangan kiri di sebelah lain.

Namun bagaimanapun juga kedua orang itu adalah orang yang berbeda, sehingga dalam kenyataannya, mereka pun tidak sama seluruhnya.
pulkan dari Harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta

301
LAWAN Mahesa Jenar yang mengaku juga bernama Mahesa Jenar itu ternyata memiliki kekuatan tubuh yang melampaui kekuatan tubuh Mahesa Jenar, sehingga setelah mereka bertempur berputar-putar, akhirnya terasalah bahwa Mahesa Jenar mulai terdesak. Hal ini terasa pula olehnya, sehingga dengan demikian ia menjadi gelisah. Apapun yang dilakukan, segala macam unsur gerak yang pernah dipelajari, tidak dapat menolongnya, sebab orang itupun mampu melakukannya. Bahkan kemudian terasa oleh Mahesa Jenar, bahwa seolah-olah ia telah berjalan mundur beberapa tahun. Kalau beberapa orang sakti dapat menambah ilmu hampir setiap saat, baginya, setelah sekian tahun terpisah dari gurunya, seakan-akan sama sekali tak suatupun yang dicapainya.

Meskipun demikian Mahesa Jenar tidak segera kehilangan akal. Jiwa kesatriaannya bergelora memenuhi dadanya, sehingga apapun yang terjadi, sama sekali ia tidak gentar.

Beberapa saat kemudian, di langit ujung Timur, terpencarlah warna kemerah-merahan fajar. Perlahan-lahan malam yang kelam mulai berangsur surut. Semburat merah yang mewarnai daun-daun ilalang hijau segera telah menimbulkan kesan tersendiri. Dalam pada itu kedua orang yang bertempur itu masih saja berjuang mati-matian. Di tengah-tengah rumpun-rumpun ilalang itu, terjadilah semacam sawah yang baru dibajak oleh bekas-bekas kaki yang bertempur dengan dahsyatnya.

Tetapi bagaimanapun juga akhirnya Mahesa Jenar harus mengakui keunggulan lawannya, setelah ia berjuang sekuat tenaga. Namun demikian ia sama sekali tidak mau mengorbankan diri. Dalam setiap kemungkinan antara hidup dan mati, akhirnya terpaksalah ia mempergunakan setiap kemungkinan untuk menolong jiwanya, selama itu tidak melanggar kehormatan darah kesatriaannya. Maka karena itulah sesaat kemudian, tampaklah ia mengangkat sebelah kakinya, tangan kirinya menyilang dada, sedang tangan yang lain diangkatnya tinggi-tinggi.

Melihat sikap itu, lawan Mahesa Jenar yang mengaku bernama Mahesa Jenar itu terkejut. Tetapi ia tidak sempat berbuat sesuatu, sebab segera Mahesa Jenar meloncat maju dan melontarkan pukulan Sasra Birawanya yang dahsyat. Ia hanya sempat melihat lawannya itu menyilangkan kedua tangannya, dan sesudah itu, orang itu terlempar beberapa langkah surut, dan kemudian jatuh terguling-guling.

Mahesa Jenar, setelah melihat akibat pukulannya, berdiri mematung. Matanya tajam memandangi lawannya yang dijatuhkannya itu. Tetapi sesaat kemudian ia terkejut, ketika ia melihat orang itu tertatih-tatih berdiri. Agaknya pukulannya tidak membinasakan lawannya. Tetapi setelah terkejut, iapun berlega hati, melihat lawannya masih hidup. Sebab bagaimanapun juga, bukanlah maksudnya untuk membunuh hanya karena sekedar ingin membunuh. Kalau ia terpaksa mempergunakan aji Sasra Birawanya, adalah karena ia tidak mau terbunuh. Justru karena itulah, ketika ia melihat orang yang dihantamnya itu masih hidup ia jadi berbesar hati. Juga karena dengan demikian ia akan dapat menanyakan dimana muridnya dan Pudak Wangi disembunyikan.

Tetapi kemudian kembali ia terkejut ketika orang yang dianggapnya sudah tak mampu lagi berbuat sesuatu karena pukulannya, kecuali hanya berdiri itu, membalikkan diri dan kemudian meloncat pergi. Sudah tentu Mahesa Jenar tidak membiarkannya. Kalau orang itu tidak terbunuh oleh pukulannya, ia sudah heran. Apalagi orang itu masih dapat berlari. Alangkah hebatnya daya tahan tubuhnya.

Karena itu, maka segera Mahesa Jenarpun meloncat mengejar orang itu, yang ternyata masih dapat berlari cepat. Maka terjadilah kejar-mengejar diantara batang-batang ilalang yang tumbuh lebat melampaui tubuh manusia. Tetapi pendengaran dan penglihatan Mahesa Jenar cukup tajam.
Apalagi cahaya matahari sudah semakin terang. Maka tampaklah setiap ujung batang-batang ilalang yang tergoyangkan oleh sentuhan tubuh orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu.

Pancingan kedalam Goa

Karena orang yang dikejarnya itu agaknya telah terluka, maka semakin lama jarak merekapun semakin pendek pula, sehingga Mahesa Jenar percaya, bahwa ia pasti akan dapat menangkap orang itu. Tetapi kemudian ia menjadi kecewa, ketika ia tinggal meloncat saja beberapa langkah, orang yang dikejarnya itu tiba-tiba merunduk dan seolah-olah lenyap diantara batu-batu. Itulah lobang goa, tempat Mahesa Jenar menembus keluar.

Untuk beberapa saat Mahesa Jenar berdiri termangu-mangu. Namun ia tidak mau kehilangan waktu. Segera ia berjongkok dan mendengarkan setiap desir di dalam goa itu, kalau-kalau lawannya telah memancingnya, dan kemudian membinasakannya pada saat ia merangkak masuk. Tetapi kemudian Mahesa Jenar mendengar suara terbatuk-batuk, tidak di depan mulut goa. Agaknya lawannya telah mengalami luka di dalam dadanya, dan sekaligus ia mengetahui bahwa lawannya tidak pula berada di muka mulut goa itu, sehingga dengan demikian segera ia melontarkan diri masuk ke dalamnya.

Untuk beberapa saat ia membiasakan matanya di dalam gelapnya goa. Dan setelah itu ia perlahan-lahan berjalan sambil memperhatikan setiap suara yang didengarnya. Sekali lagi ia mendengar suara lawannya terbatuk-batuk. Dan karena itulah ia dapat mengenal arahnya.

302

DENGAN hati-hati Mahesa Jenar menyusur dinding goa mendekati arah suara itu. Dan karena ketajaman telinganya, akhirnya Mahesa Jenar menjadi semakin dekat. Tetapi agaknya orang itupun bergerak pula semakin lama semakin dalam dan melewati berpuluh-puluh cabang yang membingungkan.

Namun Mahesa Jenar telah bertekad untuk mengikuti orang itu sampai ditangkapnya. Sebab ia yakin bahwa lukanya tidak akan mengijinkan orang itu bergerak leluasa.

Beberapa langkah kemudian, tiba-tiba Mahesa Jenar tertegun. Ia sampai pada suatu ruangan yang agak lebar dan tidak terlalu gelap. Ketika ia melihat ke atas, tampaklah beberapa lobang-lobang yang tembus. Dari sanalah cahaya pagi jatuh menerangi ruangan itu seperti ruangan-ruangan yang sering dipergunakan bermain-main oleh para cantrik.

Untuk beberapa lama, sekali lagi Mahesa Jenar kebingungan. Sekarang ia sama sekali tidak lagi mendengar suara apapun. Juga suara batuk-batuk orang yang dikejarnya itupun telah lenyap.

Karena itulah maka Mahesa Jenar menjadi marah kembali. Dengan saksama ditelitinya dinding ruangan itu kalau-kalau ada yang mencurigakan. Tetapi selain pintu masuk yang dilewatinya tadi, sama sekali tak diketemukannya lubang yang lain.

Dengan demikian ia menduga bahwa orang yang dicarinya masih berada di dalam ruangan itu pula. Maka sekali lagi Mahesa Jenar meneliti setiap relung ruang itu dengan lebih saksama lagi, sambil tetap mengawasi satu-satunya lobang masuk ke dalam ruang itu.

Dan dugaannya ternyata benar. Ia terkejut sampai terlonjak ketika di belakangnya terdengar suara tertawa yang lunak perlahan.

Cepat-cepat ia memutar diri dan bersiaga. Benarlah bahwa yang berdiri di hadapannya, di samping sebuah batu yang besar, adalah orang yang dicari-carinya.

“Kau tak akan dapat melepaskan diri,” kata Mahesa Jenar.

Orang itu tidak menjawab. Ia maju beberapa langkah mendekati Mahesa Jenar. Langkahnya tetap, tegap dan cekatan. Karena itu maka Mahesa Jenar terkejut karenanya. Kalau demikian, maka orang itu dapat melenyapkan luka-lukanya hanya dalam waktu yang sangat singkat.

Namun demikian Mahesa Jenar masih belum yakin, bahwa orang itu telah terbebas sama sekali dari akibat pukulannya. Maka katanya sekali lagi, “Katakan sekarang, di mana Arya Salaka.”

Orang itu berhenti beberapa langkah di hadapannya dalam keremangan. Terdengarlah kembali ia tertawa perlahan. Kemudian jawabnya,

“Kau telah mencoba menirukan aji Sasra Birawa. Tetapi sayang, jelek sekali.”

Mendengar ejekan itu darah Mahesa Jenar menggelegak sampai ke kepala. Ia tidak dapat lagi mengendalikan perasaannya. Karena itu sekali lagi ia meloncat menyerang dengan sengitnya. Kembali terjadi sebuah pertarungan yang hebat. Dua kekuatan yang tangguh saling berjuang untuk mempertahankan nama masing-masing.

Tetapi beberapa saat kemudian Mahesa Jenar menjadi gelisah kembali. Orang itu sama sekali telah terbebas dari luka-luka akibat pukulan yang luar biasa. Disamping itu kemarahan Mahesa Jenar semakin membakar hatinya. Dan apa yang dilakukannya kemudian adalah mengulangi apa yang pernah dilakukan. Dipusatkannya segala kekuatan batinnya, disilangkannya satu tangannya, sedang tangan yang lain diangkatnya tinggi-tinggi, sambil menekuk satu kaki ke depan, ia menggeram hebat siap mengayunkan ajinya Sasra Birawa.

Sesaat sebelum tangannya menghantam lawannya, dadanya terasa berdesir hebat ketika ia dalam sekejap melihat lawannya, yang mengaku bernama Mahesa Jenar, murid Ki Ageng Pengging Sepuh itu, ternyata juga mengangkat satu kaki, menyilangkan tangan kirinya di muka dada, serta mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi.

Meskipun demikian Mahesa Jenar sudah tidak sempat lagi membuat bermacam-macam pertimbangan. Apa yang dilakukannya kemudian adalah, dengan garangnya ia meloncat dan menghantam lawannya dengan sepenuh kekuatan dialasi dengan ajinya Sasra Birawa yang dahsyat.

Tiba-tiba pada saat itu pula ia melihat lawannya itupun berbuat demikian pula sehingga terjadilah benturan yang maha dahsyat. Mahesa Jenar merasakan seolah-olah berpuluh-puluh petir meledak bersama-sama di hadapan wajahnya. Udara yang panas yang jauh lebih panas dari api, terasa memercik membakar seluruh tubuhnya. Setelah itu, pemandangannya menjadi kuning berputar-putar, semakin lama semakin gelap. Akhirnya tanah tempatnya berpijak seolah-olah berguguran jatuh ke dalam jurang yang dalamnya tak terhingga. Sesudah itu tak satupun yang diingatnya.

Ia tidak tahu, berapa lama ia pingsan.

Yang mula-mula terasa olehnya adalah tetesan-tetesan air yang membasahi wajahnya.

Perlahan-lahan Mahesa Jenar mencoba membuka matanya. Mula-mula pemandangan di sekitarnya masih tampak hitam melulu. Tetapi lambat laun, tampaklah samar-samar cahaya matahari yang menembus lubang-lubang diatas ruangan itu, semakin lama semakin terang. Sejalan dengan perkembangan kesadarannya.

Kemudian, ketika pikirannya sudah semakin terang, terasalah bahwa seluruh tubuhnya basah kuyup. Agaknya seseorang telah menyiramkan air untuk membangunkannya.

Perlahan-lahan Mahesa Jenar berusaha untuk mengingat-ingat apa yang terjadi. Ketika segala sesuatunya menjadi semakin jelas, maka segera ia berusaha untuk bangkit. Tetapi agaknya tubuhnya serasa dicopoti segala tulang-tulangnya. Karena itu ketika ia mencoba mengangkat kepalanya, kembali ia jatuh terbaring.

Darahnya serasa menguap ketika ia mendengar di sampingnya suara tertawa lunak perlahan. Segera ia mengenal, siapakah orang itu. Namun bagaimanapun juga ia sama sekali tidak mampu berbuat apa-apa.

303

“KI SANAK…” Terdengar orang itu berkata.

“Jangan mencoba-coba menjadi rangkapan Mahesa Jenar, murid Ki Ageng Pengging Sepuh. Meskipun tiruan itu sudah kau lakukan dengan saksama, namun kalau kebetulan kau bertemu dengan orangnya, seperti sekarang ini, segera akan dapat dikenal kepalsuanmu. Meskipun demikian aku menjadi heran pula bahwa apa yang kau lakukan sudah hampir dapat menyamai apa yang aku lakukan. Dan agaknya kau telah mencoba pula mendalami ilmu Sasra Birawa. Aku tidak tahu dari mana kau pelajari ilmu itu, namun dalam beberapa hal, telah benar-benar mirip dengan Sasra Birawa yang sebenarnya.”

Mendengar ucapan-ucapan itu telinga Mahesa Jenar rasanya menjadi terbakar. Ia menggeram beberapa kali, namun ia sama sekali tidak dapat berbuat sesuatu. Ia hanya dapat menggerakkan kepalanya dan melihat orang yang mengaku bernama Mahesa Jenar itu duduk dengan enaknya di atas sebuah batu padas, disampingnya.

Beberapa saat kemudian orang itu kembali berkata, “Aku tidak sabar menunggui orang tidur terlalu lama, karena itu aku menyirammu dengan air. Ternyata kau terbangun karenanya.”

Mahesa Jenar ingin berteriak memaki-maki. Namun suaranya tersumbat di kerongkongan. Yang terdengar hanyalah sebuah desis kemarahan. “Bagaimanapun juga, aku hormati ketebalan tekadmu”, sambung orang itu, “Dalam keadaan yang demikian kau masih tetap pada pendirianmu. Karena itulah aku belum membunuhmu. Sebab aku ingin mengetahui siapakah orang yang telah berkeras hati mengaku bernama Mahesa Jenar.”

Sekali lagi Mahesa Jenar menggeram. Perlahan-lahan, ia mencoba menjawab, “Jangan kau takut-takuti aku dengan kematian, sebab kematian bukanlah suatu hal yang perlu ditakuti.”

“Bagus…!” Tiba-tiba orang itu meloncat berdiri. “Kau sendiri yang mengatakan. Jangan salahkan aku kalau aku membunuhmu sekarang.”

Mahesa Jenar bukan seorang penakut. Apapun yang akan terjadi atasnya bukanlah suatu hal yang perlu dicemaskan. Meskipun demikian ia menjadi gelisah ketika teringat oleh Arya Salaka. Ia tidak tahu di mana anak itu sekarang berada. Apakah ia masih hidup ataukah sudah mati di dalam relung dan lekuk-lekuk goa yang membingungkan itu. Karena perasaan yang demikian itulah tiba-tiba tanpa disengajanya ia berkata, ” Kau bunuh aku atau tidak, itu bukanlah urusanku, tetapi itu adalah urusanmu. Namun demikian katakan kepadaku apakah Arya Salaka masih hidup atau sudah kau bunuh pula?”

Orang itu tertegun sejenak. Tetapi hanya sejenak. Kemudian terdengar ia tertawa. “Jangan kau persulit dirimu, dan jangan kau kotori jalan kematianmu dengan dongengan-dongengan yang kisruh itu. Ataukah barangkali kau mengharap aku mengampuni kau untuk membantuku mencari muridku itu?”

“Cukup!” tiba-tiba Mahesa Jenar berteriak nyaring. Seluruh sisa kekuatannya telah mendorongnya berbuat demikian karena kemarahan yang tak tertahankan. “Kau mau membunuh, bunuhlah. Jangan membual.”

Sekali lagi terdengar suara tertawa. Lunak dan hanya perlahan-lahan. Sesudah itu, orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu melangkah justru menjauhi Mahesa Jenar. Katanya kemudian setelah ia sampai ke mulut ruang itu, “Aku tidak mau mengotori tanganku dengan membunuh orang semacam kau. Biarlah alam membunuhmu. Kau tidak akan dapat keluar dari ruangan ini sampai ajalmu tiba.”

Setelah itu orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu segera meloncat keluar dan terdengarlah suara berguguran. Beberapa batu besar jatuh tertimbun menutupi lubang ruangan itu. Bersamaan dengan itu, berguguran pulalah rasanya isi dada Mahesa Jenar. Ia ditinggalkan dalam ruangan tertutup dalam keadaan yang demikian. Bukan main. Suatu penghinaan yang tiada taranya. Sebagai seorang laki-laki ia lebih senang hancur di dalam suatu pertempuran daripada dibiarkan mati kelaparan di dalam sebuah goa.

Karena itulah dirasanya seluruh tubuhnya mendidih. Seluruh isi rongga dadanya menggelegak seperti akan meledak. Terasa betapa darahnya mengalir cepat dua kali lipat. Tetapi karena itu pulalah terasa kekuatannya timbul kembali oleh dorongan perasaan yang meluap-luap.

Dengan demikian maka sedikit demi sedikit Mahesa Jenar mulai dapat menggerakkan tubuhnya, sehingga beberapa saat kemudian ia telah mampu untuk mengangkat tubuhnya dan duduk tegak.

Matahari yang telah mencapai titik tengah, sinarnya langsung tegak lurus menembus lubang-lubang di atas ruangan itu dan membuat lingkaran-lingkaran di lantai. Udara yang lembab di dalam goa itu rasa-rasanya jadi menguap oleh panas matahari.

Mahesa Jenar kemudian menjadi gelisah karenanya. Ia tidak mau menyerah pada keadaan. Ia tidak mau membiarkan dirinya mati kelaparan di dalam goa itu tanpa perlawanan. Maka dengan segenap tenaga yang ada ia pun berdiri dan dengan terhuyung-huyung berjalan sekeliling ruangan itu berpegangan dinding. Dua tiga langkah ia masih terus beristirahat, sebab dadanya masih terasa nyeri, disamping pertanyaan yang selalu memukul-mukul kepalanya. Siapakah gerangan orang yang telah mengaku bernama Mahesa Jenar, murid Ki Ageng Pengging Sepuh, yang mampu mempergunakan ilmu Sasra Birawa, dan justru lebih hebat dari ilmunya.

Menurut ceritera almarhum gurunya, maka Ki Ageng Pengging Sepuh itu tidak mempunyai murid lain kecuali dirinya dan Ki Ageng Pengging yang bernama Kebo Kenanga, almarhum, putera gurunya sendiri. Tiba-tiba sekarang ia bertemu dengan seseorang yang memiliki ilmu gurunya itu dengan sempurna. Bahkan orang itu telah mengaku bernama Mahesa Jenar dan mempunyai seorang murid yang bernama Arya Salaka. Seolah-olah orang itu ingin menyindir akan ketidakmampuannya sebagai seorang murid dari perguruan Pengging.

304

KARENA pertanyaan-pertanyaan itu, maka kembali Mahesa Jenar merasa bahwa perkembangannya seolah-olah berhenti setelah ia terpisah dari gurunya. Sejak itu, ia hanya berusaha untuk mengamalkan ilmunya saja, tanpa berusaha untuk menambahnya. Dengan demikian maka ia tidak akan dapat mencapai tingkat seperti gurunya. Apabila hal yang demikian berlaku juga untuk murid-muridnya kelak, maka perguruan Pengging semakin lama akan menjadi semakin surut. Padahal seharusnya setiap murid akhirnya harus melampaui gurunya. Dengan demikian ilmu akan berkembang terus.

Hati Mahesa Jenar tiba-tiba menjadi pedih. Pedih sekali. Justru kesadaran itu timbul ketika dirinya sudah terkurung di dalam sebuah ruangan yang tertutup rapat. Mungkin ia dapat menghantam di dinding-dinding ruangan itu dengan Sasra Birawa dan membuat lubang untuk menemukan jalan keluar, tetapi agaknya sampai ia mati kehabisan tenaga, usahanya mustahil akan berhasil.

Dalam penelitiannya itu, Mahesa Jenar menemukan sebuah mata air kecil di belakang sebuah batu. Segera ia berjongkok, dan membasahi kerongkongannya yang serasa kering dan panas. Setelah itu terasa tubuhnya menjadi bertambah sehat.

Tetapi perasaannyalah yang tidak berkembang seperti tubuhnya. Perasaannya yang pedih masih saja menyayat. Tetapi tiba-tiba memancarlah suatu tekad. Tekad yang membawanya pada suatu ketetapan hati, bahwa justru dalam keadaannya yang sekarang, ia akan mengisi sisa hidupnya dengan suatu ketekunan, mendalami ilmunya mati-matian. Dalam keadaannya itu tiba-tiba ia terkejut melihat bayangan yang tegak berdiri pada sebuah relung dinding goa itu, sehingga ia terlonjak berdiri.

Tetapi ketika Mahesa Jenar semakin jelas melihat menembus keremangan relung itu, sadarlah ia bahwa yang berdiri di situ hanyalah sebuah patung batu yang belum sempurna. Meskipun demikian hatinya tertarik pula untuk melihatnya. Siapakah yang sudah membuat patung itu, justru di dalam sebuah ruangan jauh di dalam goa? Akh, mungkin orang aneh yang telah menamakan diri Mahesa Jenar itu.

Ketika ia telah semakin dekat, makin jelaslah bahwa patung batu itu masih belum siap seluruhnya. Dan ketika ia meraba-rabanya, tampaklah perubahan pada beberapa bagian. Pada bagian tubuhnya ia melihat lumut-lumut liar merayapi hampir seluruh bagian, tetapi di bagian kepalanya tampaklah luka-luka baru dari sebuah pahatan.

Tiba-tiba, ketika ia memandang kepala patung itu, hatinya berdebar-debar. Ia melihat bunga melati terselip di atas kupingnya sebelah kanan. Rambutnya berjuntai sebatang-sebatang sangat jarang, sedang ikat kepalanya hanya dikalungkan di lehernya. Itu adalah ciri-ciri khusus dari gurunya, Ki Ageng Pengging Sepuh, yang semula bergelar Pangeran Handayaningrat.

Dan tiba-tiba, dari wajah patung itu seolah-olah memancar suatu tuntutan darinya kepada Mahesa Jenar, apakah yang dapat dicapainya sepeninggalnya.

Oleh pemandangan yang tak disangka-sangka itu, hati Mahesa Jenar seperti dicengkam oleh suatu keadaan gaib. Tanpa sesadarnya ia berjongkok dan menunduk hormat di hadapan patung itu. Seolah-olah ia merasa berhadapan dengan almarhum gurunya.

Beberapa lama kemudian barulah ia tersadar. Yang berdiri di hadapannya tidak lebih dari sebuah patung. Patung yang mempunyai ciri-ciri khusus seperti gurunya, meskipun pahatan wajahnya tidak sempurna. Namun demikian, Mahesa Jenar merasa, bahwa patung itu dapat menjadi daya pengantar untuk mencapai suatu pemusatan pikiran terhadap gurunya. Sekali lagi Mahesa Jenar merasa berada dalam suatu alam yang gaib.

Lewat patung itu ia mengenang seluruh jasa-jasa gurunya. Seluruh cinta kasih yang pernah dilimpahkan kepadanya. Dan seluruh pelajaran-pelajaran yang pernah diberikan. Dari huruf pertama sampai huruf terakhir dalam ilmu tata berkelahi, jaya kawijayan dan kasantikan. Ia telah menerima pelajaran pula, bagaimana ia harus merangkai huruf itu menjadi kata-kata, dan kata-kata menjadi kalimat.

Dengan demikian sebenarnya ia telah mendapat dasar-dasar pendidikan sepenuhnya. Bahkan sampai pada aji Sasra Birawa yang dahsyat itu pun telah dapat dikuasainya. Soalnya kemudian, bagaimana ia dapat mengendapkan ilmunya untuk mendapatkan inti sarinya.

Dalam keadaan yang demikian itulah, hati Mahesa Jenar menyala berkobar-kobar. Tiba-tiba sekali lagi ia dikuasai oleh keadaan yang khusus. Dengan menyebut kebesaran nama Allah, maka tanpa sesadarnya ia mulai menggerakkan tubuhnya. Dimulailah gerakan-gerakan yang pernah dipelajari, dari unsur gerak yang paling sederhana. Satu demi satu. Kemudian unsur-unsur yang semakin sukar. Seolah-olah ia sedang menempuh ujian di hadapan gurunya sendiri.

Demikianlah akhirnya Mahesa Jenar bergerak semakin lama semakin cepat dan hebat. Orang yang bertempur dengan dirinya, yang menamakan diri Mahesa Jenar itu ternyata telah melengkapi unsur-unsur gerak yang telah hampir dilupakannya. Demikianlah maka Mahesa Jenar tenggelam dalam satu pemusatan pikiran untuk menyempurnakan seluruh ilmunya.

Dalam keadaannya itu Mahesa Jenar lupa pada segala-galanya. Lupa pada keadaannya, lupa pada waktu, lupa pada orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu, bahkan ia lupa pula tentang apa yang dilakukan itu. Demikianlah ia berjuang sebaik-baiknya, mengungkap segala ilmu yang pernah dimiliki.

Tetapi Mahesa Jenar sekarang, bukanlah Mahesa Jenar pada saat ia sedang mulai belajar dari gerakan pertama, kedua dan berturut-turut. Sekarang, kecuali segala macam unsur-unsur gerak yang pernah dipelajari, iapun pernah menempuh pengalaman yang luar biasa, sehingga dengan demikian, tak disengajanya pula, segala macam pengalaman itu menyusup masuk, melengkapi ilmunya sendiri.

Dalam pengembaraannya, ia pernah bertemu dengan tunas-tunas dari perguruan putih dan hitam yang bermacam-macam. Ia pernah bertempur dengan Sarayuda dari cabang Perguruan Pandan Alas yang terkenal dari Klurak, yang justru sebenarnya orang Gunung Kidul, Gajah Sora, anak dan sekaligus murid Ki Ageng Sora Dipayana, Banyubiru.

305

Ia pernah bertempur dengan murid-murid Pasingsingan seorang tokoh golongan hitam yang memiliki bermacam-macam ilmu dari golongan putih, Sima Rodra dari Gunung Tidar, Jaka Soka dari jenis perguruan golongan hitam di Nusakambangan, sepasang Uling dari Rawa Pening yang mempunyai cara bertempur yang aneh dan berpasangan.

Mau tidak mau. semua jenis ilmu gerak itu saling mempengaruhi. Juga bersama-sama dengan muridnya, Arya Salaka, Mahesa Jenar pernah menekuni gerak gerik binatang hutan yang paling lemah, sampai yang paling buas. Bagaimana yang lemah berusaha melepaskan diri dari kekuasaan binatang yang buas dan kuat. Juga pertarungan antara hidup dan mati antara binatang buas yang sama kuat, pertarungan maut antara burung rajawali dengan ular naga yang besar.

Demikianlah Mahesa Jenar yang menjadi seolah olah bergerak dengan sendirinya itu, tanpa setahunya telah mengungkapkan satu jenis ilmu tata berkelahi yang maha dahsyat. Pemusatan pikiran yang luar biasa dengan perantaraan patung disampingnya itu, seolah olah Mahesa Jenar sedang mempertanggung jawabkan dirinya dihadapan gurunya sendiri.

Matahari yang mula-mula memancar dengan teriknya, semakin lama semakin jauh menjelajah kearah barat. Dan pada saat mega putih berarak arak ke arah selatan, Matahari itu dengan lelahnya menyusup kearah garis cakrawala, meninggalkan warna lembayung yang tersirat dibalik mega-mega mewarnai wajah langit.

Pada saat itulah ruangan yang dipergunakan oleh Mahesa Jenar itu dicengram oleh kehitaman warna-warna yang lemah lembayung dilangit sama sekali tidak dapat menembus masuk kedalamnya. Apalagi sebentar kemudian malam telah menjadi semakin kelam. Pada saat itulah Mahesa Jenar baru merasa seluruh tubuhnya menjadi lelah. Kecuali keadaan tubuh yang memang belum pulih benar akibat benturan aji Sasra Birawa, juga ia telah mencurahkan tenaga melampaui batas.

Karena itulah, maka Mahesa Jenar menghentikan latihannya. Dengan meraba-raba dinding ia menyelusur kearah mata air didalam ruangan itu dibelakang sebuah batu. Karena kelelahan dan haus maka Mahesa Jenar segera minum sepuas-puasnya. Setelah itu iapun segera kembali kemuka patung yang mempunyai ciri gurunya. Dihadapan patung itulah Mahesa Jenar merebahkan dirinya untuk beristirahat.

Tetapi meskipun demikian, perasaannya yang sudah terikat pada patung itu, seolah-olah mempunyai kewajiban untuk menjaganya.

Maka ketika diluar goa itu binatang malam mulai meraja di padang ilalang dan lapangan rumput, mulailah Mahesa Jenar tenggelam kealam mimpi.

Ia tertidur karena kelelahan…

Di langit bintang menari-nari dengan riangnya diiringi dendang angin yang berhembus lemah. Lubang lubang diatas ruang yang banyakterdapat didalam goa itu karena hembusan angin, menimbulkan bunyi-bunyi yang beraneka warna. Dari nada rendah sampai nada tinggi.

Mahesa Jenar terbangun pada saat matahari melemparkan sinarnya yang pertama. Dari lubang-lubang diatas ruangan itu Mahesa Jenar dapat melihat betapa riangnya langit menerima senyuman Matahari pagi.

Bersamaan dengan itu, terasa seakan akan datanglah waktunya bagi Mahesa Jenar untuk memulai lagi kewajibannya terhadap gurunya. Dengan khidmat ia berjongkok dimuka patung batu itu, dengan perantaraannya mulailah ia memusatkan pikirannya atas semua ajaran almarhum gurunya. Apabila pikirannya telah benar-benar terpusat, serta dalam pendekatan diri setinggi-tingginya kepada Tuhan Yang Maha Esa, mulailah ia dengan pendalaman ilmu yang pernah diterimanya.

Demikianlah apa yang dilakukan Mahesa Jenar. Tekun melatih diri. Mengulangi dan menghubungkan satu sama lain untuk kemudian mencari intisarinya.

Hari demi hari telah dilampauinya. Bagaimanapun kuat tubuh Mahesa Jenar, namun dalam kerja yang sedemikian keras dan tekun, hanya dengan minum saja, tanpa sebutir makananpun, akhirnya tubuhnya menjadi semakin lemah. Tetapi tidak demikian dengan jiwanya. Perkembangan jiwanya bertentangan dengan perkembangan tubuhnya. Semakin lemah keadaan tubuhnya, jiwanya bertambah membaja. Akhirnya, ketika pada suatu saat tubuhnya telah menjadi lemah benar karena telah berulang kali memperdahsyat aji Sasra Birawanya. Mahesa Jenar tidak lagi dapat berbuat banyak.

Jasmaninya adalah wadag yang terbatas.

Maka yang dilakukan kemudian, adalah dengan tenangnya ia duduk bersila disamping batu itu. Ditutupnya kesembilan lubang tubuhnya, matanya yang redup tertanam pada ujung hidungnya. Seolah olah hilanglah dirinya, meloncat keluar dari tubuhnya yang lemah itu. Kemudian, seolah-olah dirinya yang hidup dialam lain itulah yang dengan dahsyatnya bergerak, dengan gerakan-gerakan yang luar biasa yang tak pernah mampu dilakukan wadagnya. Gerakan-gerakan yang mempunyai watak agak lain dengan gerakan-gerakan yang pernah dilakukan dialam wadag.

TIBA-TIBA diri Mahesa Jenar dalam alam yang lain itu, memancar dengan terangnya, menyinari tubuhnya. Pada saat itulah Mahesa Jenar merasa bahwa timbul sesuatu di dalam dirinya. Pada saat itulah ia merasa, menguasai benar setiap watak dari setiap gerak yang dilakukan, yang dilakukan oleh dirinya di luar wadagnya, yang sebenarnya adalah perwujudan dari kedahsyatan daya khayalnya dalam menekuni ilmunya, tanpa ikut sertanya wadag itu sendiri.

Pada saat itulah Mahesa Jenar menemukan suatu kekuatan yang jauh melampaui kekuatan wadagnya, dengan menguasai setiap watak dari setiap gerak. Sedang apa yang pernah dilakukan selama ini adalah penguasaan gerak itu sebagai suatu gerak jasmaniah melulu.

Pada saat yang terakhir, dirinya diluar wadagnya itu berdiri tegak di atas kedua kaki. Kemudian dengan gerak yang mengagumkan menyilangkan satu tangannya di muka dada, mengangkat tangannya yang lain tinggi-tinggi.

Ditekuknya satu kakinya ke depan, siap menghantamkan aji Sasra Birawa. Pada saat itu, terasa seolah-olah wadagnya terbang melayang mendekati dirinya diluar wadag itu. Sehingga jarak antara wadag dan kedahsyatan daya khayalnya dalam kebulatan tekat semakin lama semakin dekat.

Pada saat pertemuan diantara kedua dirinya dalam bentuknya yang berbeda itu, Mahesa Jenar mendapat suatu perasaan nikmat yang luar biasa. Perasaan yang tak dapat dilukiskan.

Persenyawaan diri dari unsur-unsur yang seolah-olah memiliki watak yang berbeda itu telah memecahkan masa hidupnya selama ini.

Kemudian seolah-olah lahirlah seorang Mahesa Jenar yang baru. Pada saat itulah, tiba-tiba bersenyawa pula gerakan-gerakan yang dilihatnya pada diri diluar wadagnya itu dengan wadagnya. Karena itulah maka yang ada kemudian hanya seorang Mahesa Jenar, dengan tubuh yang kurus pucat, tetapi berjiwa sekeras baja, berdiri diatas satu kakinya, satu tangannya menyilang dada dan satu tangannya terangkat tinggi-tinggi.

Kemudian dengan satu loncatan lemah, Mahesa Jenar mengayunkan tangannya menghantam batu yang bertimbun-timbun menutupi pintu satu-satunya dari ruangan itu. Akibatnya adalah dahsyat sekali.

Meskipun dengan tubuh yang lemah, namun kekuatan Mahesa Jenar rasanya menjadi berlipat-lipat. Batu-batu itupun segera pecah berhamburan. Dan tampaklah kemudian sebuah lubang, yang semula tertutup oleh guguran-guguran batu yang bertimbun-timbun, meskipun tidak menganga seluruhnya.

Pada saat itu, pada saat Mahesa Jenar sedang mengagumi tenaganya sendiri, terdengarlah sebuah suara tertawa yang lemah perlahan-lahan di belakangnya. Mahesa Jenar terkejut bukan main, dan dengan segera ia memutar tubuhnya, menghadap arah suara itu. Tetapi pada saat itu, ruang di dalam goa itu sudah mulai gelap, sehingga Mahesa Jenar tidak segera melihat sesuatu.

“Suatu latihan yang hebat,” tiba-tiba terdengar suara dari arah patung batu.

Mendengar suara itu Mahesa Jenar seperti orang bermimpi. Kata-kata itulah yang sering diucapkan oleh gurunya. Adakah patung batu itu benar-benar telah berubah menjadi gurunya?

Sesaat kemudian kembali terdengar suara, “Beristirahatlah, hari masih panjang.”

Sekali lagi Mahesa Jenar tersentak. Gurunya selalu menasehatinya demikian kalau ia terlalu letih berlatih.

Perlahan-lahan Mahesa Jenar melangkah maju mendekati patung itu. Ia menjadi ragu.

Bagaimanapun juga, patung itu baginya tidak lebih daripada batu-batu biasa. Yang kebetulan dapat dipergunakan sebagai pancatan untuk memusatkan pikirannya. Tidak lebih dari pada itu. Tetapi kalau tiba-tiba patung itu dapat berbicara adalah diluar nalar.

Tetapi tiba-tiba ia menjadi terkejut sekali lagi. Ia melihat bayangan yang bergerak-gerak di belakang patung itu. Dan di dalam relung itu dilihatnya pula bayangan yang lebih kelam dari sekitarnya. Cepat Mahesa Jenar dapat mengetahui, bahwa di belakang patung itu ternyata ada sebuah pintu yang dapat ditutup dan dibuka, yang dibuat dari batu-batu pula, sehingga tidak diketahuinya sebelum itu.

“Siapakah kau…?” desis Mahesa Jenar bertanya.

“Jangan bertanya demikian,” jawab suara itu.

“Seharusnya kau sudah tahu bahwa Mahesa Jenar datang menjengukmu.”

Mendengar jawaban itu hati Mahesa Jenar tergetar. Tetapi sekarang ia sudah mendapat suatu keyakinan tentang dirinya, sehingga dengan demikian ia menjadi bertambah tenang. Maka katanya kemudian, “Adakah yang menarik hati bagimu, sehingga kau perlukan menjenguk aku?”

“Ada,” jawab orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu.

“Lewat lubang itu aku dapat mengintip apa yang selama ini kau lakukan.”

“Kau keberatan?” sahut Mahesa Jenar.

“Tidak,” jawabnya, “Aku tidak pernah keberatan terhadap kelakuan orang lain yang tidak merugikan diriku, apalagi tidak merugikan orang banyak. Apa yang kau lakukan tidak lebih dari sebuah pertunjukan yang menyenangkan.”

Meskipun Mahesa Jenar tidak senang mendengar kata-kata itu, namun ia masih diam saja.

“Dengan pertunjukanmu itu aku pasti…” sambung orang itu, “Bahwa kau pernah membaca lontar kisah Mahabarata. Kisah seseorang yang tak berhasil berguru kepada seorang Pandeta yang bernama Kombayana.

Orang itu, yang bernama Bambang Ekalaya atau lebih terkenal dengan nama Palgunadi, kemudian membuat patung. Patung Pendeta itu. Pada patung itu ia berguru. Dan akhirnya benarlah ia dapat menyamai kesaktian murid Kombayana yang paling dahsyat dalam olah jemparing, yaitu Raden Arjuna.”

307

MAHESA JENAR merenung sebentar. Memang ia pernah mendengar ceritera itu. Dan apa yang dilakukan memang mirip sekali. Tetapi pada saat ia memulainya, ia sama sekali tidak pernah berpikir, apalagi sengaja menirukan apa yang pernah dilakukan oleh Bambang Palgunadi.

Mengingat peristiwa itu ia menjadi geli sendiri. Lalu jawabnya, “Kau benar. Mudah-mudahan akupun berhasil pula seperti Palgunadi.”

Tiba-tiba orang itu tertawa tinggi. Katanya, “Kau benar-benar pemimpi.

Yang bisa terjadi semacam itu, hanyalah didalam suatu dongeng saja.

Dan kau agaknya ingin menjadi salah seorang tokoh dongeng-dongeng semacam itu.”

Mahesa Jenar mengangkat pundaknya. Jawabnya, “Aku tidak tahu. Aku hanya mencoba.”

“Bagus,” sahut orang itu melengking dengan nada yang berbeda. “Aku akan melihat apakah kau berhasil,” sambungnya.

Setelah itu tiba-tiba ia meloncat maju. Meskipun ruangan itu sudah menjadi semakin gelap, namun Mahesa Jenar masih melihat orang itu menyilangkan satu tangannya, tangannya yang lain diangkatnya tinggi-tinggi, sedang satu kakinya dingkatnya dan ditekuk ke depan.

Mahesa Jenar terkejut bukan kepalang. Ia sama sekali tidak menduga bahwa dalam gerakan yang pertama orang itu telah menyiapkan suatu bentuk aji yang mirip dengan ajinya Sasra Birawa, bahkan orang itupun menamainya demikian.

Dalam pada itu Mahesa Jenar sadar bahwa kekuatan aji orang itu adalah sangat dahsyatnya. Beberapa hari yang lalu, ia menjadi pingsan karena benturan yang hebat. Sekarang tiba-tiba orang itu akan mengulanginya kembali. Tetapi Mahesa Jenar tidak dapat berbuat lain daripada berusaha menyelamatkan diri.

Karena itu, segera iapun berbuat hal yang sama dengan tubuhnya yang lemah. Ia mengharap setidak-tidaknya, dengan perlawanannya itu, akan dapat mengurangi tekanan yang dideritanya karena pukulan aji lawannya.

Sesaat kemudian ia melihat orang itu meloncat ke depan, dan dengan derasnya mengayunkan tangan kanannya. Pada saat yang bersamaan, Mahesa Jenar pun dengan segenap kekuatan lahir batin yang disalurkan dalam aji Sasra Birawa, menghantam tangan yang terayun ke arah kepalanya itu.

Maka terjadilah suatu benturan yang maha dahsyat. Dua macam kekuatan ilmu sakti yang oleh para pemiliknya dinamai Aji Sasra Birawa telah berbenturan. Dan benturan kali ini lebih dahsyat dari benturan kedua kekuatan sakti itu beberapa waktu yang lalu, karena Mahesa Jenar telah menemukan inti kekuatan ilmunya.

Meskipun demikian bagaimanapun juga, keadaan jasmaniah mereka mempengaruhi pula. Mahesa Jenar yang telah sekian lama tersekap di dalam goa itu tanpa sebutir makananpun, harus berbenturan melawan seorang yang segar bugar. Namun pancaran kekuatan yang tersembunyi di balik kekuatan jasmaniah, ternyata memiliki kemampuan yang nggegirisi.

Demikianlah ketika benturan itu terjadi, ternyata kedua orang itu bersama terlempar surut. Orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu, merasakan pula betapa hebat pukulan lawannya, sehingga ia terpaksa jatuh sekali berguling, barulah ia dapat tegak kembali. Tetapi dalam pada itu, Mahesa Jenar sendiri terdorong jauh ke belakang sehingga tubuhnya membentur dinding goa.

Setelah itu dengan lemahnya Mahesa Jenar terduduk di lantai. Tetapi dalam pada itu terbesitlah suatu perasaan yang aneh dalam dirinya. Meskipun ia terlempar sampai membentur dinding goa, dan kemudian dengan lemahnya terduduk di lantai seperti orang yang kehilangan seluruh tulang-tulangnya, namun dalam benturan itu ia tidak lagi merasakan percikan panas yang membakar seluruh tubuhnya seperti yang dialaminya dahulu. Juga kali inipun kepalanya tidak menjadi pening berkunang-kunang dan ia tidak pingsan. Dengan demikian, timbul pulalah suatu pikiran di dalam kepalanya, seandainya keadaan jasmaniahnya tidak terlalu jelek, mungkin akan dapat mengimbangi pukulan lawannya.

Tetapi disamping perasaan gembira yang membersit di dalam dadanya itu, iapun menjadi cemas kalau-kalau lawannya itu akan mengulangi serangannya untuk membinasakannya. Meskipun ia sama sekali tidak takut mati, namun ia masih menginginkan untuk menurunkan ilmu Perguruan Pengging itu kepada Arya Salaka.

Dan karena itulah, terdorong oleh kemauannya yang keras dan tekad yang mantap, terasalah bahwa perlahan-lahan kekuatannya timbul kembali. Sehingga meskipun ia masih harus berpegangan pada dinding goa, namun iapun berhasil untuk berdiri dan menanti apa yang akan terjadi.

Disamping itu ia bersyukur pula, bahwa kini di dalam ruangan itu telah menjadi semakin gelap. Dengan demikian ia mengharap bahwa orang itu tidak lagi akan menyerang segera.

Kalau saja orang itu menundanya sampai esok, mungkin ia telah mendapatkan sebagian dari kekuatannya kembali. Dalam kegelapan itu, maka Mahesa Jenar yang tajam, masih mampu menangkap bayangan samar-samar di hadapannya. Tetapi sampai sekian lama ia menyaksikan bayangan itu tegak tak bergerak.

Dan kemudian ternyatalah, apa yang diharapkan Mahesa Jenar. Sebab ruangan yang semakin kelam, maka orang itu pun berkata, “Untunglah bagimu, ruangan ini menjadi amat gelap sehingga aku berhasrat untuk menunda umurmu sampai besok. Tetapi bagaimanapun juga aku jadi heran. Iblis mana yang telah merasuk dalam tanganmu, sehingga kau mampu melawan Sasra Birawa tanpa cidera.”

Mahesa Jenar menarik nafas. Ia menjadi lega oleh keputusan lawannya.

Tetapi ia menjawab sindiran itu, “Bukankah kau telah berceritera tentang Ekalaya dan Pendeta Kombayana?”

Tiba-tiba orang itu tertawa. Nyaring dan panjang. Katanya kemudian,

“Bagus, kau telah menghidupkan sebuah cerita petikan dari Mahabarata.

Dan aku ingin melihat akhir dari cerita ini. Apakah kau benar-benar mampu menandingi aku.”

“Mudah-mudahan,” jawab Mahesa Jenar pendek.

308

SEKALI lagi orang itu tertawa. Kemudian sambungnya, “Tetapi aku ingin bertindak adil. Aku tidak mau memenangkan pertempuran ini melawan seseorang yang hampir mati kelaparan. Tunggulah kau di sini, aku akan membawa makanan untukmu.”

Kemudian terdengarlah orang itu melangkah pergi.

Mahesa Jenar berdiri termangu-mangu. Ia semakin tidak mengerti kelakuan orang yang juga menamakan diri Mahesa Jenar itu.

Sesaat kemudian, apa yang dijanjikan orang itu terjadilah. Ia masuk kembali lewat mulut goa yang mula-mula ditutupinya dengan reruntuhan batu-batu, yang kemudian terbuka kembali karena tangan Mahesa Jenar.

Di tangan kanannya ia memegang sebuah obor dan di tangan kirinya sebuah bungkusan daun pisang.

Ia langsung duduk di tengah-tengah ruangan itu, sambil membuka bungkusannya ia berkata, “Kemarilah. Duduklah dan makanlah bersama aku.”

Mahesa Jenar tidak membantah. Tetapi mula-mula ia pergi dahulu ke mata air. Sesudah minum beberapa teguk baru ia duduk di depan orang yang juga menamakan diri Mahesa Jenar itu.

“Makanlah,” desak orang itu. “Atau kau takut aku meracunmu?”

Mahesa Jenar menggeleng. “Tidak,” jawabnya. “Orang semacam kau ini pasti tidak akan meracun orang. Sebab kau terlalu yakin akan kesaktianmu.”

Sejenak kemudian mereka berdiam diri sambil menikmati isi bungkusan yang dibawa oleh orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu, yang ternyata adalah seonggok nasi dengan lauk pauknya. Goreng ikan gurami.

Mula-mula Mahesa Jenar tidak menaruh perhatian sama sekali kepada jenis makanan ini. Tetapi beberapa saat kemudian ia mulai berpikir.

Dari manakah orang itu mendapat goreng ikan gurami. Ataukah di dalam goa ini terdapat alat untuk menggoreng dan kolam ikan gurami?

“Kau telah berbuat suatu kesalahan,” desisnya.

Orang itu terkejut. “Kesalahan…?” ia bertanya.

Mahesa Jenar mengangguk. Sambil menunjuk sisa ikan gurami itu ia berkata, “Mahesa Jenar yang kehilangan muridnya di dalam goa ini tidak akan menemukan goreng ikan gurami dengan demikian mudahnya.”

Kembali orang itu terkejut. Tetapi hanya sebentar, sebab sebentar kemudian ia tertawa tinggi.

Sambil masih menyuapi mulutnya ia menjawab, “Kau memang suka ngotak-atik. Apa salahnya kalau aku mendapat goreng ikan gurami? Aku tangkap ikan ini di kolam di sebelah selatan goa ini.”

“Dari mana kau dapat minyak?” potong Mahesa Jenar.

Orang itu terdiam sebentar, lalu katanya, “Sekarang ternyata kalau kau tak tahu sama sekali ujung pangkal tempat ini. Aku berada di dalam goa ini atas petunjuk seorang pendeta sakti yang bernama Panembahan Ismaya bersama muridku Arya Salaka. Tetapi sesaaat kemudian muridku itu hilang.”

“Adakah seorang Mahesa Jenar, murid Ki Ageng Pengging Sepuh perlu bersembunyi di dalam goa?” bantah Mahesa Jenar.

Sekali lagi orang itu terdiam. Setelah berpikir sebentar barulah ia menjawab, “Kalau kau mengaku pula bernama Mahesa Jenar, apa pula kerjamu di sini?”

Mahesa Jenar membetulkan duduknya. Ia merasa mendapat sesuatu dari percakapan itu. Jawabnya, “Aku masuk ke dalam goa ini karena aku mengejar kau, orang yang mengaku bernama Mahesa Jenar.”

“Tetapi menurut katamu…” sahut orang itu, “Kau telah berada di dalam goa ini sebelumnya. Bukankah kau menuduh aku memancingmu, memisahkanmu dari seorang yang kau aku menjadi muridmu?”

“Kalau begitu, kita telah menghuni goa ini bersama-sama. Namun ada bedanya,” jawab Mahesa Jenar. “Kau agaknya telah mengenal segenap lekuk liku goa ini. Aku belum.”

“Aku berada dalam goa ini karena ijin yang memiliki,” potong orang itu. “Kau agaknya seorang penghuni gelap?”

Mahesa Jenar tertawa pendek. Ia merasa kehilangan jalan. Karena itu ia berdiam diri.

Suasana kemudian menjadi hening. Namun dalam keheningan itu, Mahesa Jenar tidak luput dari suatu keadaan yang sibuk. Sibuk berpikir dan menebak-nebak. Ia merasa bahwa pasti ada suatu maksud yang tersembunyi. Mungkin orang itu sudah tahu bahwa dialah sebenarnya yang
bernama Mahesa Jenar.

Tiba-tiba Mahesa Jenar bertanya menyentak, “Kau belum menjawab pertanyaanku, dari mana kau mendapat minyak goreng?”

Orang itu pun terkejut. Jawabnya, “Sudah aku katakan, dari cantrik padepokan Karang Tumaritis.”

“Kenapa kau bersembunyi dalam goa ini?” desak Mahesa Jenar cepat.

“Beberapa orang sakti mencari aku untuk membalas dendam,” jawabnya secepat pertanyaan Mahesa Jenar.

“Kau takut?” desak Mahesa Jenar pula.

“Tidak. Tetapi aku tidak akan mampu melawan mereka.”

“Bohong!” bentak Mahesa Jenar.

Orang itu terkejut. Pandangannya jadi semakin tajam.

“Kau sudah berada diantara mereka. Dan mereka tidak dapat menangkapmu.” potong Mahesa Jenar.

Tiba-tiba mata orang itu menjadi merah. Agaknya ia menjadi marah.

Tetapi Mahesa Jenar tidak peduli. Ia berkata terus, “Ada beberapa pertentangan dalam ocehanmu. Kau bersembunyi karena orang-orang sakti yang mengejarmu untuk membalas dendam, tetapi kau telah berada diantara mereka, dan mereka ternyata tak dapat berbuat sesuatu.

Kemudian kau katakan bahwa kau kehilangan muridmu di dalam goa ini, sedang agaknya kau mengenal segala lekuk-likunya, sehingga mustahillah bahwa kau tak dapat menemukannya. Ataupun kalau murid yang kau katakan itu hilang diluar goa ini, kau akan dapat minta tolong kepada Panembahan Ismaya dan cantrik-cantriknya untuk mencarinya. Nah, sekarang katakan kepadaku. Apakah maksudmu sebenarnya dengan mengaku bernama Mahesa Jenar, murid Ki Ageng Pengging Sepuh?”

309

ORANG itu menjadi semakin marah mendengar kata-kata Mahesa Jenar yang menghambur seperti bendungan pecah. Tetapi Mahesa Jenar masih belum berhenti, sambungnya, “Apalagi kau dapat berceritera tentang semua pengalaman dan peristiwa yang aku alami. Bahkan sampai pada ke persoalan hubungan antara aku dan orang-orang sakti yang mengejarku?”

Orang itu sudah tidak sabar lagi. Dengan kerasnya ia membentak, “Cukup!”.

Lalu tubuhnya menjadi gemetar, dan tiba-tiba ia meloncat berdiri.

Katanya melanjutkan dengan suara gemetar, “Kau memancing kemarahanku.

Aku sudah ingin menunda umurmu sampai besok. Tetapi ternyata kau ingin menyerahkannya sekarang. Berdirilah, dan jangan mati berpangku tangan.

Apakah kau akan membanggakan Sasra Birawa tiruan yang hanya mampu memecah batu itu. Itu hanyalah suatu pameran jasmaniah yang sama sekali tak berharga.”

Setelah itu ia mencari sebuah batu untuk menyandarkan obornya.

Kemudian sambil mempersiapkan diri ia berkata, “Marilah kita mulai. Jangan lewatkan waktu dengan sia-sia.”

Sekali lagi Mahesa Jenar terkejut bukan kepalang. Kalimat itu adalah kalimat yang sering diucapkan oleh gurunya pula. Sudah beberapa kali ia mendengar orang yang menamakan dirinya Mahesa Jenar itu pasti mempunyai hubungan dengan gurunya. Kalau tidak, tidak akan ia menyebut beberapa kata-kata yang bersamaan. Yang selalu ditujukan kepada dirinya dan saudara seperguruannya almarhum.

Sebelum ia menemukan suatu jawaban, terdengar orang itu berkata pula, “Berdirilah, dan pergunakan Sasra Birawa buatanmu yang tidak lebih dari sebuah pedang yang tumpul. Dengan pedang yang berat dan tumpul itu, kau dapat mematahkan besi gligen, dengan mengandalkan kekuatan jasmaniah. Tetapi kalau ada sehelai kapuk yang melayang-layang dibawa angin, pedangmu itu tidak akan berguna. Kau tidak akan mampu membelah helaian kapuk itu bagaimanapun kuatnya tenaga jasmanimu. Tetapi untuk memotongnya, kau perlukan sebuah pedang yang tidak perlu berat dan kuat, namun ia harus tajam setajam perasaanmu.”

Sekali lagi Mahesa Jenar tersentak. Kata-kata itu sama sekali bukan kata-kata seorang yang marah dan akan membunuhnya. Tetapi justru kata-kata yang sangat diperlukannya. Dengan mesu raga, ia sekarang mampu menangkap isi katakata itu. Bahkan justru sebagai penjelasan
atas perbedaan watak dari gerak-gerak wadagnya dan gerak-gerak dirinya yang dilihatnya di luar wadagnya. Tetapi sekali. Dua buah pedang yang berat, kuat namun tumpul, yang mampu memecah henda apapun, dan yang lain pedang yang ringan, tetapi bermata tajam. Hanya dengan pedang semacam itulah ia akan mampu memotong sehelai kapuk yang diterbangkan angin.

Apalagi di dalam kata-katanya, orang itu ternyata menganggapnya, betapa tajam perasaannya. Sehingga untuk memangkas kapuk yang diterbangkan angin diperlukan pedang setajam perasaannya. Sesaat kemudian kembali orang itu berkata, “Berdirilah, aku sudah hampir
mulai.”

Tetapi Mahesa Jenar tidak juga mau berdiri. Ditatapnya saja wajah orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu, seolah-olah sampai menembus ke dalam otaknya. Didalam cahaya obor yang masih menyala-nyala disamping mereka. Mahesa Jenar dapat melihat wajah itu dengan agak jelas. Kalau orang itu dihilangkan rambut-rambut yang melingkari mukanya, ia akan dapat memastikan, bahwa tak seorangpun akan mengenalnya sebagai Mahesa Jenar. Tetapi yang mengherankan, segala gerak, tingkah-laku serta setiap unsur gerak yang dilakukan
adalah tepat seperti yang dikenal dan dilakukannya. Bahkan tidaklah mungkin, bahwa secara kebetulan orang itu mengulang kata-kata gurunya sampai beberapa kali.

Karena itulah maka ia sampai pada suatu kesimpulan, bahwa orang itu pasti mempunyai hubungan dengan gurunya. Apapun sifatnya. Dengan demikian maka tidak sewajarnyalah kalau ia melawannya.

Bahkan ketika sekali lagi orang yang berdiri dihadapannya itu menyuruhnya berdiri, Mahesa Jenar menjawab, “Tidak. Aku lebih senang duduk menikmati makanan yang kau bawa.”

“Kau takut menghadapi kematian?” tanya orang itu.

“Sejak semula aku berkata, bahwa kematian bukanlah sesuatu yang menakutkan,” jawab Mahesa Jenar.

“Kalau begitu kau menunggu apa lagi?” desak orang itu tidak sabar.

“Kau benar-benar mau berkelahi?” tanya Mahesa Jenar kemudian.

“Sebagaimana kau lihat. Aku sudah siap,” jawabnya.

“Aku tidak,” potong Mahesa Jenar.

“Kau takut?” sahut orang itu.

Mahesa Jenar menggeleng. Katanya, “Aku tidak takut. Tetapi aku tidak akan dapat menyamai kesaktianmu. Tidak ada gunanya.”

Mendengar jawaban itu, orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Nah, kalau begitu kau mengaku sekarang, bahwa kau bukanlah Mahesa Jenar, murid Ki Ageng Pengging Sepuh. Sebab Mahesa Jenar bukanlah seorang pengecut.”

“Siapa bilang?,” bantah Mahesa Jenar. “Aku tidak mengatakan bahwa aku bukan Mahesa Jenar. Tetapi bukan berarti bahwa di dunia ini tak ada seorangpun yang melampaui kesaktianku. Diantaranya kau.”

310

Tiba-tiba orang itu jadi kesal sekali. Karena itu ia membentak, “aku akan membunuhmu. Melawan atau tidak melawan.”

“Ki sanak,” jawab Mahesa Jenar dengan tenangnya. Agaknya ia sudah menemukan jalan untuk mendapatkan suatu ketegasan. “Aku mempunyai usul. Kenapa persoalan ini harus diselesaikan dengan sebuah perkelahian? Menurut katamu kau disembunyikan disini oleh seorang Panembahan sakti yang bernama Panembahan Ismaya. Akupun seharusnya berkata demikian pula kepadamu. Karena itu biarlah Panembahan itu yang memilih satu diantara kita, siapakah yang dianggapnya benar-benar Mahesa Jenar.”

“Tidak perlu pihak ketiga. Marilah kita selesaikan soal kita sendiri.”

Mendengar jawaban itu Mahesa Jenar tersenyum. Jawabnya, “aku makin yakin sekarang bahwa aku tidak perlu berkelahi. Sebab kau sama sekali tidak bermaksud bertempur untuk mempertahankan suatu kebenaran dan keyakinan, tetapi kau ingin bertempur karena nafsu ketamakanmu. Nafsu ingin mempertunjukkan kemenanganmu dan kesaktianmu.”

“Omong kosong,” potong orang itu.

“Aku menantangmu karena kau telah menamakan dirimu Mahesa Jenar. Bukankah dengan demikian kau meniadakan adaku sebagai Mahesa Jenar yang sebenarnya?.”

Sekali lagi Mahesa Jenar tersenyum. Ternyata karena keyakinan pada dirinya sudah bertambah sempurna sehingga ia tidak lagi bersikap menentang dan tidak lagi membiarkan perasaannya bergolak. Jawabnya, “kau menganggap dirimu Mahesa Jenar ?.”

“Aku tidak menganggap demikian,” bantah orang itu, “sebab aku memang demikian sebenarnya.”

“Kau dapat berkata demikian kepada orang lain, bahkan kepadaku. Kepada Mahesa Jenar murid Ki Ageng Pengging Sepuh, ” sahut Mahesa Jenar. “Tetapi dapatkan kau berkata demikian kepada dirimu sendiri. Kepada hatimu ?”

Orang itu tiba-tiba menjadi gelisah. tetapi ia diam saja.

“Nah ki sanak. Sebenarnya kau tak usah mempersulit dirimu, ” sambung Mahesa Jenar. “Kau dapat berbuat sekehendakmu tanpa suatu kesaksianpun disini. Apakah kau menamakan dirimu Mahesa Jenar atau bukan dihadapanku, sesudah kau berhasil membunuhku, akibatnya akan sama saja.”

“Aku jadi yakin terhadap suatu kebenaran tentang dirimu,” tiba-tiba orang itu berkata. “bahwa otakmu memang tidak jelek.”

Sekali lagi Mahesa Jenar terguncang. Orang yang menamakan dirinya Mahesa Jenar itu sekali lagi membuat heran dengan kalimat kalimat yang pernah diucapkan gurunya. Sehingga dengan demikian Mahesa Jenar menjadi semakin yakin pula bahwa orang itu pasti mempunyai hubungan dengan gurunya. Karena itu ia tidak mau memperpanjang keadaan dalam belitan pertanyaan-pertanyaan.

Karena itu segera Mahesa Jenar memperbaiki duduknya menghadap kearah orang yang menamakan dirinya Mahesa Jenar, yang berdiri tegak dihadapannya. Dengan hidmadnya ia membungkuk hormat sambil berkata,” tuan, sudah beberapa kali aku mendengar tuan mengucapkan kalimat-kalimat yang sering diucapkan oleh almarhum guruku, ki Ageng Pengging Sepuh. Karena itu aku mengharap agar tuan tidak terlalu lama mengaduk otakku dengan teka-teki yang tuan berikan mengenai diri tuan.”

Orang itu memandang Mahesa Jenar dengan tajamnya. Tetapi mata itu makin lama semakin menjadi lunak. Dengan sebuah senyuman ia menjawab, “Jadi kau benar-benar percaya bahwa aku bernama Mahesa Jenar? Bukankah kau akui bahwa aku dapat menirukan beberapa kalimat yang pernah diucapkan oleh guruku ki Ageng Pengging Sepuh?.”

“Maafkanlah,” jawab Mahesa Jenar, “bagaimana aku dapat percaya bahwa diriku dapat dipecah menjadi dua orang. Aku dan tuan. Tetapi bahwa tuan dapat menirukan kalimat-kalimat ki Ageng Pengging Sepuh, aku tidak akan membantah, karena itu aku ingin tuan memecahkan jawaban itu.”

Sekali lagi orang itu tersenyum. Lalu perlahan-lahan berjalan mendekap Mahesa Jenar.

“Kalau kau tidak percaya bahwa aku Mahesa Jenar, lau siapakah aku menurut pendapatmu?,” katanya.

“Aku tidak tahu,” jawab Mahesa Jenar.

“Aku terlalu membiarkan perasaan marahmu menjalari otakmu, sehingga kau tidak dapat lagi melihat lebih saksama. Tetapi sekarang akgaknya kau telah berhasil mengendapkan diri, karena itu dengan gembira aku melihat, bahwa kau tidak lagi mudah dipaksa untuk berkelahi, tanpa tujuan.”

“Mahesa Jenar. Tidakkah kau dapat mengingat-ingat lagi, siapakah yang memiliki ilmu Sasra Birawa di dunia ini ?”

Mahesa Jenar seperti terbangun dari mimpi yang membingungkan. Seharusnya sejak semula ia harus sudah mengingat-ingat hal itu. Dengan teliti ia mulai mengenangkan masa lampau. Suatu lingkungan kecil didalam padepokan di Pengging dimana ia bersama kakak seperguruannya menuntut ilmu jaya kawijayan dan kesaktian, sebagai bekal hidupnya kelak. Tetapi bagaimanapun ia mengingat-ingat, namun yang diingatnya hanyalah, didalam padepokan itu, kecuali dirinya dan almarhum Kebo Kenanga tidak ada seorang muridpun lagi.

Akhirnya ia mulai mengingat siapakah yang sering datang ke padepokan itu. Orang-orang lain yang mempunyai hubungan erat dengan gurunya. Tetapi gurunya sangat teliti, sehingga tidak mungkin ada orang lain yang dapat mencuri ilmu sakti tiu tanpa setahunya.

Tiba-tiba Mahesa Jenar tersentak. Ya, orang itu ada orang yang selalu datang ke padepokan itu melihat-lihat gurunya menurunkan ilmu kepadanya.

Karena ingatan itulah maka mata Mahesa Jenar menjadi berkilat-kilat. Sekali lagi ia membungkuk hormat. Katanya, ” Tuan, baru sekarang agaknya otakku dapat bekerja dengan baik. Perkenankanlah aku menebak siapakah sebenarnya tuan?.”

ORANG itu mengangguk. Kemudian katanya, “Kau telah berhasil mengingat kembali orang-orang yang memiliki aji Sasra Birawa?”

“Sudah, Tuan,” jawab Mahesa Jenar,

“Pertama adalah guru. Kedua dan ketiga adalah murid-muridnya. Aku dan almarhum Ki Ageng Pengging, Ki Kebo Kenanga. Dan keempat adalah saudara muda seperguruan Guru, yang tidak lain adalah putra guru yang tua, kakak Ki Kebo Kenanga. Karena itu aku berani memastikan bahwa Tuan adalah orang yang keempat itu.”

Orang itu mengangguk-angguk. Sahutnya, “Ingatanmu masih baik kalau kau pergunakan. Ternyata kau menebak tepat.”

Sekali lagi Mahesa Jenar membungkuk hormat. Dengan hikmat ia berkata, “Maafkanlah kelancanganku. Sudah berapa puluh tahun Tuan meninggalkan kami sehingga aku tidak dapat mengenal Tuan kembali.”

“Tidak ada yang perlu aku maafkan. Semuanya memang aku kehendaki demikian,” jawab orang itu.

Mahesa Jenar tiba-tiba merasakan suatu yang bergelora didalam dadanya. Suatu campur baur dari bermacam-macam perasaan. Sedih, gembira, bangga, terharu. Lebih dari pada itu, ia beberapa kali mengucap syukur kepada Tuhan di dalam hatinya.

Dalam suatu saat yang tak disangka sangka, ia bertemu dengan putra gurunya yang tua, yang dalam perguruan menjadi adik seperguruan gurunya. Orang itu bernama Ki Kebo Kanigara, yang lenyap beberapa tahun sebelum gurunya meninggal. Dari gurunya ia pernah mendengar bahwa ilmu Ki Kebo Kanigara itu sama sekali tidak berada dibawah gurunya. Bahkan, karena kegemarannya mengembara, ia dapat menambah ilmu itu dengan bermacam-macam bentuk dan isi.

Sekarang ia bertemu dengan orang itu dalam suatu suasana yang seolah-olah mengandung pertentangan. Karena itu maka Mahesa Jenar bertanya seterusnya, “Kakang Kebo Kanigara, kalau sejak selama aku dapat berpikir dengan tenang, maka sejak semula aku tak akan berani melawan, meskipun aku tidak dapat mengerti maksud kakang dengan mempergunakan nama serta gelarku.”

Kebo Kanigara tersenyum. Lalu duduk disamping Mahesa Jenar. Dengan perlahan-lahan ia menjawab, “Mahesa Jenar, kalau kau mengenal aku sejak semula, maka keadaanmu akan berbeda pula. Apa yang kau capai selama beberapa hari ini, justru karena kau tidak mengenalku.”

Sadarlah Mahesa Jenar, bahwa Kebo Kanigara telah memaksa dengan caranya, supaya ia menekuni ilmunya lebih dalam lagi. Tetapi meskipun demikian ia masih bertanya, “Kakang, bukankah Kakang dapat menuntun aku tanpa teka-teki yang hampir memecahkan kepalaku itu.”

Sekali lagi Kebo Kanigara tersenyum. Jawabnya, “Dengan demikian keprihatinanmu akan jauh berbeda. Kau akan mendalami ilmumu dengan tahap-tahap yang biasa. Tetapi, dengan keadaanmu seperti yang kau alami, kau benar-benar membanting tulang untuk memperdalam ilmu itu. Justru dengan demikian kau benar-benar telah menemukan sarinya dalam waktu yang singkat.”

“Tetapi Kakang…” bertanya pula Mahesa Jenar, “Dari mana Kakang dapat mengetahui semua keadaan yang pernah aku alami. Bagaimana Kakang tahu bahwa Panembahan Ismaya telah menyembunyikan aku di sini, dan bagaimana Kakang dapat mengenal hampir setiap orang yang pernah aku kenal pula?”

Kebo Kanigara mengerutkan keningnya. Ia tampak ragu-ragu. Namun kemudian ia menjawab pula, “Mahesa Jenar… ketahuilah bahwa aku memang merupakan salah seorang dari penghuni padepokan ini. Apa yang aku lakukan semuanya atas ijin Panembahan. Dan dari Panembahan pula aku mendapatkan beberapa petunjuk tentang kau.”

“Siapakah sebenarnya Panembahan Ismaya itu?” tanya Mahesa Jenar.

Kebo Kanigara menarik nafas panjang sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Jawabnya, “Pertanyaanmu aneh Mahesa Jenar. Kau bertanya tentang seseorang yang telah kau sebut namanya. Bukankah ia Panembahan Ismaya. Panembahan sakti yang mengepalai padepokan Karang Tumaritis ini?”

Dari jawaban itu Mahesa Jenar dapat mengetahui bahwa ada sesuatu yang tersembunyi, yang tak seorangpun boleh mengetahui. Karena itu ia tidak bertanya lebih lanjut. Tetapi ia bertekad untuk pada suatu waktu dapat mengetahuinya pula, siapakah sebenarnya orang tua yang seolah-olah
telah menyisihkan diri dari dunia ramai itu.

“Kakang…” Mahesa Jenar memulai lagi, “Kalau demikian, di manakah muridku Kakang sembunyikan?”

Kebo Kanigara tertawa. Lunak dan perlahan-lahan. Jawabnya, “Benarkah kau bertanya tentang muridmu?”

Mahesa Jenar menjadi heran. Sambil mengangguk-angguk ia menegaskan, “Ya Kakang. Aku bertanya tentang muridku?”

“Sesudah itu kau pasti akan menanyakan seorang lagi kepadaku,” sahut Kebo Kanigara sambil tersenyum. “Malahan barangkali yang lebih penting bagimu.”

“Ah,” desis Mahesa Jenar. Tetapi ia tidak melanjutkan kata-katanya.

Sekali lagi Kebo Kanigara tertawa lunak dan perlahan-lahan. Tetapi ia tidak melanjutkan pertanyaannya.

Kemudian Mahesa Jenar berkata untuk mengalihkan pembicaraan, “Kakang, apakah menurut pendapat kakang Kanigara, ilmuku telah meningkat selama ini?”

“Kau telah merasakannya sendiri,” jawab Kebo Kanigara.

“Tetapi menurut penilaianku, kau telah memenuhi harapanku. Sebab menurut pendapatku, supaya Perguruan Pengging tidak menjadi semakin pudar, maka murid-muridnya harus dapat selalu melampaui ilmu gurunya. Demikian berturut-turut. Dan sekarang kau telah mendapatkan itu.”

Kalau ada guntur menggelegar di telinganya, Mahesa Jenar tidak akan terkejut seperti saat itu. Memang ia telah merasakan sesuatu perkembangan yang menggembirakan dalam latihan-latihan yang dilakukan selama ini dengan tekunnya. Tetapi ketika ia mendengar pernyataan Kebo Kanigara, Saudara muda seperguruan gurunya, yang memiliki ilmu lebih sempurna dari gurunya sendiri, mengatakan, bahwa ia telah dapat menyamai kesaktian almarhum gurunya.

312

”KAKANG berkata sebenarnya?” tanya Mahesa Jenar dengan nada kurang percaya.

Kebo Kanigara tersenyum. Jawabnya, ”Aku berkata sebenarnya. Dan aku telah mencobanya. Juga terhadap gurumu, ayah Pengging Sepuhpun aku pernah mencoba ilmunya, khusus Sasra Birawa, dan memperbandingkan dengan kekuatan ilmu yang aku miliki.”

Mahesa Jenar menjadi terdiam oleh perasaan yang bergulat di dalam dadanya. Ia tiba-tiba menjadi sangat bergembira. Tetapi hanya sesaat.

Sesaat kemudian, ia telah memanjatkan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Pencipta Alam yang telah menunjukkan jalan kepadanya lewat adik seperguruan gurunya. Dan karena itu pulalah hatinya menjadi tenang. Setenang air telaga yang tidak dapat dijajagi seberapa dalamnya.

Untuk beberapa lama ruangan itu dikuasai oleh keheningan Lampu obor yang menyala-nyala dengan lincahnya, melemparkan sinarnya yang seolah-olah menari di dinding goa itu. Mahesa Jenar yang masih hanyut dalam angan-angan duduk sambil menundukkan kepala. Di dalam hatinya, terucapkanlah sebuah janji, bahwa dengan kematangan yang dicapainya, ia harus lebih banyak menyerahkan darma baktinya untuk manusia dan kemanusiaan, untuk tanah dimana ia dilahirkan dan untuk bangsa yang hidup diatasnya. Dan sekaligus ia berjanji di dalam hatinya itu, bahwa dengan segenap kemampuan yang telah dimiliki itu, ia harus menumpas segala kejahatan dan pelanggaran atas keharusan dalam hidup bernegara dan bertata masyarakat. Sehingga terpancarlah api cinta sejati di atas bumi.

Kemudian angan-angannya itu dipecahkan oleh suara Kebo Kanigara, ”Mahesa Jenar… sekarang sudah sampai waktumu untuk meninggalkan ruang samadimu ini. Biarlah patung batu itu tinggal sendiri, menjadi saksi bisu atas apa yang pernah terjadi di sini.”

Mahesa Jenar mengangguk satu kali. Kemudian perlahan-lahan ia berdiri dan memandang patung batu itu dengan tajamnya. Kebo Kanigara pun kemudian berdiri.

”Marilah…” katanya, ”Ikutilah aku. Sekarang kau tak usah marah lagi. Aku akan membawa obor ini, supaya kau tak kehilangan jalan.”

Mahesa Jenar mengikuti Kebo Kanigara itu dengan langkah yang berat.

Seolah-olah ia segan meninggalkan patung batu itu kesepian. Tetapi ia tidak berkata sepatah pun. Karena Mahesa Jenar tidak menjawab, Kebo Kanigara meneruskan, ”Mau kau apakan patung batu itu…? Ia tidak bersedih hati kau tinggalkan di ruangan ini.”

Mahesa Jenar tersenyum dan melangkah mengikuti Kebo Kanigara meninggalkan ruangan itu.

”Mahesa Jenar…” kata Kebo Kanigara kemudian sambil berjalan menyusur goa yang memiliki beratus-ratus cabang yang membingungkan itu, ”Ada beberapa maksud, karena aku terpaksa mempergunakan nama serta gelarmu.

Pertama-tama seperti yang telah aku katakan kepadamu. Kedua, aku ingin seseorang tidak merasa berhutang budi kepada orang lain kecuali kepada Mahesa Jenar.”

Kali ini benar-benar Mahesa Jenar tidak dapat menjawab. Sampai Kebo Kanigara meneruskan,

”Untunglah bahwa aku dapat meyakinkan diriku bahwa aku benar-benar bukan orang yang bernama Mahesa Jenar.”

”Nanti akan diketahuinya pula Kakang,” jawab Mahesa Jenar kemudian,
”Bahwa bukan Mahesa Jenar yang sebenarnyalah yang telah berbuat jasa itu.”

”Jangan Mahesa Jenar,” sela Kebo Kanigara, ”Aku telah bersusah payah berperan sebaik-baiknya sebagai Mahesa Jenar.”

”Tetapi bagaimanapun juga orang akan tahu juga, bahwa yang telah melakukan suatu perbuatan yang dahsyat itu pasti bukan aku,” jawab Mahesa Jenar pula. ”Sebab Kakang Kebu Kanigara telah menggunakan sekian banyak orang. Apakah aku dapat melakukan pekerjaan seperti
itu?”

”Kau masih belum dapat mengerti tentang dirimu sendiri,” sahut Kebu Kanigara.

”Dengan samadimu itu, kau akan mampu melakukan apa yang dilakukan olehku dalam perananku sebagai Mahesa Jenar. Juga terhadap Bugel Kaliki dan Sima Rodra, kau sekarang tidak berada di bawahnya.”

Sekali lagi dada Mahesa Jenar bergetar. Dan sekali lagi hatinya berjanji untuk membinasakan orang-orang itu.

Tiba-tiba Mahesa Jenar teringat kepada muridnya. Apakah kira-kira yang telah dilakukannya selama ini. Maka bertanyalah ia, ”Kakang Kebo Kanigara. Lalu bagaimanakah keadaan muridku?”

”Agaknya kau benar-benar sayang kepada anak itu,” jawab Kebo Kanigara.

”Aku tidak tanggung-tanggung dalam perananku.” Ia meneruskan, ”Juga terhadap muridmu aku telah memaksanya untuk meningkatkan ilmunya dengan cara yang pernah aku tempuh.”

”Cara yang pernah Kakang tempuh?” ulang Mahesa Jenar dengan herannya.

”Adakah Kakang pernah bertemu dengan anak itu?”

Kebo Kanigara tertawa pendek. ”Pernah,” jawabnya. ”Aku selalu bertemu dengan anak itu di mana-mana. Karena itu aku banyak mengetahui tentang kau dan muridmu. Dilengkapi dengan petunjuk-petunjuk dari Panembahan Ismaya.”

Dalam pada itu tiba-tiba Mahesa Jenar teringat akan peristiwa-peristiwa yang pernah disaksikan atas muridnya. Maka dibayangkanlah bentuk orang yang pernah melakukan perbuatan perbuatan aneh di pantai Tegal Arang. Seorang yang mempergunakan 6 wajah, menyerang muridnya setiap malam berturut-turut. Orang itu bertubuh besar dan kekar. Dan sekarang orang yang berjalan di hadapannya itu pun bertubuh besar dan kekar.

”Kakang…” seru Mahesa Jenar sesaat kemudian. ”Aku sekarang berani memastikan bahwa Kakang telah menolong muridku untuk suatu loncatan yang tingkatan ilmunya di pantai Tegal Arang dengan cara kakang yang aneh.”

313
TERDENGAR Kebo Kanigara tertawa pendek. Jawabnya, “Aku tidak telaten melihat anak itu maju setapak demi setapak. Sejak aku dengar kabar bahwa ayah Handayaningrat meninggal dunia, aku jadi gelisah. Jangan-jangan tak seorang pun yang akan mewarisi dari perguruan Pengging. Karena adi Kebo Kenanga meninggal pula, maka satu-satunya yang ada adalah kau. Kemudian kaupun menghilang. Mati-matian aku mencarimu. Dan akhirnya aku ketemukan kau. Malahan kau telah mempunyai seorang murid yang berbakat baik. Tetapi kau pergunakan cara-cara ayah Pengging Sepuh untuk meningkatkan ilmu muridmu. Selangkah kecil demi selangkah kecil. Maka akupun berusaha membantumu dengan caraku.”

“Kakang…” sahut Mahesa Jenar. “Sudah sewajarnyalah kalau aku mengucapkan beribu-ribu terima kasih.”

“Jangan katakan itu,” potong Kebo Kanigara. “Kewajibanmu dan kewajibanku dalam hal ini tidak ada bedanya. Juga kali ini terhadap muridmu itu aku isikan ilmu dari perguruan Pengging. Berurutan seperti rencana yang akan kau berikan. Hanya caraku berbeda dengan caramu.”

Mendengar keterangan Kebo Kanigara, Mahesa Jenar berdiam diri. Ia sekarang, barangkali setelah mempelajari ilmunya lebih tekun dengan suatu cara yang tidak direncanakannya lebih dahulu, tidak akan lagi mengajari muridnya dengan cara yang pernah dilakukan sebelumnya. Di mana muridnya harus menerima pelajaran setingkat demi setingkat tanpa mengikutsertakan kemampuan daya cipta muridnya itu sendiri.

“Mahesa Jenar…” kata Kebo Kanigara kemudian, “Marilah kita melihat muridmu itu berlatih. Aku telah minta kepada seseorang untuk meneternya dan memperbandingkan dengan ilmu perguruan lain.”

“Ilmu perguruan lain?” ulang Mahesa Jenar keheran-heranan. “Adakah seseorang di sini dan perguruan lain?”

“Akan kau lihat nanti,” jawab Kebo Kanigara. “Aku telah melakukan apa saja yang mungkin atas muridmu itu dalam masa pembajaan dirinya. Aku sendiri suatu waktu datang melawannya. Dan pada saat lain aku datang sebagai gurunya, Mahesa Jenar, untuk memberinya petunjuk petunjuk. Kadang kadang aku hadapkan Arya Salaka dengan ilmu dari perguruan lain.”

Mahesa Jenar tidak menjawab lagi. Tiba-tiba saja ia menjadi rindu sekali kepada satu-satunya murid yang telah dibawanya menjelajah daerah daerah serta mengalami kesukaran lahir dan batin. Dalam hatinya ia mengucapkan terima kasih tak habis-habisnya kepada Kebo Kanigara yang telah membantu mematangkan ilmu muridnya. Dengan demikian ia mengharap seorang yang tidak kalah saktinya, Ki Ageng Sora Dipayana dari Banyubiru.

Setelah Mahesa Jenar mengikuti Kebo Kanigara menempuh jalan yang berliku-liku, maka sampailah mereka kepada satu gang yang menuju ke dalam sebuah ruang yang agak luas seperti ruang yang dipergunakan untuk mengurung Mahesa Jenar. Dalam pada itu Kebo Kanigara berbisik, “Mahesa Jenar, ingat muridmu selama ini belum pernah terpisah dari gurunya.”

“Lalu apa yang pernah dilakukan oleh gurunya?” tanya Mahesa Jenar.

“Melatihnya dan menurunkan segala sifat-sifat keluhuran budi dan kepahlawanan. Gurunya telah mengatakan kepada anak itu bahwa dalam masa-masa yang dekat, harus sudah menurunkan api kejantanan dan kesetiaan pada janji seorang ksatria, supaya api yang menyala didalam dada angkatan tua itu tidak padam kehabisan minyak. Sebab apabila datang waktunya kita meninggalkan mereka, api itu harus sudah mereka miliki. Bahkan harus berkobar lebih hebat dari semula.”

Mahesa Jenar benar-benar tersentuh hatinya mendengar ucapan itu. Karena iapun tak akan berbuat lain daripada itu.

“Kakang…” tanya Mahesa Jenar pula, “Tidakkah anak itu mengenal Kakang bukan sebagai gurunya?”

“Tidak Mahesa Jenar,” jawab Kebo Kanigara, “Aku selalu datang padanya, apabila ruangan itu sudah mulai gelap. Aku tidak pernah membawa obor yang cukup menerangi ruangan itu.

Disamping itu aku jarang-jarang sekali bercakap-cakap dengan anak itu. Aku paksa ia bekerja keras untuk mendalami ilmunya. Nah sekarang kaupun telah memiliki rambut yang memenuhi mukamu. Aku mengharap bahwa Arya Salaka tidak sempat membeda-bedakan antara kita. Hanya mungkin aku agak lebih kasar daripadamu.”

“Mungkin ada juga terselip beberapa pertanyaan dalam hatinya,” kata Mahesa Jenar kemudian,

“Karena perbedaan sifat dan cara dari apa yang pernah aku berikan kepadanya.”

“Mahesa Jenar…” Kebo Kanigara meneruskan, “Sebelumnya baiklah kita tunggu sampai esok. Lihatlah bagaimana ia berlatih dengan seseorang dari perguruan lain didalam ruangan itu. Aku sudah menyuruhnya tinggal di situ terus menerus sampai aku, Mahesa Jenar, membawanya keluar.”

Bagaimanapun mendesaknya keinginan Mahesa Jenar untuk bertemu dengan muridnya, namun ia harus menyabarkannya sampai esok. Tetapi hari esok itu tidak akan terlalu lama datang.

Meskipun demikian, Mahesa Jenar merasa bahwa ia telah menunggu terlalu lama. Agaknya matahari menjadi bertambah malas, sehingga agak kesiangan terbit. Namun lambat laun, terasalah bahwa fajar telah pecah di timur. Selama itu ia mengisi waktunya dengan mendengarkan ceritera Kebo Kanigara tentang muridnya, dan tentang peranannya sebagai Mahesa Jenar.

“Ingat Mahesa Jenar…” kata Kebo Kanigara, “Kau waktu itu marah kepada muridmu, karena ia kehilangan jalan. Seharusnya ia dapat berjalan lebih cepat di belakangmu. Karena itulah maka kau kurung muridmu dalam ruangan itu untuk dengan keras berusaha membajakan diri. Ternyata muridmu adalah seorang murid yang patuh. Ia tidak pernah mengeluh, meskipun kadang-kadang ia berlatih sampai hampir pingsan. Kaulah yang membawa makan dan minumnya. Disamping itu, satu halyang penting dan seharusnya akuminta maaf kepadamu bahwa Arya Salaka telah menerima dasar – dasar ilmu khusus perguruan Pengging, Sasra Birawa”.

314

MAHESA JENAR terkejut mendengar ceritera itu. Karena itu ia bertanya, Adakah anak sebesar Arya Salaka telah cukup kuat untuk memiliki aji itu?

Muridmu luar biasa, jawab Kebo Kanigara. Memang aku kira akibatnya akan tidak baik kalau kau dalam tingkat sebelum samadimu, memberikan ilmu itu kepadanya. Tetapi sekarang tidak. Juga aku merasa tidak. Apalagi ketika aku tunjukkan bagaimana ia harus mengatur pernafasan, pemusatan pikiran dan tenaga, aku jadi yakin bahwa mungkin ia mempunyai bakat lebih baik daripada kita.
Nah, sekarang kau telah menyadari kematanganmu. Aku harap kau lanjutkan dasar-dasar ilmu Sasra Birawa. Meskipun dalam pelaksanaannya barulah dalam tingkat kekuatan lahiriah saja.

Itu sudah cukup Kakang, sela Mahesa Jenar, Sudah terlalu banyak bagi seorang anak-anak sebesar Arya Salaka yang baru berumur lebih kurang 16 sampai 17 tahun itu. Bukankah kecuali persiapan jasmaniah diperlukan pula persiapan rokhaniah, supaya tidak ada penyalahgunaan di kemudian hari.
Kebo Kanigara tersenyum mendengar pendapat Mahesa Jenar. Kau benar-benar seorang yang teliti terhadap segala akibat dari suatu perbuatan. Tetapi khusus muridmu itu, aku kira ia telah cukup mempunyai persiapan lahir batin.
Mungkin karena pengalaman-pengalamannya serta tekanan-tekanan yang dialami dalam usianya yang masih muda itu, ia menjadi agak terlampau cepat masak.

Mahesa Jenar mengangguk membenarkan. Memang pengaruh penghidupan yang dialami, sangat terasa pula kematangan jiwa muridnya. Ia dapat berpikir hampir seperti seorang dewasa dengan menanggapi suatu kejadian, karena itulah maka tiba-tiba timbul pulalah rasa ibanya terhadap Arya Salaka yang seakan-akan telah kehilangan sebagian dari tataran hidupnya, sebagian dari masa mudanya.

Ketika itu terasalah bahwa pagi telah datang. Obor yang dibawa oleh Kebo Kanigara telah lama padam. Kemudian mereka melanjutkan menyusur lubang-lubang gua itu mendekati ruang tempat Arya berlatih. Dari sebuah lubang mereka dapat mengintip ke dalam ruangan itu. Dari sanalah Mahesa Jenar itu melihat muridnya. Yang mula-mula memukul dadanya adalah suatu perasaan haru ketika ia melihat Arya Salaka menjadi kurus dan pucat. Tetapi kemudian ia tersenyum. Juga senyum haru. Disamping Arya Salaka ia melihat seorang pemuda yang gagah, berwajah bening dan berdada bidang.

Ia adalah Putut Karang Tunggal yang agaknya menemani Arya Salaka. Kalau bukan aku dalam perananku sebagai Mahesa Jenar, anak itulah yang membawa makanan untuk Arya, bisik Kebo Kanigara.

Mahesa Jenar jadi bergembira ketika ia melihat muridnya bersahabat dengan Putut yang mengepalai para cantrik itu.

Mereka berdua mempunyai banyak persamaan, bisik Kebo Kanigara lebih lanjut, Keduanya tabah dan penuh semangat. Karena itu mereka tekun berlatih bersama.

Berlatih bersama…? ulang Mahesa Jenar terkejut, Jadi Putut Karang Tunggal juga memiliki ilmu yang cukup tinggi?

Kebo Kanigara mengangguk.

Aku tidak mengira. Ia terlalu halus dan sopan. Muridku adalah seorang anak yang biasa hidup dalam pergaulan yang kasar. Diantara para petani dan nelayan, sambung Mahesa Jenar.

Kebo Kanigara tersenyum aneh. Tetapi karena itulah muridmu menjadi seorang anak yang jujur, yang tidak memandang setiap persoalan dengan berbelit-belit, sahut Kebo Kanigara.

Nah, tunggu sebentar… ia melanjutkan, Mereka pasti sedang mempersiapkan diri untuk berlatih bersama. Aku mengijinkan Arya Salaka melakukan tanpa pengawasanku. Dan kepada Putut Karang Tunggal itu pun aku pesankan agar tidak mengatakan kepada Arya Salaka siapakah aku sebenarnya.

Mahesa Jenar kemudian berdiam diri. Ia memang mengharap untuk menyaksikan muridnya berlatih. Ia ingin mengetahui sampai dimana sekarang tingkat kepandaiannya.

Hal itu perlu pula untuk menghilangkan kesan-kesan yang mungkin timbul, apabila ia telah kembali kepada anak itu sebagai seorang guru yang pernah diantarai oleh orang lain tanpa setahu anak itu sendiri.

Benarlah apa yang dikatakan oleh Kebo Kanigara. Sesaat kemudian ia melihat Arya dan Putut Karang Tunggal mempersiapkan dirinya untuk memulai dengan latihan-latihan yang berat yang mereka lakukan hampir setiap hari.

Melihat langkah Arya yang sedang pergi ke tengah ruangan itupun Mahesa Jenar telah merasakan betapa perubahan yang terjadi pada muridnya, sehingga ia semakin lekas ingin mengetahui, gerakan-gerakan yang akan dilakukan.

Kemudian setelah mereka masing-masing bersiap, maka latihan itupun dibuka dengan sebuah serangan yang mengejutkan dari Putut Karang Tunggal. Mahesa Jenar sendiri menjadi terkejut pula. Ia sama sekali tidak mengira bahwa anak yang halus, sopan dan sama sekali tidak menunjukkan kekasaran jasmaniah itu dapat berbuat sedemikian.

Tetapi yang lebih mengejutkan lagi adalah Arya Salaka. Ia dengan tangkasnya dapat mengelakkan serangan itu, bahkan dengan suatu gerak yang sangat lincah ia sudah memulai dengan serangannya.

Demikian latihan itu semakin lama menjadi semakin cepat. Selangkah demi selangkah mereka bergeser dari satu titik ke titik yang lain memenuhi ruangan itu.

Dalam pada itu, terjadilah gelora di dalam dada Mahesa Jenar. Ia sama sekali tidak menduga bahwa anak muridnya dapat mencapai tingkat yang sedemikian dalam waktu yang singkat. Perasaan bangga dan gembira berputar-putar di seluruh rongga dadanya.

315

MURIDNYA itu kini benar-benar merupakan banteng muda yang tangkas dan kuat. Sepasang kakinya yang cepat itu, suatu waktu dapat tegak diatas tanah bagaikan tonggak besi yang tak tergerakkan. Tangannya yang hanya sepasang itu tampak bergerak dengan cepatnya, melingkar-lingkar dan mematuk-matuk dengan dahsyatnya. Tetapi lawannya berlatih bukan pula anak kemarin sore. Iapun telah menguasai ilmunya hampir sempurna. Karena itu maka latihan itu berlangsung dengan serunya. Mereka masing-masing mempunyai kekuatan dalam bentuknya masing-masing. Arya Salaka ternyata tangguh bukan main. Tubuhnya cukup kuat dan setiap gerakannya menimbulkan desir dalam dada Mahesa Jenar.

Sedangkan Putut Karang Tunggal sangat mencengangkannya. Gerakannya semakin lama menjadi semakin lincah dan cepat. Bahkan kemudian tubuhnya menjadi seakan-akan sangat ringan dan sekali-sekali seperti terbang ia meloncat-loncat membingungkan. Namun Arya Salaka dapat menanggapinya dengan baik. Iapun menjadi seolah-olah memiliki beberapa pasang mata yang terserak-serak di tubuhnya, sehingga kemana bayangan itu melontar, ia selalu dapat melihatnya dan segera menghadapinya.

Dalam pada itu, semakin lama Mahesa Jenar dapat semakin melihat jelas kekuatan-kekuatan yang tersimpan pada setiap gerak kedua anak muda itu. Bagi Arya Salaka ia hanya dapat berbangga hati, sebab setiap geraknya adalah gerak-gerak dari perguruan Pengging ditambah dengan segala macam pengalaman Arya Salaka yang dipetiknya dari gerak-gerak alam yang pernah ditekuni bersama, yang dapat disusunnya sendiri dalam satu senyawa yang serasi. Tetapi yang semakin mengetuk-ngetuk hatinya adalah setiap gerakan Putut Karang Tunggal yang cepat lincah itu.

Tiba-tiba Mahesa Jenar seolah-olah melihat kedua anak muda yang sedang berlatih itu seperti pernah terjadi belasan tahun yang lalu. Meskipun tidak tepat benar, namun ia pernah menyaksikan ilmu yang dimiliki oleh Putut Karang Tunggal itu. Akhirnya ketika ia menjadi semakin jelas, tergetarlah tubuhnya. Hampir saja ia berteriak menyebutkan sebuah nama, kalau ia tidak segera teringat bahwa pada saat itu ia masih belum waktunya menampakkan diri.

Namun bagaimanapun juga ia merasa bahwa kedua anak muda itu berlatih mirip seperti dirinya sendiri berlatih bersama sahabatnya pada waktu mudanya, Mahesa Jenar dan Sela Enom. Dan pada saat itulah ia mendapat kepastian bahwa anak yang menamakan diri Putut Karang Tunggal itu pasti ada sangkut pautnya dengan Ki Ageng Sela Enom yang pada masa kanak-kanaknya bernama Anis. Tetapi menilik kedahsyatannya maka ia tidak yakin bahwa anak itu adalah murid Ki Ageng Sela. Sebab bagaimana tingginya ilmu Ki Ageng Sela itu, namun ia pasti tidak akan mampu membentuk Putut Karang Tunggal sampai menjadi anak yang sedemikian mencengangkan.

Karena itu Mahesa Jenar tidak mau berteka-teki lagi. Akhirnya iapun bertanya kepada Kebo Kanigara, Kakang, siapakah sebenarnya Karang Tunggal itu?

Kebo Kanigara tersenyum, jawabnya perlahan-lahan, Adakah sesuatu yang kau lihat padanya?

Ya, sambung Mahesa Jenar. Aku melihat perguruan Sela ada padanya.

Tepat, jawab Kebo Kanigara. Ia adalah murid Ki Ageng Sela.

Mahesa Jenar menarik nafasnya. Namun ia masih bertanya lagi, Adakah Ki Ageng Sela mampu membentuk Karang Tunggal menjadi sedemikian mengagumkan?

Ki Ageng Sela yang mana yang kau tanyakan, sahut Kebo Kanigara. Kalau yang kau maksud Sela Enom, maka kau benar, meskipun Sela Enom itupun sekarang telah mampu melakukan hampir seperti apa yang pernah dilakukan oleh ayahnya.

Menangkap petir, potong Mahesa Jenar.

Kebo Kanigara tertawa perlahan. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, Bukankah ceritera tentang kecakapan menangkap petir itu sudah dimiliki oleh Sela Enom sejak mudanya? Agaknya bakat turun tumurun itu tidak perlu dipelajarinya terlalu lama.

Mahesa Jenarpun tersenyum pula mendengar jawaban itu.

Tidak hanya itu… Kebo Kanigara meneruskan, Tetapi berbagai ilmu yang lain. Ia memiliki kedahsyatan tangan seperti yang dipancarkan oleh Sasra Birawa. Ki Ageng Sela menamakannya aji Narantaka.

Agaknya ia mengagumi tokoh Gatutkaca, potong Mahesa Jenar.
Mungkin, jawab Kebo Kanigara.

Kemudian mereka berdiam diri. Arya Salaka dan Putut Karang Tunggal masih sibuk berlatih. Agaknya latihan-latihan serupa itu telah sering dilakukan sehingga bagaimanapun hebatnya, namun tidaklah sangat berbahaya.

Ketika matahari telah tegak di langit, agaknya kedua anak muda itu merasa telah cukup lama berlatih. Karena itu, terdengar Putut Karang Tunggal bersiul nyaring, dan berloncatanlah mereka surut. Meskipun tubuh masing-masing dibasahi oleh peluh yang mengalir deras sekali, namun wajah-wajah mereka menunjukkan kegembiraan.

Dalam pada itu, sekali lagi terdengar Mahesa Jenar bertanya, Kakang Kanigara. Siapakah sebenarnya Karang Tunggal itu? Bagaimanapun juga aku masih melihat beberapa kelebihan yang dimilikinya daripada Arya Salaka.

Untuk beberapa lama Kebo Kanigara tidak menjawab. Ia agaknya menjadi ragu-ragu. Tetapi kemudian terdengar Mahesa Jenar mendesak, Aku merasa bahwa anak itu memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh anak muda pada umumnya. Cahaya wajahnya yang terang seperti memancarkan wibawa yang mengagumkan.

Ia juga murid Ki Ageng Sela Sepuh, jawab Kanigara.

Aku sudah mengira, sahut Mahesa Jenar, Tetapi siapakah dia?

Putut Karang Tunggal, jawab Kanigara pula sambil tersenyum.

Akh…! desis Mahesa Jenar. Kakang Kanigara memang mempunyai kegemaran berteka-teki. Tetapi teka-teki yang pertama telah aku tebak dengan tepat. Sekarang aku menyerah. Sebab pada saat aku meninggalkan Demak, aku tidak sempat menanyakan kepada Nis Sela, apakah ia mempunyai murid yang sekaligus menjadi adik seperguruan.

316
MAHESA JENAR… bisik Kebo Kanigara bersungguh-sungguh, Kau pasti pernah mengenal anak itu. Bukankah sepeninggal Adi Kebo Kenanga kau masih beberapa tahun lagi tinggal di Demak, sebelum keadaan memburuk?

Mahesa Jenar mengangguk.

Kalau demikian kau pasti mengenalnya, sambung Kebo Kanigara. Anak itu adalah anak yang aneh. Sebenarnya ia tidak betah untuk tinggal terlalu lama di sesuatu tempat. Ia datang berguru hanya apabila ia inginkan. Ia datang sewaktu-waktu tanpa aturan. Meskipun demikian kecerdasannya sangat mengagumkan. Ia dapat menguasai segala ilmu hanya dalam waktu yang sangat singkat. Sepersepuluh dari waktu yang diperlukan oleh anak-anak muda yang lain. Bahkan kurang dari itu.
Ia datang kemari mencari aku, untuk minta diri. Ia mendapat nasehat dari seorang Wali yang terkemuka untuk mengabdikan diri di Kraton Demak, ketika Wali itu melihatnya menunggui padi gaga di ladang.

Seorang Wali? tanya Mahesa Jenar. Siapakah dia?

Seorang yang bertubuh tinggi besar, berikat kepala Wulung dan berbaju Wulung pula, jawab Kebo Kanigara.

Sunan Kali Jaga…? gumam Mahesa Jenar.

Ya, Kebo Kanigara menegaskan. Ia baru saja datang dari Pamancingan di Pantai Selatan menuju ke Demak. Pada saat itulah ia berkata kepada Putut itu, Hai anak yang mendapat anugerah Allah. Pulanglah dan pergilah ke Demak. Jangan asyik menunggui pagagan, sebab kelak kau akan menduduki tahta. Demikian nasehat Sunan Kali. Dan agaknya anak itu akan mencoba memenuhinya. Ia datang untuk minta diri kepadaku, dan sekedar menambah bekal bagi masa depannya.

Dada Mahesa Jenar berdebar-debar mendengar ceritera itu. Seorang yang diramalkan untuk memegang tahta.

Adakah ia mempunyai hubungan dengan Kakang Kanigara? tanya Mahesa Jenar pula.

Ada, jawab Kanigara. Dan barangkali aku belum menyebutkan hubungan itu. Ia adalah putra Adi Kebo Kenanga.

He… Mahesa Jenar terkejut. Putra Kakang Kebo Kenanga. Adakah dia Si Karebet yang nakal itu.

Kebo Kanigara mengangguk.

Karebet yang kemudian dikenal bernama Jaka Tingkir setelah ia dipelihara oleh Nyai Ageng Tingkir, kakak perempuan Nyai Kebo Kenanga.

Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Tanpa disangka-sangka sebelumnya ia akan dapat bertemu dengan anak kakak seperguruannya. Yang bahkan oleh seorang Wali yang terkenal diramalkan untuk menjadi raja.

Nah, Kakang… kata Mahesa Jenar kemudian, Marilah kita temui mereka.

Kebo Kanigara menggeleng.

Tidak mungkin… jawabnya. Muridmu akan menjadi heran melihat ada dua orang yang menamakan diri Mahesa Jenar.

Mahesa Jenar tertegun.

Lalu bagaimana? ia bertanya.

Dan ingat, kau harus membersihkan janggut dan kumismu di hadapan anak itu, supaya ia mendapatkan wajah Mahesa Jenar yang sebenarnya tanpa curiga. Akupun akan berbuat demikian. Tentu saja di tempat lain. Sehingga apabila aku kemudian bertemu dengan anak itu, ia tidak akan mengenal aku lagi.

Sekali lagi Mahesa Jenar terpaksa tersenyum, meskipun ia sebenarnya ingin segera dapat menemui kedua anak muda itu. Namun bagaimanapun ia terpaksa menuruti nasehat Kebo Kanigara.

Sehari itu Mahesa Jenar menunggu saja. Matahari di langit rasanya berjalan sangat lambatnya. Seolah-olah dengan segannya mengarungi langit menurut garis edarnya. Lingkaran-lingkaran cahayanya yang menembus lubang-lubang di atas ruang itu dengan lesunya berjalan ke arah yang berlawanan.

Ketika matahari telah condong, Putut Karang Tunggal meninggalkan Arya Salaka seorang diri.
Anak itu oleh gurunya, yang sebenarnya adalah Kebo Kanigara, dilarang meninggalkan ruangan itu, sebagai suatu cara berprihatin. Dan apa yang dicapainya adalah sangat menggembirakan meskipun kadang-kadang terselip juga beberapa pertanyaan mengenai gurunya.

Ketika Putut Karang Tunggal itu hilang ke balik lorong pintu ruangan itu berbisiklah Kebo Kanigara, Mahesa Jenar, kau dapat menemui Karebet. Itu saja dahulu.

Sekarang? tanya Mahesa Jenar.
Ya. Ikutlah aku, jawab Kebo Kanigara. Muridmu itu tak akan hilang di situ.

Kemudian Mahesa Jenar melangkah mengikuti Kebo Kanigara, melingkar sepanjang lubang goa yang gelap, dan yang sebentar kemudian muncul di sebuah ruangan lain yang agak lebar pula yang banyak terdapat di sepanjang saluran goa itu.

Di dalam ruangan itu pulalah mereka bertemu dengan Putut Karang Tunggal yang sedang berjalan keluar. Ketika ia melihat kedua orang itu, ia terkejut. Tetapi kemudian ia mengangguk hormat.

Selamat sore paman berdua.

Selamat sore Karang Tunggal. Permainanku sudah hampir selesai. Ini adalah pamanmu yang sebenarnya, sahut Kanigara.

Karang Tunggal sekali lagi membungkuk hormat kepada Mahesa Jenar sambil berkata, Baktiku untuk Paman Mahesa Jenar.

Mahesa Jenar tersenyum. Ia melangkah maju. Sambil menepuk bahu anak muda itu ia berkata, Permainanmu sudah sempurna Karebet. Ketika aku datang mula-mula di bukit ini, benar-benar aku tidak menduga bahwa kaulah yang menamakan diri Karang Tunggal.
Paman Kebo Kanigara yang mengatur semuanya bersama Eyang Ismaya, jawab Karang Tunggal.

317

MAHESA JENAR menoleh kepada Kebo Kanigara sambil berkata, Untunglah bahwa kepalaku belum pecah memikirkan permainan kalian yang aneh itu.

Kemudian kepada Karang Tunggal ia meneruskan, Nah Karebet, kau sudah banyak mendengar tentang aku, tentang seorang Wali yang menasehatkan kepadamu untuk mengabdi ke Demak.

Karebet menundukkan kepalanya. Katanya lirih, Mudah-mudahan paman melimpahkan pangestu kepadaku. Meskipun semuanya itu hanyalah sebuah mimpi yang cemerlang, namun setidak-tidaknya aku akan dapat mengabdikan diri pada tanah kelahiran ini.

Bagus… sahut Mahesa Jenar, Kau harus mulai dengan semangat pengabdian. Jangan kau mulai dengan suatu tekad yang berlebih-lebihan supaya kau tidak mudah menjadi kecewa.
Akan aku junjung tinggi segala pesan paman Mahesa Jenar, jawab Putut Karang Tunggal sambil membungkukkan tubuhnya sebagai suatu pernyataan janji. Tidak saja kepada Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, tetapi juga kepada diri sendiri.

Mahesa Jenar… sela Kebo Kanigara kemudian, Bawalah pisauku ini. Sebentar lagi apabila ruangan-ruangan ini telah gelap, masuklah ke dalam ruang muridmu. Kau dapat menyusur lubang itu, dan akan sampai ke dalamnya tanpa cabang yang lain. Aku akan menunggumu di ruang sebelah ini. Kemudian kita keluar bersama-sama supaya kau tidak usah mencari-cari jalan.

Baiklah Kakang, jawab Mahesa Jenar.

Jangan banyak berkata tentang waktu lampau. Ajaklah ia keluar karena segala sesuatu telah kau anggap cukup. Kanigara menyambung. Dan seterusnya kau dapat menuntunnya dengan suatu cara yang lebih baik dari yang pernah kau pergunakan.

Baiklah Kakang, jawab Mahesa Jenar sekali lagi.

Aku menunggu kau di sebelah. Dari ruangan ini kau akan dapat melihat sinar obor yang akan segera aku nyalakan kalau ruangan itu telah gelap benar. Berkata kanigara pula, Aku juga selalu datang pada saat-saat semacam itu, meskipun hanya karena aku harus menyembunyikan wajahku.

Setelah itu Kebo Kanigara segera melangkah pergi diikuti oleh Putut Karang Tunggal. Untuk sesaat Mahesa Jenar mengagumi anak kakang seperguruannya itu, sampai hilang ke dalam sebuah mulut lubang goa itu.

Kemudian Mahesa Jenar mempersiapkan dirinya untuk segera menemui muridnya, supaya perasaannya tidak menggelora.

Sesaat kemudian, udara menjadi semakin sejuk. Semburat merah telah memancar di langit, sebagai sisa-sisa cahaya matahari yang telah membenamkan dirinya. Ia tidak sabar untuk menunggu lebih lama lagi, karena itu segera iapun berjalan menyusur gang sempit menuju ke ruang dimana Arya Salaka sedang membajakan dirinya.

Ketika ia sampai di mulut gang itu, ia mendengar langkah-langkah di dalamnya. Agaknya Arya Salaka masih mempergunakan waktunya untuk berlatih. Sebab di dalam ruangan yang sepi itu ia benar-benar tidak mau menyia-nyiakan waktu. Karena itu ia mempergunakan setiap waktunya untuk melatih diri agar segera dapat dicapai suatu tingkatan yang dikehendaki oleh gurunya.

Mula-mula ia bermaksud demikian agar dapat segera meninggalkan ruangan yang menjemukan itu, tetapi lambat laun ia berpendapat lain. Ia semakin menjadi tertarik dan bersemangat mendalami ilmunya karena ilmu itu sendiri, bukan karena kejemuan dan kesunyian.

Dengan hati-hati Mahesa Jenar melangkah masuk, sehingga tidak menimbulkan sesuatu suara yang menarik perhatian muridnya yang sedang tekun. Apalagi sesaat kemudian, anak itu agaknya sedang memusatkan segenap perhatiannya, mengatur jalan pernafasannya, dan disilangkannya satu tangannya di depan dada, satu lagi diangkat tinggi-tinggi, dan satu kakinya ditekuknya ke depan.

Sesaat kemudian tubuhnya sebagai anak panah melontar maju, tangannya yang diangkat tinggi-tinggi itu terayun deras mengarah kepada sebuah batu padas di dinding goa itu. Maka kemudian terjadilah suatu benturan yang dahsyat, dan disusul dengan lontaran pecahan batu padas itu berserak-serakan. Itulah pukulan Sasra Birawa yang telah dimiliki pula oleh seorang anak sebesar Arya Salaka.

Melihat hasil yang dicapai oleh muridnya itu, hampir Mahesa Jenar tidak dapat menahan diri. Apa yang dicapainya dengan cara penurunan ilmu Ki Ageng Pengging Sepuh, sampai bertahun-tahun itu, dapat dipelajari Arya Salaka kurang lebih hanya satu bulan saja, dengan cara penurunan ilmu adik seperguruan gurunya. Karena itu ia sekarang percaya, bahwa Kebo Kanigara benar-benar melampaui Ki Ageng Pengging Sepuh, yang kebetulan adalah gurunya, yang bergelar Pangeran Handayaningrat.

Meskipun demikian, apa yang terlahir dari mulutnya adalah berbeda sekali dengan perasaannya. Maka katanya lantang, Ulangi!

Arya Salaka terkejut. Segera ia menoleh dan membungkuk hormat kepada gurunya yang dirasanya pada saat-saat terakhir mempunyai kebiasaan yang jauh berbeda dengan waktu-waktu sebelumnya. Ketika ia mendengar gurunya mengucapkan kata-kata itu wajahnya segera menjadi muram. Ia merasa bahwa apa yang baru saja dilakukan sama sekali tidak memuaskan gurunya.

318

“JELEK sekali,” gumam Mahesa Jenar, meskipun sebenarnya hatinya memuji. Sebab apa yang dilakukan Arya pada waktu itu, sama sekali tidak jauh berselisih dengan apa yang dapat dilakukannya sebelum ia melakukan samadi dan menemukan hakekat dari watak setiap unsur gerak dari ilmunya, sehingga menurut Kebo Kanigara, ia telah dapat menyamai gurunya sendiri.

Mendengar suara gurunya itu Arya Salaka menundukkan kepalanya. Ia sangat bersedih bahwa ia mengecewakan.

Melihat sikap Arya, Mahesa Jenar menjadi sangat terharu. Hampir saja ia meloncat dan membelai kepala muridnya. Untunglah bahwa ia dapat menahan diri. Sambil mengatur perasaannya ia berkata, “Arya, lihat batu hitam itu.”

Dengan mata yang suram, Arya memandang sebuah batu hitam sebesar kepalanya dalam keremangan petang, yang terselip diantara batu-batu padas yang menjorok pada dinding goa.

“Apa yang kau lihat itu? ” bentak Mahesa Jenar.”

“Sebuah batu hitam yang terjepit diantara batu-batu padas,” jawab Arya dengan suara yang dalam.

“Itulah sebabnya kau tidak dapat maju,” bentak Mahesa Jenar pula. “Perhatianmu terpecah-pecah pada semua masalah yang tak berarti. Aku bilang, lihat batu hitam itu. Aku sama sekali tidak menanyakan apakah batu itu terjepit batu padas, atau terletak di atas tanah. Seharusnya kaupun hanya melihat batu hitam itu. Batu hitam itu saja yang menjadi pusat perhatianmu. Tidak perduli apakah batu itu tergantung di langit atau apapun.”

Sekali lagi Arya menundukkan kepalanya. Tetapi ia mendapat suatu petunjuk yang sangat berarti dalam hidupnya. Bahwa ia tidak boleh memandang setiap masalah tanpa pemusatan persoalan, sehingga masalah pokoknya dapat menjadi kabur karena masalah tetek bengek yang dapat membelokkan perhatiannya.

“Arya…” kata Mahesa Jenar kemudian, “Ulangi, dan pecahkan batu hitam itu.”

Sekali ini Arya Salaka tidak mau mengecewakan gurunya lagi. Dengan penuh tekad, ia membulatkan perhatiannya, mengatur pernafasannya. Satu kakinya diangkatnya dan ditekuknya ke depan, satu tangan menyilang dada, dan satu lagi diangkatnya tinggi-tinggi. Dengan satu loncatan yang dahsyat Arya Salaka mengayunkan tangannya diikuti sebuah teriakan nyaring. Dan, batu hitam yang terjepit diantara batu-batu padas itupun hancurlah berbongkah-bongkah.

Sekali lagi Mahesa Jenar terguncang hatinya. Anak itu benar-benar telah menguasai Sasra Birawa dengan baik dalam bentuk lahirnya. Tetapi baginya adalah sudah terlalu cukup. Namun ia masih mencoba menahan perasaannya.

Seakan-akan ia sama sekali tidak menaruh perhatian atas muridnya itu, tetapi ia bahkan duduk di tengah dengan enaknya sambil mengeluarkan pisaunya. Dengan tenangnya Mahesa Jenar mulai mencukur janggut dan kumisnya.

Arya mula-mula tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh gurunya. Tetapi sikap acuh tak acuh itu telah mengecilkan hatinya pula, dan disamping itu ia semakin tidak mengerti pada sifat gurunya yang menjadi aneh dan lain.

Dalam kebimbangan itu, kadang-kadang terselip di sudut hatinya suatu pertanyaan, apakah orang yang menuntunnya selama ini benar-benar gurunya yang membawanya mengembara dari satu tempat ke tempat lain, sejak melarikannya dari Banyubiru? Alangkah jauh bedanya. Sejak ia terpisah di dalam salah sebuah saluran di dalam goa ini, kemudian tersesat masuk ke dalam ruangan ini, ia merasakan bahwa gurunya menjadi berubah sifat.

Beberapa hari ia tinggal sendiri didalam ruangan ini, sampai kemudian gurunya menemukannya disini. Yang mula-mula di dengar dari mulut gurunya bukanlah pernyataan gembira, tetapi bentakan-bentakan kasar dan marah. Apakah Mahesa Jenar dapat berbuat demikian…? Dan apakah dalam beberapa hari itu, sudah cukup waktu untuk menjadikan gurunya berwajah gelap oleh kumis dan janggut yang tumbuh demikian lebatnya…?

Sekarang ia melihat orang yang meragukan itu mencukur janggut dan kumisnya. Tetapi kemudian ia menjadi kecewa sekali. Sebab setelah orang yang diragukan itu berwajah bersih, benarlah, ia adalah Mahesa Jenar. Gurunya yang membawanya pergi dari Banyubiru. Yang menuntunnya dengan penuh kasih sayang. Tetapi yang akhir-akhir ini selalu kecewa kepadanya. Kecewa kepada kelambatannya.

Sampai beberapa saat ia masih saja kaku berdiri memandangi Mahesa Jenar membersihkan wajahnya. Sekarang Arya tidak ragu-ragu lagi. Memang orang itulah Mahesa Jenar. Meskipun ruang itu sudah semakin suram, namun garis-garis wajah itu sudah sangat dikenalnya.

“Arya… tiba-tiba ia mendengar gurunya berkata, Meskipun tingkat ilmunya masih agak mengecewakan, tetapi pada saat ini aku sudah menganggap cukup. Kau sudah dapat melayani Putut Karang Tunggal meskipun belum seimbang benar. Dan barangkali jarak yang ada di antara kau berdua tidak semakin pendek, bahkan akan menjadi semakin jauh, karena Putut itu bukanlah anak-anak sewajarnya. Apa yang kau pertunjukkan pada saat terakhir tadi telah menunjukkan kemajuan yang besar selama kau berada di dalam ruang ini. Karena itu, sebentar lagi kau boleh mengikuti aku keluar dari ruang ini.”

Mendengar kata-kata gurunya, Arya menjadi gembira sekali. Kegembiraan yang hampir tak dapat ditahankan, sehingga hampir-hampir saja ia menjerit kegirangan. Tetapi segera ia berusaha sekuat tenaga untuk menahannya.

Ia tidak tahu apakah halyang demikian itu akan dibenarkan oleh gurunya. Karena itulah maka, yang terpancar kemudian hanyalah nyala di matanya. Bahkan mata itu kemudian menjadi basah. Dan hampir saja Arya Salaka yang telah mampu memecahkan batu sebesar kepalanya itu menangis.

Untunglah bahwa ruang itu telah menjadi semakin gelap sehingga Mahesa Jenar tidak lagi melihat mata itu. Tidak lagi melihat air yang membayang di mata muridnya. Sebab apabila mata yang sayu itu dilihatnya menjadi basah, mungkin Mahesa Jenar tidak lagi dapat menahan perasaannya. Perasaan seorang guru, ia bahkan hampir seperti perasaan seorang bapa terhadap anak tunggalnya yang selama ini dibawanya merantau untuk menyelamatkan dari usaha-usaha untuk membinasakannya.

319

SEKARANG Mahesa Jenar melihat kemungkinan menjadi lain. Anak itu sekarang sudah dapat menjaga dirinya sendiri, serta mempunyai bekal yang cukup buat masa depannya.

Demikianlah Mahesa Jenar menjadi berbangga atas muridnya itu. Kalau nanti pada suatu ketika, ia bertemu dengan Gajah Sora, maka ia akan dapat menyerahkan Arya Salaka tanpa mengecewakan sahabatnya itu.

Sesaat kemudian Mahesa Jenarpun berdiri dan melangkah keluar ruangan sambil berkata acuh tak acuh, Arya, ikutilah.

Sekali lagi kegembiraan melonjak didalam dada Arya. Segera ia pun mengikuti gurunya dekat-dekat supaya ia tidak lagi kehilangan jalan.

Kemudian sampailah mereka ke dalam ruangan dimana Mahesa Jenar bertemu dengan Putut Karang Tunggal waktu ia berjalan bersama Kebo Kanigara. Benarlah dari ruangan itu ia melihat bayangan cahaya api. Segera Mahesa Jenar berjalan menyusur jalan-jalan goa yang sempit ke arah api itu.

Ketika mereka sampai, dilihatnya Putut Karang Tunggal seorang diri memegangi sebuah obor.
Selamat sore Paman Mahesa Jenar, sapanya sambil membungkuk hormat.

Selamat sore Karang Tunggal, jawab Mahesa Jenar. Mula-mula ia ingin menanyakan di mana Kebo Kanigara. Tetapi maksud itu diurungkan. Namun bagaimanapun juga ia menjadi sangat berterima kasih di dalam hatinya, bahwa untuk kepentingannya serta muridnya, Kebo Kanigara bekerja keras dan melakukan hal-hal yang aneh. Tetapi lebih dari pada itu adalah untuk kesuburan persemaian perguruan Pengging.

Sejenak kemudian Putut itu berkata pula, Paman, marilah kita tinggalkan goa ini. Ada sesuatu yang penting yang akan disampaikan oleh Eyang Ismaya.

Mahesa Jenar menjadi beragu. Ia tidak tahu apakah Putut itu berkata sebenarnya, ataukah hanya merupakan suatu alasan untuk membawanya keluar dari dalam goa itu. Karena itu ia berdiam diri sampai Putut itu melanjutkan, Seseorang yang baru saja datang kemari ingin bertemu dengan Paman.

Siapakah dia? tanya Mahesa Jenar sekenanya.
Paman Kebo Kanigara, jawab Putut Karang Tunggal.
Itukah yang penting? tanya Mahesa Jenar pula.
Bukan itu saja, jawab Putut Karang Tunggal. Ada dua tiga soal yang lain.

Mahesa Jenar tidak menjawab lagi. Dipersilahkannya Putut yang membawa obor itu berjalan dahulu, kemudian ia pun mengikutinya bersama Arya Salaka yang masih berdiam diri saja.
Setelah mereka berjalan berliku-liku, akhirnya sampailah mereka ke ruang yang sering dipergunakannya bermain para cantrik. Dari sana mereka menerobos sebuah lubang yang diluarnya tertutup oleh dedaunan yang rimbun.

Demikian mereka tegak di luar goa itu, terasalah udara malam yang segar memercik ke wajah mereka. Sedang di atas kepala mereka, bertaburan bintang-bintang yang berpencaran memenuhi langit yang biru hitam. Seleret awan putih membujur dari kutub ke kutub seolah-olah membagi langit menjadi dua bagian. Sedang dari semak-semak di sekitar mereka, terdengarlah bunyi jangkrik bersautan di antara nyanyi belalang. Bersamaan dengan itu terlonjak pula hati Arya Salaka, yang merasa telah menyelesaikan suatu kewajiban yang berat. Kalau mula-mula ia menjadi bingung atas kelakuan gurunya, maka akhirnya ia mengira bahwa hal itu adalah merupakan suatu tahap yang memang harus dilalui. Tetapi sebenarnya bukan saja Arya Salaka yang mempunyai perasaan demikian. Mahesa Jenar pun seolah-olah merasa terlepas dari suatu daerah sepi yang penuh dengan pemerasan keringat dan pikiran.

Mengingat hal itu Mahesa Jenar menjadi tersenyum sendiri. Apalagi kalau ia dengan sepintas lalu memandang wajah Arya Salaka. Ia menjadi geli. Anak itu merasa seolah-olah telah mendapat gemblengan yang berat dari padanya, padahal ia sendiri sedang melakukan hal yang serupa. Menggembleng diri sendiri.

Beberapa lama kemudian sampailah mereka ke rumah dimana mereka selalu diterima oleh Panembahan Ismaya.

Di dalam rumah itu tampak memancar cahaya pelita yang berkedip-kedip karena permainan angin pegunungan. Cahayanya yang kuning kemerahan menembus lubang-lubang dinding membuat garis-garis lurus yang berpencaran.

Ketika mereka memasuki rumah itu, tampaklah Panembahan Ismaya duduk di atas batu hitamnya yang dialasi dengan kulit kayu. Demikian orang tua itu melihat kehadirannya segera ia bangkit dan menyambut dengan hormatnya, sambil mempersilahkannya duduk.

Agaknya Anakmas tidak begitu senang tinggal di dalam goa yang gelap itu, kata Ismaya kemudian. Ternyata Anakmas dan Cucu Arya Salaka menjadi kurus.

Mahesa Jenar tersenyum. Ia menjadi agak sulit untuk menjawab, karena itu katanya, Tidak Panembahan, kami senang tinggal di dalam goa itu.

Panembahan tua itu mengangguk-angguk. Lalu sambungnya, Tetapi aku girang bahwa Anakmas dan Cucu Arya Salaka tetap segar. Bukankah tiada sesuatu selama ini?

Tidak Panembahan, tidak, jawab Mahesa Jenar.

Demikianlah yang aku kehendaki, sahut Panembahan Ismaya pula. Tetapi ketahuilah Anakmas, apa yang anakmas takutkan ternyata benar-benar terjadi. Orang-orang yang mengepung bukit ini menyerbu naik.

Dada Mahesa Jenar tergetar mendengar keterangan itu. Maka iapun bertanya pula, Adakah mereka memperlakukan Panembahan dengan kasar?

Tidak begitu kasar, jawab Panembahan Ismaya. Tetapi mereka mengaduk hampir segala sudut bukit ini.

Dan Panembahan tidak memberitahukan itu kepadaku…? sahut Mahesa Jenar.

Aku hanya memberitahukan kepada Anakmas kalau mereka akan menyakiti kami, jawab Panembahan itu pula. Tetapi ternyata mereka hanya mencari-cari saja.

320

MAHESA JENAR akan mendesak pula dengan berbagai pertanyaan, tetapi diurungkannya ketika ia ingat bahwa di sini ada Kebo Kanigara dan Putut Karang Tunggal. Sehingga seandainya Panembahan Ismaya ingin melawannya dengan kekerasan, maka tidak pula ada perlunya untuk memanggilnya.

Karena itu kemudian ia tidak berkata-kata lagi. Ia bahkan merasa malu bahwa seolah-olah di bukit kecil itu tak ada orang lain yang mampu menyelamatkannya selain daripada dirinya.

Maka untuk beberapa saat suasana menjadi hening sepi. Desir angin di dedaunan menimbulkan suara lirih seperti dendang seorang ibu yang menidurkan anaknya.

Maka kemudian kesepian itu dipecahkan oleh suara Panembahan Ismaya yang berkata, Anakmas, agaknya malam telah larut. Karena itu beristirahat di pondok lain.

Baiklah Panembahan, jawab Mahesa Jenar.

Kalau Anakmas keluar dari ruangan ini, Anakmas akan melihat rumah di sebelah barat. Di situlah Anakmas beristirahat, sambung Panembahan Ismaya pula. Di sana Anakmas akan beristirahat bersama dengan Kebo Kanigara.

Setelah sekali lagi Mahesa Jenar mengiyakan, maka melangkahlah ia keluar ruangan itu. Tidak beberapa jauh di sebelah barat tampak sebuah rumah yang lebih kecil dari rumah itu. Dari dalamnya memancar pula cahaya api yang redup.

Di dalam rumah itu ditemuinya Kebo Kanigara telah membaringkan dirinya. Ketika ia melihat Mahesa Jenar berkatalah ia, Mahesa Jenar, duduklah. Tutup pintu itu supaya tidak terlalu dingin. Dan dengarlah aku berceritera.

Mahesa Jenar memandang wajah Kanigara yang tersenyum-senyum dan sudah bersih pula seperti wajahnya. Ia menjadi curiga. Tetapi ia melangkah juga menutup pintu dan kemudian duduk di sampingnya.

Kau ingat pada waktu aku pertama-tama kaulihat? tanya Kebo Kanigara.
Ya,jawab Mahesa Jenar singkat sambil mengangguk.

Di mana muridmu sekarang? tanya Kanigara tiba-tiba.

Di rumah sebelah bersama-sama dengan Karang Tunggal, jawabnya singkat.

Bagus, suatu kebetulan. Karang Tunggal itu suka sekali berceritera. Pengetahuannya sangat luas, sebab ia sangat gemar menyepi dan merantau. Jarang-jarang sekali ia tinggal di rumah. Sehingga ibu angkatnya, Nyai Tingkir selalu marah kepadanya.

Kanigara berhenti sebentar lalu meneruskan, Arya akan senang bersama dia. Lalu seterusnya mengenai urusanmu. Dengarlah. Kau lihat bahwa aku pada saat itu atas nama Mahesa Jenar melarikan seorang gadis?

Mendengar pertanyaan itu hati Mahesa Jenar berdesir. Dengan kaku ia mengangguk mengiyakan.

Gadis itu aku sembunyikan. Sejak malam itu aku belum pernah menemuinya. Aku takut kalau ia mengenal aku yang ternyata bukan Mahesa Jenar. Dan aku juga takut kalau tiba-tiba aku merasa bahwa akulah sebenarnya Mahesa Jenar itu. Kanigara meneruskan sambil tersenyum. Mahesa Jenarpun tersenyum pula. Tersenyum kaku.

Kau harus menemuinya, sambung Kanigara pula.

Mahesa Jenar mengangguk saja tanpa sesadarnya.

Biarlah anakku mengantarkanmu nanti, kata Kanigara pula. Mahesa Jenar terperanjat. Sehingga ia pun bertanya, Siapakah Kakang Kanigara itu?

Seorang anak perempuan, jawab Kanigara, Namanya Widuri.

Widuri…? Endang Widuri? Jadi adakah anak itu putri Kakang Kanigara? tanya Mahesa Jenar pula.

Ya, jawab Kanigara singkat.

Aku belum pernah mendengar sebelumnya, kata Mahesa Jenar. Adakah anak itu dilahirkan di Demak?

Aku meninggalkan Demak sejauh umur anak itu, jawab Kanigara. Sebenarnya aku tidak pernah menginginkan untuk meninggalkan kota itu. Tetapi keadaan memaksa aku berbuat demikian.

Mahesa Jenar mendengarkan dengan penuh perhatian. Agaknya karena itulah maka Kebo Kanigara belasan tahun yang lalu lenyap dari pecaturan masyarakat Demak.

Sesaat kemudian Kanigara meneruskan, Kemudian aku bawa istriku meninggalkan Demak. Anak itu lahir di perjalanan. Sedang beberapa tahun kemudian ibunya meninggal dunia. Untunglah bahwa aku bertemu dengan seseorang yang kemudian menerima kami tinggal bersama, Panembahan Ismaya.

Terbayanglah di mata Kebo Kanigara, suatu masa yang pahit di dalam hidupnya. Kehilangan istri pada masa putrinya masih memerlukan kasih sayang seorang ibu.

Bahkan beberapa tahun kemudian… kata Kanigara pula, Aku sudah harus mewakili menunggu bukit kecil ini kalau Panembahan Ismaya harus bepergian jauh untuk mencari obat-obatan dan menambah kewaskitaannya di hampir seluruh sudut negeri ini. Dan sejak itu pula tak pernah menampakkan diriku lagi di antara tata masyarakat Demak.

Kanigara kemudian diam, Mahesa Jenar pun diam. Betapa hati mereka mengenyam kembali masa-masa yang silam itu. Masa-masa yang penuh dengan kesedihan bagi Kebo Kanigara.

Tetapi tiba-tiba Kebo Kanigara berkata nyaring, He, aku telah membelok dari arah pembicaraan semula. Aku akan berceritera tentang seorang gadis yang aku larikan, bukan tentang aku.

Mahesa Jenar terkejut juga mendengar arah percakapan yang tiba-tiba menikung tegak. Sehingga duduknya tergeser maju. Namun kemudian iapun tersenyum kecut. Tetapi bersamaan dengan itu denyut jantungnya bertambah cepat.

Nah Mahesa Jenar… sambung Kanigara tiba-tiba, Kau akan dapat menemuinya bersama Widuri.

Mahesa Jenar tidak menjawab, namun hatinya bergetar hebat.

Tidak banyak yang harus aku pesankan kepadamu. Sebab aku tidak pernah berkata satu patah katapun. Karena itu anggaplah bahwa memang sebelum ini kau belum pernah bertemu dengannya. Kanigara meneruskan, Kecuali pada saat kau melarikan malam itu.
pulkan dari Harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta

321
MAHESA JENAR Jenar masih belum menjawab. Tetapi Kanigara pun tidak meneruskan kata-katanya. Dengan malasnya ia bangkit dan kemudian berjalan mondar-mandir. Akhirnya ia berhenti dan memasang telinganya baik-baik.

“Kau mendengar suara tembang?” tiba-tiba ia bertanya.

Mahesa Jenar kemudian mencoba menangkap setiap suara yang menyusup ke dalam pondok kecil itu. Jawabnya kemudian, “Ya aku dengar. Jauh sekali.”

“Kau tahu tembang apa itu?” tanya Kanigara pula.

Sekali lagi Mahesa Jenar memperhatikan suara lagu yang hanya lamat-lamat sampai. Ketika ia sudah mendapat suatu kepastian, hatinya menjadi berdebar-debar. “Dandanggula,” desisnya.

“Ya, Dandanggula,” ulang Kanigara. “Sudah beberapa malam berturut-turut aku mendengar lagu itu dari arah yang berbeda-beda.”

Tiba-tiba Mahesa Jenar berdiri tegak. Mula-mula ia ragu-ragu untuk mengatakan sesuatu. Tetapi karena sinar mata Kanigara yang seolah-olah mendesaknya, akhirnya ia berkata, “Kau kenal orang itu.”

“Ki Ageng Pandan Alas,” jawab Mahesa Jenar.

“Pandan Alas?” tanya Kanigara pula, tetapi ia tidak terkejut. “Aku kagumi suaranya. Meskipun ia sudah tua, namun suaranya masih mengingatkan aku kepadanya belasan tahun yang lalu. Ya sahabat ayahku.”

Mahesa Jenar mengangguk mengiyakan.

“Apakah yang dicarinya?” kata Kanigara kosong, meskipun ia sudah mengerti jawabnya. Sebab ia tahu betul bahwa Pudak Wangi, yang nama sebenarnya Rara Wilis, adalah cucu orang tua itu.

“Ia pasti mengira bahwa aku masih disini. Dengan demikian ia mengharap aku datang kepadanya mengembalikan cucunya yang dikiranya benar-benar aku larikan,” jawab Mahesa Jenar.

Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian ia bertanya, “Nah terserah kepadamu. Apakah gadis itu akan kau kembalikan apa tidak.”

“Kenapa baru beberapa hari ini ia datang?” tanya Mahesa Jenar, seolah-olah kepada dirinya sendiri.

“Mungkin ia menunggu sampai rombongan Sima Rodra itu meninggalkan bukit ini, setelah mencarimu dengan sia-sia,” jawab Kanigara.

“Tidakkah Kakang menangkap mereka?” tanya Mahesa Jenar pula.

“Aku juga bersembunyi. Panembahan Ismaya tidak mau melihat pertumpahan darah di atas padepokan Karang Tumaritis,” jawabnya.

Mahesa Jenar tidak bertanya lebih lanjut tentang gerombolan Sima Rodra dan Jaka Soka.

Pikirannya sedang dikacaukan oleh suara tembang itu. Ia menjadi bimbang, apakah sebaiknya ia datang menemui atau tidak.

Di dalam kebimbangan itu, ia mendengar suara Dandang Gula itu semakin jelas.

Suara itu tiba-tiba menyusul ke dalam dada Mahesa Jenar, membawa suatu kenangan pada masa-masa yang silam. Yang mula-mula diingatnya adalah, Ki Ageng Pandan Alas pernah marah kepadanya ketika ia meninggalkan Rara Wilis tanpa pamit. Ia tahu betapa sakit hati orang tua itu, oleh tuduhannya yang barangkali sama sekali tak beralasan tentang cucunya. Tetapi bagaimanapun juga, ia merasa bahwa tidak enaklah rasanya menerima kemarahan itu.

Didalam kesepian malam itu, semakin mengumandanglah suara Ki Ageng Pandan Alas. Seorang tokoh sakti sahabat gurunya yang pernah kecewa terhadapnya. Namun tiba-tiba diingatnya pula, pertama kali ia mendengar suara itu. Pada saat jiwanya sudah berada di ujung tangan seorang tokoh hitam yang menamakan dirinya Pasingsingan, yang sebenarnya bernama Umbaran, maka terdengarlah suara itu. Dan karena suara itu pula agaknya Umbaran mengurungkan niatnya untuk membunuhnya. Karena itu tiba-tiba terasalah bahwa bagaimanapun juga orang tua itu pernah menyelamatkannya.

“Aku akan datang kepadanya,” gumamnya seolah-olah belum merupakan suatu kepastian.

Kanigara tersenyum. “Datanglah. Jangan kau bawa dahulu cucunya. Barangkali ada beberapa hal yang akan kau bicarakan dengan orang tua itu. Sebab sepengetahuanku, ada orang ketiga yang berdiri diantara kau dan gadis itu,” katanya.

Mahesa Jenar memandang Kanigara dengan tajamnya. Ia agak heran mengapa orang itu mengetahui hampir segala seluk beluk hidupnya.

Tetapi ia tidak bertanya sesuatu ketika dilihatnya Kanigara tersenyum sambil berkata pula, “Jangan memandang aku begitu tajam. Aku jadi takut karenanya. Nah, pergilah. Kalau kau tak keberatan aku akan ikut serta.”

“Tidak, sama sekali tak keberatan,” jawab Mahesa Jenar.

“Akulah satu-satunya orang yang berhak jadi wakil orang tuamu,” sambung Kanigara sambil tertawa pendek.

“Ah…” Mahesa Jenar tidak meneruskan.

“Kenapa kau mengeluh?” tanya Kanigara seperti bersungguh-sungguh.

“Tidak,” sahut Mahesa Jenar. “Suara tertawa Kakang yang lunak itu amat memusingkan kepalaku.”

Sekali lagi Kanigara tertawa. “Ayolah,” katanya.

322

MEREKA berdua pergi menembus hitam malam ke arah suara Ki Ageng Pandan Alas yang seolah-olah melingkar-lingkar menyusur lereng-lereng bukit Karang Tumaritis. Tetapi karena telinga Kanigara dan Mahesa Jenar sedemikian tajamnya, maka segera mereka mengetahui darimana datangnya sumber suara itu.

Ketika jarak mereka sudah tidak begitu jauh lagi, segera mereka berhenti. Mereka menunggu sampai Pandan Alas selesai dengan lagunya. Tetapi agaknya orang tua itu sudah mengetahui kehadirannya, sehingga belum lagi kalimat yang terakhir diucapkan ia sudah berhenti.

Perlahan-lahan ia bangkit dari tempat duduknya, seonggok batu padas. Sapanya, Agaknya kau datang juga Mahesa Jenar.

Mahesa Jenar dan Kanigara bersama-sama berdiri sambil membungkuk hormat.

Sebelum mereka menjawab Pandan Alas meneruskan, Sudah beberapa hari aku mencarimu dengan caraku ini. Sebab aku yakin bahwa kau sudah mengenal suaraku.

Baru sekarang aku dapat datang Ki Ageng, jawab Mahesa Jenar. Maafkanlah, mudah-mudahan aku tidak mengecewakan.

Pandan Alas tertawa pendek. Kemudian iapun duduk pula diatas sebuah batu. Duduklah, katanya. Mungkin percakapan kita tidak segera selesai.

Mahesa Jenar dan Kanigara pun segera duduk pula di muka orang tua itu. Di dalam gelap malam, terasalah bahwa Ki Ageng Pandan Alas sedang mencoba mengetahui siapakah kawan Mahesa Jenar itu. Namun agaknya ia belum mengenalnya sehingga akhirnya ia bertanya, Mahesa Jenar, tidakkah aku kau perkenalkan dengan sahabatmu itu?

Mahesa Jenar tersadar dari kekeliruannya. Tetapi sebelum ia menjawab, Kanigara sudah mendahului. Baiklah aku memperkenalkan diriku Ki Ageng. Aku adalah salah seorang sahabat Panembahan Ismaya. Namaku Putut Karang Jati.

323

PANDAN ALAS menarik nafas dalam-dalam. Dirinyalah sekarang yang berada dalam puncak kesulitan. Ia tahu benar hubungan yang belit-membelit antara satu-satunya cucu yang sangat disayanginya, murid pertama yang dikasihaninya dan Mahesa Jenar seorang yang dikenal sebagai ksatria yang utama, bahkan yang telah menyelamatkan cucunya dari tangan Jaka Soka sampai dua kali dalam pengertiannya.

Meskipun ia pernah merasa kecewa terhadap sikap Mahesa Jenar yang perasaannya mudah patah dalam hubungan itu, namun ia tidak pernah benar-benar marah dan melepaskan perasaan kagumnya. Tetapi muridnya itupun merupakan harapan masa datang bagi perguruannya disamping Pudak Wangi sendiri.

Sekarang ia melihat suatu benturan perasaan telah terjadi. Apalagi ketika tiba-tiba ia mendengar Sarayuda berkata, Guru, apakah Guru sudah menyatakan kepada Mahesa Jenar, agar Pudak Wangi dikembalikan kepada perguruan Pandan Alas?

Pandan Alas menjadi bingung. Sedang Mahesa Jenar dan Kanigara menjadi tidak begitu senang melihat sikap itu.

Dalam kecemasannya, kemudian Pandan Alas berkata, Sarayuda, biarlah kita bicarakan segala sesuatunya dengan baik. Bukankah kita sudah tidak mempunyai pekerjaan lain?

Tetapi agaknya Sarayuda tidak setuju, jawabnya, Ki Ageng, aku telah terlalu lama meninggalkan pekerjaanku. Dalam waktu kira-kira satu tahun, aku sudah dua kali menemui Ki Ageng. Kali ini aku ingin semuanya selesai dengan segera. Supaya aku dapat segera pula kembali ke Gunung Kidul dengan suatu ketetapan hati.

Aku mengerti Sarayuda, jawab Pandan Alas. Tetapi tidak perlukah kiranya kalau pembicaran kita inipun menjadi tergesa-gesa. Sebab seandainya kau mundur satu haripun aku kira tidak begitu besar pengaruhnya.

Sarayuda tidak dapat membantah lagi. Karena itu ia diam, meskipun perasaannya bergetar terus.

Duduklah Sarayuda… Pandan Alas mempersilahkan.

Dengan gerak kosong Sarayuda duduk pula diantara mereka. Namun tampaklah bahwa ia gelisah.
Ki Ageng Pandan Alas… kata Mahesa Jenar kemudian, Maafkanlah bahwa aku tidak dapat mempersilahkan Ki Ageng pada tempat yang lebih baik, sebab akupun orang asing di sini.
Tidak apalah Mahesa Jenar, sahut Pandan Alas. Tetapi disamping itu terasa kaki Kanigara menginjak kaki Mahesa Jenar. Katanya, Akulah tuan rumah di sini. Karena itu kalau tuan-tuan sudi, marilah aku persilahkan singgah di pondokku.

Yang cepat-cepat menjawab adalah Sarayuda, katanya, Terimakasih Putut Karang Jati, bukankah namamu Putut Karang Jati?

Ya, ya Tuan, jawab Kanigara.

Tak ada bedanya. Di sini atau di pondokmu, sambung Sarayuda.

Pandan Alas yang sedianya akan memenuhi ajakan itu menjdi terdiam. Tetapi kecemasannya semakin membelit hati. Ia berpikir keras untuk dapat menyelesaikan masalah cucunya dengan baik, tanpa suatu singgungan perasaan di kedua belah pihak. Tetapi rasa-rasanya tidaklah mungkin. Meskipun demikian ia harus berusaha.

Ki Ageng… desak Sarayuda kemudian, Marilah kita bicarakan apa yang seharusnya kita bicarakan, meskipun bagiku tak ada lagi persoalan. Bagiku hanyalah ada satu permintaan yang aku tujukan kepada yang terhormat, Kakang Mahesa Jenar, untuk menyerahkan murid perguruan Pandan Alas kepada yang berhak.

Sekali lagi perasaan Ki Ageng Pandan Alas terguncang. Namun iapun menyambung, Mahesa Jenar, aku belum mendengar jawabmu. Apakah yang akan kau lakukan, setelah kau berhasil membebaskan cucuku dari tangan Sima Rodra dan Bugel Kaliki?

Tidak demikian Ki Ageng…. Sarayuda menyanggah. Ia merasa bahwa kata-kata gurunya itu terlalu menguntungkan Mahesa Jenar, sambungnya, Itu terlalu berlebih-lebihan. Kecuali kalau Ki Ageng bermaksud untuk terlalu berendah diri. Sebab ketika Mahesa Jenar membawa Pudak Wangi, tak seorangpun dapat menghalangi. Sima Rodra tua dan Bugel Kaliki terikat dalam pertempuran dengan Ki Ageng, sedang janda Sima Rodra muda dan Jaka Soka bertempur melawan aku.

Ki Ageng Pandan Alas menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu benar adat muridnya. Sebagai seorang Demang di daerahnya, segala kemauannya hampir tak terbantah. Mendengar sanggahan muridnya itupun Pandan Alas hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.

Namun dalam pada itu Mahesa Jenar dan Kanigara menjadi semakin tidak senang terhadap kata-kata Sarayuda, meskipun mereka berdua dapat mengerti sepenuhnya, bahwa semuanya itu terdorong oleh suatu perasaan ketakutan. Takut akan kehilangan adik seperguruannya, cucu gurunya. Tetapi bagaimanapun juga hati Mahesa Jenar menjadi kalut. Kalau Demang yang kaya raya itu tidak dapat dicegah tindakannya, sehingga ia berbuat sesuatu yang tidak sepantasnya, maka ia tidak tahu apa yang seharusnya dilakukan.

Dengan keadaan yang sekarang, maka Sarayuda bukanlah lawannya. Tetapi kalau sampai Sarayuda dikalahkannya di hadapan gurunya sendiri, maka akibatnya akan lain. Ki Ageng Pandan Alas pasti tidak dapat menyaksikan kekalahan muridnya. Bagaimanapun juga perguruan Pandan Alas pasti mempunyai harga diri. Kalaupun terjadi demikian, perasaannyapun akan tersayat pula. Sebab terhadap dirinya sendiri ia tidak dapat mengingkari. Ia tidak ingin melepaskan Pudak Wangi kali ini.

324
ANGIN malam berhembus lemah. Di langit bintang gemintang gemerlapan tiada henti-hentinya. Sekali dua kali tampaklah seleret bintang berpindah tempat menggores langit. Sekejap saja, lalu lenyap terbenam dalam pelukan selembar awan. Suara jengkerik masih saja bersahutan di sela-sela kemersik daun kering yang diterbangkan angin pegunungan.

Keempat orang yang duduk saling berhadapan itu untuk beberapa saat saling berdiam diri. Mereka masing-masing tenggelam dalam angan-angannya sendiri.

Yang mula-mula memecahkan kesepian adalah Sarayuda, Masihkah ada yang kau nanti Kakang Mahesa Jenar?

Tidak ada, jawab Mahesa Jenar kosong.

Kalau demikian, marilah, serahkan Pudak Wangi kepada gurunya, sahut Sarayuda.

Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Sekali lagi ia menjadi bingung. Tetapi akhirnya ia berkata kepada Ki Ageng Pandan Alas, Ki Ageng, Pudak Wangi adalah cucu Ki Ageng, dan murid Ki Ageng. Karena itu yang paling berhak menentukan adalah Ki Ageng sendiri.
Bagus… sahut Sarayuda tiba-tiba, Sekarang kita nantikan putusan Ki Ageng Pandan Alas.
Pandan Alas menjadi bertambah bingung. Benar-benar ia dihadapkan pada satu keharusan memilih yang amat sulit, seperti ceritera tentang buah bersayap yang jatuh dipangkuan seorang gadis. Dimakan bapa mati, tidak dimakan ibu mati.

Tetapi kemudian Pandan Alas menemukan persoalan yang sewajarnya. Karena itu ia ingin berbicara wajar, tidak dengan aling-aling. Ia tahu benar bahwa masalah yang dikemukakan Sarayuda pun sebenarnya bukan masalah perguruan, tetapi terlalu bersifat pribadi.

Maka kemudian ia ingin menerapkan persoalannya pada tempat yang sebenarnya. Katanya, Anakku berdua. Sarayuda dan Mahesa Jenar. Marilah kita berbicara antara hati, perasaan dan pikiran. Marilah kita berbicara dengan bahasa yang sewajarnya. Aku, sebagai seorang yang telah kenyang berjemur panas matahari, pernah juga merasakan betapa kisruhnya perasaan yang sedang bergulat melawan pikiran. Nah, kalian berdua, kenapa kalian tidak berterus terang saja, bahwa kalian berdua sama-sama menghendaki Pudak Wangi, bukan sebagai murid Pandan Alas tetapi sebagai seorang gadis yang bernama Rara Wilis…?

Kata-kata itu langsung menusuk perasaan Mahesa Jenar dan Sarayuda. Mereka menjadi terdiam karenanya. Sebab apa yang dikatakan oleh orangtua itu adalah hakekat dari perasaan mereka masing-masing.

Kanigara yang mendengarkan pembicaraan itu menjadi tersenyum kecil. Ia memuji di dalam hati kebijaksanaan Ki Ageng Pandan Alas, yang dapat melepaskan diri dari persoalan yang sulit. Tetapi dengan demikian ada juga bahayanya. Sebab apabila persoalan mereka menjadi keras, sulitlah dihindarkan. Karena dengan demikian Ki Ageng Pandan Alas telah menghadapkan kedua orang itu langsung.

Tetapi kemudian Ki Ageng Pandan Alas melengkapi pendapatnya, Anakku berdua… kalau kalian setuju dengan pendapatku maka keputusan terakhir tidak ada padaku. Sebab masalahnya bukan masalah antara guru dan murid. Menurutku pendapatku, keputusan terakhir berada di tangan Wilis sendiri.

Hati Mahesa Jenar dan Sarayuda bergetar bersama-sama. Mereka merasakan kebenaran kata-kata Pandan Alas. Tetapi dengan demikian Sarayuda merasa aneh terhadap sikap gurunya. Bagi Pandan Alas, Mahesa Jenar adalah orang lain. Orang yang dijumpainya di perjalanan hidup tanpa sentuhan-sentuhan tertentu seperti beribu-ribu orang lainnya. Dirinya adalah murid orang tua itu.

Murid yang sudah bertahun-tahun menyerahkan diri serta masa depannya kepadanya. Sekarang, dalam persoalan ini, gurunya itu sama sekali tidak memberikan keuntungan apapun kepadanya. Sebab Ki Ageng Pandan Alas itu seolah-olah sudah tidak mau turut mencampuri masalah itu.

Karena itu, bagaimanapun juga timbullah suatu tuntutan batin, bahwa seharusnya gurunya itu berada di pihaknya. Sebab apabila demikian masalahnya akan mudah sekali. Mahesa Jenar harus mengembalikan Pudak Wangi. Seterusnya Pandan Alas menyerahkan Pudak Wangi kepadanya.

Tuntutan batin itu sedemikian kuatnya sehingga akhirnya ia tidak dapat merendamnya lagi. Maka kemudian meledaklah kata-katanya, Ki Ageng Pandan Alas, sebenarnya Ki Ageng dapat mempermudah persoalan ini. Meskipun apa yang dikatakan Ki Ageng Pandan Alas itu benar seluruhnya, bahwa hakekatnya, masalahnya adalah masalah pribadi. Namun keputusan Ki Ageng pun akan merupakan keputusan yang menentukan. Pudak Wangi tidak akan menanyakan banyak masalah bila Ki Ageng menjatuhkan keputusan. Sedang Mahesa Jenar pun tidak akan mengganggu gugat. Dalam segala bentuk.

Dada Kanigara berdesir. Apa yang diduganya agaknya akan menjadi kenyataan. Sarayuda rupanya sudah terlalu sulit untuk mengendalikan kata-katanya yang memancarkan kesulitan pula untuk mengendalikan perasaannya. Sedang Mahesa Jenar sedang berusaha untuk menenangkan dirinya. Meskipun ia tidak begitu senang mendengar segala-galanya, baik sikap maupun kata-kata Sarayuda. Namun karena ia mempunyai keyakinan yang semakin teguh tentang dirinya maka dipandangnya Sarayuda semakin lama semakin bertambah kecil.

Justru karena itulah maka akhirnya ia merasa bahwa ia sama sekali tidak perlu melayani. Karena itulah maka Mahesa Jenar menjadi semakin tenang.

Sebaliknya, Pandan Alas merasa bahwa Sarayuda telah mendesaknya untuk mengambil keputusan sesuai dengan kehendaknya sendiri, serta berusaha untuk memaksanya menyingkirkan Mahesa Jenar dengan kekerasan. Sehingga dengan demikian ia menjadi semakin cemas.
Apalagi ketika Sarayuda mendesaknya pula, Masih adakah yang meragukan Ki Ageng…?

325
SARAYUDA…. jawab Ki Ageng Pandan Alas, Kalau demikian maka soalnya memang sangat sederhana. Tetapi masalahnya lain. Tidak sesederhana itu. Pudak Wangi adalah seorang seperti kita, mempunyai perasaan. Ia barangkali memang tidak akan menanyakan dengan hati terbuka. Mungkin ia akan menjalani keputusan itu hanya sekadar sebagai cucu atau murid yang patuh. Kalau demikian maka hidup anak itu seterusnya akan menjadi kering tanpa cita-cita dan harapan. Ia akan menjalani kehidupan ini tanpa hati. Ia akan melihat matahari terbit seperti memang seharusnya demikian setiap hari, setiap pagi tanpa gairah. Serta ia akan merasa bahwa purnama di setiap pertengahan bulan itu bukan miliknya tetapi milik mereka yang berbahagia.

Untuk beberapa saat kemudian mereka kembali terdiam. Kata-kata Pandan Alas adalah kata-kata yang penuh pengalaman hidup. Penuh pengertian akan harapan, cita-cita dan cinta.

Namun selanjutnya, cinta Sarayuda ternyata tidak dapat membedakan ujung serta pangkal.

Demikianlah arus cinta yang bergelora di dalam dada Demang kaya raya itu. Meskipun kata-kata gurunya itu mula-mula menggetarkan hatinya, namun kemudian tertindih perasaan itu dengan suatu gelora yang lebih dahsyat.

Kemudian katanya, Ki Ageng, ternyata bijaksana. Aku keberatan kalau seandainya Adi Pudak Wangi yang harus menentukan, siapakah diantara kita yang dikehendakinya. Namun demikian seterusnya ia harus mempertimbangkan pula ketenteraman diri. Karena itulah Pudak Wangi harus menilai, kecuali kenangan atas masa lalu serta harapan dan cita-cita bagi masa datang. Juga harus dipertimbangkan apakah kita masing-masing akan dapat melindungi dirinya.

Beberapa titik keringat dingin telah mengalir di punggung Ki Ageng Pandan Alas. Namun demikian ia merasakan kebenaran kata-kata Sarayuda sebagai laki-laki, meskipun ia tidak seluruhnya melihat keharusan penjelasan yang demikian.

Kalau saja Pudak Wangi dapat melihat manfaat dari keunggulan ilmu, maka soalnya akan dapat dipecahkan dengan cara demikian. Tetapi ia sudah tidak dapat melihat cara lain, yang harus diyakinkan adalah, bahwa dengan demikian soalnya harus selesai. Tanpa perasaan dendam dan benci. Karena bagaimanapun, Sarayuda adalah muridnya. Ia bergaul dengan muridnya itu sejak Sarayuda menjelang dewasa. Ia telah bekerja keras agar muridnya kelak dapat memanfaatkan ilmu yang diturunkan itu sebaik-baiknya. Kalau saja muridnya dan Mahesa Jenar dapat menepati cara penjelasan itu dengan jujur, serta Pudak Wangi menyetujuinya serta melihat manfaatnya. Tetapi apakah demikian …?

Dalam saat-saat ia mempertimbangkan segala segi yang mungkin terjadi, terdengarlah Sarayuda mendesaknya, Bukankah usulku adil?

Ki Ageng Pandan Alas menarik nafas panjang. Ia memandang muridnya dengan tajam, seolah-olah melihat apakah ia sudah siap. Pada saat-saat terakhir memang ia selalu menambah beberapa pokok pengetahuan kepada Sarayuda untuk menambah kekuatannya lahir dan batin. Kalau sampai ditempuh jalan yang dikehendaki, adakah ia tidak akan memalukan?

Mula-mula ia merasa bahwa Mahesa Jenar yang dilihatnya pada saat ia membebaskan Pudak Wangi adalah luar biasa. Tetapi kemudian ia mempertimbangkan juga pendapat Sarayuda.

Meskipun ia tidak menutup mata bahwa sebenarnya Mahesa Jenar telah mencapai tingkatan yang lebih tinggi, namun benar-benar pada saat itu orang-orang lain sedang terikat di tempat masing-masing.

Setelah Pandan Alas mempertimbangkan beberapa segi dan kemungkinan, kemudian ia ingin menawarkan usul Sarayuda kepada Mahesa Jenar dan Pudak Wangi. Mahesa Jenar sendiri pada saat itu dihinggapi pula oleh berbagai perasaan. Tetapi bagaimanapun ia harus mengambil suatu ketetapan. Tetapi belum lagi ia dapat suatu keputusan apapun, terdengarlah Pandan Alas bertanya kepadanya, Anakmas Mahesa Jenar, bagaimanakah pertimbanganmu atas usul Sarayuda?

Mahesa Jenar membetulkan duduknya. Kemudian dijawabnya perlahan sekali, Ki Ageng, aku masih menyangsikan apakah seseorang dapat mempengaruhi perasaan yang paling dalam dengan berkelahi.

Mendengar jawaban itu, Sarayuda terkejut, sehingga ia terloncat berdiri.
Jangan berpura-pura Mahesa Jenar. Kau adalah murid utama almarhum Pangeran Handayaningrat yang bergelegar Ki Ageng Pengging Sepuh. Buat apa kau berguru kepadanya kalau kau tidak melihat manfaatnya orang berkelahi?

Sarayuda…. jawab Mahesa Jenar. Aku memang melihat manfaat orang berkelahi. Aku juga melihat bahwa orang dapat memaksakan kehendaknya dengan berkelahi. Dengan keunggulan ilmu tata pertempuran. Tetapi manfaat itu hanyalah manfaat lahiriah. Tetapi katakan kepadaku Sarayuda yang perkasa, dapatkah kau mengubah ketetapan hati seseorang atau suatu hubungan perasaan dengan perkelahian? Sarayuda… hubungan yang ada diantara kita adalah hubungan yang saling bertali. Seandainya, seandainya Sarayuda… Seandainya seseorang terpaksa memilih salah satu diantara kita karena keunggulannya, tetapi sebenarnya hatinya terikat kepada yang lain, apa katamu? Aku tidak mau, meskipun kemudian aku terpilih. Aku tidak mau menerima seseorang hanya ujud jasmaniahnya, tanpa hati dan perasaan pasrah yang tulus.

Omong kosong! potong Sarayuda. Sejak kapan hatimu menjadi sekecil hati perempuan? Agaknya kau seorang yang mendamba cinta sebagai mahkota bidadari di sorga yang mulus tanpa cela. Mahesa Jenar, aku bukan seorang yang cengeng, yang merajuk dalam bercinta. Sejak dewasa, di pinggangku telah tergantung pedang perguruan Pandan Alas. Dengan pedang aku mendapat kekuatan di Gunung Kidul. Sekarang, dengan pedang pula aku ingin melengkapi kamukten-ku. Dengan pedang aku ingin menemukan cinta.

Suara Sarayuda bergetar seperti guruh yang menggelegar di lereng pegunungan, berkumandang melingkar-lingkar di lembah-lembah sekitarnya. Kata-kata yang diucapkan itu adalah tekad yang sudah tak dapat ditawar lagi.

MENDENGAR kata-kata yang terucapkan oleh mulut Sarayuda itu semuanya jadi terdiam. Pandan Alas, Mahesa Jenar dan Kanigara seolah-olah terpesona oleh pancaran perasaan mereka atas peristiwa itu agak berlainan. Pandan Alas, gurunya, tiba-tiba menjadi berbangga hati melihat ketetapan hati muridnya yang penuh kejantanan. Wanita bagi seorang laki-laki adalah tidak ubahnya pusaka, yang kalau perlu rela bertaruh nyawa.

Kanigara dan Mahesa Jenar pun mula-mula mengaguminya. Tetapi kemudian sebagai laki-laki berhati jantan, tersentuhlah perasaan mereka. Karena itulah maka dada Mahesa Jenar bergelora hebat. Hampir ia melepaskan, perhitungan untuk memenuhi kepuasan hatinya. Sedangkan Kanigara menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh Sarayuda sudah terlalu sukar untuk mendapat perubahan bentuk. Ia sudah bertekad bulat, apapun yang akan terjadi.

Demikianlah Sarayuda berdiri dengan gagahnya pada kedua kakinya yang kokoh kuat. Satu tangannya tergantung di sisi tubuhnya, sedang tangannya yang lain melekat di hulu pedangnya. Dengan suatu keyakinan yang pasti ia menanti akibat dari kata-katanya.

Tetapi yang terjadi adalah diluar dugaan. Pada saat Mahesa Jenar sedang berjuang untuk tidak tenggelam dalam arus perasaannya, tiba-tiba terdengar suara tertawa lirih tertahan. Alangkah terkejut mereka yang mendengar suara itu. Hampir saja keempat orang bersama-sama bergerak dalam satu kejapan mata menghadap ke arah suara itu. Diantara mereka yang mula-mula berteriak adalah Kanigara. Suaranya lantang mengandung penjelasan, Kau Karang Tunggal…. Agaknya penyakitmu kambuh lagi. Datanglah kemari.

Mendengar nama itu disebutkan, Mahesa Jenar terkejut pula. Apalagi ketika ia melihat dua anak muda muncul dari balik gerumbul di sebelah. Anak muda itu adalah Putut Karang Tunggal dan Arya Salaka. Dengan tunduk ketakutan mereka berjalan mendekati Kanigara. Sedang tangan Karang Tunggal masih melekat di mulutnya.

Dengan suara gemetar menahan marah, Kanigara berkata, Apa yang kau lakukan itu Karang Tunggal? Aku kira kau telah benar-benar sembuh dari penyakitmu. Melihat sikapmu beberapa bulan terakhir aku sudah senang. Tetapi agaknya kau belum dapat melupakan kelakuanmu yang keterlaluan itu.

Karang Tunggal dan Arya Salaka masih diam ketakutan. Kemudian terdengarlah Mahesa Jenar berkata kepada muridnya, Kenapa kau datang kemari Arya…?

Arya Salaka menjadi gemetar. Ia belum melupakan kelakuan gurunya yang tiba-tiba berubah menjadi kasar setelah mereka berada di dalam goa, tetapi sebelum ia menjawab, terdengar suara Putut Karang Tunggal menyahut, Adi Arya Salaka tidak bersalah, Paman. Akulah yang membawanya kemari. Tetapi aku sama sekali tidak sengaja mengintip pertemuan ini.

Tutup mulutmu! bentak Sarayuda yang hatinya lebih parah dari semuanya. Tidak hanya Karang Tunggal yang terkejut mendengar bentakan itu, tetapi juga semua yang hadir. Kanigara yang semula akan marah kepada Karang Tunggal, tiba-tiba menjadi urung. Sebab bagaimanapun ia sama sekali tidak senang kalau ada orang yang membentak-bentak kemenakannya itu.

Karang Tunggal ternyata benar-benar mempunyai sifat yang aneh. Kalau mula-mula Mahesa Jenar melihat sikapnya yang halus sopan itu agaknya seperti apa yang dimaksud oleh Kanigara sebagai penyakit yang setiap saat dapat kambuh kembali. Sebab ternyata ketika Sarayuda membentaknya, justru ia mengangkat wajahnya. Karena itu segera ia tunduk kembali dan dengan sudut matanya ia memandang mata Kanigara.

Kanigara yang kecewa atas kelancangan Sarayuda, kemudian menjadi acuh tak acuh. Ia tidak jadi mencegah kemenakannya untuk tidak berbuat yang aneh-aneh. Bahkan kemudian dengan tidak peduli ia duduk kembali.

Mahesa Jenar mengerti perasaan yang bergetar di dalam hati Kanigara. Karena itu ia menjadi bertambah gelisah. Jangan-jangan persoalannya menjadi lain. Meskipun ia juga menyesali tindakan Sarayuda yang berlebihan itu.

Ki Ageng Pandan Alas terkejut pula mendengar Sarayuda membentak Karang Tunggal justru pada saat orang yang menyebut dirinya Karang Jati, yang pasti mempunyai hubungan satu sama lain itu sedang marah pula kepada anak muda itu. Ia mengerti sepenuhnya seperti Mahesa Jenar juga, kenapa Kanigara kemudian menjadi acuh tak acuh. Karena itu segera ia mencoba mencegah hal-hal yang tak diinginkan. Sudahlah Sarayuda. Serahkanlah anak itu kepada yang berwenang. Bukankah Karang Jati dapat mengajarnya untuk tidak mengganggu kita lagi?

Tetapi agaknya pikiran Sarayuda telah benar-benar kacau. Sebab kemudian ia menjawab, Putut Karang Jati itu hanya dapat membentak-bentak marah saja, tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu terhadap orangnya yang sudah berbuat salah. Bukankah ia mengintip dan kemudian menertawakan aku? Menertawakan kata-kataku…?

Kemudian kepada Kanigara ia berkata, Karang Jati, dapatkah kau sedikit memberi pelajaran kepada orangmu itu? Atau barangkali kau perlu bantuanku?

Kata-kata itu semakin tidak menyenangkan perasaan Kanigara. Maka dijawabnya kata-kata Sarayuda dengan berterus terang, Tuan, mula-mula aku marah kepada anakku. Tetapi aku kecewa kepada sikap Tuan, bahwa Tuan ikut memarahinya.

Sarayuda menjadi tersinggung perasaannya. Ia telah biasa marah kepada setiap orang yang tidak memenuhi perintahnya, di daerahnya. Karena itu, ketika ia mendengar jawaban Kanigara yang berterus terang menyesalinya itu, ia sama sekali tidak mau mendengarkan. Bahkan dengan semakin marah ia berkata, Lalu apa maumu? Mestikah aku membiarkan anak yang katamu anakmu itu menghina aku? Menertawakan aku? Baiklah katakan kepadaku bahwa kau tidak mampu mengajarnya. Dan, katakan pula kepadaku bahwa kau perlu bantuanku untuk mengajarnya. Ayo… katakan supaya aku tidak kau anggap salah lagi kalau aku mengajarnya sedikit kesopanan.

327

KANIGARA menganggap bahwa kata-kata Sarayuda itu sudah berlebih-lebihan. Karena itu bagaimanapun ia menyabarkan diri namun ia menjadi jengkel pula karenanya. Maka kemudian dijawabnya. Terserahlah kepada Tuan, kalau Tuan mempunyai waktu untuk mengajarnya. Itu kalau Tuan merasa mampu.

Dada Mahesa Jenar berdesir mendengar jawaban Kanigara, sebab dengan demikian berarti bahwa ia mengijinkan Karang Tunggal melayani Sarayuda. Bagi Mahesa Jenar ada dua hal yang menggelisahkan. Pertama, apakah Karang Tunggal tidak akan mengalami cidera, sebab pada saat itu Sarayuda sedang dalam puncak kemarahannya, sehingga sulitlah baginya untuk mengendalikan dirinya, meskipun ia hanya berhadapan dengan anak-anak. Kedua, bagaimanakah pendapat Panembahan Ismaya yang sama sekali tak menghendaki adanya kekerasan. Apalagi dilakukan oleh seorang yang selalu berada di dekatnya, Putut Karang Tunggal.

Tetapi ia tidak dapat berpikir lebih jauh, sebab pada saat itu terdengarlah Sarayuda tertawa, meskipun sama sekali bukan karena perasaan gembira. Di sela-sela tertawanya ia berkata, Baiklah, sekarang kau yang menghina aku. Kau sangka aku tidak mampu mengajar anakmu. Meskipun andaikata anakmu kekasih dewa-dewa.

Tak seorang pun dapat mencegahnya lagi. Ki Ageng Pandan Alas pun tidak. Apalagi memang orang tua itu tidak berusaha mencegahnya, ketika ia mendengar Kanigara meragukan kemampuan muridnya. Hanya saja ia selalu waspada, kalau-kalau Sarayuda akan berbuat keterlaluan terhadap Putut Karang Tunggal.

Dalam pada itu, mula-mula Karang Tunggal menjadi ragu-ragu. Ia tidak mengerti apa maksud pamannya itu. Sehingga dengan wajah yang bertanya-tanya ia memandang Kebo Kanigara tanpa berkedip minta penjelasan. Untuk beberapa saat Kanigara menunggu perkembangan suasana. Ketika ia sudah tahu benar bahwa Ki Ageng Pandan Alas tidak mencegah muridnya, maka kemudian ia pun mengangguk kecil kepada Putut Karang Tunggal.

Putut Karang Tunggal tiba-tiba menjadi gembira sekali. Matanya yang bulat bercahaya itu menjadi berseri-seri. Sejak mengunjungi pamannya di bukit kecil itu, ia merasa sangat terkekang. Ia mulai dapat melemaskan tulang-tulangnya ketika ia mendapat kawan bermain, Arya Salaka. Tetapi apa yang dilakukan adalah sangat terbatas, sekarang ia mendapat kawan bermain. Barangkali dengan orang itu ia akan dapat bertindak lebih leluasa lagi.

Meskipun demikian dengan tersenyum-senyum ia mengangguk hormat kepada Sarayuda yang sudah mulai melangkah mendekatinya dengan gigi yang gemeretak dan mulut terkatup rapat. Tuan, yang dipinggangnya tergantung perguruan Pandan Alas… perkenankan aku minta maaf. Sebenarnya aku sama sekali tidak bermaksud menertawakan Tuan. Hanya karena kelakuan Tuan-lah sebenarnya, maka aku tidak berhasil menahan geli.

Hati Sarayuda yang sedang marah, mendengar kata-kata itu seperti disiram api. Telinganya seketika menjadi panas, dan bibirnya bergetaran.

Mahesa Jenar tidak menduga sama sekali bahwa Putut Karang Tunggal akan berkata demikian, sehingga hampir saja ia melangkah maju untuk mencegahnya. Tetapi diurungkan ketika Kanigara menggamit tangannya sambil menggelengkan kepalanya.

Meskipun demikian hati Mahesa Jenar menjadi sangat berdebar-debar. Ia telah melihat persoalannya membelok dari arah semula. Sebab sebelum hal ini terjadi, ia masih dapat mengerti tuntutan perasaan Sarayuda. Tetapi kemudian agaknya ia sudah dikendalikan oleh nafsu yang terlepas dari pengamatan pikiran.

Sarayuda yang sudah berada dalam puncak kemarahannya itu, segera meloncat dan menampar mulut Karang Tunggal dengan suatu gerakan yang cepat sekali. Melihat gerak tangan Sarayuda, hati Mahesa Jenar berdesir. Sebab gerakan itu sedemikian cepat sehingga tak mungkin untuk dihindari.

Tetapi apa yang disaksikan sangat mengguncangkan hatinya. Ia melihat pukulan itu menyambar pipi Karang Tunggal, bahkan ia melihat suatu benturan yang keras.
Namun demikian Karang Tunggal sama sekali tak tergetar. Bahkan dengan suatu gerak yang cepat pula ia meloncat mundur menjauhi. Juga gerak itu sangat mengagumkan.

Putut Karang Tunggal dapat bergerak mundur dengan tangkas, seolah-olah tidak menggerakkan anggota badannya.

Demikian herannya sehingga Mahesa Jenar bergeser maju selangkah, seolah-olah ia ingin melihat bahwa suatu kenyataan yang aneh telah terjadi di hadapannya. Agaknya demikian juga Ki Ageng Pandan Alas, yang memandang perkelahian itu dengan mulut ternganga.

Sarayuda yang sedang terbakar hatinya, tidak begitu memperhatikan kenyataan yang aneh itu. Bahkan ia menjadi semakin bernafsu ketika ia merasa serangannya yang pertama itu gagal. Sehingga kemudian ia pun menyerang lebih dahsyat lagi. Sekarang Putut Karang Tunggal telah siap untuk menerima serangan Sarayuda, sehingga ia tidak menjadi sasaran saja. Dengan cepat ia mengelak dan dengan cepat pula ia membalas serangan Sarayuda dengan serangan yang cepat pula.

Maka sesaat kemudian terjadilah perkelahian yang sengit. Suatu perkelahian antara dua orang yang memiliki kecepatan bergerak yang mengagumkan. Seperti apa yang pernah disaksikan oleh Mahesa Jenar, Putut Karang Tunggal dengan lincahnya menari-nari seperti melihat lawannya dari arah yang sama sekali tak terduga-duga.

Tetapi Sarayuda bukan anak kecil yang kagum melihat burung terbang di udara. Ia telah hampir masak dalam ilmunya. Ilmu yang ditakuti lawan dan disegani kawan. Apalagi ia sendiri telah menempuh pengalaman luas, sehingga dengan demikian ilmunya menjadi bertambah sempurna. Karena itulah maka ia sama sekali tidak menjadi bingung. Kemana bayangan Karang Tunggal meluncur, Sarayuda telah siap untuk menghadapinya.

Bahkan semakin lama serangannya semakin mengerikan. Kalau semula ia masih belum mempergunakan segenap kecakapannya, maka setelah ia bertempur beberapa lama maka dengan sendirinya segenap ilmunya dikerahkannya pula.

328

MESKIPUN demikian apa yang dilakukan Sarayuda sama sekali bukanlah semacam seseorang yang mengajari sedikit kesopanan kepada Karang Tunggal. Tetapi benar-benar telah terlibat dalam satu perkelahian dengan seorang yang sama sekali tidak diduganya akan dapat mengimbanginya dengan sangat baik.

Karena itu Sarayuda menjadi semakin heran, marah dan benci bercampur aduk. Ia menjadi heran karena anak itu benar-benar tidak diduganya mempunyai kemampuan yang sedemikian tinggi. Dan karena itulah ia menjadi marah sekali. Ia merasa bahwa anak itu dengan sengaja telah menghinanya dan menariknya ke dalam suatu pertentangan.
Karena itulah maka ia tidak mau lagi mengekang dirinya. Seperti badai yang dahsyat, serangan Sarayuda kemudian datang bergulung-gulung, mengerikan sekali.

Pandan Alas yang menyaksikan pertempuran itu dengan mulut ternganga menjadi tersadar, bahwa masalahnya bukanlah masalah main-main lagi. Seperti Sarayuda, ia pun tidak mengira sama sekali bahwa anak yang nakal itu dapat bertempur sedemikian gigihnya. Sehingga timbullah suatu kecurigaan di dalam hatinya, bahwa ia benar-benar hanya seorang Putut yang mengabdikan hidupnya kepada seorang Panembahan di daerah terasing seperti Karang Tumaritis, dimana segala sesuatunya lebih diberatkan pada masalah-masalah rohaniah.

Pandan Alas semakin curiga pula pada orang yang mengaku bernama Karang Jati itu. Kalau saja anaknya dapat berbuat demikian, apakah kira-kira yang dapat dilakukan oleh ayahnya…? Karena itu mau tidak mau Pandan Alas harus mawas diri. Meskipun sebenarnya ia malu mencampuri perkara anak-anak, tetapi siapa tahu kalau masalahnya menjadi berlarut-larut.

Dalam pada itu ia telah hampir melupakan Mahesa Jenar. Bahwa sebenarnya dengan orang itulah ia berkepentingan, sehingga ia datang ke padepokan di atas bukit kecil ini.

Sementara itu pertempuran antara Karang Tunggal yang tidak lain adalah Mas Karebet yang juga dikenal dengan nama Jaka Tingkir, yang telah diramalkan oleh seorang Wali yang waskita, Sunan Kalijaba, bahwa kelak akan menduduki tahta kerajaan, melawan murid tertua dan terpercaya dari Perguruan Pandan Alas, yang terkenal sebagai seorang sakti dari Klurak.

Keduanya memiliki pegangan yang kuat serta pengalaman yang luas. Karena itu semakin lama pertempuran itu menjadi semakin dahsyat.

Putut Karang Tunggal tidak lagi nampak sebagai seorang anak muda yang sedang tumbuh, tetapi ia benar-benar telah siap menjadi seorang laki-laki yang lincah, tegap, kuat dan perkasa. Sedang lawannya adalah seorang yang telah lama menjadi seorang ternama, apalagi di daerahnya.

Mahesa Jenar lah yang pada saat itu menjadi paling gelisah dan bingung. Tidak saja ia kagum atas apa yang dilihatnya pada Karang Tunggal, tetapi ia bingung pula atas perkembangan masalah yang menjurus pada hal-hal yang sama sekali tak dikehendaki. Namun ia masih sempat berdiri keheranan melihat gerak-gerak keturunan dari Perguruan sela seperti yang pernah dikenalnya dengan baik dan yang telah disaksikan pula sewaktu Karang Tunggal berlatih dengan Arya Salaka.

Tetapi ketika pertempuran itu menjadi semakin dahsyat, segera tampaklah berbagai macam ilmu bercampur aduk menjadi satu dan bersenyawa demikian serasinya, terbayang dalam gerakan Karang Tunggal. Malahan kadang-kadang tampaklah hal-hal yang tidak mungkin dapat terjadi. Dengan demikian ia dapat mengetahui bahwa anak itu benar-benar memiliki ilmu yang jauh lebih lengkap daripada apa yang pernah disaksikan.

Sedangkan yang paling mengherankan adalah, hampir setiap serangan Sarayuda, bagaimanapun tepatnya mengenai sasaran, namun anak itu seolah-olah tidak merasakan sesuatu yang menyentuh tubuhnya. Ditambah lagi dengan gerak loncatnya yang aneh.

Ketika Sarayuda menyerangnya dengan garang ke arah kepala, Karang Tunggal terpaksa merendahkan diri, sekaligus ia mendapat serangan kaki ke arah lambung, dan sekaligus gerak yang aneh, ia dapat melontar mundur sambil berjongkok. Gerakan ini adalah gerakan yang sulit. Namun anak itu dapat melakukannya dengan sederhana dan wajar.
Kanigara melihat keheranan yang terbayang di wajah Mahesa Jenar. Meskipun ia nampaknya masih acuh tak acuh saja, tetapi sebenarnya ia pun mengagumi kemenakannya itu. Kemenakannya yang nakal dan sulit dikendalikan sehingga ibu angkatnya Nyi Ageng Tingkir menjadi bersedih atas kelakuannya.

Dengan kegemarannya pergi meninggalkan rumahnya sampai berhari-hari, bahkan sampai berbulan-bulan menyusur hutan dan padang, bahkan menyepi ke daerah-daerah yang tak pernah dikunjungi manusia, menempuh daerah-daerah bahaya dan sengaja masuk ke dalam sarang-sarang penjahat, telah menjadikan Karebet seorang yang benar-benar tertempa lahir dan batin.

Akhirnya Mahesa Jenar tidak tahan lagi untuk tetap menyaksikan saja keperkasaan Karang Tunggal, sehingga akhirnya ia perlahan-lahan pergi mendekati Kanigara, untuk menanyakan beberapa hal mengenai anak yang aneh itu.

Ketika Mahesa Jenar telah berdiri di sampingnya, dengan mata yang tak berkedip memandang perkelahian itu, Kanigara mengetahui maksudnya. Maka sebelum Mahesa Jenar bertanya, Kanigara telah berbisik lirih, Apakah kau menjadi heran?

Mahesa Jenar mengangguk.

Jangan heran… Kanigara melanjutkan, Meskipun aku sendiri tidak tahu dari mana ia mendapatkannya. Tetapi ia memiliki ilmu yang disebutnya Lembu Sekilan.
Lembu Sekilan…? ulang Mahesa Jenar. Ilmu yang pernah dimiliki oleh Empu Mada?

Demikian. Karena itu ia seolah-olah menjadi kebal. Meskipun ilmu itu belum sempurna. Ia masih dapat dikenai serangan yang cukup tajam dari ilmu yang kuat. Apalagi ia nanti dapat menyempurnakan ilmu itu. Setidak-tidaknya mendekati apa yang dimiliki oleh Gajah Mada. Maka ia pun akan menjadi orang yang tak terkalahkan seperti Gajah Mada.

329
MAHESA JENAR menggeleng-gelengkan kepala. Seorang anak yang masih semuda itu telah memiliki suatu jenis ilmu yang sudah jarang sekali terdapat diantara para sakti sekalipun. Karena itulah maka ia melihat serangan Sarayuda yang tepat dapat mengenainya, tetapi sama sekali tak menggetarkan kulitnya.

Tetapi dengan demikian ia semakin cemas. Untunglah bahwa Sarayuda pun memiliki ketangkasan yang luar biasa, sehingga Karang Tunggal terlalu sulit untuk menyentuh kulitnya. Meskipun demikian kemarahan Sarayuda setiap saat menjadi semakin menyala-nyala. Ia menjadi malu kepada dirinya sendiri, kepada gurunya dan kepada semua orang yang menyaksikan. Bahwa melawan seorang anak-anak itu saja ia tak berhasil mengalahkan. Karena itulah maka kemudian ia benar-benar bertempur dengan seluruh tenaga, kemampuan dan ilmu yang dimilikinya. Ia kini tidak merasa lagi berkelahi sekadar sebagai suatu pernyataan marah, tetapi ia telah bertempur benar-benar diantara hidup dan mati.

Itulah sebabnya maka mereka yang menyaksikannya tidak dapat tetap acuh tak acuh. Kanigara pun kemudian bangkit berdiri, dan mengikuti jalannya perkelahian dengan seksama.

Tetapi yang beranggapan lain dari semuanya adalah Arya Salaka. Ia pun menjadi gembira sekali dapat menyaksikan pertempuran yang dahsyat itu. Meskipun dalam beberapa hal ia menjadi keheran-heranan melihat gerak-gerak yang belum pernah disaksikan, namun ia dapat mengikuti sebagian besar dengan baik. Setelah ilmunya sendiri meningkat dengan pesatnya, maka ia kemudian tidak lagi mengagumi Sarayuda sebagai seorang yang terlalu tangguh. Sebab apabila gurunya mengijinkan, dalam tingkatannya yang sekarang ia pun bersedia untuk melawannya, meskipun barangkali tidak sebaik Putut Karang Tunggal.

Karena itu Arya Salaka melihat pertempuran yang hebat itu dengan bergeser-geser mengikuti setiap geseran titik pertempuran. Bahkan kadang-kadang ia berlari-lari mengelilingi untuk mengambil sudut pandangan yang jelas. Karena ia sendiri sering melakukan latihan dengan Karang Tunggal maka ia dapat melihat betapa berbahayanya gerak serangan yang dilakukannya. Apalagi ketika pertempuran itu telah berlangsung lama. Tidak hanya Arya Salaka, tetapi semua yang hadir di sekitar arena pertempuran itu menyaksikan suatu hal yang tak terduga sebelumnya.

Ketika Sarayuda tidak lagi mengekang dirinya, dan bertempur dengan segenap tenaganya dan kemampuannya, maka Putut Karang Tunggal pun menanggapinya. Maka dalam saat-saat terakhir, ternyata ia berhasil mendesak lawan dengan hebatnya. Gerakannya menjadi semakin cepat dan lincah. Sebaliknya Sarayuda tenaganya sudah mulai surut setelah diperas habis-habisan.

Kemudian terjadilah hal yang sangat mengejutkan. Putut Karang Tunggal yang akhirnya juga menjadi kehilangan kesabaran, tiba-tiba dari matanya yang bulat memancar seolah-olah cahaya merah kebiru-biruan. Cahaya yang mempunyai pengaruh luar biasa sebagai pancaran gaib yang melontar dari dalam dirinya. Bersamaan dengan itu geraknya pun menjadi semakin garang sebagai topan yang mengalir deras dibarengi petir yang menyebar maut.

Ki Ageng Pandan Alas adalah seorang tua yang penuh pengalaman dalam perjalanan hidupnya. Banyak hal yang pernah dilihat dan dirasainya. Hal-hal yang kasar, yang halus, yang kasat mata dan yang tidak. Itulah sebabnya maka ketika ia melihat sorot mata Putut Karang Tunggal yang seakan-akan memancarkan cahaya merah kebiru-biruan itu, hatinya tergetar cepat. Segera ia dapat merasakan suatu kegaiban dari cahaya itu. Apalagi yang dilihatnya benar-benar suatu hal yang tak mungkin terjadi dalam keadaan yang wajar.
Seorang anak muda yang memiliki ketangkasan demikian mengagumkan. Tidak saja melampaui muridnya, namun apabila ia benar-benar marah, ia tidak tahu apa yang akan terjadi dengan Sarayuda.

Meskipun Pandan Alas belum pernah berkenalan, apalagi mempelajari semacam ilmu yang dimiliki oleh Putut Karang Tunggal, namun sebagai seorang yang banyak mengetahui berbagai macam ilmu, ia pun dapat menerka bahwa ilmu yang dipergunakan Karang Tunggal adalah ilmu yang luar biasa.

Bahkan ia pun telah menduga bahwa Putut Karang Tunggal memiliki ilmu yang hampir merupakan dongengan, Lembu Sekilan. Sebab apapun yang dilakukan Sarayuda, dan tampak benar-benar mengena, namun anak itu seolah-olah sama sekali tak merasakannya. Meskipun dalam beberapa kali, apabila Sarayuda berhasil melontarkan serangan yang tajam dan sepenuh tenaga, tampak juga betapa Karang Tunggal bertegang wajah, menerapkan ilmunya dengan sepenuh usaha.

Dengan demikian Pandan Alas dapat menduga bahwa ilmu Putut Karang Tunggal itu masih belum sempurna. Tetapi yang pernah didengarnya, seperti yang pernah didengar oleh hampir semua tokoh-tokoh sakti, yang mersudi olah jaya kawijaya guna kasantikan, bahwa Lembu Sekilan adalah salah satu ilmu yang pernah dimiliki Maha Patih Gajah Mada.
Berdasarkan apa yang disaksikan itulah maka akhirnya Pandan Alas merasa bahwa bagaimanapun hebatnya Sarayuda, namun ia tak akan berhasil menandingi anak muda yang perkasa dan luar biasa itu. Karena itu ia memutuskan untuk mencegah Sarayuda bertempur lebih lama lagi. Maka kemudian terdengarlah ia berkata nyaring, Sarayuda… cukuplah.

330

MAHESA JENAR dan Kanigara terkejut mendengar seruan itu. Namun dalam hati mereka menaruh hormat kepada orang tua yang bijaksana itu. Kalau semula mereka menyangka bahwa apabila ada salah mengerti padanya, persoalan pasti akan berlarut-larut. Tetapi ternyata Pandan Alas telah berbuat suatu hal yang terpuji. Dengan demikian maka persoalannya akan dapat dibatasi.

Karena itu, Kebo Kanigara yang juga cukup bijaksana segera memanggil kemenakannya. “Karang Tunggal… sudahlah. Mintalah maaf kepadanya, supaya kau dibebaskan dari kemarahannya.”

Putut Karang Tunggal yang bagaimanapun nakalnya, apalagi pada saat itu, hatinya sedang dipenuhi oleh perasaan marah, namun benar-benar takut kepada pamannya. Karena itu dengan sangat kecewa ia terpaksa memenuhi perintahnya. Dengan satu lontaran mundur yang jauh ia melepaskan diri dari libatan lawannya.

Tetapi tidaklah demikian Sarayuda. Hatinya telah diamuk oleh suatu perasaan yang tak dapat diurai lagi. Bercampuraduknya segala macam perasaan yang dapat membakar dadanya. Marah, benci, dendam, dan segala macam. Sehingga dengan demikian meskipun ia mendengar suara gurunya, namun ia sama sekali tak menaruh perhatian.

Sebagai seorang yang mempunyai kekuasaan yang cukup besar, ia sama sekali tidak mau namanya menjadi cacat. Apalagi dalam perkelahian yang memerlukan segenap pemusatan pikiran dan kekuatan, ia seolah-olah tidak dapat melihat keajaiban-keajaiban yang dipancarkan lawannya, meskipun dalam beberapa hal ia merasa heran juga kalau serangan-serangannya seolah tak pernah dapat menyentuh kulit lawannya. Tetapi justru karena itulah ia menjadi semakin bernafsu, berjuang mati-matian.

Demikianlah, ketika Sarayuda melihat Putut Karang Tunggal melontarkan diri surut, ia sama sekali tidak menjauhkan dirinya, bahkan ia pun memburunya dan sekaligus melontarkan suatu serangan yang dahsyat.

Putut Karang Tunggal tak mengira hal yang demikian itu terjadi. Ia tidak menduga sama sekali bahwa ia akan mendapat serangan justru pada saat ia mengundurkan dirinya. Karena itulah ia tidak bersiaga. Ilmunya yang bernama Lembu Sekilan yang belum sempurna benar itu sudah mulai dikendorkan. Karena itulah maka ketika ia menerima serangan yang tak diduganya, terasalah seolah-olah sebuah bukit karang berguguran menimpanya pada saat ia sedang lelap tidur.

Itulah sebabnya, bagaimanapun ia berusaha menerapkan ilmunya Lembu Sekilan, namun dalam waktu yang mendadak itu tidak banyak berarti. Meskipun berhasil menolongnya dari cidera, tetapi ia terlempar juga beberapa langkah dan terbanting jatuh. Ternyata ilmunya itu masih belum mampu bekerja sendiri apabila sebuah perangsang menyentuhnya.

Semua yang menyaksikan kelakuan Sarayuda itu terkejut. Dada mereka berdebaran, dan darah mereka seperti berhenti mengalir. Bahkan Kanigara dan Mahesa Jenar menjadi seolah-olah terpaku di tempatnya dan tidak percaya atas apa yang dilihatnya. Ki Ageng Pandan Alas pun kemudian sampai terloncat maju, dan dengan lantangnya berteriak, “Sarayuda… sadarkah kau bahwa kau telah berlaku kurang bijaksana?”

Sekali lagi Sarayuda tak mau mendengar suara gurunya. Bahkan masih saja ia meloncat dan menyerang Putut Karang Tunggal yang sedang berusaha untuk bangkit. Karena itulah maka keadaannya menjadi sangat berbahaya.

Untunglah otaknya cerdas dan cepat. Segera ia menghentikan geraknya. Ia lebih baik tetap berjongkok, namun dengan sekuat tenaga diterapkannya ilmunya Lembu Sekilan. Meskipun demikian serangan Sarayuda yang ganas itu menggoncangkan tubuhnya sehingga hampir saja ia terjatuh kembali.

Pada saat Sarayuda akan mengulangi serangannya kembali, tiba-tiba meloncatlah bayangan dengan cepat menyerangnya dari lambung. Meskipun kecepatannya tidak dapat disamakan dengan kecepatan karang Tunggal, namun terasa betapa kuat serangan itu. Karena itu Sarayuda segera memutar tubuhnya, dan mengurungkan serangannya atas Putut Karang Tunggal.

Bayangan itu adalah Arya Salaka yang telah memiliki ilmu yang maju dengan pesatnya. Karena itulah maka sekali lagi Sarayuda terkejut. Anak yang kedua ini tidak kurang berbahayanya, karena itu ia menghadapinya dengan sepenuh tenaga.

Pada saat itulah Kanigara dikecewakan oleh Sarayuda. Kalau mula-mula ia ingin mencegah kemenakannya supaya tidak menyelesaikan pertempuran itu, sekarang ia berpikir sebaliknya. Biarlah anak nakal itu menghajar orang yang sama sekali tak tahu diri.

Sebaliknya, Mahesa Jenar menjadi terkejut dan cemas melihat Arya Salaka melibatkan diri dalam perkelahian itu. Namun demikian ia menjadi keheranan juga, bahwa muridnya itu dapat bertempur demikian baiknya sehingga sama sekali tak diduganya. Tetapi Arya Salaka tidak perlu berjuang terlalu lama. Sebab pada saat itu Putut Karang Tunggal telah bersiap kembali. Maka sesaat kemudian terdengarlah ia berteriak nyaring, “Adi Arya Salaka, minggirlah. Aku tidak mau diperlakukan demikian. Biarlah kami berhadapan sebagai seorang laki-laki dengan laki-laki.”

Suara Putut Karang Tunggal itu pun mengherankan pula. Getarannya bagaikan getaran guruh yang menggelegar menggoyangkan bukit-bukit kecil yang bertebaran di sana-sini. Bahkan suara itu seolah-olah telah mengejutkan matahari yang sedang tidur dengan nyenyaknya di balik cakrawala. Karena itu, di ujung timur fajar mulai menjenguk dan melemparkan cahayanya yang kemerahan.

Agak jauh di Padepokan Karang Tumaritis di puncak bukit itu, terdengarlah suara ayam jantan yang berkokok bersahutan. Seolah-olah mereka sedang membanggakan diri masing-masing dengan berteriak, Ini dadaku, mana dadamu…?

DEMIKIAN pula ayam jantan dari Pengging yang bernama Karebet itu, menjadi semakin marah atas kelakuan lawannya. Karena itu apapun yang terjadi, ia bertekad untuk bertempur mati-matian. Sehingga ketika Arya Salaka telah meloncat minggir, anak muda itu tegak berdiri dengan gagahnya, dengan kaki renggang dan dada menengadah. Wajahnya menjadi semakin cerah, melampaui cerahnya fajar. Sedangkan cahaya merah kebiru-biruan yang menyorot dari matanya yang bulat cemerlang itu menjadi semakin menyala-nyala.

Tiba-tiba Sarayuda yang telah bersiap pula, merasakan keanehan yang ada pada lawannya. Sekarang ia melihat sorot mata yang ajaib. Juga ia semakin merasakan bahwa serangan-serangannya menjadi seolah-olah lenyap tak berbekas. Tetapi akibat dari tanggapannya atas kenyataan yang dihadapinya itu menjadikannya semakin mata gelap. Ia sudah tidak dapat berpikir lain, kecuali membinasakan lawannya. Karena itulah maka tiba-tiba ia berbuat sesuatu yang tak pernah terbayangkan sebelumnya, baik oleh Mahesa Jenar, Kanigara maupun gurunya sendiri Ki Ageng Pandan Alas.

Sarayuda yang dibakar oleh api kemarahan yang menyala-nyala di dalam dadanya, tiba-tiba berdiri tegak. Wajahnya terangkat dan matanya menjadi redup setengah terpejam. Ia menyalurkan segala tenaganya dilambari dengan pemusatan pikiran untuk kemudian meletakkan satu tangannya di atas dada, sedangkan tangan lainnya menjulur ke depan lurus-lurus. Itulah suatu sikap untuk melepaskan ilmunya yang dahsyat, ilmu pamungkas Cundha Manik, dari Perguruan Pandan Alas.

Mahesa Jenar pernah menyaksikan kedahsyatan ilmu itu, bahkan ia pernah menempurnya dengan aji Sasra Birawa. Akibatnya adalah mengerikan sekali. Sekarang, beberapa tahun kemudian, pastilah Cunda Manik itu menjadi bertambah dahsyat. Karena itu, ia menjadi pucat, dan melintaslah seleret bayangan yang mengerikan. Sebab bagaimanapun teguhnya ilmu Lembu Sekilan yang belum sempurna itu namun karena nafsu kemarahan yang tidaklah mungkin anak itu dapat bertahan diri terhadap kedahsyatan aji Cunda Manik. Karena itulah maka Mahesa Jenar tidak mau melihat pembunuhan yang tidak adil hanya karena nafsu kemarahan yang tak terkendalikan.

Dengan demikian ketika ilmu Cunda Manik itu telah terhimpun di dalam tangannya serta ketika dilihatnya Sarayuda telah siap meloncat dan mengayunkan tangannya, Mahesa Jenar pun segera meloncat dengan garangnya menghadang langkah Sarayuda tepat di depan Putut Karang Tunggal dengan satu tangan bersilang di hadapan dadanya, satu tangan terangkat tinggi-tinggi. Sedang sebelah kakinya ditekuknya ke depan, siap untuk melawan Cunda Manik itu dengan ajinya yang telah jauh meningkat, Sasra Birawa.

Dalam pada itu bayangan lain pun telah melontar pula, dekat di sampingnya, juga berusaha berdiri diantara Sarayuda dan Putut Karang Tunggal, bahkan agak lebih cepat sedikit darinya dengan sikap yang sama. Satu tangan bersilang, tangan yang lain terangkat tinggi-tinggi, sedang sebelah kakinya ditekuk ke depan. Itulah Kanigara yang juga berusaha melindungi kemenakannya dengan jenis ilmu yang sama, Sasra Birawa yang sempurna.

Dalam sekejap mata Sarayuda melihat pula kedua orang yang telah berdiri berjajar rapat di hadapan lawannya. Namun segalanya telah terlanjur. Ilmu itu telah terhimpun dan siap dilontarkan.

Karena itu ia menjadi tidak peduli lagi siapakah yang akan binasa karenanya, apakah dirinya sendiri, Putut yang telah dianggap menghinanya, ataukah Mahesa jenar, ataukah orang yang bernama Karang Jati itu. Maka dengan mata yang hampir terpejam ia meloncat dengan dahsyatnya.

Pada saat itu, pada saat Mahesa Jenar dan Kanigara telah mulai menjulurkan kekuatannya lewat sisi telapak tangan untuk menerima aji yang dahsyat itu, kembali mereka dikejutkan oleh bayangan lain yang dengan dahsyatnya mendahului membentur Sarayuda dengan kekuatan yang luar biasa pula. Sehingga terjadilah bentrokan kekuatan yang mengerikan sekali. Akibatnya pun sangat mengejutkan. Untunglah bahwa Mahesa Jenar dan Kanigara masih sempat mengendorkan diri sehingga mereka pun tidak perlu ikut serta dalam benturan yang terjadi, dan tidak terduga-duga itu.

Sarayuda, karena akibat benturan itu terlempar jauh ke belakang dan terbanting di atas batu karang. Suara tubuhnya ambruk hebat. Dan setelah itu ia sama sekali tidak bergerak lagi.

Sementara itu bayangan yang membenturnya, yang tidak lain adalah gurunya sendiri, Ki Ageng Pandan Alas, segera berlari-lari memburunya, dan langsung berjongkok di sampingnya.

Kanigara, Mahesa Jenar, Karang Tunggal dan Arya Salaka terguncang hatinya. Mereka sama sekali tidak menduga bahwa akhir peristiwa itu demikian. Benturan langsung antara murid dan gurunya dengan akibat yang tak diduga pula.

Perlahan-lahan mereka berjalan mendekati Ki Ageng Pandan Alas yang duduk tertunduk di samping muridnya. Wajahnya suram sesuram seorang ayah yang kehilangan anaknya tersayang. Bahkan dari mata orang tua itu membayangkan titik-titik air yang berkilat-kilat kena lemparan cahaya matahari pagi.

Dari bibirnya yang bergetaran terdengarlah suaranya yang terputus-putus, Sarayuda… kenapa kau sampai kehilangan akal, sehingga aku terpaksa mencegahmu…? Aku pernah mengharap kau menjadi sambungan yang kuat dari perguruanku. Sekarang….

Wajah orang tua itu menjadi semakin suram. Matanya yang kemudian terangkat dan memandang kepada Mahesa Jenar, Kanigara, Putut Karang Tunggal dan Arya Salaka, yang telah berjongkok pula mengitari tubuh Sarayuda yang gilang-gilang bermandikan cahaya matahari.

Angin pagi yang bertiup lambat seolah-olah ikut serta terbenam dalam duka yang mendalam.

332

MEREKA yang berada di tempat itu, merasakan betapa hati orang tua itu terpecah-pecah. Murid utamanya, yang dengan penuh harapan diasuhnya sekuat tenaga, kini terbaring di hadapannya justru karena tangan sendiri.

Anak-anakku sekalian… kata orang tua itu kemudian dengan suara yang dalam, Maafkanlah muridku.

Yang mendengar perkataan itu menjadi semakin terharu. Betapa orang tua itu berhati jantan. Yang melihat masalah di hadapannya dengan jujur meskipun dadanya serasa hancur.

Perlahan-lahan orang itu dengan tangannya yang lemah karena guncangan yang hebat, meraba-raba dada Sarayuda. Tiba-tiba terbersitlah suatu cahaya di matanya. Dengan cepat Ki Ageng Pandan Alas menempelkan telinganya untuk mendengarkan detak jantung muridnya. Dengan suara yang gemetar ia berkata, Anakmas aku masih mendengar jantungnya berdetak.

Tiba-tiba yang mendengar seruan itu, di dalam hatinya timbul pula semacam perasaan gembira, sehingga mereka bergeser setapak maju. Namun sesaat kemudian orang itu kembali menjadi muram. Gumamnya, Tetapi detak jantung itu sudah terlalu lemah. Dan aku bukanlah seorang ahli dalam hal ini.

Tak sepatah katapun yang dapat diucapkan oleh Mahesa Jenar, Kanigara, apalagi Putut Karang Tunggal dan Arya Salaka. Hanya di wajah Karang Tunggal terbayang pula penyesalan yang dalam.

Karena kelakuannyalah maka semua itu terjadi. Ia sama sekali tidak menduga, bahwa hanya karena ia tidak dapat menahan tertawanya saja, maka ia terpaksa menyaksikan seorang guru dan murid saling berbenturan dan mengakibatkan malapetaka.

Dalam pada itu, Kanigara yang telah agak lama tinggal di bukit Karang Tumaritis, bersama-sama dengan seorang Panembahan yang ahli pula dalam hal pengobatan, sedikit banyak dapat pula melakukannya.

Maka dengan suara yang dalam ia mencoba meminta, Ki Ageng Pandan Alas, kalau memang masih ada detak di dalam dada Sarayuda, ijinkanlah aku mencoba untuk memperlancar jalan darahnya.

Dengan mata yang suram Ki Ageng Pandan Alas memandang Kanigara. Tetapi kemudian ia mengangguk lemah. Segera Kanigara bangkit dan berdiri dengan kaki terbuka di atas tubuh Sarayuda. Perlahan-lahan ia menggerakkan tangannya untuk menolongnya menyalurkan pernafasan dan peredaran darahnya. Setelah itu, perlahan-lahan pula ia memijit-mijit dada.

Pada saat itulah Ki Ageng Pandan Alas dengan jelas dapat melihat siapakah yang berdiri di hadapannya, yang menamakan dirinya Putut Karang Jati itu. Ia adalah seorang yang bertubuh tegap besar, berwajah bening yang memancarkan kelembutan hati. Karena itulah ia menjadi semakin curiga, bahwa orang itu hanyalah seorang Putut yang sejak semula memang mengabdikan diri pada Panembahan di bukit ini. Dengan tidak sengaja, matanya segera merayapi Putut muda yang baru saja bertempur dengan muridnya. Seorang muda yang memiliki tanda-tanda keajaiban. Juga terhadap anak ini ia selalu bertanya-tanya di dalam hati. Siapakah gerangan mereka itu sebenarnya.

Ketika itu ia melihat Sarayuda mulai dapat menyalurkan nafas perlahan-lahan serta detak jantungnya menjadi semakin lancar pula. Namun demikian apabila ia tidak segera mendapat pertolongan yang semestinya, keadaannya sangat membahayakan.

Karena itulah maka Kanigara berkata, Ki Ageng Pandan Alas, apabila Ki Ageng tidak berkeberatan, perkenankanlah aku membawa murid Ki Ageng ini menghadap Panembahan, supaya ia dapat disembuhkan dari keadaan yang sekarang ini.

Ki Ageng Pandan Alas yang menaruh harapan masa depan perguruannya, sudah tentu menghendaki muridnya dapat disembuhkan. Karena itu dengan senang hati ia menjawab, Anak Putut Karang Jati, aku sangat berterima kasih apabila Panembahan Ismaya berkenan menyembuhkan Sarayuda.

Kemudian oleh persetujuan itu, segera Kanigara mengajak mereka semua untuk menghadap Panembahan. Tetapi tiba-tiba terdengarlah Putut Karang Tunggal berkata, Paman, apakah aku harus ikut menghadap pula? Aku telah menyanggupi Adi Arya untuk membawanya berkeliling bukit kecil ini.

Kanigara melihat ketakutan anak nakal itu terhadap Panembahan Ismaya. Karena itu ia menjawab, Ayolah. Kau jangan berbuat sekehendakmu saja. Arya akan sabar menunggu sampai besok, lusa bahkan seminggu dua minggu lagi. Malahan kaulah yang seharusnya mengangkat tubuh Sarayuda, dan memapahnya menghadap Panembahan.

Karang Tunggal sama sekali tak berani membantah kata-kata pamannya. Dengan dada berdebar-debar ia membungkuk dan mengangkat murid Pandan Alas itu pada kedua tangannya dan membawanya mengikuti pamannya yang berjalan di depan bersama-sama dengan Mahesa Jenar dan Ki Ageng Pandan Alas. Sedang Arya Salaka berjalan dengan kepala tunduk di sampingnya.

Beratkah tubuh itu Kakang? tanya Arya Salaka.

Dengan tersenyum kecut Karang Tunggal menjawab, Cukupanlah.

Dapatkah aku membantu? sambung Arya.

Sekali lagi Karang Tunggal tersenyum kecut. Tak usahlah.

Setelah itu kembali mereka berdiam diri. Tak seorangpun diantara mereka yang mengucapkan sepatah katapun. Namun di dalam keheningan pagi itu, dada Ki Ageng Pandan Alas masih saja bergejolak. Disamping kecemasannya atas keselamatan muridnya, ia jadi benar-benar berpikir tentang orang yang nenamakan Putut Karang Jati dan Karang Tunggal. Yang paling mengherankan baginya adalah bahwa Karang Jati dalam keadaan yang terjepit, telah menyiapkan pula ilmu yang mirip dengan ilmu Mahesa Jenar yang dahsat peninggalan almarhum sahabatnya, Ki Ageng Pengging Sepuh.

Kedatangan rombongan itu, dengan seorang yang tak sadarkan diri di tangan Putut Karang Tunggal, sangat mengejutkan penghuni padepokan yang damai itu. Para cantrik segera bertanya-tanya di dalam hati, apakah yang telah terjadi, dan siapakah yang pingsan di tangan kepala para cantrik itu. Demikian pula agaknya Panembahan Ismaya. Dengan tergopoh-gopoh ia menerima kedatangan mereka dengan penuh pertanyaan di wajahnya yang lembut.

333

SEGERA rombongan itu dipersilakan masuk dan dibaringkannya tubuh Sarayuda di atas sebuah pembaringan kayu.

Panembahan Ismaya melihat keadaan yang mengkhawatirkan. Karena itu ia tidak sempat untuk bertanya-tanya. Tetapi yang mula-mula dilakukan adalah merawat Sarayuda. Beberapa bagian tubuhnya dipijit-pijit serta kemudian dengan hati-hati sekali diminumkannya semangkuk kecil obat cair ke dalam mulut Sarayuda.

Suasana untuk sesaat jadi hening dan tegang. Masing-masing terikat pada keadaan Sarayuda yang masih terbaring diam. Namun nafasnya telah mulai nampak mengalir teratur.

Akhirnya beberapa saat kemudian tubuh itu mulai hangat kembali. Cahaya yang merah perlahan merambat ke wajahnya. Dengan demikian maka keselamatannya semakin dapat diharapkan.

Sejalan dengan itu menjalar pula perasaan syukur di dada Pandan Alas dan semuanya yang menyaksikan. Bahkan Putut Karang Tunggal yang semula menjadi marah kepada Sarayuda, kini dengan penuh harapan mengikuti perkembangan keadaan murid Pandan Alas itu.

Mudah-mudahan Tuhan menyelamatkan jiwanya, guman Panembahan Ismaya. Namun menilik keadaannya ia telah berangsur baik. Nafasnya telah mengalir dengan teratur. Meskipun agaknya untuk beberapa bulan ia harus benar-benar beristirahat untuk segera dapat memulihkan kembali kesehatan serta kekuatan tubuhnya.

Betapa besar terimakasihku kepada Tuhan, yang telah mengampuni jiwa muridku dengan lantaran Panembahan, sahut Ki Ageng Pandan Alas.

Perlahan-lahan Panembahan Ismaya menoleh kepada Ki Ageng Pandan Alas. Untuk beberapa saat ia memperhatikannya lalu kemudian ia bertanya, Siapakah Anakmas yang terluka ini…?
Muridku, Panembahan, jawab Pandan Alas.

Panembahan Ismaya mengangguk-angguk. Kemudian katanya, Biarlah Anakmas ini beristirahat. Marilah kita duduk di ruang sebelah.

Kemudian ditinggalah Sarayuda seorang diri terbaring. Matanya masih terpejam, tetapi wajahnya sudah nampak merah.

Di ruang sebelah, mulai Panembahan Ismaya bertanya-tanya. Apakah yang sudah terjadi dan siapakah guru dan murid yang belum dikenalnya itu. Maka berceritalah Kebo Kanigara, segala sesuatu yang menyangkut peristiwa itu. Diceritakan pula hubungan antara Mahesa Jenar, Sarayuda dan Pudak Wangi yang dititipkan di padepokan itu oleh Mahesa Jenar setelah ia berhasil menyelamatkannya dari tangan Sima Rodra. Namun Mahesa Jenar sendiri geli mendengar keterangan itu.

Kemudian diceritakan pula bahwa beberapa malam kemudian didengarnya suara tembang yang sebenarnya adalah suara Ki Ageng Pandan Alas, kakek Pudak Wangi yang sedang mencari cucunya.

Dan kemudian tanpa meninggalkan peristiwa yang terkecil pun Kanigara menceritakan pula pertengkaran dan akhirnya perkelahian yang terjadi antara Sarayuda dan Karang Tunggal, sehingga akhirnya guru Sarayuda sendiri terpaksa mencegah muridnya yang akan mempergunakan senjata pamungkasnya yang sangat berbahaya.

Panembahan Ismaya mendengarkan uraian Kebo Kanigara dengan seksama. dan sambil mengerutkan keningnya ia memandang Putut Karang Tunggal dengan penuh penyesalan.

Katanya kemudian, Ki Sanak yang bijaksana, maafkanlah kelakuan orang-orangku yang sama sekali tidak bersikap baik. Untunglah bahwa Ki Ageng Pandan Alas telah mencegahnya. Kalau tidak, barangkali Putut Karang Tunggal akan mengalami cidera karena kenakalannya. Bahkan Ki Ageng telah mengorbankan murid sendiri.

Tak seorang pun yang berani mengangkat wajah. Kanigara, Karang Tunggal maupun Mahesa Jenar dan Arya Salaka. Apalagi Mahesa Jenar merasa bahwa sumber dari persoalan itu adalah persoalannya dengan Sarayuda.

Apalagi ketika Panembahan Ismaya melanjutkan, Dengan demikian kehadiranmu di tempat itu sama sekali tak berarti Kanigara, bahwa kau tidak dapat mencegah semuanya itu terjadi.
Kanigara menjadi semakin menundukkan wajahnya.

Tetapi akibat kata-kata itu tajam sekali bagi Ki Ageng Pandan Alas yang telah sekian lama berteka-teki tentang orang yang menamakan dirinya Putut Karang Jati itu. Apalagi setelah ia menyaksikannya mempersiapkan aji Sasra Birawa. Dan sekarang ia mendengar Panembahan Ismaya menyebutnya Kanigara.

Segera Pandan Alas teringat seseorang beberapa tahun lampau, pada saat ia masih bergaul dengan sahabatnya Ki Ageng Pengging Sepuh, guru Mahesa Jenar. Ia teringat jelas putra sahabatnya itu yang kemudian menjadi saudara muda seperguruannya sendiri. Bahkan yang memiliki ilmu yang lebih masak daripadanya. Karena ia jarang menjumpainya maka ia tidak begitu mengenalnya. Dan sekarang orang itu ada di depannya. Kanigara. Ya… Kebo Kanigara.

Karena itu tiba-tiba ia menjadi gemetar. Dan dengan suara yang berat ia bertanya, Panembahan, apakah Anakmas Kebo Kanigara putra Pangeran Handayaningrat…?

Pangeran Ismaya mengerutkan keningnya. Lalu jawabnya, Inilah orangnya.

Tiba-tiba Ki Ageng Pandan Alas yang sudah tua itu mengangguk hormat kepada Kanigara sambil berkata, Maafkan Anakmas Kebo Kanigara. Aku agaknya terlalu pikun untuk mengenal sahabat-sahabatku kembali. Agaknya Anakmas terlalu lama meninggalkan ayahanda, sehingga sejak masa hidup ayahanda aku sudah tidak pernah menjumpai Anakmas lagi.

Kanigara membalas hormat pula kepada Pandan Alas. Lalu jawabnya, Kita sudah terlalu lama tidak bertemu, Ki Ageng.
Untunglah… sambung Pandan Alas, Bahwa aku telah mencegah muridku. Kalau saja aku terlambat, aku kira muridku itu telah menjadi lumat.

334

KANIGARA mengerutkan keningnya. Juga Panembahan Ismaya. Tetapi ia tidak berkata sepatah kata pun. Yang terdengar kemudian adalah pertanyaan Ki Ageng Pandan Alas, Aku memang sudah menduga bahwa yang bernama Karang Jati adalah mengandung suatu rahasia meskipun hanya sekadar sebagai suatu olok-olok saja. Namun terhadap Karang Tunggal pun aku curiga pula.

Sekali lagi Panembahan Ismaya dan Kanigara bersama-sama mengernyitkan keningnya. Sedang Karang Tunggal sendiri kemudian menjadi berdebar-debar meskipun baginya sama sekali tak bedanya apakah ia dipanggil Putut Karang Tunggal, Karebet atau Jaka Tingkir.

Ki Ageng… jawab Kebo Kanigara kemudian, Kalau aku menyebut diriku Putut Karang Jati adalah karena aku tinggal bersama-sama Panembahan di bukit ini. Adapun nama itu adalah nama yang aku pergunakan sebagai Putut. Sedang Karang Tunggal pun demikian. Sebagai seorang Putut ia bernama Karang Tunggal. Tetapi apabila Ki Ageng ingin mengetahuinya, aku kira ia tidak keberatan.

Lalu kepada Karang Tunggal ia berkata, Bukankah begitu Karang Tunggal?

Karang Tunggal mengangguk kaku.

Nah, Ki Ageng… Kanigara melanjutkan, Ia adalah seorang Putut yang baik, tetapi ia adalah seorang anak nakal. Senakal ayahnya, yang pasti Ki Ageng pernah mendengarnya.

Ki Ageng Pandan Alas mengangguk-angguk dengan penuh perhatian.

Anak itulah peninggalan adikku, Kebo Kenanga. Namanya Karebet, sambung Kanigara. Dan selama ia tinggal di bukit ini ia mendapat kehormatan untuk menjadi pimpinan para cantrik. Baginya oleh Panembahan Ismaya diberikan nama Putut Karang Tunggal.

Sekali lagi Pandan Alas mengangguk-angguk. Kemudian sahutnya, Pantaslah kalau ia cucu Ki Ageng Pengging Sepuh. Aku melihat keajaiban yang tersembunyi di dalam tubuhnya.

Aku hanya melihat kenakalannya, potong Panembahan Ismaya. Kenakalan yang aku kira sudah berkurang. Tetapi agaknya pada suatu saat akan dengan mudahnya timbul kembali.

Kembali kepala Karang Tunggal tertunduk. Sindiran yang langsung mengenainya.

Sementara itu tubuh Sarayuda yang terbaring di ruang sebelah ternyata sudah mulai tampak bergerak gerak.

Panembahan Ismaya kemudian bersama dengan mereka yang hadir di ruang itu segera mendekatinya. Dengan hati-hati Panembahan Ismaya meraba tubuh yang sudah semakin segar itu. Dan beberapa saat kemudian Sarayuda dengan lemah membuka matanya. Alangkah gembira hati gurunya. Tidak itu saja. Juga Kanigara, Mahesa Jenar dan lainnya pun bergembira.

Apalagi ketika kemudian dengan sangat perlahan terdengar dari sela-sela bibirnya yang gemetar Sarayuda berkata, Guru….

Segera Ki Ageng Pandan Alas mendekatinya dan mendekatkan kupingnya ke mulut Sarayuda. Aku di sini, Sarayuda… bisiknya.

Sarayuda melihat gurunya membungkukkan kepalanya di hadapan wajahnya. Dengan sayu ia mencoba tersenyum dan melanjutkan kata-katanya, Apakah aku masih hidup…?

Tentu Sarayuda, tentu… jawab Pandan Alas.

Air… desis Sarayuda.

Belum lagi Pandan Alas melanjutkan permintaan itu, Karang Tunggal telah meloncat untuk mengambil air yang kemudian setetes demi setetes air itu diteteskan ke mulut Sarayuda dan langsung ditelannya.
Dengan tetesan air itu Sarayuda merasa tubuhnya menjadi semakin segar. Karena itulah wajahnya menjadi semakin semringah pula.

Terimakasih, desisnya.

Istirahatlah Anakmas, bisik Panembahan Ismaya.

Mata Sarayuda yang masih redup memandang Panembahan Ismaya dengan herannya. Ia belum pernah mengenalnya. Panembahan tua itu segera mengetahui apa yang terkandung di dalam hatinya. Maka segera ia berkata, Mungkin Anakmas heran melihat kehadiranku di sini. Jangan pikirkan itu dahulu. Beristirahatlah supaya tubuh Anakmas menjadi baik.

Sarayuda kembali mencoba tersenyum. Kemudian matanya beredar kepada Mahesa Jenar, Kanigara, Arya Salaka dan Putut Karang Tunggal. Tetapi wajahnya sama sekali tidak memancarkan perasaan marah dan dendam. Bahkan kemudian kembali ia tersenyum, senyum yang ikhlas. Lalu katanya, Guru, di manakah aku sekarang ini?

Kau berada di Padepokan Karang Tumaritis, Sarayuda. Kau berada di dalam perawatan Panembahan Ismaya ini, jawab Ki Ageng Pandan Alas.

Ki Ageng Pandan Alas, maafkanlah aku, katanya kemudian.

Jangan berpikir yang aneh-aneh, Sarayuda, potong Pandan Alas. Ikutilah nasehat Panembahan supaya tubuhmu bertambah baik.

Terimakasih, jawabnya. Aku akan beristirahat sebaik-baiknya. Tetapi aku lebih dahulu akan minta maaf kepada kalian. Pada kesempatan ini. Kepada Ki Ageng, kepada Kakang Mahesa Jenar, kepada Putut Karang Jati, Karang Tunggal, dan Arya Salaka.

Tak ada kesalahan yang kau lakukan Sarayuda. Perbedaan pendapat dan persamaan kepentingan adalah lumrah, sehingga akibat yang timbul karena itu pun lumrah pula, jawab Ki Ageng Pandan Alas.

335

SARAYUDA menarik nafas dalam-dalam. Dengan demikian tubuhnya menjadi bertambah segar. Angin pagi yang perlahan-lahan mengalir, mengusap wajahnya dengan lembut. Aku merasa bahwa apa yang aku lakukan telah melanggar nasehat guru. Karena itulah aku merasa bersalah, kata Sarayuda meneruskan.

Baiklah, jawab gurunya, Aku maafkan kesalahan itu. Dan aku yakin, Sarayuda, bahwa yang lainpun akan memaafkanmu.

Sekali lagi pandangan Sarayuda beredar berkeliling, seolah-olah ia ingin mendapatkan kebenaran kata-kata gurunya.

Mahesa Jenar yang dapat meraba pertanyaan yang terpancar dari mata itu segera berkata, Sarayuda. Marilah kita saling memaafkan. Saling melupakan apa yang pernah kita lakukan. Leburlah semua kesalahan yang ada diantara kita.

Sekali lagi Sarayuda menarik nafas dalam-dalam. Leburlah kesalahan kita. Tetapi persoalan kita belum selesai, sahutnya.

Mereka yang mendengar kata-kata itu, jantungnya bertambah cepat berdenyut. Dalam keadaan yang sedemikian Sarayuda masih mempersoalkan masalah yang rumit itu. Mahesa Jenar dengan demikian menganggap bahwa dalam keadaan yang bagaimanapun Sarayuda akan tetap pada pendiriannya. Maka tiba-tiba runtuhlah hatinya. Ia tidak sampai hati mengecewakan orang yang sedang bertahan terhadap maut.

Bagaimanapun ia mempunyai kepentingan buat diri sendiri, namun Mahesa Jenar adalah seorang yang berhati lembut. Karena itu, ia lebih baik berkorban kepentingan diri, daripada melihat Sarayuda berputus asa, dan seterusnya tidak menghendaki lagi dirinya dapat sembuh kembali dari luka-luka dalamnya itu. Kalau demikian halnya, maka tak ada obat di dunia ini yang mampu menolongnya.

Maka kemudian dengan hati berat dan kata-kata yang bergetar ia berkata, Sarayuda… jangan pikirkan aku lagi. Jagalah ketenteraman hatimu agar kau dapat segera sembuh kembali. Dan apa yang kau idamkan selama ini akan dapat kaucapai. Kelengkapan dari kamuktenmu. Lupakan aku. Aku tidak akan menghalangimu lagi.

Mendengar kata-kata Mahesa Jenar itu, hampir semuanya tersentak. Kanigara, Pandan Alas, Karang Tunggal dan Arya Salaka. Bahkan Panembahan Ismaya pun mengerutkan keningnya pula. Perkataan yang demikian itu sama sekali tidak mereka duga sebelumnya. Meskipun demikian, terutama Pandan Alas merasakan pengaruh kata-kata itu dalam relung hatinya yang paling dalam. Ia menjadi semakin yakin, betapa jernih hati laki-laki itu. Sehingga tiba-tiba terasa di dadanya, sesuatu yang menyumbat pernafasannya.

Tetapi yang lebih terguncang lagi adalah perasaan Sarayuda. Wajahnya segera berubah hebat. Bahkan hampir saja ia mencoba bangun. Untunglah bahwa Panembahan Ismaya segera mencegahnya.

Namun demikian dari matanya memancarlah cahaya yang aneh. Sesaat kemudian setelah hatinya agak teratur iapun berkata, Kakang Mahesa Jenar. Aku bukan bermaksud demikian. Kemudian dengan mata sayu dan kata-kata yang dalam ia meneruskan, Adakah Wilis di sini?.

Tanpa disadari Mahesa Jenar menjawab, Ada Sarayuda. Ia berada di bukit ini.

Wajah Sarayuda menjadi bertambah jernih. Sambungnya, Mahesa Jenar, bolehkan aku bertemu?

Masih di luar sadarnya Mahesa Jenar menjawab, Tentu Sarayuda. Apakah kau ingin menemuinya?
Ya, kalau kau tidak keberatan, tolonglah bawalah ia kemari, sebab aku sama sekali tidak dapat bangun untuk datang kepadanya, jawabnya kemudian.

Barulah Mahesa Jenar sadar, bahwa ia sendiri tidak tahu di mana Rara Wilis berada. Karena itu ia menjadi kebingungan. Dalam kegelisahannya itu terdengarlah Kanigara menolongnya. Kau tak perlu pergi sendiri Mahesa Jenar, biarlah Widuri menjemputnya.

Terima kasih Kakang, jawab Mahesa Jenar.

Kemudian berjalanlah Kanigara keluar untuk mencari Widuri.

Beberapa saat kemudian suasana menjadi hening. Masing-masing terpaku pada masalah yang sulit ini. Masalah yang selalu terulang pada setiap masa dan setiap jaman. Masalah yang tak akan habis-habisnya selama dunia masih terkembang. Selama manusia masih ingin membina hari kemudian sebagai miliknya serta milik anak cucunya.

Demikian Tuhan mengkaruniakan perasaan cinta dan kasih kepada manusia, sebagaimana perasaan cinta dan kasih-Nya yang menjelmakan dunia beserta isinya. Namun sayanglah bahwa manusia kadang-kadang tidak berhasil menanggapi kurnia yang indah itu dengan sewajarnya. Bahkan ada diantara anak manusia yang ingin mengembangkan rasa cinta kasih Tuhannya dengan landasan dendam dan nafsu. Sehingga dengan demikian kaburlah batas antara cinta dan nafsu, antara kasih dan dendam.
Demikianlah untuk sejenak mereka terbenam dalam kesepian. Barulah kemudian Panembahan Ismaya yang bijaksana berkata, Ki Sanak Pandan Alas, Arya Salaka dan Karang Tunggal, marilah kita tinggalkan ruangan ini, biarlah Anakmas Sarayuda beristirahat.

Pandan Alas yang tua itupun segera menangkap maksudnya, sehingga bersama-sama dengan Arya Salaka dan Putut Karang Tunggal, merekapun meninggalkan ruangan itu.

Tinggallah Mahesa Jenar dengan kakunya berdiri disamping pembaringan Sarayuda, yang menenteramkan hatinya dengan memejamkan matanya. Agaknya ada sesuatu yang bergelora didalam dadanya, yang baru akan dikatakannya apabila Wilis telah datang.

Sesaat kemudian, apa yang dinantikan datanglah. Yang mula-mula terdengar adalah suara gadis kecil yang renyah dan bersih, sebersih air yang baru memancar dari sumbernya, Paman, inilah bibi.

Seperti disentakkan Mahesa Jenar memutar tubuhnya, menghadap pintu. Dan apa yang dilihatnya adalah Rara Wilis tidak dalam pakaian seorang laki-laki, tetapi ia telah mengenakan pakaian wanita. Bergetarlah seketika dada Mahesa Jenar oleh perasaan yang menyelip-nyelip tak dapat dikendalikan.

DEMIKIANLAH untuk beberapa saat tak sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. Bahkan kemudian agaknya Rara Wilis yang mula-mula dapat menguasai perasaannya yang memang telah dipersiapkan sejak lama. Kakang Mahesa Jenar, yang selama ini tersimpan di dalam dadaku adalah perasaan terima kasih yang tak terhingga atas pertolongan Kakang, yang pada saat itu aku tidak sempat mengucapkannya.

Mahesa Jenar mengangguk sedikit, jawabnya, Lupakanlah itu Wilis. Sebagaimana kewajiban kita, manusia yang hidup diantara manusia adalah saling menolong. Meskipun hatinya sendiri berkata lain. Berkata tentang keindahan yang sempurna yang memancar dari tubuh gadis itu. Gadis yang pada saat terakhir telah membanting-banting perasaannya, setelah ia terpaksa membunuh ayah gadis itu.

Rara Wilis tidak menjawab sepatah katapun selain wajahnya terkulai jatuh di lantai. Tiba-tiba Mahesa Jenar teringat kepada Sarayuda yang terbaring dengan lesunya, menunggu gadis itu. Untuk sesaat Mahesa Jenar jadi bimbang. Apakah ia akan tetap pada pendiriannya ? Menyerahkan kebahagiaan itu kepada Sarayuda…?

Dalam pada itu terbersitlah suatu ketetapan di hatinya, meskipun hati itu sendiri akan terpecah. Biarlah ia mengorbankan dirinya kalau dengan demikian sebuah jiwa akan tertolong. Jiwa yang sangat berharga bagi beribu-ribu jiwa lain di daerah kekuasaannya.

Katanya kemudian diantara desah jantungnya yang semakin cepat, Wilis… seseorang menanti kau. Masuklah.

Seseorang…? katanya bertanya.
Mahesa Jenar mengangguk, lalu jawabnya, Ya, seseorang.
Kau…? desaknya.
Mahesa Jenar menggeleng lemah. Lemah sekali.

Rara Wilis menjadi ragu. Seseorang mencarinya, dan orang itu bukan Mahesa Jenar.

Akhirnya terdengar suara Mahesa Jenar, Masuklah Wilis.

Untuk sesaat Wilis masih tetap tegak di muka pintu. Seolah-olah ia tidak kuasa menggerakkan kakinya untuk melangkah masuk. Wajahnya tampak membayangkan kebimbangan hatinya.

Maka kemudian Mahesa Jenar yang melangkah keluar, dengan langkah berat sambil membangunkan Wilis yang sedang tenggelam dalam keraguan. Masuklah Wilis. Seseorang memerlukan kau datang. Mudah-mudahan kau membawa udara segar baginya.

Meskipun Rara Wilis masih tetap ragu, namun ia pun perlahan-lahan melangkah masuk ke dalam ruangan itu. Perlahan-lahan seperti orang yang masuk ke daerah yang sama sekali asing baginya.
Ketika Rara Wilis bergerak, Mahesa Jenar melangkah pula menjauhi pintu itu. Ruangan yang semula dipergunakan Panembahan Ismaya untuk menerima rombongan itu, kini telah sepi. Tak seorang pun berada di sana. Panembahan Ismaya, Kanigara, Arya Salaka dan Karang Tunggal, bahkan Widuri pun telah tidak nampak lagi.

Bagaimanapun Mahesa Jenar mencoba untuk mengendapkan perasaannya namun terasa seolah-olah sesuatu melonjak-lonjak di dalam dadanya. Karena itulah ia dengan gelisah berjalan mondar-mandir seperti laki-laki yang gelisah menanti kelahiran anak pertamanya.

Beberapa kali ia mencoba melupakan kegelisahannya dengan mengamati berbagai benda yang menghiasi ruangan itu. Beberapa patung kecil, tergantung beberapa macam clupak lampu minyak kelapa. Di tiang-tiang ruangan itu tampak juga bergantungan beberapa macam topeng dari berbagai jenis.

Tetapi Mahesa Jenar tidak sempat memperhatikan benda-benda itu satu demi satu. Meskipun ia melihat semuanya itu, namun seolah-olah tidak sadar pada penglihatannya. Bahkan kemudian dengan lesunya dibantingnya dirinya pada sebuah batu hitam tempat duduk di dalam ruangan yang sepi itu.

Di luar, matahari yang terik seakan-akan membakar padas-padas pegunungan yang memantulkan sinarnya kemerah-merahan. Daun-daunan yang menjadi tertunduk lesu seperti segan memandang sinar matahari yang agaknya tak bersikap bersahabat. Beberapa daun kering meluncur lepas dari pegangannya oleh ketuaannya, dan berguguran di tanah.

Mata Mahesa Jenar lepas lewat pintu langsung menusuk ke daerah matahari yang silau, terbanting di batu-batu padas yang kepanasan. Alangkah panasnya udara. Beberapa tetes peluh menetes dari dahinya. Kemudian dengan lesu pula Mahesa Jenar berdiri dan melangkah ke arah pintu keluar.

Di depan pintu ia tertegun heran. Pada mula-mula ia datang ke padepokan itu, di ruang ini pula ia mengagumi pertamanan yang asri, yang terbentang di hadapan rumah kecil itu. Bahkan ia mengagumi pula kesejukan udara yang dilemparkan oleh pepohonan yang pepat rimbun itu ke dalam rumah.

Tetapi kenapa tiba-tiba sekarang udara di sini menjadi panas sekali? Akhirnya ia sadar bahwa udara yang panas itu tidak dilontarkan oleh udara pegunungan kecil itu, tetapi agaknya ditimbulkan dari dalam dirinya sendiri yang gelisah.

Tiba-tiba Mahesa Jenar terkejut, ketika ia menoleh dilihatnya Rara Wilis berlari keluar ruangan dan menjatuhkan dirinya di atas tempat duduk batu hitam. Seterusnya ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya dan menangis sejadi-jadinya.

Melihat keadaan itu, Mahesa Jenar menjadi bertambah gelisah. Cepat-cepat ia memasuki ruangan tempat Sarayuda berbaring. Tetapi ia menjadi agak tenang ketika melihat Sarayuda masih bernafas dengan teratur. Bahkan ketika ia melihat Mahesa Jenar datang kepadanya, dengan tersenyum ia berkata, Aku bertambah segar, Mahesa Jenar.

Syukurlah Sarayuda, jawab Mahesa Jenar singkat.
Bagiku, semuanya telah selesai, sambung Sarayuda.

337

MAHESA JENAR memandang wajah Sarayuda dengan tajamnya. Senyumnya masih saja membayang di wajahnya yang sudah menjadi kemerah-merahan.

Aku mengharap demikian, jawab Mahesa Jenar, tetapi hatinya terasa pedih.
Kemudian Sarayuda berkata, Mahesa Jenar, sekarang aku akan dapat tidur nyenyak. Mudah-mudahan aku lekas sembuh dan dapat kembali ke Gunung Kidul, meskipun kekuatanku belum pulih benar.

Aku ikut berdoa, Sarayuda, sahut Mahesa Jenar kosong, sekosong dadanya saat itu.

Sarayuda menarik nafas dalam-dalam, kemudian ia berusaha untuk memejamkan matanya.

Dengan gerak-gerak yang kaku, Mahesa Jenar melangkah keluar dari ruangan itu. Sampai di depan pintu kembali ia melihat Rara Wilis masih menangis sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Dengan tak sengaja Mahesa Jenar berjalan mendekatinya.

Kemudian hampir berbisik Mahesa Jenar bertanya, Kenapa kau menangis Wilis…?

Mendengar suara Mahesa Jenar, tangis Rara Wilis agak mereda. Dengan isak yang ditahan, ia mengangkat wajahnya. Matanya yang basah memandang Mahesa Jenar dengan persoalan. Meskipun demikian hati Mahesa Jenar masih saja berdebar-debar memandang wajah yang basah itu, seperti memandang bulan disaput awan. Tetapi Rara Wilis tidak menjawab pertanyaan Mahesa Jenar. Sehingga beberapa saat mereka saling berdiam diri.

Kakang… akhirnya terdengar Rara Wilis berkata, Alangkah sulitnya hidup yang harus aku tempuh. Banyak masalah yang berkembang diluar kemauanku sendiri.

Memang demikianlah agaknya, jawab Mahesa Jenar. Banyak hal yang harus kita lakukan, meskipun kadang-kadang bertentangan dengan perasaan sendiri. Namun demikian setiap perbuatan hendaknya dilandasi dengan tujuan yang bersih. Demikianlah apa yang akan kita lakukan nanti. Dan demikian pulalah keputusanku.

Rara Wilis mengerutkan keningnya. Matanya yang mengaca itu tiba-tiba memancarkan pertanyaan-pertanyaan. Ia sama sekali tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Mahesa Jenar. Sehingga kemudian Rara Wilis terpaksa bertanya, Apakah maksudmu Kakang?

Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab pertanyaan Rara Wilis. Malah ia bertanya, Wilis, apakah kau menangis karena sedih atau karena kau terharu atas masa depanmu yang gemilang?

Rara Wilis menggelengkan kepala. Kemudian jawabnya, Aku tidak tahu Kakang.

Mata Mahesa Jenar kemudian menatapnya tajam-tajam, seperti akan menembus dada Wilis. Dada seorang gadis yang sedang bergelora. Yang sejenak kemudian meneruskan kata-katanya, Kakang… aku bergaul dengan Kakang Sarayuda sejak kecil. Aku mengenalnya sebagai seorang yang paling dekat diantara kawan-kawanku. Apalagi kemudian setelah meningkat lebih besar lagi, menjelang masa dewasa kami. Ia selalu dekat dengan Kakek.

Kemudian Sarayuda lenyap dari kampung halaman kami. Ternyata ia ikut dengan Kakek dan berguru kepadanya. Pada suatu saat ia muncul kembali di kampung kami. Sarayuda telah berubah menjadi seorang pemuda yang perkasa.
Ia datang untuk mengusir perempuan yang mengganggu ketenteraman kami. Mengganggu ayah serta keluarga kami. Agaknya ia mendapat tugas dari Kakek. Tetapi sayang, ia datang terlambat. Ayah telah pergi meninggalkan kami bersama perempuan jahat itu, yang ternyata kemudian menetap di Gunung Tidar dan menamakan diri mereka suami-istri Sima Rodra muda di bawah perlindungan Sima Rodra tua dari Lodaya.
Sejak saat itu Sarayuda sekali datang, sekali lenyap kembali. Namun agaknya ia dapat merebut hati seluruh penduduk daerah kami. Ternyata kemudian ia terpilih menjadi Demang.

Mendengar cerita itu tubuh Mahesa Jenar menjadi gemetar. Dadanya berdesir hebat. Setiap kata Rara Wilis tentang keperkasaan Sarayuda, bahkan setiap kata yang menyebut nama laki-laki itu terasa seperti ujung-ujung duri yang menusuk-nusuk jantungnya. Dan tiba-tiba saja ia seperti orang yang ingin melarikan diri dari cerita itu. Cepat-cepat ia melangkah ke pintu dan dengan kakunya berdiri berpegangan uger-uger-nya seolah-olah ia takut bila kakinya yang bergetar itu tidak mampu lagi menahan berat tubuhnya.

Rara Wilis mengikutinya dengan sinar yang memancar dari matanya yang bulat. Tetapi ia tidak tahu apakah yang menggelegak di hati laki-laki itu. Karena itu ia masih melanjutkan ceritanya, Kemudian datanglah masa itu. Masa dewasa kami, masa dimana dada kami dipenuhi impian-impian masa depan. Tetapi sebagian dari masa itu sama sekali tak dapat aku nikmati.
Sebab masa-masa itu aku sedang dihadapkan pada suatu kenyataan pahit. Ibuku meninggal dunia. Dan aku terpaksa meninggalkan kampung halaman, mencari kakekku untuk menyangkutkan diri dalam limpahan kasih sayang. Seperti pada masa kanak-kanakku. Akhirnya aku bertemu kembali dengan Sarayuda. Dan seperti yang Kakang ketahui, Kakang Sarayuda mengharapkan sesuatu dariku, tidak sebagai adik seperguruannya, tetapi sebagai seorang laki-laki terhadap seorang wanita.

Kata-kata Rara Wilis itu bagi Mahesa Jenar terasa menusuk jantungnya semakin pedih. Sehingga kemudian dengan suara gemetar, tanpa menoleh ia menyahut, Perasaan yang lumrah, yang dapat timbul di dalam setiap dada.

Ya, potong Rara Wilis. Perasaan yang lumrah. Dan perasaan itu sedemikian dalamnya menggores di hati Kakang Sarayuda.

Sekarang Mahesa Jenar tidak kuasa lagi menahan perasaannya. Ia telah bertekad untuk meninggalkan impiannya terhadap gadis yang baginya memiliki keindahan yang tanpa cela itu. Tetapi untuk mendengarkan cerita itu terasa seolah-olah keindahan yang telah dilepaskannya itu diperagakan di hadapannya.

338

TIBA-TIBA Mahesa Jenar membalikkan tubuh, dan dengan mata yang tajam ia memandang Rara Wilis yang menjadi keheran-heranan melihat sikap Mahesa Jenar. Apalagi kemudian terdengarlah suaranya menggeram, Wilis, katakan… katakanlah kepadaku bahwa kau juga mencintainya. Dan kau menerima keadaan ini dengan dada terbuka, bahkan kau merasa bahwa kau menghadapi masa gemilang. Masa yang bahagia sebagai istri Demang yang kaya raya, yang disuyuti oleh beribu-ribu orang.

Kemudian terdengar suara Mahesa Jenar merendah, Wilis… aku akan ikut bahagia bila aku melihat kau menjadi bahagia. Bahkan aku siap untuk berbuat apapun untuk ikut serta mempertahankan kebahagiaanmu itu, kalau seandainya orang-orang semacam Jaka Soka mengganggu ketenteraman hidupmu.

Setelah itu Mahesa Jenar tidak kuasa lagi meneruskan kata-katanya. Namun kata-kata itu ternyata sangat mengejutkan hati Rara Wilis, sampai ia meloncat berdiri dengan wajah yang memancarkan seribu satu pertanyaan. Demikianlah untuk sesaat Rara Wilis tidak tahu apa yang akan dikatakan. Baru kemudian terdengarlah ia berkata dengan bibir yang gemetar, Kakang, apakah kata-kataku tidak pada tempatnya…?

Mahesa Jenar menundukkan kepalanya. Dan dengan suara yang gemetar ia menjawab, Aku akan dapat menyaksikan kau berbahagia, Wilis. Tetapi aku tidak dapat mendengar itu dari kau sendiri. Aku minta janganlah kau menambah hatiku jadi terpecah-pecah.

Kening Rara Wilis jadi berkerut. Tiba-tiba ia mengerti apa yang tersimpan di dalam hati Mahesa Jenar. Namun demikian ia ingin meyakinkan, Kakang Mahesa Jenar… apakah yang telah terjadi padamu…? Adakah kau bermaksud melarikan diri…?

Mahesa Jenar tersentak. Melarikan diri…? desisnya.

Mata Rara Wilis jadi bercahaya. Namun cahayanya bukan cahaya yang bening, tetapi cahaya yang memancarkan kepedihan yang tumbuh di hatinya. Lalu katanya, Kau akan mengulangi kata-katamu beberapa tahun yang lalu? Akan kau katakan juga sekarang bahwa kau akan menjadi seorang pahlawan dalam bercinta. Kakang, kita sudah bertambah dewasa. Umur kita telah melampaui masa yang seindah-indahnya dalam hidup kita.
Dan sekarang kau masih terbenam dalam cahaya purnama yang baru mengembang. Kakang, haruskah aku mengatakan sesuatu yang sama sekali tidak berakar di dalam dadaku, karena aku ingin menuruti kemauanmu. Tidak Kakang.
Ketahuilah bahwa sejak kepergianmu tanpa pamit beberapa tahun yang lalu, aku sudah mencobanya. Mencoba mengisi sebagian hatiku yang lenyap bersamamu dengan seorang yang bernama Sarayuda. Tetapi aku tidak berhasil Kakang. Kakang Sarayuda bagiku adalah saudara tua yang penuh kasih sayang kepada adiknya. Dan tahukah kau apa yang baru saja dikatakan kepadaku…?

Mahesa Jenar seperti terpaku berdiri di tempatnya. Kata-kata Rara Wilis itu dengan tajamnya menusuk menembus tulang sungsum. Tetapi bersamaan dengan itu, tumbuh pula di dalam dadanya suatu perasaan yang melonjak-lonjak, sehingga tubuhnya kemudian menjadi menggigil. Dari mulut Rara Wilis sendiri sekarang ia mendengar, bahwa gadis itu menaruh harapan sepenuhnya kepadanya. Tetapi justru karena itulah malahan ia terbungkam, sampai kembali terdengar suara Rara Wilis meneruskan, Kakang Mahesa Jenar, aku tidak peduli apakah yang akan kau katakan tentang diriku. Tetapi aku merasa bahwa beban yang menyumbat dadaku kini telah aku tuangkan. Seluruhnya. Dan dadaku kini telah terbuka bagimu. Terserahlah kepadamu akan nilai-nilai yang kau berikan kepadaku. Kepada seorang gadis yang membuka hatinya kepada seorang laki-laki, di hadapan wajahnya.

Wilis… desis Mahesa Jenar, tetapi ia tidak dapat meneruskan sebab kembali Wilis memotong, Nah Kakang. Sekarang kalau kau akan pergi, pergilah. Tinggalkan aku sendiri. Katakan kepada bukit-bukit kecil itu, kepada karang-karang dan batu-batu, kepada angin dan pepohonan, kepada bulan dan bintang, bahwa seorang laki-laki telah pergi dengan hati terpecah belah untuk memberi kesempatan orang lain menikmati kebahagiaan, sedang orang lain itu sama sekali tidak menghendaki. Tetapi jangan katakan hal itu kepada seseorang yang akan kau jumpai dalam pelarianmu, sebab kau akan ditertawakan. Mungkin orang itu akan mengikutimu untuk melihat kapan kau akan membunuh dirimu.

Wilis… potong Mahesa Jenar hampir berteriak. Namun kali inipun suara Rara Wilis mengatasinya, Jangan takut melihat bayangan wajahmu yang pucat, serta jangan takut kau melihat hatimu yang sama sekali tidak memancarkan kejujuran.

Mahesa Jenar tertunduk lesu. Ia tidak ingin memotong kata-kata gadis itu lagi. Bahkan sekarang, ia melihat pada sorot mata Rara Wilis, bayangan tentang dirinya. Tentang seorang laki-laki yang berkelana di padang yang tandus, penuh batu-batu karang yang tajam dan pendakian yang terjal di bawah terik matahari yang membakar kulitnya yang berwarna tembaga. Yang dalam kehausan, melemparkan seteguk air yang segar dingin dari mangkuk ditangannya. Tetapi kemudian laki-laki itu sendiri menjadi hampir mati kehausan.

Tidak, katanya tiba-tiba. Aku tidak menuang air itu di atas batu-batu yang mati. Tetapi aku tuangkan air itu ke dalam mulut seseorang yang hampir mati kehausan pula.

Rara Wilis mencoba menangkap kata-kata yang tiba-tiba saja terlontar dari mulut Mahesa Jenar itu. Namun dalam sesaat ia telah dapat mengerti maksudnya. Karena itu ia menyahut. Lalu kau sendiri yang akan mati. Tetapi jangan harapkan seseorang datang padamu dan menaburkan bunga di atas tubuhmu.

Mahesa Jenar tidak dapat lagi menipu dirinya sendiri. Ia tidak lagi dapat memungkiri kata-kata Rara Wilis. Namun demikian ia berusaha untuk mematahkan pengakuannya itu. Dengan wajah yang tegang kaku ia memutar tubuhnya membelakangi Rara Wilis lalu cepat-cepat ia ingin meninggalkan ruangan itu.

339

TIBA-TIBA Mahesa Jenar mendengar isak yang seolah-olah meledak begitu hebatnya. Ketika ia sekali lagi menoleh, ia melihat Rara Wilis sambil menangis terduduk di atas sebuah batu hitam yang beralaskan kulit kayu. Dan kembali kedua telapak tangannya menutupi wajahnya yang basah karena air mata.

Melihat keadaan itu Mahesa Jenar tertegun sejenak. Bahkan diluar sadarnya perlahan-lahan ia berjalan mendekatinya. Namun ia menjadi bertambah bingung, dan tidak tahu apa yang akan dilakukan. Maka kemudian yang dapat dikatakannya hanyalah beberapa kata yang serak, Wilis, kenapa kau menangis lagi?

Sekali ini, seolah-olah Rara Wilis tidak mendengar kata-katanya, bahkan tangisnya menjadi semakin keras. Dan karena itu Mahesa Jenar menjadi semakin gelisah.

Wilis, katanya kemudian sekenanya saja, Jangan menangis demikian. Apabila seseorang melihat keadaanmu itu, maka akan timbul berbagai prasangka yang mungkin kurang menyenangkan.

Mendengar kata-kata Mahesa Jenar itu, Rara Wilis mencoba mengangkat wajahnya. Meskipun tangisnya masih belum berhenti.

Diantara isaknya terdengar ia berkata, Kakang, aku tidak akan menahanmu lagi. Pergilah seandainya itu akan membawa kepuasan bagimu.

Hati Mahesa Jenar sekali lagi terlonjak. Namun ia melihat bahwa apa yang diucapkan oleh Rara Wilis itu sama sekali bukanlah yang dimaksud sebenarnya. Karena itu ia bertanya, Begitukah yang kau kehendaki Wilis…?

Bibir Rara Wilis bergerak melukiskan sebuah senyum yang pahit diantara tangisnya. Lalu jawabnya, Aku mencoba berbuat seperti apa yang kau lakukan. Menipu diri sendiri.

Kata-kata itu tepat menyusup ke dalam relung hati Mahesa Jenar yang paling dalam. Sekarang benar-benar ia tidak dapat melarikan diri lagi. Ia merasa seperti seseorang yang terjun ke dalam arena perkelahian, yang harus memilih salah satu diantara dua, membunuh atau dibunuh.

Tetapi tiba-tiba ia teringat kata-kata Rara Wilis tentang Sarayuda. Maka dengan serta merta ia bertanya Wilis, kau tadi bertanya kepadaku, apakah aku tahu apa yang dikatakan oleh Sarayuda?

Rara Wilis mengangguk.

Tentu aku tidak tahu Wilis, sambung Mahesa Jenar, Kau mau mengulang kata-kata itu…?

Tak ada gunanya, jawab Rara Wilis.

Mahesa Jenar tertegun sebentar, lalu katanya, Mungkin ada. Kalau kau tak berkeberatan katakanlah.
Rara Wilis memandang wajah Mahesa Jenar yang basah oleh keringat dingin itu dengan seksama, seolah-olah ia ingin melihat setiap garis yang tergores padanya. Kemudian dengan perlahan-lahan ia berkata, Kakang dengarlah apa yang dikatakan Kakang Sarayuda kepadaku. Memang semula aku ingin mengatakan kepadamu, dan aku sudah mengambil ancang-ancang. Sebab aku adalah seorang gadis. Tetapi agaknya hatimu terlalu mudah tersentuh sehingga aku terpaksa melampaui batas-batas keterbukaan hati seorang gadis.

Rara Wilis berhenti sejenak, lalu meneruskan, Kakang, tadi Kakang Sarayuda berkata kepadaku, bahwa aku harus memaafkannya atas segala perlakuannya yang telah melampaui perlakuan seorang kakak terhadap adiknya. Ia mengharap bahwa aku akan dapat melupakan itu semua, sebab katanya, … sepantasnya ia menjadi kakak yang baik.

Mahesa Jenar mendengar kata Rara Wilis itu seperti beratus guntur yang menggelegar di depan telinganya. Bahkan kemudian seolah-olah ia menjadi orang yang lelap terbenam dalam alam impian. Dan di dalam mimpi itu ia mendengar suara Rara Wilis meneruskan, Tetapi, Kakang, aku tahu bahwa hatinya remuk karena itu. Ia mencintaiku sejak lama.

Sejak kami meningkat dewasa. Namun agaknya suatu kenyataan harus dihadapinya. Yaitu, bahwa ia bersaing dengan orang yang tidak dapat dikalahkannya dengan jalan apapun juga. Karena itu, sebagai seorang laki-laki yang dapat mengukur dirinya, serta seorang laki-laki yang hidupnya berjejak di atas tanah, dengan ikhlas ia berkata kepadaku, … Wilis, pilihlah jalanmu sendiri. Jangan hiraukan aku.

Rara Wilis berhenti sejenak menelan ludahnya, baru ia meneruskan. Tetapi Kakang, aku melihat keikhlasan membayang di wajahnya. Setelah ia berceritera tentang kesalahan yang dilakukannya dengan tidak menghiraukan nasehat kakek dan sebagainya, ia akhiri kata-katanya, … Wilis, mudah-mudahan kau menemukan hari depan yang gemilang.

Sekali lagi Rara Wilis berhenti. Terasa di lehernya sesuatu yang menyumbat, sehingga dengan terputus-putus ia meneruskan, Aku menjadi kasihan kepadanya kakang, justru karena ia melepaskan aku dengan penuh keikhlasan. Namun aku tidak dapat memaksa diriku untuk menganggapnya lain daripada seorang kakang yang baik. Mahesa jenar masih berdiri seperti patung, namun suatu pergolakan yang dahsyat berputar di dalam dadanya. Suatu gejolak perasaan yang melanda dinding-dinding jantungnya sehingga seolah-olah akan pecah karenanya.

340
KEMUDIAN terdengar Rara Wilis meneruskan, Kemudian Kakang di sini, di hadapanku, dimana aku menaruh suatu harapan atas masa depan. Di sini aku berada dalam keadaan yang sebaliknya. Kepadamu aku selalu mencoba untuk melenyapkan setiap kenangan. Apalagi setelah Kakang Mahesa Jenar membunuh ayahku yang selama ini aku cari. Tetapi kembali aku tidak dapat memaksa diriku menutup suatu kenyataan di dalam diriku atas kenangan yang muncul dalam setiap saat.

Kenangan yang menjadi semakin jelas apabila aku berusaha untuk melenyapkannya. Tetapi aku ternyata menjumpai suatu kenyataan yang lain. Aku melihat sekali lagi, atas apa yang pernah aku alami. Seseorang telah berusaha melepaskan aku lagi. Namun bedanya, keikhlasanmu lain dengan keikhlasan Kakang Sarayuda.

Dimana pada saat terakhir Kakang Sarayuda telah menemukan cahaya yang menyoroti hatinya, yang dengan demikian ia dapat membaca perasaan yang tergores di dalam dadaku. Tetapi kau, Kakang…, kau mencoba untuk menghapus goresan itu. Bahkan goresan di dalam dadamu sendiri, dan menggantinya dengan bunyi-bunyi yang lain.

Suara Rara Wilis kemudian tenggelam dalam tangisnya.

Mahesa Jenar tiba-tiba seperti terbangun dari kelelapannya. Dengan penuh gejolak di dalam dadanya, tiba-tiba ia meloncat dan berlari ke dalam ruangan dimana Sarayuda terbaring. Apa yang dikatakan Rara Wilis tentang laki-laki itu sangat berkesan di hatinya. Bahkan dengan demikian ia menjadi ingin mendengarnya dari mulut Sarayuda sendiri.

Mendengar langkah Mahesa Jenar, Sarayuda membuka matanya. Dan ketika dilihatnya Mahesa Jenar berdiri di sampingnya dengan nafas yang terengah-engah, tergoreslah sebuah senyuman di bibir Sarayuda. Senyum yang memancar dari lubuk hatinya.

Sarayuda… terloncatlah kata-kata yang terbata-bata dari mulut Mahesa Jenar. Kenapa kau lakukan itu…?

Senyum Sarayuda semakin jelas membayang wajahnya yang jernih. Kemudian jawabnya lirih, Kau keberatan…?

Mahesa Jenar tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Bahkan nafasnya menjadi semakin cepat mengalir.

Mahesa Jenar… bisik Sarayuda, Akhirnya aku merasa bahwa kata-katamu mengandung kebenaran. Yang kita persoalkan adalah seseorang yang memiliki perasaan seperti kita.
Karena itu, akhirnya aku insaf bahwa aku adalah seorang yang terlalu mementingkan diri sendiri. Yang melihat segala masalah seolah-olah berkisar di sekitar dan berpusat pada diriku. Namun syukurlah bahwa Tuhan memberi petunjuk, sehingga aku menemukan jalan yang wajar.

Mahesa Jenar menundukkan kepala, dan dari bibirnya terdengarlah ia berkata, Sarayuda, aku telah salah sangka terhadapmu.

Sarayuda tertawa perlahan, lalu katanya, Aku mendengar semua pembicaraanmu dengan Wilis. Kakang Mahesa Jenar, jangan lukai hatinya. Ia mempunyai lagi sangkutan kasih sayang, selain kakeknya yang tua itu. Sedang darimu ia mengharapkan kesegaran cinta yang selama ini hanya pernah didengarnya dari cerita-cerita kesejukan cinta antara Kama dan Ratih, antara Arjuna dan Sumbadra, antara Panji dan Kirana.

Mahesa Jenar tidak menjawab. Ia hanya menarik nafas dalam-dalam. Namun dengan demikian seolah-olah ia telah berjanji kepada dirinya sendiri bahwa ia akan mencoba memenuhi permintaan Sarayuda itu.

Nah, Mahesa Jenar… Sarayuda meneruskan, Datanglah kepadanya. Kalau kau mau melaksanakan pesanku, aku akan menjadi lekas sembuh. Dan aku akan dapat menyaksikan hari bahagiamu yang akan datang.

Terimakasih Sarayuda, jawab Mahesa Jenar kaku.

Lalu perlahan-lahan seperti orang yang kehilangan kesadaran ia berjalan keluar. Ketika ia melangkah pintu, ia melihat Rara Wilis masih duduk di atas batu hitam itu. Namun tiba-tiba gadis itu di matanya telah berubah menjadi permata yang gemilang, permata yang melekat pada sebuah cincin yang seakan-akan telah melingkar di jarinya.

Rara Wilis yang mendengar langkah Mahesa Jenar, menoleh pula ke arah pintu. Ia pun terkejut ketika melihat wajah Mahesa Jenar yang menjadi cerah, seperti cerahnya langit musim kemarau. Ia sudah berpuluh bahkan beratus kali melihat wajah itu. Wajah yang memancarkan sifat-sifat kejantanan yang lembut. Tetapi kali ini seolah-olah ia menemukan sesuatu yang lain pada wajah itu. Menemukan yang selama ini dicarinya.

Tiba-tiba Rara Wilis tersadar. Ia menjadi malu kepada dirinya sendiri. Malu kepada penemuannya.

Meskipun kemudian tak sepatah kata pun yang keluar dari mulut mereka, namun ratusan bahkan ribuan kalimat yang menggetar di udara langsung menyentuh hati masing-masing. Sehingga dalam keheningan itu terjalinlah suatu ikatan yang semakin teguh antara dua buah hati yang sebenarnya sudah sejak lama bertemu.

Di luar terdengar burung-burung berkicau dengan riangnya. Nyanyiannya membubung tinggi, hanyut bersama angin pegunungan, menyapu wajah padepokan yang tenang sejuk itu.

Dalam keheningan itu, tiba-tiba terdengarlah suara tertawa yang bening, disusul dengan langkah-langkah kecil berlari-larian. Lalu terdengarlah suara kerikil berjatuhan.

Bukan salahku, teriak suara yang nyaring.

Jangan nakal Widuri, jawab suara yang lain.

Widuri tidak menjawab, tetapi suara tertawanya yang renyah kembali menggetar, dan kembali terdengar langkahnya berlari-lari.

Sampai di depan pintu, Widuri tertegun. Dilihatnya Rara Wilis dan Mahesa Jenar masih di tempatnya masing-masing seperti patung. Bahkan gadis kecil itu melihat mata Rara Wilis masih kemerah-merahan.

WIDURI jadi bingung. Meskipun perasaannya masih belum begitu tajam, namun ia tahu bahwa telah terjadi sesuatu sehingga Rara Wilis terpaksa menangis. Mungkin karena pertengkaran, mungkin sebab-sebab lain. Dalam kebingungan itu terdengarlah suara Rara Wilis perlahan-lahan memanggilnya,
“Widuri… kemarilah.”

Perlahan-lahan Widuri berjalan dengan penuh keraguan mendekati Rara Wilis. Ia menjadi bertambah bingung lagi, ketika tiba-tiba Rara Wilis meraihnya dan memeluknya erat-erat. Bahkan kemudian kembali terdengar Rara Wilis menangis tersedu-sedu.

Dengan matanya yang bulat, bening dan penuh pertanyaan, Widuri memandang dengan sudut matanya, ke arah Mahesa Jenar dan Rara Wilis berganti-ganti. Namun ia sama sekali tidak berani menanyakan sesuatu. Juga kemudian ketika Rara Wilis berdiri dan menggandengnya berjalan keluar dari ruangan itu.
Sampai di depan pintu, Rara Wilis berhenti sejenak. Lalu kepada Mahesa Jenar ia berkata dengan kepala tunduk, “Kakang, aku akan beristirahat dulu.”

“Beristirahatlah,” jawab Mahesa Jenar.

Lalu hilanglah Wilis di balik pintu. Berbagai perasaan menghentak-hentak dadanya. Ia merasa bahwa hidup yang terbentang di hadapannya adalah suatu kehidupan yang cerah.

Matahari yang bulat di langit masih memancarkan sinarnya yang terik bertebaran di tanah yang kemerahan. Namun sekarang Mahesa Jenar tidak lagi merasakan bahwa udara padepokan itu terlalu panas. Bahkan kembali ia dapat mengagumi keindahan taman-taman yang asri dan hijau, yang di sana-sini diseling dengan warna-warna yang beraneka dari berbagai macam bunga. Ketika dilihatnya diantara bermacam-macam bunga itu terselip bunga melati, teringatlah ia pada kebiasaannya dahulu, yang karena keadaan menjadi agak terlupakan. Dengan tanpa sengaja tiba-tiba bunga itu telah berada di tangannya, yang kemudian diselipkan pada ikat kepalanya, di atas telinga kanannya.

Kemudian dengan segarnya Mahesa Jenar menghirup udara pegunungan sepuas-puasnya.

Demikianlah, matahari yang beredar di garisnya yang telah condong ke barat. Beberapa orang cantrik tampak berjalan mendekati pondok itu. Ketika mereka sudah berdiri dekat di depan Mahesa Jenar, segera mereka membungkuk hormat.

“Tuan…” kata salah seorang diantaranya, “Panembahan minta Tuan untuk datang makan siang.
Sementara itu seorang cantrik yang lain diperintahkan untuk menyajikan makan buat Sarayuda yang sedang terluka.”

“Masuklah,” jawab Mahesa Jenar. “Tetapi agaknya ia masih belum dapat bangun. Rawatlah ia baik – baik.”

Sekali lagi cantrik itu mengangguk. Salah seorang diantaranya kemudian masuk dengan semangkuk bubur. Sedangkan yang lain kemudian mengajak Mahesa Jenar pergi makan siang.

Demikianlah, hari itu terasa begitu cepat berjalan. Dengan tak terasa, matahari telah jauh menurun mendekati cakrawala. Warna-warna merah yang tersirat dari matahari bertebaran memenuhi langit. Namun sejenak kemudian permukaan bumi tenggelam dalam kehitaman yang menyeluruh.

Di dalam pondok kecil, di bawah sinar lampu minyak kelapa yang berkedip-kedip digoyang angin, duduklah melingkar di atas bale-bale bambu, Panembahan Ismaya, Ki Ageng Pandan Alas, Kebo Kanigara, Mahesa Jenar, Karang Tunggal, dan Arya Salaka.

Mereka berbicara dengan riuhnya, melingkar dari satu masalah ke masalah lain. Dari satu cerita ke cerita lain. Sehingga akhirnya setelah mereka kelelahan bercerita dan mendengarkan, menyelalah Putut Karang Tunggal, “Panembahan Ismaya serta Paman Kanigara, aku rasa bahwa aku sudah terlalu lama tinggal di padepokan ini. Hal-hal yang dapat aku pelajari sudah cukup banyak. Karena itu, aku ingin mohon diri untuk meninggalkan padepokan ini. Memenuhi anjuran seorang wali yang bijaksana, untuk mengabdikan diri ke Demak. Mungkin aku akan mendapat panjatan, setidak – tidaknya untuk mengabdikan diriku.”

Panembahan Ismaya dan Kanigara bersama-sama mengangguk-angguk. Maka terdengarlah Panembahan itu menjawab sambil tersenyum, “Bekalmu telah cukup Karang Tunggal. Pengetahuan mengenai ketrapsilaan, mengenai keteguhan hati dan perasaan, juga engkau telah banyak menerima petunjuk mengenai adat dan tatacara dari pamanmu Kanigara. Karena itu sebenarnya aku tidak keberatan lagi kalau kau akan mengabdikan dirimu. Pergilah. Hanya sayang bahwa penyakitmu masih saja sering kambuh.”

Karang Tunggal menundukkan kepala. Namun terdengarlah ia berkata, “Mudah-mudahan aku dapat menjaganya.”

Dengan tertawa kecil Kanigara menyahut, “Kalau kau tidak dapat menyembuhkan penyakitmu itu, Karang Tunggal, penyakit menuruti hatimu sendiri, mungkin akan menemukan kesulitan.”

“Aku akan berusaha sekuat tenaga, Paman,” jawab Karang Tunggal.

“Mudah-mudahan aku selalu mendapat tuntunan Allah Yang Maha Agung.”

Demikianlah pada malam itu. Seluruh isi Padepokan Karang Tumaritis berkumpul bersama-sama untuk melepaskan Karang Tunggal pada keesokan harinya, pergi meninggalkan pedukuhan itu, untuk kembali ke Pengging dan seterusnya ke pusat Kerajaan, Demak.

Tidak lupa pula Putut Karang Tunggal, yang nama sebenarnya adalah Karebet dan sering juga dipanggil Jaka Tingkir, maka Kanigara menuntun Arya Salaka untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang biasa dilakukan Karang Tunggal. Meladeni keperluan-keperluan Panembahan Ismaya dalam pekerjaan sehari-hari, sebagai seorang Panembahan. Mengatur pekerjaan para cantrik, baik di dalam maupun di luar padepokan.

342
KI AGENG Pandan Alas masih tetap tinggal di padepokan untuk menunggui muridnya yang sedang sakit. Namun semakin hari tampaklah bahwa luka-luka Sarayuda menjadi semakin baik berkat perawatan yang seksama dari Panembahan Ismaya.

Sejalan dengan itu, dengan perkembangan kesehatan Sarayuda, Mahesa Jenar pun bertambah gelisah. Sikapnya menjadi bertambah kaku terhadap Ki Ageng Pandan Alas. Ada sesuatu yang tersimpan di dalam dadanya, namun agak sulit baginya untuk menyampaikannya kepada orang tua itu. Meskipun ia insaf bahwa apabila Sarayuda telah sembuh, meskipun belum pulih benar, pastilah Ki Ageng Pandan Alas akan meninggalkan padepokan itu.

Hal itu akhirnya terjadi juga. Pada suatu hari Ki Ageng Pandan Alas menyatakan bahwa kini Sarayuda telah sehat. Ia telah mampu untuk menempuh perjalanan pulang ke Gunung Kidul bersama Ki Ageng. Bahkan karena perawatan yang baik, maka Sarayuda telah benar-benar hampir pulih kembali.

Dalam keadaan yang demikian, Mahesa Jenar tidak dapat menunda-nunda lagi. Bagaimanapun sulitnya, ia terpaksa menuangkan segala masalah yang selama ini tersimpan di dalam dadanya, kepada orang tua itu. Masalah yang tidak dapat dipersoalkan dengan orang lain.

Maka kemudian Mahesa Jenar memerlukan untuk mendapatkan waktu, menemui orang tua itu seorang diri. Dan dengan kaku ia menyampaikan persoalan antara dirinya dengan cucu Ki Ageng Pandan Alas, yang bernama Rara Wilis.

“Mahesa Jenar…” jawab Pandan Alas sambil tersenyum, “Aku sudah mendengar semua itu dari Sarayuda. Sebenarnya bagiku tidak ada lagi masalah yang dapat mengganggu hubunganmu dengan Wilis. Kalau semula aku dibingungkan oleh kepentingan muridku, ternyata kini dengan ikhlas Sarayuda telah mengundurkan diri dari persoalan ini.”

Mendengar keterangan Ki Ageng Pandan Alas itu, Mahesa Jenar hanya dapat menundukkan kepala. Ia pun telah menduga sebelumnya bahwa jalan yang akan ditempuhnya telah rata.

“Seterusnya, Mahesa Jenar…” lanjut Ki Ageng Pandan Alas, “Terserahlah kepadamu berdua. Jalan manakah yang akan kau tempuh. Sebab masa depanmu terletak di tanganmu.”

“Ki Ageng…” jawab Mahesa Jenar, “Aku telah bersepakat dengan Rara Wilis, bahwa kami akan menempuh hidup bersama. Namun demikian, di hadapanku masih terbentang suatu kewajiban yang berat. Kewajiban yang memebutuhkan segenap tenaga serta pengetahuanku. Karena itu kami telah sama-sama menyetujui untuk menunda tali perkawinan kami sampai kewajiban itu selesai, meskipun seandainya umur kami menjadi bertambah juga. Bahkan Wilis pun telah berjanji untuk ikut serta bekerja keras dalam penyelesaian kewajiban itu.”

Ki Ageng Pandan Alas mengerutkan kening. Tampaklah bahwa ia sedang berpikir. Kemudian jawabnya, “Terserahlah kepadamu Mahesa Jenar. Kau telah cukup dewasa, bahkan terlalu dewasa untuk mengatur dirimu. Tetapi apakah kewajiban yang kau maksud itu berhubungan dengan kedua keris yang sekarang ini kau cari…?”

Mahesa Jenar mengangguk, lalu jawabnya, “Benar, Ki Ageng. Selama Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten belum aku ketemukan, selama itu aku harus membelakangi kepentingan diri. sebab akibat dari penemuan pusaka itu akan besar sekali. Keteguhan Kerajaan Demak, dan sekaligus pembebasan ayah Arya Salaka.”

Ki Ageng Pandan Alas mengangguk-anggukan kepala. Sekali lagi ia mengagumi ketetapan hati Mahesa Jenar atas beban yang telah diletakkan di pundaknya. Meskipun tak seorang pun dari Istana yang mungkin tahu akan perjuangannya, namun ia sama sekali tidak peduli.
Bagi Mahesa Jenar, yang penting bukanlah pujian atau perhatian orang lain atas kerja yang telah dilakukan. Tetapi benar-benar suatu pengabdian terhadap cita-cita. Ia sama sekali tidak mengharapkan bahwa kalangan Istana akan menyatakan terimakasih atas usahanya itu, apalagi mengharapkan hadiah dan penghormatan.

Karena itu Ki Ageng Pandan Alas menjawab, “Aku tahu pasti bahwa kau adalah seorang pejuang yang sepi ing pamrih. Karena itu tidak saja Wilis yang berjanji akan membantumu. Aku dan Sarayuda pasti akan ikut serta dalam perjuanganmu. Di sepanjang jalan pulang aku akan berusaha seperti apa yang kau usahakan.”

“Terimakasih Ki Ageng. Terimakasih atas segala kerelaan hati Ki Ageng,” sahut Mahesa Jenar.

“Nah, seterusnya terserah kepadamu. Tetapi aku ingin tahu, apakah Wilis akan pergi bersamaku ataukah ia akan bekerja bersamamu dalam usaha ini,” kata Ki Ageng Pandan Alas.
“Kalau Ki Ageng tidak keberatan,” lanjut Mahesa Jenar, “Biarlah ia dalam pilihannya. Tinggal di bukit ini untuk seterusnya bersama aku dan Arya Salaka, meneruskan pekerjaan kami.”

Pandan Alas mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian jawabnya sambil tersenyum, “Kalau yang minta ijin kepadaku ini seorang pemuda yang sedang menginjak dewasa, serta bermata liar seperti mata burung hantu, aku pasti tak mengijinkan, cucuku seorang gadis untuk tinggal di sini. Tetapi kepadamu aku harus mempunyai keputusan lain. Sebab kau bukan anak-anak yang hanya pandai mematut diri.”

Mahesa Jenar tidak menjawab, namun wajahnya menjadi kemerah-merahan. Apalagi ketika Ki Ageng Pandan Alas kemudian meneruskan, “Meskipun demikian aku titip kepadamu, jaga anak itu baik-baik.”

Akhirnya Mahesa Jenar menjawab, “Akan aku jaga anak itu baik-baik seperti aku menjaga Arya Salaka, yang bahkan lebih dari diriku sendiri, meskipun aku mempunyai kepentingan berbeda atas kedua anak itu.”

Ki Pandan Alas tersenyum cerah. Sebagai seorang kakek yang sudah tua, ia merasa berbahagia ketika ia mengetahui bahwa cucunya telah mendapat sangkutan yang kuat, yang memiliki segala macam sifat manusia idaman. Lebih dari itu, Rara Wilis adalah satu-satunya orang di dunia ini yang akan melanjutkan aliran darah Ki Ageng Pandan Alas.

343

“Mahesa Jenar….”, lanjut Ki Ageng Pandan Alas, “Aku percaya sepenuhnya kepadamu. Kau akan dapat menjaga Wilis lahir dan batin. Sebagaimana kau ketahui, Wilis adalah seorang anak yatim piatu. Dan aku adalah satu-satunya orang yang berkepentingan atas dirinya, sebelum kau.”

Pandan Alas berhenti sejenak. Lalu sambungnya, “Aku akan lebih berbahagia lagi dengan sebuah harapan bahwa aku akan mendapat seorang cicit yang akan menyambung saluran keluarga kami.”

Sekali lagi wajah Mahesa Jenar menjadi kemerah-merahan, namun sambil mengangguk ia menjawab, “Mudah-mudahan demikianlah apa yang akan terjadi Ki Ageng.”

Setelah Ki Ageng Pandan Alas memberikan berbagai pesan, kemudian sampailah waktunya masa perpisahan. Ki Ageng dan Sarayuda yang telah hampir sembuh benar dari penyakitnya, pergi meninggalkan bukit itu, untuk menempuh perjalanan kembali ke Gunung Kidul.

Sepeninggal mereka, padepokan di atas bukit kecil itu mengalami kehidupan seperti sediakala. Mahesa Jenar dan Arya Salaka berusaha untuk menyesuaikan diri dengan suasana padepokan itu. Bahkan Arya Salaka beberapa waktu kemudian telah menjadi terampil dan cekatan mengganti pekerjaan Karang Tunggal. Juga Rara Wilis, meleburkan dirinya dalam kehidupan para endhang. Meskipun dalam saat-saat tertentu mereka memisahkan diri, untuk memperdalam ilmu kanuragan.

Dalam waktu-waktu luang, Arya Salaka masih selalu berlatih keras di bawah asuhan gurunya. Sekarang ia sama sekali tidak pernah berpikir bahwa dalam sejarah perkembangan ilmunya ia pernah mengalami sisipan seorang guru lain, sebab Mahesa Jenar ternyata memiliki ilmu yang jauh lebih dahsyat daripada yang diduga semula. Ia sama sekali tidak tahu bahwa di dalam goa itu juga gurunya menemukan inti dari segenap ilmu yang dipelajari sebelumnya.

Demikian pula agaknya Rara Wilis. Ketika ia melihat Mahesa Jenar dengan lincahnya menyambar dan membebaskan dirinya dari tangan Jaka Soka dan janda Sima Rodra, ia menjadi agak keheran-heranan. Bahkan waktu itu ia merasa agak aneh.

Kalau saja waktu itu dapat melihat dengan jelas dan orang yang membebaskannya itu tidak menyebut dirinya Mahesa Jenar, murid Ki Ageng Pengging Sepuh, mungkin ia akan menyangkanya orang lain.
Tetapi sekarang ia justru menjadi yakin kalau orang itu benar-benar Mahesa Jenar, setelah ia melihat perkembangan ilmunya yang luar biasa.

Tetapi yang sama sekali tak mereka duga adalah keadaan seorang gadis kecil yang bernama Widuri. Gadis yang nampaknya hanya dapat berlari-lari, tertawa dan kalau mencubit sakitnya bukan main, namun ternyata bahwa gadis itu adalah seorang gadis yang luar biasa pula, seperti saudara sepupunya, Karebet.

Hal ini ternyata pada suatu malam yang cerah, ketika Arya Salaka dengan tekunnya sedang melatih diri di bawah pengawasan gurunya, tiba-tiba datanglah Kanigara bersama anak gadisnya. Dan, dengan tidak terduga pula Kanigara berkata, “Arya, aku bawa kawan baik bagimu, daripada kau berlatih seorang diri atau terus-menerus dengan gurumu. Dengan demikian kau akan dapat melakukan berbagai macam percobaan dan penemuan-penemuan dari macam-macam pengalaman yang kau miliki, dengan kesegaran baru. Bukankah begitu, Mahesa Jenar…?”

Mahesa Jenar mengangguk kaku. Ia sama sekali tidak menduga bahwa gadis kecil itu memiliki ilmu yang cukup untuk berlatih bersama Arya Salaka. Namun demikian ia tidak bertanya apa-apa. Sebab ia yakin bahwa Kebo Kanigara pasti sudah dapat mengukurnya. Demikian pula Rara Wilis yang hadir menyaksikan, menjadi sibuk menduga-duga pula. Ketika ia melihat tingkat ilmu Arya Salaka, ia sudah menjadi keheranan. Anak itu sudah mencapai tingkat yang sedemikian jauhnya.
Ketika Rara Wilis melihat anak itu bertempur dengan Janda Sima Rodra, dengan cara tikus-tikusan, ia sudah mengagumi kelincahannya. Tetapi sekarang anak itu sudah mencapai tingkat yang mungkin sejajar dengan dirinya. Dan sekarang ia akan melihat gadis kecil itu memperlihatkan kecakapannya melawan Arya Salaka.

“Widuri…” kata Kebo Kanigara lebih lanjut, “Kau harus merasa beruntung juga, bahwa di bukit kecil ini kau akan mendapat lawan berlatih sepeninggal Karang Tunggal. Nah, bersiaplah. Darinya kau akan mendapat banyak pelajaran yang berguna.”

Mula-mula Widuri menjadi agak malu. Ia tidak biasa berlatih di hadapan orang banyak. Yang biasa dilakukan adalah dengan ayahnya bersembunyi di dalam sebuah ruangan di dalam goa. Di sanalah ia berlatih keras untuk mencapai tingkatan yang sekarang.

Agaknya darah yang mengalir dalam tubuh Widuri memang sudah disediakan untuk menjadi orang yang perkasa, seperti saudara-saudara dari aliran darah Handayaningrat.

Apalagi Kanigara sebagai orang yang memiliki kesaktian tinggi, tidak mempunyai orang lain yang dapat menerima warisan kesaktiannya, kecuali seorang gadis. Karena itu, meskipun anaknya seorang gadis, namun dilatihnya sejak kecil, agar kemudian mewarisi ilmunya.

Demikianlah pada saat itu. Mahesa Jenar, Rara Wilis dan Arya Salaka untuk pertama kalinya melihat bahwa Endhang kecil itu pun ternyata memiliki ilmu yang sudah dalam tingkatan yang tinggi.

Setelah Widuri mempersiapkan dirinya, maka segeralah latihan itu dimulai. Tentu saja mula-mula Arya Salaka menjadi agak segan. Tetapi ketika latihan itu sudah berjalan beberapa saat, ia benar-benar menjadi heran. Meskipun tidak terlalu kuat namun Endang Widuri memiliki kelincahan yang luar biasa, seperti yang selalu diperlihatkan kalau gadis itu sedang bergurau atau berlari-larian.

Kali ini segala geraknya itu diatur dengan rapi sehingga dengan demikian Widuri telah dapat mengejutkan beberapa orang yang menyaksikan. Maka latihan itu semakin lama menjadi semakin cepat.
Kalau Arya Salaka mula-mula hanya berusaha untuk melayani, akhirnya ia pun harus bekerja keras untuk sekali-sekali melakukan tekanan-tekanan pada kawan berlatihnya itu. Bahkan kemudian latihan itu menjadi semakin sengit, diluar dugaan.

344
KALAU saja Endang Widuri seorang laki-laki yang memiliki kekuatan secara kodrati lebih besar daripada seorang gadis, maka Widuri pada umurnya yang baru kira-kira 15 tahun itu pasti sudah semakin memiliki keperkasaan yang mengejutkan. Bahkan mungkin dalam saat yang tidak lama akan dapat menyamai Arya Salaka.

Demikianlah pada saat itu telah disaksikan suatu latihan yang mengherankan dari dua macam ilmu yang berasal dari satu keturunan. Meskipun dalam perkembangannya agak berbeda namun jelas bahwa unsur-unsur pokoknya tetap dalam garis yang sama. Gerak-gerak Arya dipengaruhi oleh gerak berbagai jenis binatang, sedangkan gerak Widuri dilandaskan pada kecepatan dan kelenturan seuai sifat-sifat alami seorang gadis.

Akhirnya tampak bahwa Endang Widuri masih belum dapat menyejajari Arya Salaka, namun hal itu dapat diterima sebagai suatu kewajaran. Meskipun andaikata keduanya benar-benar bertempur, Arya Salaka pun akan dapat dengan mudah mengalahkan gadis kecil itu.

Demikianlah Endang Widuri telah menimbulkan keheranan diantara para penontonnya. Bahkan ayahnya pun lega menarik nafas panjang, karena jerih payahnya selama itu ternyata cukup memberinya kepuasan. Yang paling tertarik dari semuanya adalah Rara Wilis, yang merasa bahwa pada umur-umurnya sebesar Widuri itu ia baru dapat dengan manjanya menarik-narik ujung baju ibunya. Merengek dan berbagai polah yang kekanak-kanakan.

Karena itu Wilis menjadi terharu melihat gadis kecil itu, yang sejak bayi ternyata sudah tidak beribu lagi. Kemudian atas asuhan ayahnya telah dapat menunjukkan suatu yang membanggakan, meskipun karena pengaruh keadaan, dimana ia bergaul dengan rapatnya hanya dengan seorang laki-laki maka seolah-olah tingkah Widuri pun dalam beberapa hal terpengaruh oleh kelakukan laki-laki. Tetapi agaknya latihan yang memikat hati itu, tiba-tiba terhenti ketika mereka melihat seorang cantrik yang berlari-lari dengan nafas terengah-engah. Bahkan Kanigara menjadi agak terkejut, ketika cantrik itu dengan terputus-putus berkata diantara peredaran nafasnya yang semakin cepat.

“Tuan… ada seseorang mencari…”
Kanigara mengerutkan keningnya, lalu bertanya, “Siapakah yang dicari…?”
“Tuan Mahesa Jenar,” jawab cantrik itu.
“Aku…?” sela Mahesa Jenar.
“Ya… sejak tadi aku berkeliling bukit ini mencari Tuan,” sambung cantrik itu.
“Siapa…?” tanya Mahesa Jenar pula.
“Aku tidak tahu. Orang itu tidak menyebut namanya. Tetapi aku kenal dan pernah melihat pengantarnya,” jawab cantrik itu pula.
“Siapakah pengantarnya?” desak Mahesa Jenar tidak sabar.
“Mereka telah agak lama menunggu Tuan.”
Mahesa Jenar mengerutkan keningnya, kemudian desaknya lagi, “Ya, tetapi siapakah dia…? Katamu kau kenal kepadanya.”
“Ya, aku kenal, Tuan. Yang seorang adalah Ki Wiradapa, Lurah Gedangan, dan seorang pengawalnya.”
“Wiradapa dari Gedangan…?” ulang Mahesa Jenar terkejut.
Cantrik itu menganggukkan kepala.
Maka tanpa disadari, Mahesa Jenar memandang Kebo Kanigara yang agaknya tertarik juga dengan pembicaraan itu, untuk mendapat pertimbangan. Namun agaknya Kebo Kanigara tidak dapat menebak sesuatu. Maka katanya, “Marilah kita temui mereka.”
“Di manakah Panembahan…?” tanya Kanigara kepada cantrik itu.
“Tamu itu tak mencari Panembahan, Tuan,” jawabnya.
“Ya, tetapi aku ingin tahu di mana Panembahan sekarang?” ulang Kanigara.
“Beliau ada di Sanggar,” jawab cantrik itu.
Kanigara mengangguk-angguk, lalu katanya kepada cantrik itu, “Nah, dahululah. Katakan kepada tamu-tamu itu bahwa sebentar lagi kami akan datang.”

Cantrik itu membungkuk hormat, lalu berjalan meninggalkan tempat itu. Kemudian disusul pula oleh Kebo Kanigara, Mahesa Jenar serta yang lain. Di salah satu rumah Padepokan itulah Wiradapa menunggu. Maka ketika dilihatnya kemudian Mahesa Jenar beserta beberapa orang mendatanginya, cepat-cepat ia bangkit dan dengan hormatnya menyambut kedatangan mereka. Sedangkan Mahesa Jenar pun segera membungkuk hormat kepadanya. Tetapi ketika ia melihat seorang lagi, yang mungkin orang itulah yang diantarkan oleh Wiradapa, dada Mahesa Jenar menjadi bergetar.

Orang itu adalah seorang yang telah lanjut usia. Rambutnya telah memutih, namun wajahnya masih memancarkan kebesaran tekad serta keteguhan hati. Ketika orang itu melihat Mahesa Jenar, untuk beberapa lama ia berdiri mengawasinya. Tetapi kemudian ia bertanya, “Bukankah Anakmas Mahesa Jenar…?”

Mahesa Jenar dengan agak gugup membungkuk sambil menyahut, “Ya, Paman… akulah Mahesa Jenar.”
“Syukurlah… syukur bahwa aku benar-benar dapat bertemu dengan Anakmas setelah aku menempuh perjalanan yang sulit. Di manakah cucu Arya Salaka…?” lanjut orang itu.

345
MAHESA JENAR segera menjawab sambil menarik Arya Salaka, “Inilah… Paman.” Kemudian kepada Arya Salaka ia bertanya, “Lupakah kau dengan eyangmu…?”
Arya Salaka tidak menjawab. Tetapi matanya memancarkan sinar yang ganjil. Ia merasa seolah-olah berada dalam mimpi yang sama sekali tak diduganya.
“Inikah dia…” tanya orang itu tak percaya.
“Ya,” jawab Mahesa Jenar. “Inilah anak itu.”

Tiba-tiba orang itu maju selangkah lagi. Diraihnya anak yang sudah hampir melampaui dirinya, dan dipeluknya seperti anak-anak. Dari mata orang tua itu membayanglah suatu perasaan haru yang sangat, yang bahkan kemudian menjadi basah oleh titik-titik air mata.

“Akhirnya doaku serta doa seluruh penduduk Banyubiru dikabulkan oleh Tuhan Yang Maha Adil,” gumam orang itu dengan suara yang sesak parau. “Sehingga aku masih berkesempatan bertemu dengan Cucu Arya Salaka sebelum umurku ini berakhir.”

Arya Salaka menundukkan wajahnya, seolah-olah ia pun sedang berusaha untuk menyembunyikan perasaan haru yang dalam. Bahkan terasalah seakan-akan sesuatu menyumbat tenggorokannya.
Sejenak kemudian orang tua itu menggoyang-goyangkan tubuh Arya Salaka, seolah-olah ingin melihat keperkasaaannya. Katanya kemudian, “Kau berkembang dengan suburnya. Tubuhmu menjadi demikian gagahnya, melampaui ayahmu.”

Arya Salaka masih belum dapat menjawab. Ia menjadi bingung karena pertemuan yang tiba-tiba itu.
Kemudian Mahesa Jenar yang mewakili menjawabnya, “Karena pangestu Paman, Arya Salaka dapat tumbuh seperti yang aku harapkan. Mudah-mudahan aku tidak mengecewakan ayahnya.”

Setelah itu maka dipersilakanlah tamu-tamu itu untuk duduk kembali. Diperkenalkanlah Kebo Kanigara dengan orang tua itu. Orang pertama di Banyubiru sesudah Ki Ageng Gajah Sora. Dia adalah Wanamerta. Juga diperkenalkan lurah desa Gedangan, Wiradapa.

“Dari siapakah Paman dapat mengetahui bahwa aku berada di bukit ini?” tanya Mahesa Jenar.
“Dari Adi Wiradapa,” jawab Wanamerta. Dan seterusnya berceritalah Wanamerta, bagaimana ia dapat mengikuti jejak Mahesa Jenar dan Arya Salaka.

“Anakmas, aku berusaha secepatnya pergi ke Gedangan, suatu daerah yang belum pernah aku datangi. Sebab dari seseorang kepercayaanku, aku mendengar bahwa Anakmas beserta Arya Salaka pernah dijumpai oleh Cucunda Sawung Sariti di pedukuhan itu.

Menurut orang itu, Cucu Arya Salaka bahkan terlibat dalam suatu pertempuran yang katanya dibantu oleh seorang yang tak dikenalnya, dan mengaku ayahnya.

Aku menjadi pasti bahwa orang yang dimaksud adalah Anakmas Mahesa Jenar. Sebab sejak Cucunda Arya Salaka hilang dari Banyubiru, aku selalu mengharap agar Cucunda Arya Salaka meninggalkan Banyubiru bersama-sama dengan Mahesa Jenar, meskipun ada yang menduga bahwa Anakmas menjumpai kesulitan dengan diketemukannya Kuda Anakmas tanpa penumpang.”

Orang tua itu berhenti sejenak sambil membetulkan letak duduknya. Setelah menelan ludah, kemudian ia meneruskan ceritanya, “Beberapa saat setelah Sawung Sariti pulang, agaknya Pamingit mengadakan persiapan-persiapan baru dengan tidak mengikutsertakan Laskar Banyubiru.
Akhirnya yang aku dengar ialah, Sawung Sariti akan mengerahkan pasukan yang lebih kuat lagi untuk mencari Anakmas Mahesa Jenar dan Cucu Arya Salaka ke desa Gedangan. Karena itu aku tidak dapat berbuat lain kecuali berusaha untuk mendahuluinya, memberitahukan hal itu kepada Anakmas.
Tetapi sampai di Gedangan, atas ancar-ancar orang tadi, Anakmas sudah meninggalkan desa itu, pergi ke Padepokan Karang Tumaritis. Dan atas kebaikan hati Adi Wiradapa, ia berkenan mengantarkan aku kemari, sebab katanya Adi Wiradapa telah lama tidak bertemu dengan Anakmas Mahesa Jenar.
Meskipun mula-mula kami agak cemas, jangan-jangan Anakmas Mahesa Jenar telah meninggalkan padepokan ini.”

Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Apa yang sebenarnya dicemaskan sejak lama, kini ternyata benar-benar akan terjadi. Karena itu ia menjadi berpikir keras, bagaimanakah sebaiknya cara yang akan ditempuh untuk menyelamatkan desa Gedangan yang pasti akan menjadi ajang pertempuran. Dan karena itu pula agaknya Wiradapa sengaja mengantarkan Wanamerta.

Dalam pada itu kembali terdengar Wanamerta meneruskan ceritanya, “Yang lebih mencemaskan lagi, Anakmas… agaknya Sawung Sariti telah bersepakat dengan Janda Sima Rodra, yang menurut pendengaranku, suaminya terbunuh pula oleh Anakmas.”

Bagaimanapun dada Mahesa Jenar berdesir. Ini berarti akan datang kekuatan besar. Ia yakin bahwa dalam pasukan itu akan ikut serta Sima Rodra tua, bahkan mungkin Bugel Kaliki.

Tetapi agaknya Arya Salaka berpikir lain. Sebab tiba-tiba wajahnya menjadi cerah. Kemudian sahutnya, “Eyang Wanamerta… aku akan sangat bergembira apabila Adi Sawung Sariti sudi sekali lagi menemui aku. Sebab setelah sekian lama aku tidak bertemu, dan sesudah pertemuan kami yang hanya sekejap, aku menjadi rindu kepadanya.”

“Ah, kau…” potong Wanamerta.

“Aku memang mendengar bahwa atas asuhan Anakmas Mahesa Jenar, kau pada waktu itu dapat mengimbangi Sawung Sariti. tetapi karena itulah maka Sawung Sariti telah bekerja mati-matian mesu dhiri. Kakang Sora Dipayana agaknya percaya pada dongengan yang dibuatnya bersama ayahnya, Lembu Sora, sehingga dalam waktu yang pendek itu ia telah menggembleng Sawung Sariti bukan main. Bahkan ayah-beranak itu kini memiliki warisan kesaktian yang menakutkan dari Perguruan Banyubiru, yaitu Lebur Sakethi, meskipun dalam tingkatan yang belum sempurna.”
66

SEKALI lagi dada Mahesa Jenar berdesir. Lebur Sekethi adalah kesaktian yang luar biasa dahsyatnya. Aji itu dapat disejajarkan dengan aji Cundha Manik dari Perguruan Pandan Alas, Sasra Birawa dari Perguruan Pengging. Karena itu Ki Ageng Lembu Sora yang memiliki kekuatan melampaui manusia biasa dengan pedangnya yang tidak berukuran lumrah pasti akan menjadi seorang yang luar biasa pula.

Juga anaknya yang cerdik itu, pasti akan menjadi anak yang sangat berbahaya.

Mahesa Jenar kemudian menjadi menyesal pada keadaan, sehingga Ki Ageng Sora Dipayana dapat terseret dalam keadaan yang pasti tidak dikehendaki sendiri. Tetapi kemudian diingatnya bahwa orang tua itu sendiri berkata kepadanya, bahwa Lembu Sora adalah anak kesayangan istrinya. Tidak mustahil kalau karena keadaan itu Lembu Sora dapat memanfaatkannya dengan baik.

“Agaknya…” lanjut Wanamerta, “Kakang Sora Dipayana lebih percaya kepada cerita Lembu Sora bahwa Anakmas Gajah Sora telah tidak ada lagi. Dengan licinnya ia berpura-pura mengutus seseorang ke Demak untuk mendapat berita kematiannya. Sebab dalam perjalanan ke Demak, pada saat Anakmas Gajah Sora ditangkap, Laskar Banyubiru telah mengadakan suatu serangan secara tiba-tiba.”

“Suatu cerita atas kebohongan yang maha besar,” sahut Mahesa Jenar, “Sebab aku menyaksikan semuanya itu. Bahkan aku tahu pasti bahwa yang menyerang pasukan Demak adalah orang-orang Lembu Sora sendiri.”

Mendengar bantahan Mahesa Jenar itu, Wanamerta tersenyum. Lalu katanya, “Kami, Laskar Banyubiru, mengetahui kebohongan itu. Sebab andaikata apa yang dikatakan itu benar, kamilah orang-orangnya yang disebutnya Laskar Banyubiru, atau setidak-tidaknya aku mengetahui orang-orang itu.”

“Tidakkah Paman Wanamerta mengatakan hal itu kepada Paman Sora Dipayana?” tanya Mahesa Jenar.

“Aku sudah mencobanya,” jawab Wanamerta. “Tetapi agaknya keteranganku itu diragukan. Bahkan beberapa saat kemudian Ki Ageng Lembu Sora mulai bertindak memperkokoh kedudukannya di Banyubiru. Beberapa orang telah disingkirkan. Sawungrana sebagai kau ketahui telah dibinasakan. Sebelum itu Pandan Kuning telah dilenyapkan pula.”

“Paman Pandan Kuning…?” potong Arya Salaka hampir berteriak.

Wanamerta mengangguk kosong. Wajahnya yang sudah dipenuhi oleh garis-garis umur menjadi semakin berkerut-kerut. “Ya, Pandan Kuning hilang beberapa saat sebelum Sawungrana. Kemudian datang giliran Bantara dan Panjawi,” tegasnya.

“Juga kedua paman itu…?” kembali Arya berteriak.

“Untunglah bahwa kedua orang itu sempat mempertahankan dirinya, meskipun kemudian harus meninggalkan Banyubiru,” lanjut Wanamerta.

Mendengar kata-kata terakhir itu, tiba-tiba Arya meloncat maju. Sambil berdiri tegak di atas kedua kakinya yang kuat, anak itu menengadahkan wajahnya yang keras penuh gelora yang terlontar dari dadanya. Ia menjadi demikian marahnya sampai tubuhnya seperti orang kedinginan. Kemudian ia berkata dengan suara gemetar, “Tidakkah seorang pun dapat mencegah perbuatan itu…? Eyang Wanamerta, aku tidak akan menunggu sampai mereka datang mencari aku. Aku yang akan datang ke Banyubiru. Aku yakin bahwa sebagian besar dari penduduk Banyubiru masih setia kepada ayah Gajah Sora. Aku akan datang atas nama pimpinan tanah Perdikan Banyubiru yang sebenarnya.”

Semua yang menyaksikan tingkah laku Arya Salaka itu dadanya menjadi bergetar. Agaknya dalam dada anak itu benar-benar mengalir darah kepemimpinan yang kuat dengan penuh rasa tanggung jawab, meskipun masih dipengaruhi oleh masa remajanya yang melonjak-lonjak. Lebih – lebih Wanamerta. Sekali lagi hatinya dirangsang oleh perasaan haru yang mendalam, sehingga kembali matanya tampak mengaca. Tetapi ia adalah seorang yang telah banyak merasakan pahit manisnya kehidupan. Juga dialah yang paling mengetahui keadaan Banyubiru yang sebenarnya.

Karena itu dengan sabarnya Wanamerta mencoba menenangkan hati Arya Salaka. “Duduklah cucuku Arya Salaka. Kau benar-benar seperti ayahmu pada saat-saat seumur kau ini. Tetapi dalam segala tindakan haruslah dipikirkan sampai titik-titik yang sekecil-kecilnya, untung dan ruginya.”

Arya kemudian menjadi tersadar dari gelora hatinya, sehingga ditundukannya wajahnya. Ia kemudian menjadi agak malu kepada dirinya sendiri, yang seolah-olah menjadi seorang perkasa yang tak terlawan. Sedang di dekatnya duduk orang-orang seperti gurunya Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, dan yang lain.

Kemudian bahkan keadaan menjadi hening. Yang terdengar hanyalah angin pegunungan yang berdesir di dedaunan. Udara malam yang dingin terasa mengusap tubuh. Sesaat kemudian barulah Wanamerta mulai berbicara kembali, “Anakmas Mahesa Jenar… terserahlah atas segala pertimbangan Anakmas. Apakah yang sebaiknya kita lakukan.”

Mahesa Jenar sekali lagi mengerutkan keningnya. Meskipun sebelum ia sampai ke Banyubiru beberapa tahun lalu tidak ada sangkut pautnya dengan tanah perdikan itu, namun sekarang tiba-tiba ia seakan-akan menjadi orang yang ikut bertanggungjawab. Tetapi ia tidak akan menyingkirkan diri dari kepercayaan Wanamerta kepadanya. Juga ia sendiri pernah menyatakan kesanggupannya untuk membantu segala kesulitan yang mungkin timbul atas tanah perdikan itu kepada Gajah Sora. Tentang Ki Ageng Sora Dipayana, Mahesa Jenar menduga pastilah ada sebab-sebab lain kenapa orang tua itu berbuat demikian.

Sementara itu kembali terdengar Wanamerta meneruskan, “Kelakuan Anakmas Lembu Sora tidak berhenti sampai sekian. Yang terakhir adalah usahanya untuk menyingkirkan aku pula. Tetapi agaknya ia menemui kesulitan sehingga rencana itu tertunda-tunda. Sedang aku sendiri sempat pula berusaha untuk menjaga diriku. Sampai kemudian aku mendengar khabar akan usahanya untuk mencari kembali Anakmas Mahesa Jenar dan cucuku Arya Salaka. Demikianlah, Anakmas, keadaan Banyubiru. Sedemikian rumitnya sehingga aku tidak sabar menunggu sampai besok.”

347

MAHESA Jenar kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. beberapa saat kemudian ia menjawab seperti orang bergumam kepada diri sendiri, “Tetapi agaknya mereka tidak akan ke Gedangan. Sebab Sima Rodra itu tahu pasti bahwa aku dan Arya Salaka telah meninggalkan pedukuhan itu. Bahkan merekapun telah pernah mengepung bukit kecil ini.”

“Tetapi mereka tidak menemukan Anakmas di sini,” sahut Wanamerta. “Aku telah mendengar hal itu pula. Namun agaknya Anakmas Sawung Sariti masih menduga bahwa Anakmas dan Cucu Arya berada di sekitar Gedangan dan Karang Tumaritis.”

Masalahnya ternyata akan menjadi luas. Menyangkut daerah Gedangan dan sekaligus padepokan yang damai ini. Beberapa saat yang lalu, daerah yang seolah-olah tidak pernah tersentuh tangan – tangan dari luar padepokan ini telah dikacaukan oleh kedatangan gerombolan orang-orang Sima Rodra untuk mencarinya, sekarang agaknya akan mengalami keributan sekali lagi.

Apalagi ketika kemudian terdengar Wiradapa berkata, “Adimas Mahesa Jenar, agaknya aku tidak dapat berbuat lain daripada menyerahkan hidup mati rakyatku kepada Adimas. Sebab aku tahu apa yang akan terjadi seandainya kami, orang-orang Gedangan sendiri yang harus mempertahankan diri atas dendam Sawung Sariti yang menemui kegagalan di desa kami, dan sekaligus dendam yang tersimpan di dada Janda Sima Rodra atas kematian suaminya.”

Mahesa Jenar dapat mengerti sepenuhnya keadaan itu. Karena itu ia harus menemukan suatu cara untuk mengatasi keadaan.

Tiba-tiba bertanyalah ia kepada Wanamerta, “Paman…, di manakah Bantaran dan Panjawi sekarang?”
“Aku sudah mencoba untuk menghubungi,” jawabnya. Mahesa Jenar menjadi semakin tertarik pada keterangan itu, katanya, “Apakah Paman berhasil…?”

Wanamerta menggelengkan kepalanya, jawabnya, “Sayang…, tidak. Tetapi setidak-tidaknya aku pernah mendengar kabar tentang kedua orang itu. Agaknya mereka telah berhasil menyusun barisan meskipun masih terlalu lemah. Bahkan diantara mereka ada beberapa orang yang belum kami kenal, yang datang dari daerah Candi Jonggrang. Ia menggabungkan dirinya karena ia sudah mengenal beberapa hal mengenai keadaan Banyubiru.”

“Siapa orang itu…?” tanya Mahesa Jenar.

“Aku belum tahu pasti,” jawab Wanamerta. “Menurut pendengaran diantaranya bernama Mantingan dan Wirasaba.”

“Mantingan dan Wirasaba…?” ulang Mahesa Jenar hampir berteriak.

Wanamerta mengangguk. Namun ia menjadi keheranan. Agaknya Mahesa Jenar pernah mendengar nama-nama itu. Karena itu ia bertanya, “Adakah Anakmas pernah mengenal mereka?”

Mahesa Jenar mengangguk lemah. Jawabnya, “Ya, aku pernah mengenal mereka. Mantingan memang pernah datang ke daerah Banyubiru. Ia tahu mengenai persoalan Arya. Aku pernah mengatakan kepadanya.”

“Syukurlah,” gumam Wanamerta, “Ada juga kawan-kawan yang akan membantu kami.”

Kembali suasana dicekam oleh kesepian. Masing-masing dengan angan-angannya sendiri. Kebo Kanigara yang sejak tadi berdiam diri, nampak juga berpikir. Sebab ia pun akhirnya akan langsung berkepentingan seandainya pasukan Sawung Sariti tiba.

Panembahan Ismaya sama sekali tidak menghendaki kekerasan. Namun apakah ia akan tinggal diam seandainya sekali lagi ada orang lain yang ingin merusakkan kedamaian bukit ini.

Sedang Mahesa Jenar ternyata kemudian tidak pula dapat meningggalkan Kebo Kanigara. Sebab dalam anggapannya, sepeninggal gurunya, maka Kebo Kanigara yang dijumpainya kemudian itu, dapat dianggap sebagai gantinya, meskipun umurnya jauh dibawah umur gurunya.

Karena itu maka kemudian terdengar Mahesa Jenar berkata, “Bagaimana sebaiknya Kakang Kanigara…?”

“Kapankah kira-kira Sawung Sariti akan membawa orang-orangnya…?” ia bertanya langsung kepada Wanamerta.
“Segera Anakmas,” jawab Wanamerta, “Pada saat aku berangkat, semua persiapan sudah selesai.”

Kanigara mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Mereka datang dengan pasukan, Mahesa Jenar.

Kau tidak akan dapat melawannya seorang diri, atau bersama-sama dengan dua tiga orang saja.”
“Ya,” sahut Mahesa Jenar, “Aku juga harus melawannya dengan pasukan.”

Tiba-tiba menyelalah Lurah Gedangan, “Adimas Mahesa Jenar, meskipun sedikit ada juga laskar di Gedangan. Apabila mereka berada dalam pimpinan yang kuat, aku kira mereka tidak akan terlalu mengecewakan. Bagaimanapun juga mereka akan menyerahkan dirinya untuk mempertahankan kampung halamannya.”

Mahesa Jenar dan Kanigara bersama-sama mengangguk-anggukkan kepalanya. Agaknya mereka sependapat bahwa kemungkinan untuk mempergunakan laskar Gedangan tidak dapat dihindari lagi.
Tetapi diantara mereka tampaklah Arya Salaka menundukkan kepalanya. Didalam hatinya melilitlah suatu perasaan sesal yang dalam. Ia menyesal pada keadaannya yang kurang baik. Ia menyesal pada keadaan keluarganya. Satu-satunya pamannya yang seharusnya memberi pengayoman kepadanya, justru telah mengkhianatinya.

Dalam pada itu malam menjadi semakin dalam. Bintang-bintang di langit berkedipan dengan lelahnya. Embun malam satu-satu mulai menggantung di dedaunan.

Sesaat kemudian dipersilahkanlah tamu-tamu itu untuk beristirahat. Sedang di ruang itu kemudian tinggallah Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Rara Wilis. Namun pembicaraan mereka masih belum berkisar sama sekali dari masalah pasukan-pasukan Pamingit yang bakal datang.

“Mahesa Jenar…” kata Kebo Kanigara, “Kau adalah seorang bekas prajurit yang mumpuni. Aku kira dalam hal ini kau lebih berpengalaman daripadaku. Karena itu, aku minta kau mengusahakan agar apa yang akan terjadi nanti tidak mengganggu ketenteraman hidup di atas bukit kecil ini.”

348
MAHESA JENAR nampak berpikir keras. Akhirnya ia menjawab, “Kakang…, aku kira pasukan itu akan benar-benar merupakan pasukan yang kuat. Karena itu, menurut perhitunganku, sebaiknya kami tidak menunggu pasukan itu sampai datang di daerah bukit ini atau pedukuhan Gedangan. Tetapi sebaiknya kami harus menyongsong pasukan itu. Kami sergap mereka di perjalanan. Mudah-mudahan mereka tidak akan menduga bahwa hal itu akan terjadi.”

Kebo Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya. Agaknya rencana itu baik. Karena itu jawabnya, “Bagus…. Aku sependapat dengan kau. Daerah yang berbukit-bukit ini akan banyak memberikan keuntungan pada kita.”

Demikianlah akhirnya mereka bersepakat, bahwa mereka tidak akan menanti pasukan Pamingit itu sampai ke daerah ini, tetapi mereka akan mempergunakan laskar dari Gedangan untuk menyongsongnya.

Malam itu hampir tak ada seorang pun yang dapat tidur. Apalagi Arya Salaka. Kepalanya dipenuhi oleh berbagai masalah yang menghentak-hentak. Namun ia bersyukurlah kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, bahwa meskipun pamannya sendiri sampai hati untuk membinasakan, tetapi diletakkan-Nya orang lain, yang sebenarnya tidak ada sangkut paut apapun, untuk melindunginya.

Pagi itu, ketika di timur fajar merekah, Kanigara telah menghadap Panembahan Ismaya. Diuraikan semuanya yang didengar dari Wanamerta, Wiradapa dan Mahesa Jenar tentang kemungkinan kemungkinan yang bakal terjadi. Tampaklah betapa pedih hati orang tua itu. Sebenarnya ia sama sekali tidak mau melihat atau mendengar tentang pertempuran-pertempuran dan perkelahian-perkelahian.

“Panembahan…” Kanigara mencoba menjelaskan, “Apa yang akan kami lakukan adalah suatu usaha untuk menghindarkan pertumpahan darah yang dapat mengganggu ketenteraman bukit kecil ini. Karena itu dengan terpaksa kami harus menyambut kedatangan mereka sejauh mungkin dari tempat ini. Sebab kalau tidak, akibatnya akan tidak menyenangkan sekali. Jauh lebih tidak menyenangkan dari kedatangan rombongan yang kemarin mengepung bukit ini.”

Panembahan Ismaya tidak dapat mengatasi keterangan Kanigara lagi. Karena itu katanya, “Terserahlah kepadamu Kanigara. Tetapi janganlah menjadi kebiasaan, bahwa sesuatu masalah, harus diselesaikan dengan pertumpahan darah.”

Kanigara menundukkan kepala. Perkataan Panembahan Ismaya itu merupakan suatu peringatan langsung kepadanya, bahwa bagaimanapun juga, Panembahan itu lebih senang apabila setiap persoalan dapat diselesaikan dengan musyawarah.

Tetapi keadaan kali ini adalah sedemikian sukarnya untuk diatasi dengan jalan itu. Masalahnya adalah pertentangan kepentingan yang sama sekali berlawanan. Satu pihak ingin menelan suatu daerah yang sama sekali bukan haknya, sedang satu pihak yang lain ingin mempertahankan haknya atas daerah itu.

Apapun alasannya kemudian, tetapi hakekatnya adalah perkembangan dari masalah itu juga.

Demikianlah, maka mereka yang merasa berkepentingan segera mempersiapkan dirinya. Baik jasmaniah maupun rohaniah. Mereka masing-masing telah membulatkan tekad, untuk melawan kekuatan yang merupakan pengejawantahan dari keserakahan itu dengan mati-matian.

Pagi hari itu juga, Wanamerta, Wiradapa dan Mahesa Jenar, dibawa menghadap Panembahan Ismaya. Kecuali untuk memperkenalkan diri, sekaligus mereka mohon pangestu untuk menjalani kewajiban luhurnya. Setelah mendapat beberapa petunjuk dan nasehat, segera mereka meninggalkan bukit kecil itu, menuju ke Gedangan. Kanigara, Rara Wilis, Arya Salaka tidak ketinggalan. Bahkan Widuri pun tidak mau berpisah dengan ayahnya. Karena itu, iapun ikut serta dalam rombongan kecil itu.

Ketika mereka sampai di padukuhan Gedangan, segera terjadilah kesibukan. Mahesa Jenar mulai mengatur segala persiapan yang diperlukan. Laskar Gedangan dibaginya dalam beberapa kelompok. Dalam waktu yang singkat ia harus sudah dapat membentuk laskar itu menjadi laskar yang siap untuk bertempur melawan laskar yang mempunyai pengalaman luas dalam peperangan.

Yang dapat membantunya dalam pembentukan dan persiapan itu hanyalah Kanigara dan Wanamerta. Sebab meskipun Wilis dan Arya mempunyai ilmu yang cukup, namun mereka belum berpengalaman dalam gelar perang. Mereka hanya memiliki kemampuan dalam hal berkelahi seorang lawan seorang.

Meskipun demikian, Mahesa Jenar dapat memanfaatkan pula Arya Salaka. Dilatihnya anak itu untuk menjadi salah seorang pimpinan kelompok. Sedang kelompok-kelompok yang lain diserahkannya kepada Wanamerta, Kanigara dan dirinya sendiri.

Pada hari kelima, sejak mereka mulai mengadakan persiapan-persiapan, datanglah seseorang berkuda ke pedukuhan itu. Ternyata orang itu adalah salah seorang yang ditugaskan oleh Wanamerta untuk mengamati gerak-gerik pasukan Pamingit. Menurut laporannya, pasukan Pamingit telah mulai bergerak.

Mereka mengambil jalan selatan, lewat Gunung Tidar dan kemudian menyusur hutan-hutan yang tak begitu lebat diantara gunung Sumbing dan Sindara, untuk kemudian sampai ke Wanasaba. Dari sana mereka menyusun panjatan langsung dan menyebarkan orang-orangnya mencari Mahesa Jenar dan Arya Salaka.

Mendengar laporan itu Mahesa Jenar berpikir keras. Mereka harus mengusahakan agar pasukan dari Pamingit yang bergabung dengan gerombolan Gunung Tidar itu datang bersama-sama, supaya rencana penyergapan dapat berlangsung.

Demikianlah sambil mencari jalan sebaik-baiknya untuk menjebak pasukan dari Pamingit itu, mereka dengan semangat yang menyala-nyala melatih diri. Siang dan malam tak henti-hentinya.

Disamping itu, setiap orang berusaha untuk meningkatkan kemampuan perseorangan pula. Tidak saja laskar Gedangan, tetapi juga Arya Salaka, Rara Wilis, bahkan Mahesa Jenar sendiri. Mereka dalam waktu-waktu yang luang, betapapun sempitnya, selalu dipergunakan sebaik-baiknya.

349

PADA hari yang keduabelas, sekali lagi datang seorang berkuda. Orang itu juga salah seorang petugas Wanamerta. Ia datang dengan membawa laporan bahwa orang-orang Pamingit bersama-sama rombongan dari Gunung Tidar telah berada di sekitar Wanasaba. Bahkan mereka sudah bergeser lagi sedikit ke utara. Dari sana mereka berusaha untuk menyebar orang-orangnya di seluruh daerah pegunungan ini sampai ke daerah-daerah di sekitarnya. Sebab menurut mereka, usaha ini harus merupakan usaha yang terakhir. Arya Salaka haus dapat ditangkap hidup atau mati.

“Siapa yang ikut dalam rombongan itu?” tanya Mahesa Jenar.

“Sawung Sariti, Janda Sima Rodra, Jaka Soka…” jelas orang itu.

“Juga Jaka Soka?” tanya Mahesa Jenar kembali.

“Ya, agaknya iapun merasa mempunyai kepentingan,” jawab orang itu.

Mendengar keterangan itu, meremanglah bulu-bulu kuduk Rara Wilis. Sekarang sebenarnya ia sudah tidak perlu takut lagi apabila ia harus berhadapan dengan orang itu sebagai lawan, meskipun ia masih kalah pengalaman. Namun setidak-tidaknya ia akan dapat menjaga dirinya. Meskipun demikian, apabila ia mendengar nama itu, tubuhnya terasa juga meremang. Sebab ia sudah terlanjur ngeri mendengar nama itu.

“Orang lain lagi…?” desak Mahesa Jenar.

“Yang mengerikan diantaranya mereka terdapat Sima Rodra tua dan Bugel Kaliki,” jawabnya.

“Sudah kami duga sebelumnya,” sahut Mahesa Jenar.

Oleh keterangan-keterangan itu, maka Mahesa Jenar harus menyesuaikan rencanya. Tetapi belum lagi ia dapat menemukan pemecahan yang baik, tiba-tiba pada hari kelimabelas datanglah seroang dengan keterangan yang mengejutkan. Katanya, “Sebuah rombongan kecil telah menyusur lambung Gunung Perahu, menuju ke daerah ini juga. Mereka dipimpin langsung oleh Sepasang Uling dari Rawa Pening.

Wanamerta mengerutkan keningnya. Dari wajahnya yang tua itu, memancarlah api kemarahan tiada terhingga. “Sungguh merupakan usaha gila-gilaan. Uling itu akan bersyukur juga kalau Banyubiru jatuh ke tangan Lembu Sora. Sebab dengan demikian ia akan semakin leluasa bergerak di daerah Rawa Pening,” katanya geram.

“Bukan itu saja Paman…” potong Mahesa Jenar, “Tetapi sebentar lagi daerah-daerah itu akan
ditelannya. Pamingit oleh Sima Rodra, dan Banyubiru oleh sepasang Uling itu.”

Kembali terdengar gigi orang tua itu menggeretak. Lembu Sora baginya tidak kurang dan tidak lebih dari seorang yang sama sekali mengabdi kepada kepentingan sendiri, yang bahkan tega mengorbankan saudara tuanya.

Tetapi mereka tidak cukup dengan mengumpat-umpat saja. Untuk mengatasi bahaya yang akan datang, Mahesa Jenar dan kawan-kawannya harus bersiaga. Mereka menempatkan beberapa orang untuk dapat mengawasi setiap gerakan yang mencurigakan.

Ketika Mahesa Jenar telah merasa bersiap, maka ia tidak perlu lagi menunggu lebih lama. Bahkan kalau mungkin ia melawan rombongan itu satu demi satu. Sebab apabila kekuatan kedua rombongan itu bergabung, akan merupakan kekuatan yang mungkin sulit untuk diimbangi. Namun meskipun demikian, pantang ia menyingkirkan diri. Sebab dengan demikian ia akan membebankan segala dendam kepada penduduk Gedangan.

Maka yang mula-mula dilakukan adalah memancing pertempuran dengan rombongan Sawung Sariti secepatnya. Tetapi cara yang mula-mula dipikirkan, untuk mencegat rombongan itu, terpaksa dipertimbangkan kembali. Sebab setiap saat rombongan Uling dapat datang dari jurusan lain.

Demikianlah ketika pada suatu hari beberapa orang pengawas dapat menangkap seorang yang dicurigai, Mahesa Jenar berhasrat untuk melakukan maksudnya.

Setelah Mahesa Jenar mempersiapkan pasukannya dalam kesiagaan penuh, dipanggilnya orang tangkapan itu menghadap. Maka bertanyalah ia kepadanya, “Siapakah kau?”

“Aku seorang perantau, Tuan…, yang berjalan dari satu tempat ke tempat lain untuk menyambung hidup,” jawabnya.

Mahesa Jenar tersenyum, lalu katanya, “Dari manakah asalmu?” Orang itu ragu sebentar, kemudian jawabnya, “Banyubiru, Tuan.”

“Bagus…” desis Mahesa Jenar. “Katakan kepadaku siapakah kepala daerah perdikanmu?” Kembali orang itu ragu. Namun akhirnya ia menjawab pula, “Ki Ageng Lembu Sora.”

“Bagus, kau berkata sebenarnya,” sahut Mahesa Jenar. “Di mana sekarang Lembu Sora itu?”

“Di Banyubiru, Tuan” jawabnya.
“Di mana anaknya?” desak Mahesa Jenar.
Orang itu diam merenung. Tampaklah wajahnya mulai gelisah.
“Di mana?” bentak Mahesa Jenar.
“Di Pamingit, Tuan” jawabnya.
“Kau mulai tidak berkata sebenarya,” sahut Mahesa Jenar. “Aku akan mencoba memaksamu supaya kau tidak berkata demikian.”

350

ORANG itu menjadi semakin gelisah. Apalagi ketika tiba-tiba Mahesa Jenar minta seseorang memanggil Wanamerta. Demikian Wanamerta muncul, mengalirlah keringat dingin di punggung orang itu. Sebagai seorang laskar Pamingit, ia pernah mengenal Wanamerta sebagai orang kedua di Banyubiru, yang harus selalu berhubungan dengan Ki Ageng Lembu Sora dalam hal pemerintahan, meskipun ada usaha-usaha untuk menyingkirkannya.

Melihat orang itu, Wanamerta tersenyum. Ia pun sekali dua kali pernah melihat orang itu. Karena itu bertanyalah Wanamerta, “Aku mengucapkan selamat atas kedatanganmu Ki Sanak.”

Keringat dingin di punggungnya menjadi semakin banyak mengalir. Ia sama sekali tidak menduga bahwa Wanamerta berada di tempat itu. Karena itu ia sama sekali tidak dapat menjawab sapanya. Sehingga kembali terdengar Wanamerta meneruskan, “Aku sudah lama menunggu salah seorang sanak keluarga dari Pamingit yang sudah menengokku di sini. Sekarang agaknya ada juga yang datang, malahan agaknya dalam jumlah yang cukup banyak.”

Orang itu masih berdiam diri. Ia tidak tahu apa yang akan dikatakan. Sebab agaknya Wanamerta telah mengetahui gerakan yang dilakukannya.

“Ki Sanak…” kata Mahesa Jenar kemudian, “Kau tidak usah takut. Bukankah kau mendapat perintah untuk mencari Arya Salaka…?”

“Tidak Tuan,” jawab orang itu bergetar mencoba menutupi kesalahannya.

“Jangan bohong. Aku tidak apa-apa. Bahkan aku akan membantumu. Katakan kepada pimpinanmu, bahwa apa yang dicarinya masih ada di Gedangan. Tidak usah ia mencari kemana-mana. Juga tidak usah ke Karang Tumaritis.”

Orang itu menjadi semakin bingung. Apalagi dalam pada itu tiba-tiba dilihatnya Wanamerta menarik belati dari pinggangnya.

“Ampun…, ampun tuan….” teriak orang itu.

Wanamerta tersenyum, katanya, “Ki Sanak. Telah sekian lama aku menahan diri. Sekarang aku ingin menumpahkan kemarahanku kepadamu. Bukankah kau salah seorang dari mereka yang telah mengeruhkan suasana Banyubiru…?”

“Tidak Tuan, aku hanya sekedar mendapat perintah,” jawab orang itu ketakutan.

Dalam pada itu Mahesa Jenar pun kemudian menjadi cemas. Ia tidak berhasrat untuk menciderai orang yang hanya merupakan seorang pesuruh saja. Apalagi dengan demikian, maksudnya untuk memancing pertempuran akan tertunda.

Agaknya Wanamerta mengetahui perasahaan Mahesa Jenar itu. Maka katanya, “Jangan takut Ki Sanak. Aku tidak akan membunuhmu. Tetapi aku ingin membuat suatu kenang-kenangan padamu, bahkan suatu bukti bahwa kau telah melakukan kewajibanmu dengan baik.”

Sehabis berkata demikian, Wanamerta yang sudah tua itu meloncat dengan garangnya, dan hampir tak dapat diikuti gerakannya, tiba-tiba di dahi orang itu telah terdapat dua goresan bersilang. Baru kemudian disusul oleh sebuah jeritan kesakitan. Dari luka itu mengalirlah darah yang merah segar.

Mahesa Jenar sendiri terkejut melihat hal itu. Namun ia tidak dapat mencegahnya. Ia menyadari betapa geram orang tua itu terhadap Lembu Sora dan orang-orangnya.

“Nah…” kata Wanamerta kemudian, “Pergilah. Katakan kepada Sawung Sariti, bahwa Arya Salaka dan Mahesa jenar masih berada di Gedangan. Bahkan Wanamerta yang tua pun berada di sana. Dengan demikian kau akan mendapat tanda jasa atas hasil pekerjaan yang kau lakukan.”

Bagaimanapun juga orang itu adalah seorang laki-laki. Karena itu ia menjadi tersinggung sekali atas perlakuan itu. Dihina terasa pedih sekali, sedang darah yang mengucur dari luka itu telah membasahi baju serta kainnya, membuat gambaran-gambaran merah yang mengerikan.

Tetapi dalam pada itu ia merasa bahwa ia tidak akan dapat melawan Wanamerta dan Mahesa Jenar. Maka yang dapat dilakukan kemudian hanyalah mengumpat habis-habisan, “Tuan-tuan telah menghina aku. Ini berarti bahwa Tuan-tuan telah menghina pimpinanku. Jangan Tuan mengira bahwa Tuan akan luput dari hukumannya. Tunggulah Tuan…. Aku akan kembali sekali lagi dan menggoreskan silang ke dahi Tuan.”

Sekali lagi Wanamerta tersenyum aneh, jawabnya, “Pergilah sebelum aku menambah kenang-kenangan pada tubuhmu. Katakan kepada pemimpinmu, bahwa seandainya mereka yang datang, pada dahi merekalah aku akan membuat tanda silang itu.”

Penghinaan itu sudah melampaui batas. karena itu, orang itu sudah tidak mau menunggu lagi. Cepat ia meloncat lari secepat-cepatnya kembali menghadap Sawung Sariti.

Sepeninggal orang itu, segera Mahesa Jenar mengatur pasukannya. Sebab orang yang dilukai oleh Wanamerta itu pasti akan menambah-nambah cerita. Dan kalau demikian maka keadaan akan menguntungkan sekali. Sehingga Mahesa Jenar tidak harus melawan dua rombongan dari jurusan yang berbeda sekaligus, dibawah pimpinan masing-masing, orang-orang buas yang sakti.
Demikianlah apa yang diharapkan itu datanglah.
Pada pagi berikutnya, seorang pengawas melaporkan bahwa dari arah selatan tampaklah barisan berobor, mendekati Gedangan. Itulah barisan Sawung Sariti.

Mahesa Jenar cepat menyiapkan orang-orangnya. Ia sendiri beserta Kanigara memimpin laskar yang langsung akan melawan pasukan yang datang, sedang Arya dan Wanamerta dibantu oleh Wiradapa diperintahkannya untuk kemudian menyerang dari sayap kiri dan kanan. Dengan demikian Mahesa Jenar dan Kanigara akan dapat lebih dahulu memilih lawan-lawannya. Apabila Bugel Kaliki dan Sima Rodra berada dalam pasukan itu juga, seharusnya kedua orang itu menjadi kewajiban Mahesa Jenar dan Kanigara.

Untunglah bahwa di Karang Tumaritis, Mahesa Jenar atas tuntunan tidak langsung dari Kebo Kanigara, telah menemukan inti dari ilmunya, setelah ia berhasil ngraga sukma. Dengan demikian ia tidak perlu lagi gentar menghadapi Si Bongkok dari Gunung Cerme atau Harimau Liar dari Lodaya itu.
67351
KEMAMPUAN Kebo Kanigara sendiri tak perlu diragukan lagi. Ia adalah saudara seperguruan ayahnya, Ki Ageng Pengging Sepuh, bahkan ia memiliki kesegaran yang lebih muda dalam olah kanuragan. Sehingga beberapa orang mengatakan bahwa Kebo Kanigara mempunyai beberapa kelebihan dibanding ayahnya.

Pasukan berobor itu kemudian berhenti tidak seberapa jauh dari Gedangan. Agaknya mereka menunggu sampai fajar menyingsing.

Demikianlah ketika matahari telah menjenguk dari balik cakrawala. Bersiaplah kedua pasukan yang sudah saling berhadapan itu. Meskipun demikian, agaknya Sawung Sariti ingin menunjukkan kebaikan hatinya. Dengan panji-panji putih yang tersangkut pada tunggul yang masih tersawung, ia dengan beberapa orang datang mendekati laskar Gedangan. Wajahnya yang cerah membayangkan suatu keyakinan atas kekuatan diri.

Melihat wajah itu Mahesa Jenar menjadi bersedih hati. Matanya membayangkan kecerdasan otaknya, sedang langkahnya tetap menunjukkan bahwa Sawung Sariti adalah seorang anak yang berani. Apalagi dibawah asuhan seorang sakti yang bernama Ki Ageng Sora Dipayana. Sayang bahwa di dalam dadanya tersembunyi beberapa titik-titik hitam yang mengotori kebesaran pribadinya.

Di belakangnya berjalan dua orang pengawalnya. Seorang yang bertubuh tinggi agak kurus. Mukanya runcing bermata sipit. Dengan alis yang tebal hampir bertemu pangkalnya. Sedang yang seorang lagi bertubuh besar kekar.

Meskipun ia tidak setinggi orang yang pertama, namun ia termasuk seorang yang tinggi pula. Matanya tajam memandang ke depan, seperti mata burung hantu. Di pinggang kedua orang itu tergantung masing-masing sebuah pedang panjang, sedang di lambung yang sebelah terselip pisau-pisau belati pendek.

Mahesa Jenar-lah yang kemudian melangkah ke depan, menerima kedatangan Sawung Sariti, yang ketika itu telah berdiri berhadapan, dengan hormatnya anak muda itu membungkukkan badannya. Mahesa Jenarpun kemudian membalas membungkukkan badan pula.

“Paman Mahesa Jenar…” Sawung Sariti memulai, “Maafkanlah kalau beberapa bulan yang lewat aku tidak mengenal Paman.”

“Ah, tak apalah,” jawab Mahesa Jenar.

Kemudian Sawung Sariti meneruskan, “Kedatanganku sebenarnya tidaklah bermaksud jahat. Meskipun Paman beserta Eyang Wanamerta telah melukai salah seorang pesuruhku, namun aku dapat memaafkan kesalahan kalian berdua.”

Mendengar perkataan itu Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Sejak pertemuannya yang pertama, ia telah menyesali kesombongan anak itu.

“Maksud kedatangan kami…” Sawung Sariti meneruskan, “Sekadar untuk memenuhi permintaan Eyang Sora Dipayana. Demikian rindunya Eyang Sora Dipayana kepada Kakang Arya Salaka, sehingga aku terpaksa mencarinya untuk membawanya menghadap.”

Mahesa Jenar tersenyum pahit, sepahit hatinya melihat kenyataan yang tidak menyenangkan itu. Kemudian jawabnya dengan tenang, “Baiklah Sawung Sariti, biarlah besok atau lusa Arya Salaka segera menghadap. Ia pun telah merasa sangat rindu kepada pepundennya.”

Sawung Sariti mengangguk-angguk kecil. Agaknya Mahesa Jenar bukan orang yang dapat diperolok-olok. Meskipun demikian ia berkata meneruskan, “Kenapa besok? Bukankah sekarang ini Kakang Arya Salaka tidak sedang berhalangan, Paman…? Mumpung hari masih pagi, biarlah Kakang Arya kita bawa menghadap. Syukurlah kalau Paman sudi ikut serta dengan kami.”

“Sayang…” jawab Mahesa Jenar, “Barangkali Arya keberatan. Ia lebih senang melihat barisan segelar sepapan yang sedang mengadakan latihan pendakian dan penyusupan di daerah bukit-bukit sekitar Gedangan ini, daripada tergesa-gesa membuat perjalanan ke Banyubiru.”

Dada Sawung Sariti berdebar karenannya. Ternyata bahwa Mahesa Jenar bukan sejenis orang-orang bodoh yang menjadi kebingungan berhadapan dengan putra Kepala Daerah Perdikan Pamingit itu.
Karena itu Sawung Sariti kemudian berkata, namun sudah tidak setenang semula, “Sayang…. Tetapi Eyang berkehendak demikian.”

Kembali Mahesa Jenar tersenyum pahit. Sebenarnya ia merasa tersinggung atas sikap Sawung Sariti yang menganggapnya sebagai seorang yang sedemikian bodohnya. Sebaliknya, Sawung Sariti pun menjadi kisruh.

Semula ia ingin memutarbalikkan perkataan-perkataannya untuk mempermainkan Mahesa Jenar. Namun akhirnya ternyata ia sendiri yang menjadi gelisah oleh jawaban-jawaban Mahesa Jenar yang sama sekali tak diduga-duga itu.

Sesaat kemudian terdengarlah Mahesa Jenar menjawab, “Anakmas Sawung Sariti tidak perlu tergesa-gesa. Aku ingin mempersilakan Anakmas untuk beristirahat barang sehari dua hari di pedukuhan ini untuk menikmati cerahnya matahari di lembah terpencil ini.”

Ternyata kemudian Sawung Sariti sudah tidak dapat lagi mengendalikan perkataannya. “Aku tidak punya waktu. Aku ingin membawa Kakang Arya Salaka sekarang juga.”

Mahesa Jenar tertawa pendek. Ia menjadi agak geli melihat anak yang sombong itu nampak jengkel.

Maka jawabnya, “Tidak baik kau memaksanya, Sawung Sariti.”

“Baik atau tidak baik aku tidak peduli,” bentak Sawung Sariti.

“Demikiankah yang diperintahkan eyangmu…?” tanya Mahesa Jenar.

Sawung Sariti yang tidak menduga mendapat pertanyaan yang demikian, menjadi kebingungan. Beberapa saat kemudian barulah ia menjawab sekenanya, “Aku tidak peduli apakah Eyang setuju dengan caraku ini atau tidak. Hal itu terserah kepadaku.”

“Karena itu kau bawa pasukanmu bersama-sama dengan laskar dari Gunung Tidar…?” sahut Mahesa Jenar.

352
SEKALI lagi Sawung Sariti kebingungan. Karena itu maka terasalah keringat dingin mengalir di punggungnya. Dengan tak disengajanya dilayangkanlah pandangan matanya kepada pasukannya yang berhenti tidak jauh dari tempatnya berdiri. Melihat pasukannya, ia jadi berbesar hati. Diantaranya terdapat orang-orang pilihan seperti Galunggung, orang yang dipercaya penuh oleh ayahnya untuk memimpin pasukan Pamingit yang berjumlah besar itu. Janda Sima Rodra, dan Jaka Soka.

Dan yang lebih hebat lagi, di dalam pasukannya itu pula terdapat dua orang tokoh sakti yang jarang ada bandingnya, yang dendamnya setinggi gunung tersimpan di dalam dadanya, Sima Rodra dari Lodaya yang baru saja kehilangan menantunya dan Bugel Kaliki, Si Bongkok dari Lembah Gunung Cerme. Oleh kebanggaannya itu timbul pulalah kesombongan Sawung Sariti. Katanya, “Paman, ketahuilah bahwa orang-orang semacam Sima Rodra tua dan Bugel Kaliki itu tunduk pada perintahku. Apakah kira-kira Paman Mahesa Jenar akan bersikap lain.”

“Ah…” desah Mahesa Jenar, “Cerdik juga kau menggertak aku.”

Mendengar perkataan itu wajah Sawung Sariti menjadi merah. Orang-orang kebanggaannya itu agaknya dipandang rendah oleh Mahesa Jenar. Maka sambungnya ingin memberi penjelasan lebih banyak,
“Paman… belumkah Paman mendengar nama-nama Sima Rodra dari Lodaya dan Bugel Kaliki dari Gunung Cerme?”

Mahesa Jenar kemudian tertawa. Sengaja ia tertawa panjang. Katanya, “Sawung Sariti, sudah siapkah pasukanmu…? Jangan berbicara seperti berbicara dengan orang-orang Pamingit yang bodoh. Aku bukan anak-anak lagi. Kau sekarang berbicara dengan seorang tua, setua ayahmu Lembu Sora.”

Sekali lagi warna merah menyirat di wajah Sawung Sariti. Kalau saja ia belum pernah mendengar tentang Mahesa Jenar, yang pernah mendapat gelar Rangga Tohjaya itu, ingin ia menghancurkan kepalanya saat itu juga.

Tetapi terhadap Mahesa Jenar ia tidak berani berbuat demikian. Namun di dalam hatinya ia berjanji bahwa ia ingin membunuh orang ini dengan tangannya. Ia telah minta Sima Rodra tua dan Bugel Kaliki untuk menangkapnya hidup-hidup disamping saudara sepupunya Arya Salaka.

Namun demikian, otaknya ternyata masih dapat bekerja baik. Ketika sekali lagi ia memandang ke arah pasukannya, maka mulailah ia membanding-bandingkan dengan pasukan Gedangan. Menurut perhitungannya, Laskar Gedangan mempunyai jumlah orang lebih banyak. Tetapi ia tidak melihat diantaranya ada orang-orang yang mempunyai nama. Ia tidak melihat orang tua yang disebut Ki Ageng Pandan Alas menurut ciri-ciri yang pernah didengarnya.

Meskipun demikian maka berkatalah putra Ki Ageng Lembu Sora itu, “Paman Mahesa Jenar… karena aku bukan termasuk orang-orang yang tidak dapat berpikir longgar, maka aku bermaksud memberi waktu kepada Paman dan Kakang Arya Salaka untuk sekali lagi berpikir. Biarlah orang-orang tetap di tempatnya sampai esok atau lusa.”

Mahesa Jenar yang menyimpan pengalaman yang luas di dalam perbendaharaan hidupnya, dengan cepat dapat menangkap maksud itu. Maka jawabnya, “Sawung Sariti. Jangan kau menganggap bahwa hanya pasukan dari Pamingit yang wenang mengambil prakarsa dalam arena yang sudah membayang di hadapan kita. Pasukan yang sudah berhadapan akan kehilangan kesabaran untuk menunggu sampai besok atau lusa. Bersiaplah, aku akan mulai.”

Dada Sawung Sariti tergoncang mendengar kata-kata Mahesa Jenar. Meskipun demikian ia tidak menjadi takut. Sebab ia yakin kepada orang-orang yang dibawanya. Karena itu segera ia mundur beberapa langkah dengan wajah merah oleh api kemarahan yang menyala-nyala di dalam dadanya. Tetapi saat itu ia pun sadar bahwa Mahesa Jenar adalah bekas seorang prajurit pengawal raja. Karena itu apa yang dikatakan pasti benar-benar akan dilakukan. Maka segera Sawung Sariti mengangkat tangannya memberi aba-aba untuk segera bersiap.

Tetapi dalam pada itu terjadilah hal-hal diluar perhitungan. Baik Sawung Sariti maupun Mahesa Jenar. Ketika segenap orang dalam barisan Pamingit itu mulai bergerak untuk menyusun diri, tampaklah seorang dengan enaknya berjalan keluar dari rombongan itu, menuju langsung ke arah Mahesa Jenar. Bahkan kemudian disusul oleh seorang lagi.

Mereka berjalan seperti orang yang sudah kehilangan kesabaran. Dengan langkah-langkah panjang dan cepat mereka tergesa-gesa mendekati Mahesa Jenar. Yang kemudian dengan suara panjang melengking terdengarlah tertawa seorang wanita, sambil berkata, “Apakah yang sedang kalian bicarakan?”

Sawung Sariti memandangnya dengan wajah penuh pertanyaan. Pada saat ia akan memulai dengan suatu tata gelar, tiba-tiba dua orang dari dalam pasukannya menyusulnya.

“Kenapa kau keluar dari barisan…?” tanya Sawung Sariti. Orang itu, yang tidak lain adalah janda Sima Rodra, tertawa semakin nyaring. Jawabnya, “Aku tidak sabar dengan segala macam aturan. Aku biasa bertempur kapan saja aku kehendaki, dan dalam tata gelar apapun yang aku senangi.”

Telinga Sawung Sariti menjadi merah. Memang ia sadar sejak semula akan sulitlah mengatur orang-orang dari gerombolan liar itu dalam tata pertempuran yang teratur. Sebab menurut kebiasaan mereka, mereka bertempur dengan mengandalkan kekuatan pribadi, sehingga hampir tidak pernah mereka memikirkan tentang tata gelar yang dianggap dapat menguntungkan pasukannya.

Tetapi Sawung Sariti tidak berani menyendunya. Sebab orang-orang itu sangat diperlukan untuk melawan Mahesa Jenar. Karena itu bagaimanapun kecewanya terhadap orang-orang itu, namun perasaan itu disimpannya saja di dalam dadanya.

Sawung Sariti menjadi semakin berdebar-debar ketika Janda dari Gunung Tidar itu langsung datang kepada Mahesa Jenar dan berkata, “Mahesa Jenar, aku datang untuk memenuhi kata-kataku pada saat kau membunuh suamiku di pedukuhan ini. Aku tidak peduli apakah urusanmu dengan Sawung Sariti. Tetapi aku merasa bahwa akulah yang paling berhak untuk membalas dendam.”

353

MAHESA JENAR yang sangat muak melihat perempuan itu menjawab dengan keras, “Sekehendakmulah. Kalau kau merasa perlu membalas dendam, cobalah untuk memenuhi tuntutan dendam itu. Aku tidak akan menyingkir.”

Mendengar jawaban Mahesa Jenar itu, Janda Sima Rodra sama sekali tidak menjadi marah. Malah dengan tertawa pendek ia menjawab, “Bagus. Aku akan segera melakukannya. Tetapi aku kira bahwa aku dapat berbuat sebaliknya. Memaafkan kesalahanmu itu.”

Mahesa Jenar ketika mendengar kata-kata Sawung Sariti, dengan nada yang demikian pula, ia menjadi tidak senang. Apalagi ketika perkataan-perkataan itu keluar dari mulut Janda Sima Rodra. Terasa seolah-olah darahnya menjadi mendidih. Katanya semakin keras, “Kalau hidupku kemudian hanya karena kebaikan hatimu, Sima Rodra betina, aku lebih baik membunuh diriku.”

Suara tertawa Harimau Betina itu malah menjadi semakin berkepanjangan. Katanya, “Dengan terbunuhnya suamiku, aku merasa kehilangan sesuatu yang paling berharga dalam hidupku. Karena itu akupun harus mendapatkan ganti sesuatu dengan yang hilang itu. Kalau kau mampu menggantinya, aku akan melupakan peristiwa yang paling menyedihkan dalam hidupku itu.”

Sekarang Mahesa Jenar benar-benar tidak dapat mendengar kata-kata itu lagi. Telinganya menjadi seolah-olah terbakar. Karena itu tidak ada alasan untuk mendengarkannya lebih lama ocehan Janda Sima Rodra itu.

Dengan tenangnya Mahesa Jenar melangkah ke samping. Kedua tangannya diangkatnya tinggi.
Kemudian dengan gerakan lurus tangan itu direntangkannya kesamping, seterusnya kembali ke atas. Ternyata ia sudah mulai menyiapkan pasukannya dalam gelar yang diperlukan, Sapit Urang.

Melihat aba-aba itu, Sawung Sariti segera merasa perlu untuk menyiapkan pasukannya pula. Sesuai dengan sifatnya yang sombong, ia sama sekali tidak berusaha untuk menyesuaikan diri dengan gelar Supit Urang yang sudah dipersiapkan oleh Mahesa Jenar, tetapi karena kepercayaan pada kekuatan yang dibawanya, serta kepercayaan pada diri sendiri, segera Sawung Sariti menyobek panji-panji putihnya, dan mengangkatnya tinggi-tinggi tunggul yang kemudian sudah dilepas sarungnya.

Tunggul itu digerakkan beberapa kali melingkar dan kemudian untuk beberapa lama ditegakkan di udara. Ia telah memerintahkan kepada pasukannya untuk bersiap dalam gelar Dirada Meta.

Tetapi agaknya Janda Sima Rodra tidak peduli pada persiapan-persiapan itu. Sekali lagi ia berkata, “Mahesa Jenar, aku dapat mencegah pertempuran ini. Bahkan kalau perlu aku dapat menghancurkan pasukan Pamingit itu apabila kau dapat mencarikan ganti suamiku yang telah hilang.”

Akhirnya Mahesa Jenar menjadi benar-benar muak. Ia ingin segera menyelesaikan pekerjaannya sebelum rombongan Uling datang. Karena itu dijawabnya, “Baiklah Sima Rodra, aku akan berusaha mencari ganti buatmu. Apabila pekerjaanku ini sudah selesai, aku ingin menangkap seekor beruk yang buas untuk mengganti Harimau Liar yang telah mati.”

Bagaimanapun juga Janda Sima Rodra adalah seorang manusia. Karena ia menjadi tersinggung sekali atas jawaban itu. Apalagi ketika orang yang berdiri di belakangnya, yang tidak lain adalah Jaka Soka menyambung sambil tersenyum, senyuman seekor ular yang berbisa tajam. “Bagus Mahesa Jenar. Usulmu tepat sekali.”

Kebo Kanigara, yang berdiri tidak jauh dari Mahesa Jenar, dan yang selama itu acuh tak acuh saja, terpaksa tertawa pula. Bahkan kemudian ia menyahut, “Aku kira seekor beruk masih terlalu besar buat perempuan yang mengerikan itu. Bukankah lebih baik seekor lutung saja untuk menggantikan suaminya yang terbunuh itu…?”

Hati Janda Gunung Tidar itu ternyata terbakar oleh api yang dinyalakannya sendiri. Terbawa oleh sifat-sifatnya yang liar itu, maka ia sama sekali tidak pedulikan, apakah ia termasuk dalam pasukan Sawung Sariti atau tidak. Langsung ia meloncat maju dan dengan garangnya menyerang Mahesa Jenar dengan kuku-kukunya yang tajam beracun. Untunglah bahwa Mahesa Jenar adalah seorang yang selalu waspada, sehingga dengan mudahnya ia meloncat ke samping menghindari serangan itu.

Tetapi Janda Sima Rodra itupun bukan seorang yang dapat diremehkan. Bertahun-tahun ia hidup dalam dunia kejahatan dan perkelahian. Karena itu ia tidak bermaksud memberi ruang untuk bergerak bagi lawannya.

Dalam pada itu salah seorang yang berdiri di belakang Mahesa Jenar, di dalam barisan orang-orang Gedangan, terdapatlah seorang yang memiliki dendam sedalam lautan kepada perempuan liar itu.

Ketika ia melihat perempuan liar dari Gunung Tidar itu bercakap-cakap dengan Mahesa jenar, darahnya sudah menggelegak. Namun demikian ia selalu berusaha untuk menahan diri, supaya tidak merusakkan rencana Mahesa Jenar serta barisannya.

Tetapi kemudian ketika ia melihat, Harimau Betina itu menyerang Mahesa Jenar, agaknya darahnya benar-benar menjadi mendidih. Sehingga seolah-olah diluar kemauannya, tiba-tiba ia pun meloncat berdiri disamping Mahesa Jenar sambil berkata nyaring, “Janda Sima Rodra yang cantik.
Sudah lama aku berusaha untuk memperkenalkan diriku. Tetapi sayang bahwa pertemuan kita di pedukuhan ini beberapa waktu yang lalu ternyata terlalu singkat.”

Janda Sima Rodra itu terhenti. Dengan pandangan penuh kemarahan, ia mengamati orang yang menyapanya itu. Seorang gadis dengan pakaian laki-laki. Kemudian teringatlah ia, ketika ia bersama almarhum suaminya bertempur melawan Mahesa Jenar dan muridnya, tiba-tiba ia telah diserang oleh seorang yang tak dikenalnya.

Agaknya orang inilah yang telah menyerangnya itu, bahkan yang kemudian oleh ayahnya, gadis itu berhasil ditangkapnya. Dan orang itu sekarang muncul lagi di hadapannya.

354
KEMARAHAN Janda Sima Rodra semakin menyala. Dengan suara yang tajam melengking ia berteriak, “Hai, gadis manis… siapakah sebenarnya kau? Sebenarnya lebih baik bagimu untuk tinggal di rumah menghias diri, daripada mengganggu aku di arena ini. Meskipun menilik pakaianmu agaknya kau lebih senang disebut sebagai seorang laki-laki daripada seorang perempuan.”

Orang itu, yang tak lain adalah anak tiri Janda Sima Rodra sendiri, menjawab, “Tak apalah kalau kau tak mengenal aku. Namaku adalah Rara Wilis dari Gunung Kidul. Anak perempuan dari Ki Panutan, yang kemudian pergi meninggalkan kampung halamannya karena perempuan cantik yang perkasa.”

“Wilis…!” teriak Janda Sima Rodra. Ia memang pernah mendengar nama Rara wilis. Bahkan gadis itu pernah ditangkap oleh ayahnya. Namun baru sekarang ia teringat bahwa orang yang bernama Rara Wilis itu pernah dikenalnya pada masa kanak-kanaknya. Pada saat ia sedang memikat almarhum suaminya, ia memang sering melihat seorang gadis kecil yang bernama Rara Wilis.

Karena itu kemudian janda Sima Rodra berkata sambil tertawa, “Wilis, ya Wilis. Alangkah pelupanya aku ini. Ketika aku mendengar namamu beberapa saat yang lalu, aku sama sekali lupa bahwa kau adalah anakku sendiri. Nah, sekarang aku telah tahu benar bahwa kau adalah anakku. Apakah maksudmu sekarang…?”

Dengan nada yang tak kalah lantangnya Wilis menjawab, “Ah… agaknya kau ingat juga apa yang pernah kau lakukan atas ayah beberapa tahun yang lewat. Ketahuilah bahwa karena itu, keluarga menjadi terpecah-pecah.”

“Hem…” geram perempuan itu. “Itu bukan hanya salahku. Kau kira kalau ayahmu bukan seorang laki-laki rakus, aku dapat memaksanya pergi?”

Wilis mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya, “Kau benar. Namun kejadian itu bukanlah suatu kebetulan. Kaulah sebabnya, dan keluargakulah yang harus menanggung akibatnya.”

“Tiba-tiba perempuan itu tertawa lebih keras. Katanya, Sebenarnya kalau kau menuntut ayahmu itu, tuntutlah kepada laki-laki di sampingmu itu. Dialah yang telah membunuhnya.”

Mendengar seruan itu, dada Mahesa jenar berdesir. Memang, pada saat Sima Rodra terbunuh, Rara Wilis menjadi sangat marah kepadanya. Bahkan masih terasa betapa ujung pedang gadis itu melukai dadanya. Sekarang, peristiwa itu diingatkan lagi.

Tetapi ternyata jawaban Rara Wilis melegakan Mahesa Jenar. “Aku sudah tahu, Janda Sima Rodra, bahwa laki-laki di sampingku inilah yang telah membunuh ayahku. Tetapi hal itu bagiku adalah jalan yang sebaik-baiknya, daripada setiap hari ayahku selalu menimbun dosa.”

Terdengar Harimau Betina itu menggeram marah. Usahanya untuk mengadu kedua orang itu tak berhasil. Karena itu ia berteriak, “Baik… lalu apa maumu?”

“Menurut pikiranku…” jawab Rara Wilis, “Aku pun akan membuat jasa kepadamu, seperti apa yang telah terjadi pada ayahku. Kau… ibuku, harus juga aku cegah untuk tidak membuat dosa setiap hari. Agar kau tidak usah berhenti terlalu lama di dalam api pencucian kelak.”

Perempuan liar itu sudah menjadi pening mendengar kata-kata Rara Wilis. Karena itu ia tidak menjawab lagi. Dengan garangnya ia berteriak sambil meloncat menyerbu. Untunglah bahwa Rara Wilis pun telah bersiaga. Dengan lincahnya ia meloncat menghindar. Bahkan dengan kakinya ia menyerang lambung Harimau Betina itu. Namun Janda Sima Rodra pun memiliki pengalaman yang luas, sehingga dengan siku tangannya ia menutup lambungnya. Melihat lawannya melindungi diri, Rara Wilis menarik kakinya, namun kemudian tangannya yang dengan cepat menyambar tengkuk. Sekali lagi Harimau Betina itu meloncat mundur. Namun kemudian ia tidak mau diserang lagi.

Dengan garangnya kemudian mengembanglah jari-jari janda Sima Rodra yang berkuku panjang, dengan logam beracun di ujung-ujungnya. Sesaat kemudian terjadilah pertempuran sengit. Pertempuran yang dilambari oleh tuntutan dendam yang telah lama tersimpan di dalam dada dan sekaligus merupakan suatu usaha untuk melenyapkan benih-benih kejahatan yang dapat tumbuh di kemudian hari.

Rara Wilis maupun Janda Sima Rodra memiliki kelincahan yang mengagumkan. Janda Sima Rodra bertempur dengan ilmu yang diwarisi dari ayahnya, yang memiliki unsur-unsur kegarangan yang mengerikan, dengan gerak-gerak harimau lapar. Sedangkan Rara Wilis adalah cucu sekaligus murid Ki Ageng Pandan Alas. Seorang sakti yang bertahun-tahun menekuni ilmunya sehingga sukar untuk mendapat bandingan. Karena itu pertempuran yang terjadi adalah merupakan pertempuran antara ilmu jahat melawan ilmu yang dengan gigih berusaha menumpasnya.

Dalam keadaan yang demikian, untuk beberapa saat semua mata terpaku pada pertempuran itu. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara yang mempunyai wawasan yang dalam, segera melihat keadaan Rara Wilis sama sekali tidak mengkhawatirkan.

Karena itu mereka tidak perlu tergesa-gesa mengambil tindakan terhadap perempuan liar itu. Apalagi di hadapan mereka, masih terdapat orang-orang yang cukup berbahaya.

Jaka Soka yang berdiri dekat titik perkelahian, agaknya sangat tertarik melihatnya. Dengan tersenyum aneh, ia bahkan dengan enaknya duduk menonton.

355

Jaka Soka menjadi keheran-heranan juga melihat gadis cantik yang pernah ditemuinya di hutan Tambakbaya itu mampu bertempur dengan gigihnya melawan Janda Sima Rodra.

Sedangkan Sawung Sariti menjadi berdebar-debar melihat seseorang muncul dari dalam barisan.
Seorang gadis lagi. Dan orang itu dapat mengimbangi Janda Sima Rodra dari Gunung Tidar. Namun meskipun demikian ia tidak bercemas hati. Sebab masih ada orang yang jauh lebih sakti dari janda itu dalam barisannya.

Yang kemudian dilakukan Sawung Sariti adalah memberi tanda kepada pasukannya untuk mengadakan persiapan terakhir. Ia sudah tidak melihat kemungkinan lain kecuali bertempur saat itu juga, sekaligus untuk mencurahkan dendam kepada orang-orang Gedangan, karena kegagalannya menjadikan Gedangan sebagai kuburan untuk orang-orang yang telah dan akan disingkirkannya.

Demikian ketika Sawung Sariti sekali lagi melambaikan tangannya, bergeraklah seluruh pasukan Pamingit dalam gelarnya yang dahsyat, Dirada Meta. Pasukan itu seolah-olah merupakan suatu bentuk seekor gajah yang maha besar, yang sedang berjalan dengan tangguhnya menyerang lawan.

Di ujung gading pasukan Pamingit berdirilah dua orang yang sangat ditakuti. Yaitu Sima Rodra tua dari Lodaya yang merasa perlu membalas dendam atas kematian menantunya, sekaligus untuk melenyapkan salah seorang saingan utama dalam perebutan keris-keris Nagasasra dan Sabuk Inten.

Sedang di ujung yang lain, sahabat Harimau Lodaya, yaitu Bugel Kaliki. Ia ikut serta dalam pertempuran itu atas permintaan sahabatnya. Namun sebenarnya ia pun sedang mengadakan penyelidikan kemana keris-keris sakti dari Istana Demak itu berada.

Bugel Kaliki sadar bahwa pertempuran-pertempuran yang berjalan ini hanyalah merupakan permulaan dari pertempuran-pertempuran dan perkelahian-perkelahian yang akan terjadi kelak apabila sudah ada gambaran di mana kedua keris itu tersimpan. Bahkan ia pun sadar seperti Sima Rodra juga, bahwa mereka masing-masing harus berusaha melenyapkan saingannya satu demi satu. Kalau sekarang mereka sedang berusaha untuk menyingkirkan Mahesa Jenar dan kawan-kawannya, yang mungkin terdapat pula Pandan Alas, maka esok mereka harus menyingkirkan kawan-kawan mereka yang sekarang sedang bertempur bersama-sama dan saling membantu.

Ketika Mahesa Jenar melihat pasukan gabungan dari Pamingit dan Gunung Tidar mulai bergerak, segera ia mengangkat tangannya pula. Dan, segera bergerak pula seluruh laskar Gedangan dalam gelarnya Supit Urang.

Untuk menghadapi gelar gajah yang datang menyerangnya, barisan dalam bentuk udang raksasa dengan sapit-sapitnya yang garang itupun telah bergerak maju.

Dalam pada itu sekali lagi Sawung Sariti melihat keliling untuk mengetahui keadaan medan keseluruhan. Dari lambung sebelah kiri dilihatnya pasukan itu dipimpin oleh Wanamerta, sedang dari lambung kanan dilihatnya bahwa pasukan itu dipimpin oleh seorang anak muda sebaya dengan dirinya.

Melihat anak muda itu, hati Sawung Sariti berdesir. Itulah Arya Salaka.

Karena itu cepat Sawung Sariti meloncat mundur, dan berbisik kepada Galunggung, ” Galunggung…
peganglah pimpinan. Berikan aba-aba atas namaku. Bawalah tunggul ini. Aku akan menyelesaikan urusanku dengan Kakang Arya Salaka.”

Galunggung segera tahu maksud Sawung Sariti. Segera ia menerima tunggul itu. Meskipun demikian ia berpesan kepada Sawung Sariti, ” Anakmas, hati-hatilah. Anak itu bukan anak yang dapat diabaikan.”

Sawung Sariti tersenyum, lalu jawabnya, “Jangan takut. Beberapa bulan yang lalu aku memang belum dapat mengalahkannya. Tetapi sekarang keadaan telah jauh berubah. Percayalah bahwa aku akan dapat membawa kepalanya pulang sebagai oleh-oleh buat ayah Lembu Sora.”

Galunggung pun tersenyum. Ia percaya kepada anak muda itu. Sesaat kemudian kedua pasukan itu menjadi semakin dekat. Mahesa Jenar yang masih berada disamping Kebo Kanigara segera menyiapkan diri masing-masing. Mereka telah melihat Sima Rodra tua dan Bugel Kaliki. Karena
itu mereka menempatkan diri untuk melawan mereka.

Dalam pada itu Janda Sima Rodra dan Rara Wilis masih saja bertempur dengan sengitnya. Mereka seolah-olah tidak peduli bahwa pasukan-pasukan itu sebentar lagi akan berbenturan dan akan segera terjadi pertempuran yang dahsyat. Saat itu mereka sedang tenggelam dalam perkelahian yang seolah terpisah dari pertempuran yang bakal datang.

Kedua pasukan menjadi semakin dekat dan semakin dekat. Setiap wajah yang berbeda dalam barisan menjadi semakin tegang pula. Tangan-tangan mereka yang memegang senjata masing-masing telah menjadi bergetar dan basah oleh keringat. Janda Sima Rodra yang mempunyai pengalaman lebih banyak, ternyata tidak mau bertempur didaerah lawan. Perlahan-lahan ia menggeser titik bertempur sejalan dengan langkah laskar Gedangan, mendekati pasukan-pasukan dari Pamingit.

Jaka Soka yang sangat tertarik pada pertempuran itu terpaksa ikut bergeser. Meskipun tampaknya acuh tak acuh saja namun sebenarnya otaknya yang licin itu sedang bekerja keras mencari jalan yang semudah-mudahnya, bagaimanakah sebaiknya untuk menangkap Rara Wilis tanpa kesulitan. Meskipun untuk memiliki gadis itu sekarang ia terpaksa mempertimbangkan bahwa ia mungkin akan mendapat perlawanan yang berat, tidak sebagaimana pernah terjadi pada saat gadis itu sama sekali belum memiliki ilmu bela diri.

Pada saat itu matahari telah menanjak di atas bukit-bukit yang hijau di arah timur. Sinarnya yang hangat menghambur di atas batu-batu karang yang kemerah-merahan serta dedaunan yang hijau segar oleh titik-titik embun yang belum lenyap seluruhnya. Angin pegunungan yang sejuk terasa mengusap wajah-wajah yang tegang. Namun hampir tak seorang pun yang dapat menikmatinya. Sebab hati mereka telah terampas oleh ujung-ujung senjata yang berkilat-kilat karena sinar matahari.
68ulkan dari Harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta

356
TIDAK jauh di belakang pasukan Gedangan, pedukuhan gedangan menjadi amat sepi, seolah-olah pada saat matahari sudah demikian tingginya masih saja lelap dalam tidurnya. Rumah-rumah bambu yang tegak seakan menjadi tak berpenghuni. Sedang anak-anak kecil erat berpegang ujung-ujung baju ibunya, yang menahan debar jantung melepas suami pergi berperang.

Tetapi ketika terasa mata mereka hangat oleh titik-titik air yang tak tertahankan lagi, diulanginya kata-kata yang pernah didengar dari lurah mereka, bahwa tugas yang paling mulia bagi seorang laki-laki adalah berjuang untuk tanah kelahiran. Dan sekarang suami mereka sedang menjalani tugas mulia. Sebab ada orang lain yang akan mengganggu ketenteraman kampung halaman mereka, seperti yang pernah terjadi beberapa saat sebelumnya.

Jarak antara kedua pasukan itu menjadi semakin dekat, sehingga akhirnya seperti dua jalur air bah yang berbenturan. Meledaklah pertempuran yang dahsyat. Pasukan Pamingit yang dibantu laskar dari Gunung Tidar mempunyai pengalaman yang lebih banyak dibandingkan laskar Gedangan. Namun pada saat itu laskar Gedangan dibekali oleh suatu tekad untuk menyelamatkan pedukuhan mereka dari penindasan dalam segala bentuk. Apalagi dalam waktu terakhir mereka telah menerima gemblengan yang berat dari seorang yang dapat dibanggakan, yaitu Mahesa Jenar dibantu Kebo Kanigara, Wanamerta dan Arya Salaka.

Demikianlah dering senjata di sela-sela gemerincing pedang beradu perisai terdengar diantara pekik sorak dari kedua belah pihak seperti membelah langit. Kilatan-kilatan ujung-ujung pedang memantulkan cahaya matahari seperti sinar-sinar yang menyembur-nyembur.

Dalam pertempuran itu Kebo Kanigara menempatkan dirinya untuk melawan Bugel Kaliki, sedangkan Mahesa Jenar bertempur mati-matian melawan Sima Rodra yang bernafsu untuk menuntut balas atas kematian menantunya. Sedangkan diantara pasukan yang bertempur itu, Janda Sima Rodra dan Rara Wilis masih saja berkelahi, seolah-olah tidak terpengaruh oleh pertempuran yang menyala-nyala di sekitarnya.

Pada saat hiruk-pikuk itulah Jaka Soka ingin mendapatkan keuntungan. Ia sudah tidak berpikir lagi untuk ikut serta memusnahkan orang-orang Gedangan yang pernah mengecewakan hati Sawung Sariti atau Mahesa Jenar. Ia berharap Bugel Kaliki dan Sima Rodra dapat menyelesaikan pekerjaan itu. Dengan demikian ia pun akan kehilangan seorang saingan dalam memperebutkan Nagasasra dan Sabuk Inten.

Lebih daripada itu, ia pun akan kehilangan seorang saingan pula dalam perebutan gadis yang bagaimanapun tak dapat dilupakan. Sebab ia tahu bahwa agaknya Mahesa Jenar pun bukan tanpa pamrih untuk selalu melindunginya.

Sekarang, Mahesa Jenar sedang sibuk bertempur melawan Sima Rodra tua. Ia mengharap bahwa Mahesa Jenar tidak akan dapat keluar dari pertempuran itu, lengkap dengan nyawanya.
Maka ketika semua orang yang berada dalam lingkaran pertempuran itu sedang sibuk menyabung nyawa, tiba-tiba Jaka Soka meloncat menerjang ke arah Rara Wilis yang sedang sibuk melayani Janda Sima Rodra. Dengan demikian ia menjadi tidak memperhatikan kedatangan bahaya yang baginya lebih dahsyat daripada mati.

Tetapi kemudian Jaka Soka dikejutkan oleh suatu serangan yang tak diduganya pada saat ia menyergap Rara Wilis. Apalagi ketika ia sudah sempat mengamati orang yang menyerangnya itu. Ia tidak lebih dari seorang gadis tanggung, yang dengan lincahnya menyambar-nyambar seperti seekor sikatan menangkap belalang. Gadis itu tidak lain adalah Widuri, yang dengan diam-diam ikut serta dalam barisan orang-orang gedangan.

Melihat gadis tanggung itu mengganggunya, Jaka Soka menjadi marah bukan buatan. Sekali ini ia tidak mau gagal lagi. karena itu segera ia mengerahkan tenaganya untuk dengan cepat membinasakan anak yang telah berbuat lancang itu.

Tetapi sekali lagi ia menjadi heran. Kalau semula ia kagum akan kegesitan Rara Wilis, sekarang ia terpaksa mengagumi gadis tanggung yang dapat bertempur dengan tangkasnya. Bahkan serangan-serangannya kadang-kadang terasa sangat berbahaya. Kekaguman itulah kemudian yang menambah kemarahan Jaka Soka. terhadap anak kecil yang baru dapat berjalan beberapa langkah, Ular Laut dari Nusakambangan itu tidak dapat segera dapat mengatasinya…? Dengan demikian Jaka Soka bertempur mati-matian mendesak lawannya.

Dalam pada itu, bagaimanapun cakapnya Widuri membawa dirinya, namun ia telah melawan seorang yang mempunyai nama menakutkan dalam kelangan bajak laut. Jaka Soka yang tampan itu adalah ular yang berbisa sangat tajam. Karena itu segera terasa bahwa ia masih belum sampai pada tingkatan yang cukup untuk melawannya. Meskipun demikian Endang Widuri adalah seorang gadis yang berjiwa besar, sebagaimana tersimpan dalam saluran dara Handayaningrat. Karena itu ia sama sekali tidak mengeluh atau menyesal. Bahkan segera ia pun mengerahkan segala ilmu yang pernah dipelajarinya untuk mempertahankan diri.

Untunglah bahwa dari sela-sela gemerlapnya pedang, Kebo Kanigara dapat melihat bayangan gadisnya yang meloncat-loncat dengan lincahnya. Namun bayangan itu telah membuat debar jantung Kanigara lebih cepat. Pada saat itu ia sedang bertempur melawan Hantu Bongkok dari Lembah Gunung Tidar, yang terkenal bertangan panas. Telapak tangannya seolah-olah menyimpan tenaga api yang tidak terkira, sehingga dalam setiap pertempuran, bila seseorang kena rabanya, segera akan menjadi hangus kulitnya pada tempat sentuhan itu.

Tetapi Kanigara bukan pula manusia biasa. Ia adalah seorang sakti yang memendam diri. Meskipun namanya tidak dikenal, namun sebenarnya ia telah memiliki ilmu yang dapat disejajarkan, bahkan melampaui orang-orang yang ditakuti seperti Ki Ageng Pandan Alas, Ki Ageng Sora Dipayana, dan sebagainya. Karena itulah maka untuk melawan Si Bongkok itu, Kebo Kanigara tidak usah berkecil hati.

357
KANIGARA tiba-tiba mempunyai pekerjaan lain, selain melawan Si Bongkok. Bagaimanapun ia melihat bahwa Widuri tidak dapat mengimbangi keganasan Jaka Soka. Sehingga dengan demikian terpaksa ia menggiring lawannya mendekati pertempuran anaknya. Bahkan untuk membesarkan hati gadis itu, ia berteriak, “Widuri, kenapa kau ikut serta?”

Widuri mendengar suara ayahnya. Tiba-tiba hatinya menjadi bertambah besar. Sehingga dengan demikian tenaganya pun terpengaruh. Apalagi ketika ayahnya berteriak lagi, “Bertahanlah. Aku datang.”

Widuri tertawa pendek. Lalu jawabnya, “Orang ini hebat juga, ayah.”

Kebo Kanigara tidak menjawab. Ia terpaksa bertempur dengan sebagian perhatian terikat kepada anaknya. Bahkan sesekali ia terpaksa melontarkan diri untuk memberinya pertolongan.
Kalau saja ia tidak berbuat demikian, maka ia perlahan-lahan namun pasti akan segera dapat mendesak lawannya. Tetapi karena ia terpaksa membagi tenaganya, maka Bugel Kaliki masih dengan segarnya dapat bertempur melawan orang yang sama sekali belum dikenalnya itu, tetapi ternyata sangat mengejutkannya. Ia merasa bahwa di dunia ini hanya orang-orang tertentu saja yang dapat mengimbangi kesaktiannya. Namun tiba-tiba muncullah orang ini.

Apalagi orang ini dapat melawannya dengan membagi tenaga. Karena itu ia menjadi marah. Bugel Kaliki yang terkenal bertenaga api itu segera berusaha sekuat tenaga untuk dapat memenangkan pertempuran. Namun bagaimanapun, kemudian ia terpaksa mengakui kedahsyatan tenaga Kebo kanigara. Sehingga dengan demikian Bugel Kaliki harus lebih berhati-hati lagi.

Di titik yang lain, tampaklah Mahesa Jenar bertempur melawan Harimau Liar dari Lodaya yang menyerangnya dengan garang.

Orang tua yang berkerudung kulit harimau hitam itu mula-mula merasa bahwa dalam waktu yang pendek dapat menyelesaikan pekerjaannya. Sebab ia merasa bahwa Mahesa Jenar berdua dengan Gajah Sora, bahkan dengan sepasang keris Nagasasra dan Sabuk Inten, tak dapat mengalahkannya. Malahan seandainya pada saat itu tidak datang Titis Anganten, Mahesa Jenar pasti sudah binasa.

Tetapi ternyata Harimau Liar itu menghadapi suatu kenyataan lain. Mahesa Jenar yang bertempur pada saat itu ternyata bukanlah Mahesa Jenar beberapa tahun yang lampau. Ilmunya kini telah meningkat jauh dibanding masa-masa itu. Karena itu, ia pun menjadi marah bukan kepalang. Dengan menggeram dahsyat ia menerkam Mahesa Jenar dengan garangnya.

Namun Mahesa Jenar kini telah benar-benar merupakan seorang yang luar biasa. Bahkan orang yang pernah melihat cara almarhum gurunya bertempur, pasti akan berkata di dalam hati, Mahesa Jenar benar-benar telah merupakan bayangan yang tepat dari Ki Ageng Pengging Sepuh.

Karena itulah Sima Rodra menjadi keheran-heranan. Apalagi ketika ternyata bahwa Mahesa Jenar dapat mendesaknya dengan tajamnya.

Demikianlah, pertempuran itu berkobar-kobar dengan dahsyatnya. Debu putih mengepul naik ke udara seperti tirai kabut yang tebal. Sedangkan matahari semakin lama menjadi semakin tinggi, membawa wajahnya yang lesu menempuh garis edarnya. Garis yang telah dilaluinya setiap hari. Sekali bergeser ke utara, sekali bergeser ke selatan.

Demikianlah telah berlangsung dari tahun ke tahun, puluhan bahkan ratusan dan ribuan tahun telah berjalan tanpa suatu perubahan. Dan dalam waktu yang demikian panjangnya itu telah disaksikan segala macam kejadian di permukaan bumi ini. Telah disaksikan segala macam musim. Musim bunga, musim buah, musim hujan dan musim kering.

Telah disaksikan pula berbagai tabiat manusia. Sedih-gembiranya, senyum tangisnya. Bahkan tabiat-tabiat mereka yang aneh-aneh. Bertempur sesama manusia, membunuh dan memfitnah. Bahkan kadang-kadang mereka berkelahi tanpa sebab dan tanpa pengetahuan untuk apa sebenarnya mereka harus berkelahi, selain pemanjaan nafsu kebinatangan yang kadang-kadang menguasai mereka yang seharusnya memiliki tingkatan yang lebih tinggi daripada binatang.

Bahkan ada diantara manusia yang menjadi lupa pada asal mula dan hari akhirnya. Lupa kepada Tuhan penciptanya yang menyediakan segala kebutuhannya, tetapi yang kelak menuntut suatu pertanggungjawaban pada masa-masa hidupnya bila masa peradilan telah tiba. Lupa pada panasnya api neraka yang abadi yang akan menelannya, serta lupa kepada janji kesejahteraan abadi bagi mereka yang berjalan sepanjang garis kebenaran.

Demikianlah pertempuran yang terjadi di lembah antara bukit-bukit kecil itu semakin lama menjadi semakin dahsyat. Gemerincing senjata diantara sorak sorai laskar dari kedua pihak, kini dislingi pekik kesakitan dan rintihan pedih. Dari tubuh-tubuh yang sedang bergulat diantara maut itu, tampak menetes keringat dan darah.

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menjadi prihatin melihat pertempuran itu. Karena itu mereka berjuang semakin gigih. Kadang-kadang terdengar suara Mahesa Jenar berteriak memberi aba-aba yang agaknya sangat menguntungkan laskar Gedangan.

Sebagaimana yang dinasihatkan Mahesa Jenar bahwa seharusnya mereka lebih mementingkan kerja sama yang erat daripada bertempur seorang demi seorang. Dengan demikian mereka tidak perlu harus terikat kepada satu lawan, kecuali orang-orang tertentu seperti Mahesa Jenar sendiri.

Laskar Gedangan juga telah dilatih untuk mempergunakan otak dalam saat-saat tertentu, sehingga dengan demikian mereka tidak akan kehilangan akal. Karena itulah, disamping jumlah yang memang lebih banyak, ketika matahari telah menanjak tinggi, tampaklah bahwa laskar Gedangan berhasil mendesak lawan mereka.

Sima Rodra tua dan Bugel Kaliki yang merasa sakti tanpa tanding, terpaksa harus mengakui bahwa dunia ini terbentang sedemikian luas, sehingga tidak seluruhnya dapat dijajaginya.

358
OLEH kenyataan itu, berbesar hatilah seluruh laskar dari Gedangan. Semakin lama mereka bertempur, semakin segarlah tubuh mereka oleh kemenangan demi kemenangan yang mereka peroleh. Sehingga ketika mahatari telah condong ke barat, titik pertempuran itu telah jauh bergeser.

Namun orang-orang Pamingit dan Gunung Tidar bukan pula orang yang mudah berputus asa. Karena gelar mereka ternyata tidak menguntungkan, kemudian terdengarlah jerit Galunggung diantara derak gempuran senjata memberi aba-aba. Demikian dahsyatnya teriakan itu sehingga dapat didengar oleh semua telinga di medan pertempuran itu. Demikian suara Galunggung berhenti, berubahlah tata barisan orang-orang Pamingit dan Gunung Tidar. Mereka mengubah gelar Dirada Meta yang hampir rusak, dengan gelar Gelatik Neba. Dengan demikian pertempuran itu seolah-olah menjadi kacau balau.
Orang-orang Pamingit dan Gunung Tidar secara perseorangan menyusup kedalam barisan Gedangan.

Namun hal yang demikian telah mereka duga sebelumnya. Sebab Mahesa Jenar pun pernah memberikan beberapa petunjuk bagaimana seharusnya melawan gelar itu. Beberapa barisan laskar terdepan dari Gedangan, sengaja membiarkan beberapa laskar lawan mereka menyusup masuk. Namun demikian mereka terbenam di dalam laskar Gedangan, demikian mereka dibinasakan.

Meskipun demikian, karena secara perseorangan laskar Gunung Tidar memiliki ketangguhan yang lebih besar, maka untuk sementara medan itu menjadi terpengaruh pula.

Tetapi yang sangat tidak diduga-duga oleh laskar Gedangan yang sudah mulai mendesak lawannya kembali, adalah kedatangan rombongan baru dari utara. Meskipun rombongan itu tidak besar, namun agaknya memiliki kekuatan yang cukup pula. Oleh kedatangan itulah kemudian terdengar suatu teriakan nyaring dari salah seorang pengawas di ekor barisan Gedangan yang mengabarkan bahwa pasukan Uling telah datang.

Mendengar teriakan di ekor barisannya, dada Mahesa Jenar berdesir. Yang dicemaskan selama ini ternyata benar-benar terjadi. Mau tidak mau rombongan yang masih segar yang baru datang itu akan banyak sekali berpengaruh pada pertempuran itu.

Meskipun demikian, hal yang serupa itu memang sudah disiapkan oleh Mahesa Jenar. Karena itulah ia mempergunakan gelar Supit Urang. Sehingga beberapa bagian, yang merupakan ekor dan kaki belakang gelarnya dapat dipergunakan untuk melawan pasukan yang datang dari samping, maupun dari belakang.

Kebo Kanigara pun melihat kesulitan yang bakal datang. Maka baginya tidak ada jalan lain daripada menyelesaikan pertempuran itu secepatnya. Namun bagaimanapun juga, karena ia terikat pula pada anaknya, sehingga geraknya tidak penuh leluasa.

Rombongan Uling dari Rawa Pening itu langsung dibawa oleh para pemimpinnya mendekati medan. Untuk beberapa saat Sepasang Uling itu berdiri mengawasi pertempuran yang masih menyala-nyala dengan hebatnya. Uling Putih dan Uling Kuning itupun adalah orang-orang yang telah lama berada dalam dunia yang penuh dengan pertumpahan darah. Sehingga dengan demikian wawasannya mengenai pertempuran itupun mengandung beberapa ketepatan hitungan.

Ia memang melihat bahwa laskar Gedangan pada saat itu dapat mendesak lawannya. Tetapi kemenangan itu adalah kemenangan yang tipis dan sangat perlahan-lahan. Dengan demikian maka sepasang Uling itu tidak mau membiarkan keadaan yang demikian itu berlangsung lebih lama lagi.

Karena itulah maka mereka memutuskan untuk segera menerjunkan laskarnya ke dalam arena, sebelum laskar dari Pamingit dan Gunung Tidar menjadi semakin tipis.

Demikianlah kedua bersaudara Uling yang ganas itu membagi laskarnya menjadi dua bagian, yang masing-masing dipimpin sendiri oleh dua bersaudara. Seorang membawa pasukannya ke kanan dan seorang lagi ke kiri, untuk seterusnya menyerang pasukan Gedangan dari belakang.
Dada Mahesa Jenar menjadi bertambah berdebar-debar melihat cara laskar Uling itu menyerang. Karena itu segera ia pun memberikan beberapa aba-aba untuk pasukannya, supaya dapat setidak-tidaknya membendung arus yang melanda dari belakang itu. Sedang Mahesa Jenar sendiri segera mengerahkan segala kekuatannya untuk dapat mengalahkan lawannya.

Demikianlah ketika Mahesa Jenar dan Sima Rodra telah bertempur semakin dahsyat, mereka masing-masing telah dapat mengukur bahwa kali ini tenaga mereka berimbang sehingga untuk seterusnya mereka harus mempergunakan kelincahan dan kecakapan mereka membawa diri masing-masing untuk memenangkan pertempuran itu.

Di bagian lain, di bagian belakang gelar Supit Urang itu, telah terjadi pertempuran yang dahsyat pula. Sepasang Uling itu ternyata tidak menemukan lawan yang seimbang. Sehingga dengan demikian ia seolah-olah dapat leluasa berbuat sekehendak mereka sendiri. Namun demikian beberapa orang Gedangan yang gagah berani telah berusaha untuk mencegah sekuat-sekuatnya.

Mereka bertempur bersama-sama menghadapi kekuatan Uling yang seakan-akan melampaui batas kekuatan manusia biasa. Meskipun demikian terasalah bahwa kekuatan laskar Gedangan sekarang benar-benar berada di bawah kekuatan lawannya.

Pasukan Uling dari Rawa Pening yang datang tepat pada saatnya itu telah menolong pasukan Pamingit dan Gunung Tidar yang telah terdesak menuju ke jurang kehancuran. Bahkan sekarang agaknya pasukan Gedanganlah yang terdesak dari dua arah. Agaknya mereka benar-benar berusaha menjepit dan menghimpit hancur laskar itu.

Meskipun demikian, laskar Gedangan telah berjuang mati-matian. Sapit-sapit yang dipimpin oleh Wanamerta dan Arya Salaka ternyata lincah pula. Mereka yang berada di luar himpitan pasukan lawan, agaknya banyak dapat memberikan pertolongan. Dengan bergeser-geser cepat mereka dapat mengganggu pasukan-pasukan Pamingit serta rombongan-rombongan yang lain.

359
NAMUN bagaimanapun juga, kemampuan mereka terbatas. Sebagai manusia mereka tidak dapat berbuat lain, diluar batas-batas yang mungkin. Bagaimanapun tebalnya tekad mereka, namun ternyata lawan mereka benar-benar memiliki kelebihan yang tak dapat mereka atasi.

Karena kenyataan itu maka Mahesa Jenar dan Kanigara beserta para pemimpin Gedangan menjadi semakin prihatin. Mereka memutar otak untuk menemukan cara, setidak-tidaknya untuk mempertahankan diri mereka supaya tidak tergilas hancur. Sedangkan mereka sendiri telah berjuang mati-matian untuk dapat menyelamatkan laskar mereka.

Tetapi keadaan berjalan tidak seperti yang mereka kehendaki. Laskar-laskar liar beserta laskar Pamingit agaknya telah mencapai suatu kepastian, bahwa mereka akan dapat memenangkan pertempuran itu. Hal ini terutama disebabkan karena jumlah pimpinan mereka yang lebih banyak. Uling Putih dan Uling Kuning benar-benar seperti merajai daerah pertempurannya. Meskipun beberapa orang datang bersama-sama melawannya, namun sepasang Uling itu dengan mudahnya dapat menyingkirkan mereka seorang demi seorang.

Meskipun demikian laskar Gedangan bukan laskar yang berhati kecil. Mereka melihat pemimpin-pemimpin mereka bertempur dengan gigihnya. Bahkan mereka melihat seorang gadis tanggung bertempur dipihaknya tanpa mengenal takut melawan seorang yang perkasa, Jaka Soka. Dengan demikian mereka merasa bahwa yang dapat mereka lakukan adalah bertempur sampai titik darah penghabisan.

Gemerincing senjata masih saja menggema di lembah diantara bukit-bukit kecil itu. Bahkan semakin lama menjadi semakin riuh dibarengi dengan suara-suara yang dahsyat mengerikan. Teriakan-teriakan dan geram yang penuh kemarahan disela-sela jerit kesakitan yang mengerikan.

Ketika pertempuran itu masih berlangsung dengan riuhnya, matahari telah semakin berkisar ke barat menuju garis peristirahatannya. Wajah-wajah pegunungan yang semula berkilat-kilat kini telah berubah menjadi muram, semuram wajah Mahesa Jenar yang sedang bertempur sambil berpikir keras untuk menyelamatkan orang-orangnya. Yang sedikit membesarkan hatinya pada saat itu adalah semangat yang luar biasa dari laskarnya, sehingga menurut perhitungannya ia masih akan dapat bertahan sampai matahari terbenam. Setelah itu pertempuran pasti akan berhenti.

Dengan demikian ia akan dapat mencari jalan dengan lebih tenang, bagaimanakah sebaiknya untuk melawan kekuatan yang jauh lebih besar dari kekuatan sendiri itu. Sedangkan apabila perlu demi tegaknya sendi-sendi kemanusiaan, maka tidak berdosalah kiranya apabila terpaksa dilepaskannya aji andalannya, Sasra Birawa.

Sesaat kemudian langit telah dibayangi dengan warna merah. Tanah-tanah pegunungan menjadi semakin suram dan kehitam-hitaman. Kedua belah pihak agaknya telah mulai nampak lelah, kecuali laskar yang dibawa oleh sepasang Uling dari Rawa Pening. Meskipun demikian laskar Rawa Pening itupun tidak dapat bertempur dengan sepenuh tenaga, sebab cahaya suram dari matahari yang telah jemu berjalan sepanjang hari, telah tidak membantu lagi. Mereka telah menjadi ragu-ragu karena mereka sudah mulai agak sulit membedakan lawan dan kawan. Meskipun demikian, terdorong oleh kemarahan yang memuncak dikedua belah pihak, mereka masih saja bernafsu untuk bertempur.

Pada saat yang demikian, pada saat pertempuran itu sudah mulai menurun karena senja yang mengganggu, muncullah diantara mereka suatu bayangan yang mendebarkan hati. Bayangan yang tidak diketahui asal arahnya, serta apa-siapanya.

Namun apa yang terjadi…? Bayangan itu telah berada di tengah-tengah arena pertempuran. Yang lebih mengejutkan lagi, bayangan itu memperdengarkan suaranya yang gemuruh, “Ayo, berjuanglah terus laskar Gedangan yang gagah berani. Karena kalian berada di pihak yang benar, aku berada di pihakmu. Setelah itu, tampaklah bayangan itu melontar dengan cepatnya kesana-kemari seperti anak kijang di padang rumput yang hijau segar.”

Laskar Gedangan yang kelelahan, karena tekanan yang berat dari lawannya, mendengar suara itu dengan debaran jantung yang deras. Meskipun tenaga mereka sudah mulai mengendor, namun tiba-tiba mereka seolah-olah mendapat tenaga cadangan. Karena itu jiwa mereka bangkit kembali, dan senjata-senjata mereka menjadi bertambah cepat berputar menyambar-nyambar.

Sesaat kemudian kembali terdengar suara bayangan itu, “Mahesa Jenar… lepaskan lawanmu. Layanilah sepasang Uling yang masih segar di ekor barisanmu.”

Mula-mula Mahesa Jenar ragu-ragu. Apakah orang itu dapat dipercaya…? Apakah orang itu juga mempunyai kemampuan yang cukup untuk melawan Sima Rodra tua dari Lodaya ini…?
Tetapi ketika ia sedang mempertimbangkan bolak-balik, bayangan itu telah berdiri di sampingnya.
Dengan tangan kirinya ia mendorong Mahesa Jenar ke samping. Alangkah besar tenaganya, sehingga Mahesa Jenar terkejut bukan main. Apalagi ketika ia sempat meneliti orang itu, darahnya serasa berhenti mengalir.

360

ORANG itu adalah seorang yang pernah dilihatnya beberapa tahun yang lalu. Ya tubuhnya, ya pakaiannya. Jubah abu-abu. Namun juga seperti beberapa tahun yang lalu, kali inipun ia tidak dapat memandang wajahnya dengan seksama. Kecuali orang itu selalu bergerak, juga karena arena pertempuran yang hiruk pikuk. Apalagi matahari telah hilang dibalik mega-mega yang berwarna merah di ufuk barat.

Namun pada saat itu terlintaslah didalam pandangannya bahwa wajah orang itu pasti bukan wajah aslinya, sebab tampak betapa kerut-merutnya sama sekali tidak menurut garis-garis wajah yang biasa. Orang itulah yang telah mengambil sepasang keris yang selama ini dicarinya dari Banyubiru, Nagasasra dan Sabuk Inten. Tetapi kali ini ia tidak sempat bertanya-tanya.

Sebab ia harus melayani laskar lawannya yang mulai menyerangnya bersama-sama. Namun demikian ia sempat juga menyaksikan cara bertempur orang yang berjubah abu-abu itu sehingga hatinya tergetar. Bahkan ia telah dapat memastikan, akan datang saatnya sekarang, tokoh-tokoh gerombolan yang merasa dirinya demikian saktinya, akan tergilas hancur.

Demikianlah Mahesa Jenar segera mencoba memenuhi anjuran orang yang aneh itu. Dengan cepatnya ia meloncat diantara laskar yang sedang bertempur, menuju ke tempat Uling Kuning.
Uling Kuning yang bertempur melawan lebih dari sepuluh orang ternyata dapat melawan dengan enaknya. Cambuknya berputar-putar mengerikan, menimbulkan suara berdesingan. Bahkan karena cambuk itu pula, beberapa senjata di tangan laskar Gedangan telah terlontar jatuh.

Pada saat yang demikian itu muncullah Mahesa Jenar. Dengan geram terdengar ia berkata, Sudah cukup apa yang kau lakukan selama ini Uling Kuning? Nah sekarang aku akan mencoba menghadapimu.

Uling Kuning terkejut mendengar suara itu. Apalagi kemudian muncullah diantara laksar Gedangan, seseorang yang telah dikenalnya dengan baik, Mahesa Jenar. Seorang yang pernah memanaskan hatinya karena ia telah menggagalkan pertemuan golongannya beberapa tahun yang lampau di daerah Rawa Pening. Sebagai tuan rumah pada waktu itu ia merasa tersinggung sekali. Apalagi kemudian usaha untuk membinasakannya dapat digagalkan oleh orang-orang yang tak dikenal.

Karena itu, timbullah gairahnya untuk menjadi seorang pahlawan dari golongannya. Maka dengan menggeretakkan gigi, ia meloncat meninggalkan lawan-lawannya untuk menyongsong kedatangan Mahesa Jenar, sambil berteriak nyaring, Nah, akhirnya aku ketemukan kau di sini Rangga Tohjaya. Mudah-mudahan akulah orang yang dapat memenggal lehermu dan membawanya dalam suatu pertemuan yang akan kita selenggarakan kemudian sebagai ganti dari pertemuan yang pernah kau gagalkan dahulu.

Mahesa Jenar tidak menjawab. Tetapi langsung ia menyerang lawannya. Serangan yang sama sekali tak terduga-duga oleh Uling Kuning. Karena itulah ia menjadi terkejut.

Untunglah bahwa Uling Kuning itupun telah banyak menelan pahit-manisnya pertempuran, sehingga meskipun dengan dada yang berdebar-debar ia berhasil menghindarkan diri. Bahkan karena itu ia menjadi marah bukan kepalang. Diputarnya cambuknya semakin cepat, melampaui kecepatan baling-baling. Yang tampak kemudian hanyalah segulung sinar yang menyambar-nyambar Mahesa Jenar dengan dahsyatnya.

Namun Mahesa Jenar sekarang bukanlah Mahesa Jenar yang dapat dijerumuskan oleh orang-orang hitam itu ke dalam jurang beberapa tahun yang lalu. Ia kini telah menguasai ilmunya hampir sempurna. Karena itu sesaat kemudian terasalah bahwa serangan Mahesa Jenar menjadi semakin dahsyat bagaikan badai yang datang bergulung-gulung menghantam daun-daun pepohonan, yang selembar demi selembar akan runtuh berserakan di tanah.

Demikianlah akhirnya Uling Kuning menjadi basah kuyup oleh keringat yang mengalir dari lubang-lubang kulit di seluruh tubuhnya. Ia menjadi gugup dan gelisah. Apalagi langit telah menjadi semakin suram. Sehingga akhirnya ia merasa perlu untuk mendapat bantuan dari saudaranya.
Sesaat kemudian terdengarlah cambuknya meledak tiga kali berturut-turut, yang segera mendapat jawaban dari arah lain dengan suara yang sama. Segera Mahesa Jenar mengerti, bahwa tanda itu adalah sebuah undangan bagi Uling Putih untuk datang membantunya.

Dan apa yang diduga adalah benar. Sejenak kemudian dari hiruk-pikuk yang semakin samar-samar muncullah seseorang yang bertubuh tinggi dan berwajah runcing. Sedang di tangan kanannya, digenggamnya sebuah cambuk yang sama dengan cambuk Uling Kuning. Dialah orangnya yang bernama Uling Putih.

Dengan serta merta Uling yang satu itu pun langsung menyerang Mahesa Jenar, yang telah bersiaga untuk melawan keduanya. Dengan demikian pertempuran itu menjadi semakin dahsyat. Mahesa Jenar terpaksa mengerahkan segenap kekuatannya untuk melawan kedua bersaudara yang ganas itu. Namun karena bekalnya telah cukup, maka Mahesa Jenar tidak pula banyak mengalami kesulitan.
Sejenak kemudian matahari telah benar-benar tenggelam di bawah garis cakrawala. Sinarnya yang semburat merah telah terbenam dalam warna yang kelam, berbareng dengan munculnya bintang-bintang satu demi satu menghiasi wajah langit.

Bulan yang masih muda menggantung dibalik lembaran awan yang tipis, seolah-olah menyembunyikan wajahnya agar tidak menyaksikan betapa anak manusia di bumi sedang mengadu tenaga. Sedangkan angin pegunungan yang mengalir lirih menggoyang dedaunan, menimbulkan suara berdesir. Sebuah lagu untuk memanjatkan doa demi keselamatan mereka yang sedang bertempur dalam lingkaran kebenaran.

Pada saat yang demikian, kembali terasa betapa laskar Gedangan mulai mendesak lawannya kembali. Kekuatan baru dari sepasang Uling itu telah dapat diimbangi oleh Mahesa Jenar beserta beberapa bagian laskar Gedangan, sedang orang baru yang berjubah abu-abu itu ternyata disamping bertempur melawan Sima Rodra, ia pun dengan serunya dapat mendesak pasukan Pamingit dan Gunung Tidar yang mencoba membantu Harimau Liar itu.
69

KETIKA mengetahui bahwa ternyata pimpinan pasukan gabungan dari Pamingit dan gerombolan golongan hitam, Mahesa Jenar melihat bahwa pasukannya tidak mungkin lagi dapat tertolong apabila pertempuran diteruskan. Karena itu, diputuskannya untuk perlahan-lahan menarik diri, dan apabila mungkin besok dapat disusun kembali dengan gelar yang menguntungkan. Tetapi belum lagi ia memberikan aba-aba, tampaklah sayap-sayap pasukannya menjadi kacau balau.

Ternyata Sima Rodra Tua sudah tidak dapat lebih lama lagi bertahan melawan orang yang berjubah abu-abu itu. Malahan tidak itu saja. Orang yang berjubah abu-abu itu masih dapat melakukan tekanan-tekanan berat pada Jaka Soka dan bahkan Bugel Kaliki, disamping lawannya sendiri.

Hal inilah yang kemudian memaksa Sima Rodra untuk menghindar sebelum binasa. Sebab menurut perhitungannya, ia tidak mungkin lagi dapat melawan orang itu. Dengan demikian, untuk keselamatannya dan keselamatan namanya sebagai seorang tokoh sakti, lebih baik ia melarikan diri dengan tidak memperdulikan barisannya. Yang diusahakan pada saat itu adalah untuk mencoba menyelamatkan anak perempuannya, Janda Sima Rodra Muda. Tetapi agaknya ia sama sekali tidak diberi kesempatan bergerak oleh lawannya. Dengan demikian usaha satu-satunya itupun tidak dapat dilakukan.

Demikianlah maka Sima Rodra itu secepat ia dapat, meloncat meninggalkan arena. Bahkan kemudian ternyata tidak saja Sima Rodra, tetapi juga Bugel Kaliki. Ia bertempur semata-mata atas permintaan sahabatnya itu, disamping kepentingannya sendiri yang tidak terlalu penting. Sebab ia dapat melakukannya di saat lain. Ketika diketahuinya bahwa sahabat yang membawanya itu menghilang dari pertempuran, iapun tidak merasa perlu untuk bertempur lebih lama lagi. Apalagi, ia dapat memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi apabila ia berkelahi terus.
Karena itu segera iapun membenamkan dirinya dalam gelombang pertempuran itu dan seterusnya menghilang. Dengan demikian, maka kacaulah laskar yang berada di dalam pasukan-pasukan kedua orang itu, yang semula merupakan gading-gading dari gelar Dirata Meta, yang kemudian berubah menjadi gelar Gelatik Neba. Karena kekacauan itulah maka satuan pasukan Pamingit dan Gunung Tidar menjadi rusak sama sekali. Beberapa orang kemudian berbuat seperti pimpinan mereka. Berusaha melarikan diri mereka masing-masing.

Melihat kekacauan yang timbul di dalam barisannya, Galunggung masih berusaha untuk memberikan aba-aba. Maksudnya, supaya pasukannya mundur dengan teratur. Tetapi usahanya sia-sia. Jaka Soka yang merasa ditinggalkan oleh orang-orang sakti diatasnya, merasa menjadi terlalu kecil pula, sehingga dengan demikian iapun sedapat mungkin menyelamatkan diri.

Dalam kekacauan pertempuran itu, Kebo Kanigara kehilangan jejak lawannya. Apalagi cahaya bulan muda itu sama sekali tidak mampu menembus tebalnya kabut yang masih mengepul tebal. Sedangkan orang yang berjubah abu-abu itu agaknya sama sekali tidak bernafsu untuk mengejar lawannya.

Di bagian lain, sepasang Uling yang bertempur dengan Mahesa Jenar masih sempat mempertahankan kerampakan orang-orangnya. Meskipun mereka kemudian juga melarikan diri, namun mereka tetap masih merupakan sebuah kesatuan. Bahkan beberapa orangnya yang berani, selalu berusaha untuk melindungi pimpinan mereka dari kejaran Mahesa Jenar, sehingga akhirnya mereka berhasil menghilang dibalik kepulan debu yang tebal.

Mahesa Jenar terpaksa menghentikan pengejarannya dan kembali kepada induk pasukannya. Namun sampai di bekas tempat pertempuran itu, ia terkejut ketika ia masih melihat dua orang yang bertempur mati-matian. Mereka, kedua orang itu, yang sejak semula tidak menghiraukan peperangan yang baru saja terjadi, sampai kini masih saja bergulat diantara hidup dan mati. Mereka itu adalah Janda Sima Rodra Muda melawan Rara Wilis dengan pakaian laki-lakinya, yang dalam bentuknya itu ia lebih senang disebut Pudak Wangi.

Janda Sima Rodra sebenarnya menyadari pula bahwa pasukan Pamingit dan Gunung Tidar tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Bahkan sebenarnya iapun ingin ikut serta lenyap bersama mereka. Namun agaknya usahanya dapat digagalkan oleh Rara Wilis yang menahannya dengan kata-kata yang dapat menyinggung perasaan perempuan yang ganas itu. Kata Rara Wilis ketika ia melihat Harimau Betina itu sedang mencari jalan keluar, “Ibu yang baik…. Jangan hentikan permainan itu. Bukankah sewajarnya kalau seorang ibu mengajari anaknya bermain. Jangan takut orang lain akan turut campur. Persoalan kita adalah persoalan pribadi, sehingga aku tidak mau ada orang lain yang ikut dalam persoalan ini.”

“Bohong!” jawab janda itu, “Kau akan menjebak aku.”

Rara Wilis tertawa menyakitkan hati. Katanya, “Aku bukan jenismu, yang suka berdusta. Kau akan dapat melihat padaku, satunya kata dan perbuatan. Kalau kau memang tidak berani berhadapan dengan cara ini, lebih baik kau berjongkok dibawah telapak kakiku, untuk mohon maaf yang sebesar-besarnya. Dengan senang hati aku akan memaafkanmu.”

Sebagai seorang yang telah lama terbenam dalam lumpur, Janda Sima Rodra merasa dihinakan oleh seorang gadis yang kebetulan adalah anak tirinya. Karena itu, ia menjadi mata gelap. Ia menjadi sama sekali tidak menaruh perhatian kepada keadaan sekelilingnya. Biarlah seandainya kemudian orang-orang lain akan mengeroyoknya. Asal ia lebih dahulu dapat menyobek mulut perempuan yang menghinanya itu.
Setelah itu, hidup matinya tidak berharga lagi baginya, seandainya ia harus mati ditengah-tengah musuh-musuhnya. Apalagi ketika kemudian ia mendengar Rara Wilis berteriak nyaring kepada orang-orang yang mengerumuninya setelah pasukan dari Pamingit dan Gunung Tidar meninggalkan arena, “Jangan ada seorangpun yang mencampuri urusan ini, sebab persoalan kami bukanlah persoalan kalian. Juga jangan sesalkan siapapun yang akan binasa diantara kami. Sebab kami telah memilih cara seorang ksatria dalam penyelesaian masalah kami, masalah yang terjadi antara anak dan ibu tirinya yang durhaka.”

362
SETIAP dada mereka yang mendengar suara itu berdesir. Bahkan Janda Sima Rodra yang ganas itu menjadi semakin kagum juga pada keberanian lawannya yang jauh lebih muda darinya. Tetapi karena itulah ia menjadi lebih bernafsu untuk membinasakan gadis yang sombong itu. Sehingga dengan demikian Harimau Liar Berbisa itu bertempur semakin garang. Kuku-kukunya yang dibalut logam berbisa, mengembang dan menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Kesepuluh ujung jari itu kemudian seolah-olah mengurung setiap kesempatan menghindar bagi Rara Wilis.

Sebaliknya, Rara Wilis telah menyimpan dendam di dalam dada hampir sepanjang umurnya. Tiba-tiba pada saat itu, terbayanglah dengan jelas betapa perempuan itu datang kepada ayahnya. Sekali-kali ia menggertak dengan kasarnya, sekali-kali merayu dengan manisnya. Dan karena itulah ayahnya dapat dijebak dalam perangkapnya.

Terbayang pula betapa ibunya, seorang perempuan lugu, menangis memeluknya pada umurnya yang masih sangat muda. Jelas menerawang di dalam otak Rara Wilis, pada saat-saat perempuan itu memarahinya kalau ia menyusul ayahnya. Bahkan memukul dan mencambuknya. Namun ayahnya sama sekali tidak membantunya. Sehingga akhirnya sampailah keluarga Rara Wilis berada pada puncak kesengsaraan. Ayahnya terusir oleh tetangga-tetangganya. Kemudian karena sedih dan malu, ibunya, satu-satunya orang didunia ini yang dapat dijadikan tempat untuk menyangkutkan cinta, meninggal dunia. Lebih dari itu, perempuan itu kemudian ternyata telah menyeret ayah Rara Wilis dan membenamkannya ke dalam lumpur bersama-sama dengan diri perempuan itu sendiri, yang memang berasal dari dalam lumpur paling kotor.

Karena angan-angan itulah maka Rara Wilis telah membulatkan tekadnya. Perempuan itu atau dirinya sendiri yang binasa dalam pengabdian kepada kesetiaan terhadap ibunya, terhadap keluarganya, serta kesetiaan kepada tekadnya untuk melenyapkan sumber kejahatan. Baginya, perempuan yang demikian jauh lebih berbahaya daripada laki-laki yang bagaimanapun garangnya. Perempuan yang dapat berlaku manis dan merayu, bermodalkan parasnya yang cantik, namun kemudian menyeret korbannya ke jurang yang paling dalam sampai tidak dapat timbul kembali.

Terdorong oleh perasaan itulah maka kemudian Rara Wilis bertempur dengan gagah berani. Bahkan tenaganya seolah-olah menjadi berlipat-lipat. Meskipun demikian, mereka yang menyaksikan, Kebo Kanigara, Wanamerta, kemudian menyusul Mahesa Jenar dan orang yang berjubah abu-abu yang berdiri agak jauh beserta seluruh laskar Gedangan, terpaksa beberapa kali menahan nafas. Sebab ternyata Harimau Betina itu benar-benar mempunyai cara bertempur yang berbahaya. Sesekali ia meloncat menerkam dengan garangnya. Tetapi kemudian dengan teguhnya berdiri menanti serangan-serangan lawannya.

Demikianlah dalam beberapa saat kemudian tampaklah bahwa Harimau Betina itu memang lebih berbahaya daripada lawannya yang sama sekali tak bersenjata. Apalagi Janda Sima Rodra selain memiliki senjata-senjata yang melekat di ujung-ujung jarinya yang berjumlah sepuluh, ia memang memiliki pengalaman yang lebih luas. Dengan demikian maka pertempuran itu menjadi kurang adil. Meskipun tampaknya Janda itu tidak bersenjata, namun hakekatnya, kuku-kunya itulah senjata andalannya.

Tetapi tak seorangpun berani mencampuri pertempuran itu. Setiap usaha untuk mencampurinya, akan dapat menimbulkan akibat yang kurang baik. Sebab, Rara Wilis akan dapat tersinggung perasaannya, dan merasa direndahkan. Karena itu yang dapat mereka lakukan hanyalah menyaksikan pertempuran yang berlangsung di bawah cahaya bulan yang remang-remang sambil sekali-sekali menahan nafas.

Apalagi, ketika mereka telah bertempur lebih lama lagi. Janda Sima Rodra sudah terlalu biasa melakukan pertempuran-pertempuran kasar dan lama, sedangkan Rara Wilis hampir belum pernah mengalami pertempuran yang sedemikian lamanya. Sehari penuh.

Dengan demikian tampaklah bahwa tenaga Rara Wilis menjadi bertambah lemah. Hanya karena kemauannya yang sangat kuatlah yang menjadikannya kuat bertahan. Meskipun demikian terasa pula olehnya, bahwa perempuan liar itu memiliki beberapa kelebihan daripada Wilis. Sehingga sambil bertempur terpaksa Rara Wilis mencari titik-titik kekuatan lawannya. Akhirnya ditemukannya apa yang dicarinya itu. Kelebihan itu terletak pada kuku-kukunya yang sangat berbahaya seperti yang pernah dikatakan oleh Mahesa Jenar. Pada beberapa saat yang lalu ia pernah pula bertempur dengan janda itu, namun kemudian Janda Sima Rodra agaknya telah tekun menambah kekuatannya, sehingga sambaran kuku-kukunya itu menjadi jauh lebih berbahaya.

Oleh penemuannya itu, maka terasalah olehnya, bahwa wajarlah kalau ia selalu terdesak oleh lawannya. Sebab dengan mengenakan salut logam di ujung kuku-kukunya itu berarti bahwa ia telah melawan seseorang yang bersenjata dengan tangan hampa. Karena itu, Rara Wilis menjadi tidak ragu-ragu lagi. Dengan gerak yang cepat, sekejap kemudian di tangannya telah tergenggam sehelai pedang yang tipis. Seterusnya dengan lincahnya ia menggerakkan pedang itu melingkar-lingkar membingungkan, dengan ilmu pedang khusus ajaran perguruan Pandan Alas.

Janda Sima Rodra terkejut melihat kilatan pedang itu. Apalagi kemudian disaksikannya ilmu pedang yang sangat berbahaya. Ujung pedang itu nampaknya selalu bergetar membingungkan. Tetapi ia adalah seorang yang berpengalaman melawan hampir segala jenis senjata. Karena itu sesaat kemudian ia telah dapat mengendalikan diri dalam keseimbangan gerak-gerak lawannya. Meskipun demikian, kekuatan Rara Wilis kini bertambah karena tajam pedangnya itu. Dengan demikian ia menjadi semakin garang. Serangan-serangannya menjadi bertambah sengit dan cepat. Karena kilatan sinar bulan, pedang yang diputarnya cepat-cepat itu seolah-olah telah berubah menjadi ribuan mata pedang gemerlapan menusuk dari segenap arah.

363
DALAM keadaan yang demikian, Janda Sima Rodra menjadi semakin gelap mata. Serangan-serangannya menjadi bertambah cepat, namun menjadi semakin kehilangan pengamatan. Apalagi ketika gerakan-gerakan Rara Wilis menjadi semakin mapan, makin terdesaklah Janda Sima Rodra.

Akhirnya Harimau Betina itu menjadi putus asa. Sambil mengaum nyaring ia menyerang dengan tenaga yang ada padanya. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan yang lain-lain menjadi terkejut melihat serangan yang ganas itu. Sebab bila Rara Wilis lengah sedikit saja, dadanya pasti dapat dirobek oleh lawannya. Tetapi untunglah bahwa dengan pedang di tangan, Rara Wilis menjadi agak tenang, sehingga pengamatannya atas lawannya menjadi semakin jelas pula.

Maka ketika Janda Rodra menerkamnya, segera Rara Wilis meloncat ke samping, dan sambil merendahkan diri, tangannya bergerak dengan cepat, sehingga pedang tipis itu terjulur lurus ke depan. Demikianlah ujung pedang tipis itu terasa menyentuh sesuatu dan tanpa sadar pedang itu telah tenggelam ke dada lawannya dibarengi teriakan yang mengerikan.

Rara Wilis adalah seorang yang telah menerima ilmu yang cukup banyak. Namun dalam perjalanan hidupnya ia sama sekali tidak bermimpi bahwa pada suatu saat, dengan pedang di tangannya, akan ditembusnya dada seseorang. Memang, ia bercita-cita untuk dapat membalas sakit hatinya dengan melenyapkan perempuan yang telah menyeret ayahnya ke dalam lembah kehinaan. Namun, ketika angan-angannya itu kini dapat diwujudkan, dengan membenamkan pedang ke dada perempuan itu, hatinya berguncang keras. Bagaimanapun kehalusan perasaannya sangat terpengaruh karena itu. Apalagi kemudian ketika dilihatnya darah segar menyembur dari luka di dada ibu tirinya. Maka tiba-tiba Rara Wilis pun menjerit sambil melompat mundur. Ia tidak sempat menarik pedangnya, karena kedua belah tangannya kemudian menutupi wajahnya. Bahkan sesaat kemudian ia terhuyung-huyung jatuh. Untunglah bahwa Mahesa Jenar dengan cekatan meloncat menangkapnya. Dan ternyata kemudian Rara Wilis pingsan.

Beberapa orang segera menjadi ribut. Dipijit-pijitnya kening gadis itu oleh Kebo Kanigara. Dan kemudian digerak-gerakkannya tangannya setelah pakaiannya dikendirkan. Ternyata tubuh gadis itu telah basah kuyup oleh keringat.

Maka atas anjuran beberapa orang, dipapahnya Rara wilis kembali mendahului ke pedukuhan, diantar oleh beberapa orang, dengan pesan apabila ada sesuatu yang penting agar diberi tanda-tanda dengan kentongan.

Tinggalah kemudian diantara mereka, mayat Janda Sima Rodra. Seorang perempuan yang telah menggemparkan masyarakat karena kelakuan-kelakuannya yang kotor. Kecuali ia seorang penjahat, ternyata Janda Sima Rodra juga seorang yang mempunyai kebiasaan yang mengerikan. Sebagaimana bekas-bekasnya pernah ditemukan oleh Mahesa Jenar di Prambanan. Kebiasaan berpesta dengan upacara-upacara yang memuakkan diantara mereka, gerombolan hitam, terutama gerombolan Sima Rodra. Upacara yang hampir tak dapat dipercaya berlaku diantara mahluk yang bernama manusia.

Pada saat yang demikian, bekas arena pertempuran itu menjadi sepi. Sesepi daerah kuburan. Beberapa orang laskar Gedangan berdiri dengan kaku memandang tubuh-tubuh yang bergelimpangan dari keduabelah pihak. Suasana menjadi bertambah ngeri ketika terdengar di sana-sini suara rintihan yang menyayat hati. Maka kemudian keluarlah perintah dari Mahesa Jenar untuk memelihara orang-orang yang terluka dari pihak manapun.

Tetapi tiba-tiba Mahesa Jenar menjadi gelisah, bahwa sejak tadi ia sama sekali belum melihat Arya Salaka diantara mereka. Karena itu Mahesa Jenar menjadi gelisah. Sejak semula perhatiannya terikat penuh pada pertempuran antara Janda Sima Rodra dan Rara Wilis. Sedang pada saat itu tak seorang pun yang masih tampak di daerah bekas pertempuran, selain mereka yang masih bergerombol itu.

“Ada yang kau cari…?” terdengar Kebo Kanigara bertanya, ketika dilihatnya Mahesa Jenar melayangkan pandangan berkeliling.

“Arya…” jawab Mahesa Jenar pendek.

Serentak mereka yang mendengar jawaban Mahesa Jenar itu tersadar, bahwa anak itu memang sejak tadi tidak mereka lihat. Dengan demikian mereka pun menjadi gelisah. Lebih-lebih Wanamerta, selain Mahesa Jenar sendiri.

“Siapakah yang berada di sayap kanan bersama anak itu?” teriak Mahesa Jenar.

Seorang yang bertubuh pendek kegemuk-gemukan, dengan sebuah parang di tangan, menjawab, “Aku… Tuan.”

“Kau melihat anak muda itu…?” tanya Mahesa Jenar lebih lanjut.

“Ya, aku melihat anak muda itu memimpin barisan kami,” jawabnya pula.

“Di mana ia sekarang…?” desak Mahesa Jenar.

Orang yang bertubuh pendek itu berpikir sejenak untuk mengingat apa yang dilihatnya. Kemudian katanya, “sejak matahari terbenam aku tidak menyaksikannya lagi.”

“Lalu siapa yang memegang pimpinan?” tanya Mahesa Jenar seterusnya.

“Ya, sejak saat itulah anak muda itu hilang dari antara kami, sejak ia memberikan perintah untuk menjadikan sapit kanan, khusus dalam gelar Jaring Gumelar,” jawab orang itu.

Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Anak itu ternyata benar-benar cerdas, dengan memilih gelar khusus bagi pasukannya. Karena dengan gelar itu sapit kanan akan menjadi lincah. Namun aneh bahwa untuk seterusnya anak buahnya tidak melihatnya lagi.

“Adakah anak itu terikat dengan lawan?” tanya Mahesa Jenar kemudian.

“Ya, Tuan…” jawab orang bertubuh pendek kegemuk-gemukan itu, “Aku lihat hal itu. Anak muda itu bertempur melawan anak muda yang sebaya, bertubuh kuat gagah seperti anak muda yang memimpin kami, Arya Salaka.”

“Sawung Sariti…” desis Mahesa Jenar. Meskipun demikian dadanya menjadi berdebar-debar. Anak itu adalah murid Ki Ageng Sora Dipayana. Apakah dalam pertempuran itu Arya dapat dikalahkan…? Karena itu debar di dada Mahesa Jenar makin bertambah.

364

“MARILAH kita cari,” kata Mahesa Jenar kemudian, sambil melangkah dengan cepatnya ke arah bekas arena sayap kanan, diikuti beberapa orang termasuk Kebo Kanigara, Wanamerta, dan tidak ketinggalan Widuri pun mengikutinya dengan berlari-lari kecil.

Dalam hal yang demikian, Mahesa Jenar telah melupakan sama sekali orang yang berjubah abu-abu, yang sebenarnya banyak menarik perhatiannya. Namun masalah Arya Salaka baginya merupakan masalah yang tidak kalah pentingnya.

Tetapi ketika baru saja ia melangkah beberapa langkah, dilihatnya orang berjubah abu-abu itu berlari mendahuluinya, seakan-akan ada sesuatu yang penting dalam usahanya untuk mencari Arya Salaka.

Demikianlah, beberapa orang yang lain pun segera berlari-lari pula. Sementara itu Widuri pun telah berada di dalam bimbingan tangan ayahnya, sambil menggerutu, “Kenapa kau ikut juga, Widuri…? Lebih baik kau kembali ke Gedangan bersama-sama bibi Wilis.”

Widuri tertawa kecil, lalu jawabnya, “Sebenarnya akupun sudah terlalu lapar.”

“Nah, kembalilah biar seseorang mengantarmu,” sahut ayahnya.

“Akulah yang akan mengantarnya kalau seseorang ingin pulang kembali,” jawab anak itu sambil tertawa.

“Jangan sombong,” potong ayahnya, “Pulanglah.”

“Tidak mau,” jawab gadis tanggung yang nakal itu.

Kalau sudah demikian Kebo Kanigara tidak akan dapat memaksanya lagi. Terpaksa ia menggandeng anaknya sambil berlari mengikuti Mahesa Jenar.

Orang yang berjubah abu-abu itu masih saja berlari ke suatu arah. Seolah-olah ada yang menunggunya di sana. Sedangkan Mahesa Jenar masih selalu berada di belakangnya.

Tiba-tiba dalam pada itu, dalam garis arah yang dituju oleh orang berjubah abu-abu itu, tampaklah dalam keremangan cahaya bulan yang kekuning-kuningan, dua bayangan yang selalu bergerak-gerak dengan cepatnya. Oleh ketajaman matanya, segera Mahesa Jenar dapat menangkap bayangan itu. Bayangan dari dua orang yang sedang bertempur diantara hidup dan mati.

Melihat kedua orang yang bertempur itu dada Mahesa Jenar bergetar. Karena itu seakan-akan mempercepat langkahnya, sehingga semakin lama bayangan itu seakan-akan menjadi semakin besar dan jelas. Akhirnya Mahesa Jenar dapat meyakinkan dirinya, bahwa yang bertempur mati-matian itu adalah Arya Salaka melawan Sawung Sariti.

Dalam pada itu, ketika Mahesa jenar telah melihat muridnya bertempur, kembali perhatiannya terampas habis, sehingga ia melupakan pula orang yang berjubah abu-abu itu. Dengan demikian ketika ia dengan penuh perhatian berlari-lari mendekati titik pertempuran itu, ia tidak lagi dapat mengetahui ke mana orang yang berjubah abu-abu itu pergi.

Ketika Mahesa Jenar beserta beberapa orang lain tiba, untuk sesaat terhentilah pertempuran itu. Sawung Sariti meloncat beberapa langkah surut sambil berkata mengejek, “Kakang Arya Salaka, lihatlah orang-orangmu datang. Tidakkah lebih baik kalau mereka kau suruh bertempur pula melawan aku bersama-sama dengan Kakang…?”

Sekali lagi Mahesa Jenar merasa tidak senang sama sekali atas kesombongan itu. Meskipun demikian dibiarkannya muridnya menjawab. Katanya, “Adakah kau bermaksud demikian?”

“Tentu,” jawab Sawung Sariti. “Dengan demikian aku akan dapat menyelesaikan pekerjaanku sekaligus.”

“Sayang,” sahut Arya salaka, “Aku berkehendak lain. Aku ingin kau lebih lama bekerja di sini. Mengalahkan kami satu demi satu, kalau kau mampu.”

“Apakah sulitnya?” potong anak yang sombong itu.

Arya Salaka tersenyum, katanya, “Kalau kau harus menyelesaikan pertempuran melawan aku seorang sampai satu hari satu malam, misalnya, berapa hari kau perlukan untuk melawan sekian banyak orang satu demi satu?”

Aku tidak peduli, jawab Sawung Sariti. Meskipun demikian, mungkin aku dapat memaafkan yang lain-lain, sebab mereka tidak bersalah kepadaku.

Kau belum mengatakan kepadaku, apakah salahku, sahut Arya Salaka. Sebab kau begitu saja menyerang aku.

Sawung Sariti tertawa pendek, jawabnya, Kenapa beberapa waktu lalu kita bertempur di Gedangan ini pula? Nah, ketahuilah bahwa apa yang aku lakukan sekarang adalah kelanjutan dari persoalan itu.

Terdengar Arya Salaka tertawa pula. Katanya, Supaya aku tidak dapat mengatakan kemana Paman Sawungrana kau singkirkan…?

Wajah Sawung Sariti berubah menjadi semburat merah. Apalagi diantara orang-orang yang datang kemudian terdapat Wanamerta. Meskipun demikian ia menjawab, Kau benar. Dan setiap orang yang tidak mau berjanji untuk merahasiakan hal itu kepada orang-orang Banyubiru akan aku binasakan juga.

Bagus… jawab Arya Salaka, Mulailah.

Sekali lagi Sawung Sariti memandang orang-orang yang berjajar mengelilinginya satu demi satu. Seolah-olah ia sedang menghitung waktu yang akan diperlukan untuk membinasakan mereka itu seorang demi seorang. Namun ketika terpandang olehnya wajah Mahesa Jenar yang tenang teguh, serta seorang laki-laki di sampingnya dengan seorang gadis tanggung yang cantik di tangannya, hati Sawung Sariti tergetar.

365

SAWUNG Sariti merasa perlu untuk meyakinkan bahwa Mahesa Jenar tidak akan melibatkan diri dalam pertempuran. Katanya. Paman Mahesa Jenar, apakah Paman juga tertarik pada permainan ini? Kalau benar demikian aku persilakan Paman membantu kakang Arya Salaka.

Mahesa Jenar tahu arah bicara anak itu. Jawabnya, Kau tak perlu berkecil hati Sawung Sariti. Meskipun kami bukan orang-orang yang memiliki gelar ksatria, namun kami mengenal sifat-sifat kejantanan. Apalagi terhadap anak-anak seperti kau ini.

Sawung Sariti merasa tersinggung karenanya. Meskipun demikian ia menjadi berbesar hati bahwa ia telah mendapat jaminan, bahwa ia dibiarkan bertempur seorang melawan seorang dengan Arya Salaka. Karena itu ia meneruskan, Nah kalau demikian relakan murid Paman ini binasa karena ketamakannya.

Mahesa Jenar tidak menjawab. Namun terpaksa ia menahan hatinya yang sama sekali tidak senang atas kata-kata itu. Juga Arya Salaka merasa tidak perlu berkata-kata lagi. Karena itu, segera ia mempersiapkan diri untuk meneruskan pertempuran yang telah berjalan demikian panjangnya.
Sawung Sariti pun bersiap pula. Mulutnya terkatup rapat, tangannya bersilang di depan dadanya. Kemudian dengan sebuah loncatan yang cepat ia mulai menyerang. Geraknya lincah dan tangkas sesuai dengan ajaran-ajaran yang pernah diterimanya dari seorang guru yang mumpuni. Dimodali dengan tubuhnya yang kokoh kuat serta otak yang cerdas licin. Namun lawannya bukan pula anak larahan. Tetapi ia adalah murid seorang yang berhati jantan dan bertekad baja, serta telah mengalami tempaan yang luar biasa beratnya untuk mewarisi ilmu keturunan Ki Ageng Pengging Sepuh, tidak saja dari Mahesa Jenar, tetapi juga dari Kebo Kanigara langsung.

Karena itulah maka perkelahian yang terjadi merupakan perkelahian yang sengit dan seimbang. Kedua-duanya dapat bergerak dengan lincahnya sambar-menyambar, dan keduanya dapat bertahan dengan tangguh melawan setiap serangan. Mereka saling desak-mendesak berganti-gantian silih ungkih singa lena.

Pukulan tangan Sawung Sariti menyambar-nyambar berdesingan, namun Arya Salaka dengan tangkasnya selalu dapat menghindari. Namun sekali-sekali tangan itu berhasil pula mengenai tubuhnya. Demikianlah pada suatu saat sebuah sambaran tangan Sawung Sariti hinggap di dada Arya Salaka sedemikian kerasnya sehingga Arya terdorong surut. Tetapi Sawung Sariti tidak mau membiarkan kesempatan itu. Cepat ia meloncat maju dan sekali lagi menyerang dengan kakinya ke arah lambung ketika Arya masih belum dapat menjaga keseimbangannya dengan baik.

Ketika Arya melihat serangan itu, ia tidak dapat berbuat lain daripada melindungi lambungnya dengan tangan, namun karena desakan yang keras, serta keseimbangannya yang belum pulih benar. Sekali lagi Arya terdorong, bahkan lebih keras sehingga ia jatuh berguling. Sekali lagi Sawung Sariti mendesak maju. Dengan sebuah loncatan ia berusaha untuk menerkam dan menindih Arya. Kedua tangannya terjulur ke depan ke arah leher lawannya.

Pada saat yang demikian Arya melihat bahaya yang bakal datang apabila lawannya benar-benar dapat mencekik serta menindih tubuhnya. Maka ketika ia melihat tubuh itu melayang ke arahnya, segera ia menelentang dan dengan sekuat tenaganya ia mendorong tubuh itu dengan kedua kakinya tepat pada bagian bawah perutnya. Demikianlah Sawung Sariti terdorong keras ke depan, melampaui tubuh Arya Salaka.

Namun Sawung Sariti mempunyai ketangkasan yang cukup pula. Dengan berguling ia dapat menyelamatkan tubuhnya dari benturan yang keras. Bahkan ia segera dapat loncat berdiri. Tetapi pada saat itu Arya telah siap pula. Bahkan ia berhasil mendahului menyerang. Dengan sebuah loncatan yang panjang Arya memukul rahang lawannya. Kali ini Sawung Sariti tidak berhasil menghindar.

Dengan sebuah sentakan yang keras, kepala terangkat sambil tergetar mundur. Dengan penuh nafsu Arya sekali lagi melangkah serta mengayunkan tangannya ke arah perut lawannya. Terdengarlah suara yang tersekat di kerongkongan, dan tubuh Sawung Sariti terbungkuk ke depan. Namun ketika Arya mengulangi serangannya, dengan cepatnya Sawung Sariti demikian saja menjatuhkan dirinya. Kali ini tangan Arya terayun diatas kepala lawannya tanpa menyinggungnya. Sehingga malahan tubuhnya terseret oleh kekuatannya sendiri.

Pada saat itulah Sawung Sariti menghantam dadanya dengan kakinya yang kokoh. Suaranya gumebruk seperti terhantam batu. Sekali lagi Arya terlontar mundur. Dan sekali lagi Sawung Sariti mendesaknya dengan pukulan-pukulan. Sehingga akhirnya punggung Arya membentur dinding karang yang tegak di belakangnya.

Pada saat yang demikian Arya tidak lagi dapat melangkah surut. Karena itu ketika Sawung Sariti menghantamnya, Arya melawannya dengan sebuah tendangan mendatar.

Maka terjadilah suatu benturan yang keras. Arya Salaka dapat menekankan punggungnya pada karang di belakangnya, sehingga ia seolah-olah mendapat tambahan kekuatan. Dengan demikian Sawung Sariti terdorong mundur beberapa langkah. Meskipun demikian terasa betapa pedihnya punggung Arya, yang ternyata menjadi luka karena tajamnya karang-karang itu. Bahkan kemudian terasa cairan hangat meleleh perlahan-lahan di bawah bajunya yang tersobek.

Darah.

Mengalami peristiwa itu Arya menjadi semakin marah. Karena itu ia menjadi bertambah garang. Serangannya yang datang kemudian menjadi bertambah berbahaya. Dengan melontarkan diri ia maju menyerang dada. Tetapi Sawung Sariti telah siap. Sehingga dengan cepat ia meloncat ke samping, dan membalas menyerang dengan sebuah pukulan ke arah muka lawannya.

Melihat lawannya lepas, Arya menarik serangannya, dan ketika ia melihat tangan Sawung Sariti melayang ke wajahnya, secepat kilat tangan itu ditangkapnya. Dengan membalikkan diri serta menekuk lututnya sedikit, Arya menarik tangan itu keras-keras diatas pundaknya, dan dengan dorongan pundak itu Arya melemparkan tubuh lawannya ke depan

DENGAN kerasnya Sawung Sariti terlempar. Meskipun ia memiliki ketangkasan bergerak, namun kemudian ia terbanting juga di tanah. Hanya karena ketahanan tubuhnya yang luar biasa, tulang punggungnya tidak patah. Bahkan dengan suatu hentakan ia berhasil melepaskan tangannya dan berguling menjauhi Arya. Kemudian dengan tangkasnya ia melenting berdiri. Namun terasa pula betapa rasa sakit telah mengganggu pinggangnya.

Demikianlah, perkelahian itu berlangsung dengan serunya. Masing-masing telah mengerahkan segenap tenaganya untuk mengalahkan lawannya. Namun sampai sedemikian jauh mereka masih tetap dalam keadaan seimbang. Sedang mereka yang menyaksikan perkelahian itu, kadang-kadang harus menahan nafas dengan hati yang berdebar-debar.

Arya Salaka dan Sawung Sariti berkelahi dengan penuh nafsu. Dengan segala ilmu yang mereka miliki, mereka ingin segera menyelesaikan pertempuran itu, namun agaknya pertempuran itu masih akan berlangsung lama.

Untuk itu, ternyata mereka mempunyai beberapa perbedaan pengalaman. Sawung Sariti adalah seorang yang manja. Yang hidup dalam lingkungan yang tidak banyak memerlukan tenaganya. Sedang Arya salaka menjalani hampir seluruh hidupnya dengan bekerja keras, berjalan dari matahari terbit sampai terbenam, membenamkan dirinya dalam kancah lumpur sawah bersama para petani. Mengarungi lautan sebagai anak nelayan di pantai Tegal Arang.

Karena itulah Arya Salaka mempunyai ketahanan jasmaniah yang lebih daripada Sawung Sariti. Dengan demikian maka ketika bulan yang masih muda itu menenggelamkan dirinya, tampaklah bahwa tenaga Sawung sariti yang bagaimanapun kuatnya setelah demikian lama dengan nafsu penuh berjuang, menjadi surut. Meskipun tenaga Arya Salaka surut pula, namun hal yang demikian nampak lebih jelas pada lawannya.

Agaknya Sawung Sariti merasakan hal itu pula. Karena itu ia menjadi gelisah. Ia tidak mau mengalami kekalahan dari kakaknya, meskipun bagaimanapun juga. Bahkan ia menjadi heran kalau kakaknya dapat mengimbangi kekuatannya setelah ia digala mati-matian oleh kakeknya, Ki Ageng Sora Dipayana. karena kegelisahannya itulah akhirnya ia mengambil suatu keputusan yang menentukan.

Maka ketika Sawung Sariti telah merasa semakin lelah, segera ia ingin mengakhiri pertempuran. Dipusatkannya segenap pancainderanya dalam suatu perhatian, disalurkannya nafasnya dengan teratur untuk menemukan kebulatan kekuatan dalam pancaran ilmu yang pernah diterimanya, Lebur Sakethi. Direntangkannya tangannya ke samping dengan kaki setengah langkah yang ditekuk pada lututnya.

Semua yang melihat sikap itu menjadi terkejut. Apalagi Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara yang telah mengenal kedahsyatan ilmu Ki Ageng Sora Dipayana itu. Hampir saja mereka bergerak untuk mencegahnya.

Namun dengan berdebar-debar mereka terpaksa membatalkan niatnya. Sebab mereka telah berjanji untuk menyerahkan penyelesaian itu kepada Arya Salaka. Disamping itu mereka menjadi bertambah kecewa terhadap Sawung Sariti yang telah mempergunakan ilmu dahsyat itu sebagai alat penyelesaian dengan keluarga sendiri, untuk mempertahankan keserakahan dan ketamakan.

Arya Salaka sendiri terkejut pula melihat sikap Sawung Sariti. Untunglah bahwa gurunya pernah memperkenalkan bentuk-bentuk ilmu yang dahsyat itu, sehingga segera ia mengenal bahwa Sawung Sariti telah mempersiapkan ilmu Lebur Sakethi. Dengan demikian Arya pun dengan cepatnya berpikir. Ia telah mendapat pesan wanti-wanti dari gurunya untuk tidak mempergunakan ilmu Sasra Birawa dalam sembarang keadaan.

Tetapi keadaan ini gawat sekali. Kalau ia sampai tersentuh Lebur sakethi tanpa matek aji Sasra Birawa, ia yakin bahwa dadanya akan rontok. Karena itu, yang dapat dilakukan adalah segera bersiaga lahir batin. Diangkatnya satu tangannya tinggi-tinggi, tangan yang lain menyilang di dada, sedang satu kakinya diangkat serta ditekuk ke depan. Tepat pada saat ia selesai dengan pemusatan tenaganya, dilihatnya Sawung Sariti telah meloncat maju dengan melingkarkan kedua tangannya yang kemudian bersama-sama mengarah ke kepalanya.

Arya tidak mau binasa dalam keadaan yang mengerikan. Karena itu ia pun segera dengan mengerahkan segenap kekuatan ilmunya, Sasra Birawa.

Maka segera terjadilah benturan dari dua macam ilmu yang dahsyat itu. Sasra Birawa berbenturan dengan Lebur Sakethi. Dua macam ilmu keturunan dari dua orang sahabat yang pernah berjuang bersama-sama melawan kejahatan. Namun sampai pada keturunannya, ilmu itu terpaksa berbenturan dalam perjuangan yang benar-benar diantara hidup dan mati.

Beberapa tahun lampau kedua ilmu itu pernah pula berbenturan diatas Gunung Tidar. Namun pada saat itu benturan terjadi karena salah paham. Apalagi waktu itu mereka yang berkepentingan merasa mempertaruhkan barang yang paling berharga, yaitu keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Mahesa Jenar pada saat iti sama sekali belum pernah mengenal Gajah Sora, dan sebaliknya, kecuali setelah mereka siap menghantamkan ilmu-ilmu itu.

Sekarang, hal serupa terjadi. tetapi latar belakang persoalannya jauh berbeda. Sekarang, benturan itu terjadi karena persoalan hak. Banyubiru bagi Arya Salaka adalah tanah pusaka, tanah tercinta.

Demikianlah, akibat benturan itupun dahsyat sekali. Arya Salaka dan Sawung Sariti sama-sama terlempar jauh ke belakang, dan seterusnya mereka jatuh terguling-guling. Untunglah bahwa kedua anak muda itu belum memiliki kedua macam ilmu itu dengan sempurna. Sehingga karena itulah maka ketahanan tubuh mereka dalam pemusatan ajian masing-masing masih dapat bertahan sehingga mereka tidak hancur karenanya.

Meskipun demikian untuk beberapa saat mereka terpaksa membiarkan diri mereka terbaring tak bergerak. Seolah-olah tenaga mereka terlepas dari sendi-sendinya.

367

DALAM hal yang demikian, kembali ketahanan tubuh Arya Salaka tampak lebih besar dari Sawung Sariti. Ialah yang mulai dapat menggerakkan tubuhnya dan perlahan-lahan bangun. Dengan susah payah ia berhasil duduk dan bersandar pada kedua belah tangannya.

Baru sesaat kemudian tampak Sawung Sariti mulai bergerak-gerak pula. Namun karena nafsunya yang meluap-luap itulah agaknya ia memaksa tubuhnya untuk segera dapat bangkit berdiri. Mahesa Jenar menjadi tidak tahan lagi melihat perkelahian itu, sehingga dicobanya untuk melerainya. Katanya, “Anakku berdua… sudahilah pertempuran itu. Tidakkah ada jalan lain untuk menyelesaikan masalah kalian dengan tidak usah menumpahkan darah?”

Tetapi Sawung Sariti adalah seorang anak yang sombong. Yang dalam hidupnya sehari – hari seolah – olah tak seorangpun yang berani membantah kemauannya.

Karena itu meskipun keadaan tubuhnya sangat tidak menguntungkan, namun ia menjawab,”Paman sudah menyerahkan masalah kami kepada kami berdua. Kalau Paman tidak rela murid Paman binasa, suruhlah orang lain membantunya.”

Sekali lagi perasaan Mahesa Jenar tersentuh. Namun betapapun pedihnya ia masih menyabarkan diri. Katanya lebih lanjut, “Apakah yang dapat kalian peroleh dengan perkelahian itu? Kunci persoalannya tidak terletak pada kalian. Tetapi pada ayah-ayah kalian. Sedang ayah kalian adalah dua bersaudara seayah-seibu. Adakah pantas kalau kalian terpaksa bertempur mati – matian? Kalau ada persoalan biarlah kita bicarakan, sedang kalau ada masalah marilah kita pecahkan.”

“Kami sedang memecahkan masalah kami dengan cara seorang laki-laki,” jawab Sawung Sariti dengan angkuhnya.

Mahesa Jenar mengerutkan keningnya sambil mengusap dadanya, seolah-olah ia sedang menekan hatinya supaya tidak hanyut terseret oleh arus perasaannya. Bahkan ia berkata pula, “Sawung Sariti… kejantanan seorang laki-laki tidak saja diukur dengan keprigelannya bertempur, tetapi juga harus dinilai dengan keluhuran budi. Dengan demikian barulah penilaian kita sempurna. Keluhuran budi itu dapat dicerminkan oleh tujuan serta pelaksanaan untuk mencapai tujuan itu.”

“Kau jangan menggurui aku Paman,” potong Sawung Sariti, “Sebab aku sudah tahu semuanya itu. Ketahuilah, bahwa tujuanku bukan sekadar membinasakan Arya Salaka, tetapi tujuan yang lebih jauh lagi adalah ketenteraman hidup rakyat Banyubiru dan Pamingit.”

“Bagus, Sawung Sariti…” sahut Mahesa Jenar. “Demikian hendaknya seorang pemuka dan pemimpin. Namun ketahuilah bahwa aku yakin, AryaSalaka pun berhasrat demikian pula. Apakah salahnya kalau kalian dapat bekerja bersama dalam batas – batas yang ditentukan oleh kemampuan kalian masing-masing?”

Sawung Sariti terdiam sesaat. Kata-kata Mahesa Jenar memang mengandung kebenaran. Kalau apa yang dilakukan selama ini adalah untuk ketenteraman hidup rakyatnya, maka sebaiknya tidak perlu ia mengejar-ngejar Arya Salaka, apalagi membunuhnya.

Tetapi tiba-tiba kembali nafsunya melonjak-lonjak. Nafsu untuk berkuasa atas tanah perdikan Banyubiru yang sebenarnya adalah hak Arya Salaka. Karena itu segera ia menjawab, “Paman, aku hanya dapat bekerja bersama dengan orang-orang yang tahu diri serta tahu menempatkan dirinya.”
“Tidakkah Arya dapat berbuat demikian?” tanya Mahesa Jenar.

Pada saat itu dada Arya rasa-rasanya sudah akan pecah. Ia tidak tahan lagi mendengar pembicaraan itu, yang seolah-olah baginya hanya tersedia di dalam sudut belas kasihan Sawung Sariti.

Terdorong oleh darah remajanya yang sedang bergelora, berteriaklah Arya Salaka mengatasi suara Mahesa Jenar yang hampir melanjutkan perkataannya, “Paman, biarlah Adi Sawung Sariti memilih cara yang sebaik-baiknya untuk menyelesaikan masalah ini.”

Mahesa Jenar dapat mengerti sepenuhnya, bahwa Arya Salaka merasa harga dirinya tersinggung. Namun demikian ia masih mencoba berkata, “Tak ada masalah yang tak dapat terpecahkan diantara kalian, sebagai keturunan bersama dari Ki Ageng Sora Dipayana.”

Nama itu memang untuk sementara dapat mempengaruhi perasaan mereka. Namun agaknya masalah haus kekuasaan telah menjamah seluruh relung-relung hati Sawung Sariti. Karena itu ia sudah tidak mau berbicara lagi. Meskipun tubuhnya masih belum segar benar namun ia telah bertekad untuk menyelesaikan pertempuran itu.

Tetapi karena aji Lebur Sakethi-nya mendapat perlawanan yang seimbang, ia memilih cara lain untuk membinasakan Arya Salaka dengan kecepatannya memainkan pedang. Maka dalam sekejap mata, tampaklah sinar mata pedang berkilat-kilat didalam gelap malam, dibawah gemerlipnya bintang gemintang di langit yang kelam.

Sekali lagi hati Mahesa Jenar tergetar. Ia merasa tidak dapat berbuat lain, daripada menyaksikan kembali perkelahian yang sengit antara Arya Salaka dan Sawung Sariti. Perkelahian diantara keluarga sendiri yang pada hakekatnya tidak banyakb erarti dalam percaturan tata pemerintahan di Banyubiru kelak. Sebab beberapa orang Banyubiru telah mendengar bahwa Arya Salaka masih hidup dan akan kembali ke tanah pusakanya. Sehingga apabila ternyata kemudian Arya Salaka tidak kembali, maka para pemimpin Banyubiru pasti akan mengurai persoalan itu. Dan dengan demikian, ketenteraman yang diharapkan tidak akan dapat diwujudkan. Yang akan terjadi kemudian adalah penindasan terhadap orang-orang yang ingin membela pemimpin mereka. Bahkan kebenaran Gajah Sora pun pasti akan tersingkap pula, setelah Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten dapat diketemukan.

Tetapi yang terjadi kemudian adalah benar-benar suatu pertempuran yang sengit.

Ketika Arya Salaka melihat gemerlapnya sinar pedang di tangan Sawung Sariti, maka segera iapun mencabut tombaknya yang diberinya sebuah tangkai pendek.

Tombak yang merupakan pertanda kebesaran pemerintahan Banyubiru pada masa lampau, bernama Kyai Bancak.

368
DEMIKIANLAH sekali lagi, Arya Salaka dan Sawung Sariti menyabung nyawanya.

Dua bayangan yang bergerak-gerak dengan cepatnya, timbul-tenggelam diantara gemerlapnya sinar pedang, dan cahaya kebiru-biruan dari ujung tombak yang bernama Kyai Bancak.

Kembali perkelahian itu berkobar dengan serunya. Bahkan kali ini di tangan masing-masing tergenggam senjata yang dapat menyobek kulit daging. Sawung Sariti benar-benar dapat mewarisi keahlian bermain pedang dari ayahnya, sedang Arya Salaka dengan cepatnya dapat mengimbangi.

Tombaknya yang bertangkai pendek itu mematuk-matuk berbahaya sekali ke segenap bagian tubuh Sawung Sariti.

Tetapi ketika pertempuran itu telah berlangsung beberapa lama, kembali terasa, tenaga Sawung Sariti telah jauh susut. Karena itu ketangkasannyapun menjadi berkurang. Demikianlah, maka ketika Sawung Sariti mempergunakan segenap sisa tenaganya untuk menyerang lawannya, Arya Salaka berhasil menghindar kesamping. Arya sama sekali tidak membalas menyerang tubuh Sawung Sariti, tetapi dipukulnya pedang yang hanya berjarak beberapa kilan dari tubuhnya itu dengan sekuat tenaganya. Sawung Sariti sama sekali tidak menduga, bahwa lawannya akan berbuat demikian. Karena itu pedangnya bergetar sehingga tangannya terasa pedih.

Sebelum ia sempat memperbaiki keadaannya, sekali lagi Arya menghantam pedang itu. Kali ini Arya Salaka berhasil. Pedang itu dengan kerasnya terlontar lepas dari tangan Sawung Sariti.
Mengalami peristiwa itu, dada Sawung Sariti bergoncang. Segera ia meloncat mundur untuk mempersiapkan diri melawan tanpa senjata. Tetapi Arya dengan tangkasnya meloncat pula, bahkan lebih cepat dari Sawung Sariti yang hampir kehabisan tenaga. Apa yang terjadi kemudian adalah ujung Tombak Kyai Banyak telah melekat di dada anak muda yang sombong itu.

Semua yang menyaksikan peristiwa itu, menahan nafasnya. Suasana menjadi tegang. Semuanya menunggu apa yang akan dilakukan Arya Salaka dengan tombak pusaka dari Banyubiru itu.

Tetapi bagaimanapun juga, terpaksa mereka mengagumi pula ketabahan hati Sawung Sariti. Meskipun di dadanya telah melekat ujung tombak lawannya, yang dalam sekejap mata dapat membunuhnya, namun anak itu sama sekali tidak menjadi takut. Bahkan terdengar giginya gemeretak sebagai ungkapan kemarahan hatinya, dan sesaat kemudian terdengar ia berkata, “Ayo, Kakang Arya Salaka. Bunuhlah aku dengan tombak kebesaran Banyubiru itu.”

Sebenarnya darah Arya Salakapun telah cukup panas. Dan dalam keadaan yang demikian dapat saja ia menggerakkan tangannya beberapa jengkal. Dengan demikian Sawung Sariti pun akan binasa. Namun tiba-tiba, ketika ia telah memilki kunci kemenangan, tampaklah pada wajah Sawung Sariti sebuah bayangan atas masa lampaunya. Masa kanak-kanaknya.

Dimana mereka berdua dengan anak itu bermain bersama di Rawa Pening kalau kebetulan Sawung Sariti berada di Banyubiru. Sebaliknya mereka kadang-kadang berkuda bersama mendaki bukit-bukit kecil di Pamingit untuk mencari buah-buahan, yang kemudian dimakan bersama.

Diingatnya dengan jelas, alangkah rukunnya pergaulan kanak-kanak yang masih jauh dari pamrih dan nafsu keangkaramurkaan. Pada saat itu seolah-olah tidak ada batas antara milik mereka berdua, permainan mereka berdua, bahkan sampai suka-duka mereka berdua.

Kalau kebetulan Arya Salaka sedang dimarahi oleh ayah bundanya, dengan penuh kesayangan seorang adik Sawung Sariti selalu menghiburnya. Sebaliknya apabila Sawung Sariti sedang bersedih hati, Arya Salaka selalu berusaha untuk meredakannya. Pada saat yang demikian, mereka merasa seolah-olah dunia ini milik mereka berdua, dan tak ada tangan yang akan mampu memisahkan kerukunan mereka sebagai seorang kakak dan adik sepupu.

Tetapi tiba-tiba sekarang mereka harus berhadapan sebagai lawan. Lawan yang harus bertempur berebut nyawa. Alangkah jauh bedanya. Masa kini dan masa kanak-kanak yang tinggal dapat dikenangnya. Masa dimana hati mereka belum dikotori oleh nafsu dan dendam.

Dalam pada itu Sawung Sariti menjadi heran ketika ujung tombak yang sudah melekat di dadanya itu masih belum menghujam masuk. Apalagi ketika lamat-lamat dalam kegelapan malam ia melihat Arya memejamkan matanya serta menggelengkan kepalanya. Seolah-olah ia sedang berusaha mengusir kenangan yang mengganggunya pada saat itu.

Memang pada saat itu Arya Salaka sedang berusaha untuk mengenyahkan bayangan-bayangan masa kanak-kanaknya. Namun ia tidak berhasil. Ketika ia memejamkan matanya, justru bayangan itu semakin jelas. Bayangan dua orang anak-anak yang berlari-lari sambil berteriak-teriak nyaring dan berbimbingan tangan.

Tiba-tiba kenangan itu dipecahkan oleh Suara Sawung Sariti dengan tataknya, “Kenapa tidak kau lakukan itu sekarang Kakang? Adakah kau takut melihat darah yang akan menyembur dari luka di dadaku?”
Arya tidak menjawab. Tetapi tangannya menjadi gemetar. “Jangan berlaku seperti perempuan cengeng,” sambung Sawung Sariti.

Namun Arya masih diam saja. Memang dalam perkembangan mereka banyak mengalami pengaruh yang berbeda, sehingga watak merekapun menjadi jauh berbeda pula. Dengan demikian suasana menjadi bertambah tegang. Wajah-wajah yang berada di sekitar kedua anak muda yang berdiri berhadapan itu menjadi tegang pula. Dengan dada yang berdenyut keras mereka menunggu apakah yang akan terjadi.

Namun agaknya Mahesa Jenar yang telah lama bergaul dengan Arya dapat meraba perasaan yang menjalari kepala anak itu. Bahkan kemudian ia berdoa, mudah-mudahan Arya mengambil keputusan lain. Sehingga ia tidak membunuh saudara sepupunya itu dengan tangannya sendiri.

Dan apa yang diharapkan itu terjadilah. Tiba-tiba dengan suara gemetar Arya berkata, “Adi Sawung Sariti, jangan berkata demikian. Mungkin benar aku tidak akan berani melihat darah yang menyembur dari luka di dadamu, karena kau adalah adikku, yang pernah mengalami keindahan masa kanak-kanak bersama-sama. Nah, Adi Sawung Sariti, pulanglah. Dan berpikirlah baik-baik agar masalah diantara kita dapat kita selesaikan tanpa pertumpahan darah. Baik darah kita sendiri maupun darah rakyat kita.”

369

SAWUNG Sariti mencibirkan bibirnya. Jawabnya, “Kalau kau tidak membunuh aku sekarang, Kakang… kau akan menyesal. Sebab akulah kelak yang akan membunuhmu.”

Arya Salaka menarik nafas dalam-dalam. Namun tangannya yang memegang tombak itu masih saja gemetar. Katanya kemudian hampir berdesis, “Aku harap kau akan mengubah pendirianmu. Akan kau temukan kelak kebenaran kata-kataku. Tak ada persoalan diantara kita, apabila kita berdiri di tempat kita masing-masing. Sehingga dengan demikian kita dapat memberikan tenaga dan pikiran kita untuk kepentingan tanah kelahiran serta kedamaian dan ketenteraman hidup rakyat kita. Dimana kita dilahirkan, dan untuk siapa kita berbakti.”

Mendengar kata-kata Arya Salaka, Sawung Sariti menarik keningnya. Sekali terlintas di dalam otaknya, kebenaran kata-kata itu, seperti apa yang didengarnya dari Mahesa Jenar. Tetapi dalam keadaan yang demikian, muncullah kembali kebengalannya. Sebagai seorang yang mempunyai harga diri terlalu tinggi, ia tidak mau menyerah dan minta maaf. Malahan terdengar jawabnya, “Kakang Arya Salaka. Pertimbangkan sekali lagi. Apakah untungmu membebaskan aku. Sekali lagi aku peringatkan, bahwa aku tetap akan membunuhmu dalam keadaan yang bagaimanapun.”

Arya Salaka menarik nafas dalam-dalam. Juga Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menjadi pening mendengar kata-kata Sawung Sariti. Bahkan beberapa orang menjadi tidak sabar lagi. Kenapa anak yang sedemikian sombongnya tidak dibunuh saja.

Namun Arya berpikir lain. Kelakuannya banyak dipengaruhi oleh tingkah laku Mahesa Jenar. Apalagi yang berdiri di hadapannya itu adalah adik sepupunya. Maka dengan tidak berkata-kata lagi, ditariknya ujung tombaknya dan langsung disarungkannya. Kemudian ia melangkah mundur.

Gigi Sawung Sariti masih terdengar gemeretak. Marahnya sama sekali tidak mereda. Apalagi ia merasa mendapat penghinaan dari kakak sepupunya. Karena itu darahnya justru menjadi meluap-luap.

Dendamnya menjadi semakin bersusun-susun didalam hatinya yang kelam. Pada saat itu ia masih tetap berdiri dengan gagahnya. Matanya memandang tetap kepada Arya Salaka. Hanya kadang-kadang saja mata itu menyambar wajah-wajah Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Bahkan sempat pula ia menangkap pancaran mata yang bulat segar dari seorang gadis tanggung yang bernama Endang Widuri.

Demikianlah Sawung Sariti telah membakar perasaan mereka yang menyaksikan peristiwa itu. Beberapa orang berpendirian bahwa orang yang demikian sombongnya itu lebih baik dibinasakan saja sebelum menjadi lebih berbahaya lagi. Namun Arya Salaka sendiri mengharap, mudah – mudahan adiknya itu dapat menemukan kembali jalan kebenaran. Menyadari kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya. Dengan demikian ia akan menemukan penyelesaian tanpa menanam dendam yang lebih dalam dari cabang keturunan Ki Ageng Sora Dipayana, sehingga kelak tidak akan mengganggu kedamaian hidup berdampingan sebagai dua orang bersaudara yang memerintah atas tanah masing-masing. Pamingit dan Banyubiru.

Arya Salaka sendiri telah berusaha keras untuk menyimpan dendam atas hilangnya ayahnya Gajah Sora, serta berusaha untuk melupakannya. Sebab apabila dendam dituntut dengan dendam, maka dendam itu sendiri akan menjalar turun-temurun. Dan habislah manusia di dunia ini terbenam dalam arus pembalasan demi pembalasan.

Beberapa orang menjadi keheran-heranan ketika malahan Arya Salaka memutar tubuhnya dan kemudian melangkah pergi menjauhi adiknya yang masih berdiri tegap tanpa bergerak. Tetapi Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara sama sekali tidak menyesal. Bahkan mereka merasa berbangga hati atas keluhuran budi yang memancar dari rongga dada muridnya, meskipun kemudian mereka masih mendengar Sawung Sariti berkata, “Kakang jangan mengharap hatiku menjadi cair oleh sikapmu kali ini. Bagaimanapun juga kau tidak akan dapat kembali menjamah daerah perdikan Banyubiru.”

Arya mempercepat langkahnya. Ia tidak mau mendengarkan lagi lagu yang menyakitkan hati itu, supaya ia tidak mengubah keputusannya. Karena itu ketika ia mendengar Sawung Sariti meneruskan kata-katanya, ia berteriak, “Pergilah, dan ambil pedangmu. Bunuhlah aku kelak kalau kau sudah merasa mampu. Aku akan merasa bahagia kelak, kalau aku binasa ndhepani tanah pusaka serta rakyat tercinta. Demi mereka, aku bersedia untuk mati.”

Setelah itu ia tidak menoleh lagi. Langkahnya menjadi semakin cepat. Bahkan ia tidak menghiraukan lagi orang-orang yang berdiri berjajar mengelilinginya. Ia tidak peduli apakah orang lain akan membenarkan pendiriannya atau tidak.

Demikianlah Arya Salaka dengan langkah tetap langsung menuju ke Gedangan. Beberapa orang berjalan mengiringinya dengan berbagai perasaan menggayut hati. Meskipun ada diantara mereka yang menjadi kecewa, namun disela-sela perasaan itu, kagumlah mereka atas kebesaran jiwa anak muda itu.

Mereka yang tidak mengetahui latar belakang dari peristiwa itu hanya menganggap, betapa tinggi jiwa kejantanannya. Sebagai seorang laki-laki jantan ia tidak akan membunuh orang yang sudah tidak berdaya lagi.

370
SAWUNG Sariti memandang iring-iringan itu sampai lenyap dibalik tabir kegelapan malam. Beberapa kali ia menarik nafas. Kemudian ia melangkah maju, dan kemudian membungkuk memungut pedangnya. Dengan tajam diamat-amatinya pedang kebanggaannya itu. Seolah-olah ia sedang bertanya pada benda itu, kenapa kali ini ia tidak dapat menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Bahkan dibeberapa bagian dilihatnya pedangnya mengalami kerusakan. Karena itu ia menjadi kagum atas ketajaman dan kekerasan baja bahan tombak yang bernama Kyai Bancak.

Setelah ia menyarungkan pedangnya, dilayangkan pandangannya berkeliling. Baru kemudian terasa betapa sepinya. Perlahan-lahan ia melangkah dan berjalan menjauhi tempat dimana ia hampir saja binasa.

Sesaat kemudian arena itu menjadi sunyi. Sunyi sekali. Namun didalam kegelapan malam, masih ada seorang yang berdiri diantara mayat-mayat yang masih bergelimpangan di sana-sini. Orang itu adalah Mahesa Jenar. Ia tidak turut serta dengan orang-orang lain kembali ke Gedangan.

Tetapi ia berhenti beberapa tonggak dari desa itu. Ia tahu bahwa dalam keadaan yang demikian, Arya lebih senang duduk sendiri. Merenung dan menimbang-nimbang apa yang sudah dan akan dilakukan. Karena itu lebih baik ia tidak mengganggu. Kebo Kanigara telah lebih dahulu kembali ke Gedangan mengantar anaknya yang kelaparan bersama dengan Wanamerta dan orang-orang lain.

Namun pada saat itu Mahesa Jenar sama sekali tidak merasa lapar. Beberapa kali ia membungkuk mengamat-amati mayat-mayat yang terbujur lintang diarena. Ada diantaranya yang sudah tua, tetapi ada diantara yang masih sangat muda. Sekali dua kali terpaksa ia mengusap dadanya. Sekian banyak orang melepaskan nyawanya, hanya karena ketamakan beberapa orang yang ingin memegang kekuasaan. Berbahagialah mereka yang mati dalam tugas suci mereka. Tetapi sayanglah jiwa yang melayang sebagai korban nafsu yang tak terkendali.

Demikianlah malam bertambah kelam. Di langit masih tampak berterbangan kelelawar mencari mangsa. Sedang di kejauhan terdengar gonggongan anjing liar mengerikan.
Mahesa Jenar masih saja berdiri tegak di dalam gelapnya malam diantara mayat-mayat yang bergelimpangan. Matanya memandang jauh, ke arah bintang-bintang di langit. Namun hatinya dipenuhi oleh pertanyaan-ternyataan tentang esok. Apakah kira-kira yang akan terjadi? Adakah pasukan dari Pamingit dan rombongan orang-orang golongan hitam itu akan kembali lagi menyerang? Ataukah mereka sudah merasa bahwa mereka tak berhasil?

Meskipun demikian adalah menjadi kewajiban Mahesa Jenar untuk tetap waspada dan bersiaga sepenuhnya. Sekali-sekali dilayangkan pandangan matanya ke arah pedukuhan Gedangan yang lamat-lamat meremang, seperti bayangan yang kelam menggores di wajah langit. Mahesa Jenar menarik nafas. Pedukuhan itu tampak betapa damainya dalam kelelapan tidurnya. Seolah-olah tidak pernah terjadi keributan sama sekali. Tetapi disini. Bukti-bukti itu dihadapinya. Mayat dan bau darah.

Menghadapi kenyataan itu, darah Mahesa Jenar berdesir. Namun ia sadar sesadar-sadarnya bahwa kehadirannya di dunia ini bukanlah sekadar untuk menjadi umpan nafsu dan ketamakan. Tetapi sebagai manusia, ia wajib menegakkan kebenaran dengan usaha-usaha menurut jalan yang dibenarkan oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Ketika Mahesa Jenar sedang tenggelam dalam angan-angannya, tiba-tiba di kejauhan tampaklah sebuah bayangan yang melintas dengan cepatnya. Mahesa Jenar menjadi terkejut karenanya.
Tetapi dalam tangkapannya yang hanya sekilas itu, tahulah ia bahwa bayangan itu adalah orang yang berjubah abu-abu, yang dalam pertempuran yang terjadi beberapa saat sebelum itu, merupakan penyelamat yang menentukan. Timbullah keinginannya untuk mengenal orang itu dari dekat. Karena itu segera ia meloncat dan berlari secepat-cepatnya ke arah bayangan yang melintas itu.

Namun ternyata Mahesa Jenar sama sekali tidak berhasil. Yang terbentang di hadapannya hanyalah wajah malam yang hitam kelam. Sedangkan bayangan itu sama sekali sudah tidak ada lagi.
Meskipun demikian perhatiannya kini telah berpindah dari pertempuran yang baru saja terjadi kepada orang yang berjubah abu-abu itu. Siapakah gerangan orang yang telah menjadi teka-teki sampai bertahun-tahun itu? Kalau saja saat itu Ki Ageng Gajah Sora ada disampingnya, maka ia akan dapat mencari pertimbangan, bahwa pasti orang itulah yang telah mengambil keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten dari Banyubiru.

Tetapi apakah gerangan maksud yang sebenarnya? Dan kenapakah orang itu tiba-tiba saja muncul pada saat dirinya terancam bahaya? Bahaya yang hampir saja tak dapat dihindarkan. Apalagi dalam pertanggungjawabannya terhadap seluruh anak buahnya. Tetapi bayangan itu kini sudah lenyap. Yang tinggal hanyalah beberapa masalah, pertanyaan-pertanyaan dan teka-teki yang bercampur baur berputar-putar di dalam otak Mahesa Jenar. Campurbaur antara gambaran – gambaran hari esok serta kenangan hari kemarin yang kadang-kadang tak dapat ditemukan sendi-sendi penyambungnya.

Dalam pada itu sekali lagi Mahesa Jenar terkejut. Kali ini lamat-lamat ia mendengar suara tembang. Jauh sekali, meskipun setiap kata yang terlontar dapat didengarnya dengan jelas. Mahesa Jenar menjadi termangu-mangu. Siapakah yang berdendang di tengah malam, diantara bau mayat dan darah ini…? Mula-mula pikirannya terbang kepada Ki Ageng Pandan Alas. Namun ternyata suara itu lain. Bukan suara yang sudah sering didengarnya.

Ketika dendang itu telah genap satu bait, ternyata terdengar diulangnya kembali. Kata demi kata didengarnya dengan seksama.

“Memanising manungsa sejati, sesantine mring laku utama, lukita mesu budine, meruhi hawa lan napsu, mrih sampurna lair lan batin, kanti atapa brata, gegulang mrih hayu, hayuningrat sak isinya, rumantine rinakit budi pakarti, tata gatining jalma.”

70

DADA Mahesa Jenar berdesir mendengar tembang itu. Suatu gambaran tentang manusia idaman. Manusia sejati, yang bersemboyan, berusaha sebaik-baiknya untuk mengenal bentuk-bentuk hawa nafsu, untuk mencapai kesempurnaan lahir dan batin. Dengan penuh prihatin dan memeras diri. Berjuang untuk kesejahteraan dunia dengan segala isinya. Menuju ke arah masyarakat yang tata tentram kerta raharja.

Dengan tanpa sadarnya Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sependapat dengan isi tembang itu. Demikianlah hendaknya manusia. Namun agaknya manusia yang demikian itu masih harus dilahirkan. Manusia yang dapat mengenal dengan seksama segala bentuk-bentuk nafsu, serta menghindarinya, untuk mencapai kesempurnaan lahir dan batin. Tetapi jelas dikatakan oleh tembang itu, bahwa manusia itu tidak menunggu datangnya tata masyarakat yang diidamkan, tetapi manusia yang demikian harus berjuang untuk mencapainya. Mahesa Jenar meraba dadanya.

Di sinilah kadang-kadang letak persimpangan jalan yang berbahaya. Harus ditarik garis yang jelas antara berjuang untuk masyarakat yang dicitakan, dengan unsur-unsur nafsu yang menyusup kedalamnya tanpa disadari. Dalam pada itu, tiba-tiba Mahesa Jenar memandang jauh kepada dirinya sendiri. Ia telah sekian lama berjuang untuk satu cita-cita yang menurut keyakinannya akan dapat mendatangkan keteguhan pemerintahan yang seterusnya akan dapat menciptakan masyarakat yang dicita-citakan.

Dan bersyukurlah ia bahwa sampai saat ini sama sekali tidak timbul nafsu di dalam dirinya, seperti golongan hitam yang juga sedang berjuang dengan tujuan yang sama. Menemukan keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Tetapi bagi mereka, penemuan itu sama sekali bukan suatu perjuangan untuk menegakkan pemerintahan, tetapi bahkan mereka menganggap bahwa siapa yang menemukan sepasang keris itu, akan mampu menguasai golongannya dan dengan kekuatan mereka, mereka dapat merebut tahta Demak.

Untunglah bahwa keris itu sudah dapat direnggutnya dari tangan mereka, meskipun kini keris itu masih harus dicarinya kembali. Mahesa Jenar menegakkan kepalanya, untuk mencoba mengetahui dari manakah suara tembang itu dilontarkan. Tetapi untuk beberapa lama ia tidak berhasil. Suara itu seolah-olah bergulung-gulung dari segala arah membentur dan melontar kembali dari tebing-tebing bukit di sekitarnya. Bahkan akhirnya ia merasa, bahwa ia tak akan berhasil menemukannya. Dengan demikian Mahesa Jenar dapat kesimpulan bahwa suara tembang itu telah dilontarkan oleh seorang sakti yang sengaja membingungkannya. Bahkan dalam penilaiannya orang itu pasti lebih sakti dari Ki Ageng Pandan Alas.

Dalam tingkatannya sekarang, ia sama sekali tidak akan mengalami banyak kesulitan untuk dapat berdiri sejajar dengan orang tua itu. Tetapi orang ini, yang berdendang dengan asiknya, bukanlah orang sejajarnya.

Tiba-tiba Mahesa Jenar teringat kepada orang yang berjubah abu-abu yang baru saja menampakkan diri di hadapannya. Dengan demikian ia menduga bahwa orang itulah yang telah melagukan tembang dimalam yang sunyi itu. Maka, kemudian Mahesa Jenar mengambil keputusan untuk tidak mencarinya lebih lanjut. Sebab usahanya pasti akan sia-sia saja, sebelum orang itu atas kehendak sendiri menunjukkan tempatnya berada.

Tetapi yang tumbuh kemudian didalam dada Mahesa Jenar adalah dugaan-dugaan yang bersimpang siur tentang orang itu. Orang yang aneh dalam pandangan matanya. Meskipun dalam sepintas lalu, orang itu benar-benar mirip dengan bentuk Pasingsingan, namun ia pasti bahwa orang itu sama sekali bukan Pasingsingan. Kalau orang itu juga berjubah abu-abu dan juga memakai wajah yang bukan wajah aslinya, mungkin hanyalah suatu kebetulan saja, meskipun kebetulan yang masih meragukan.
Dengan teka-teki yang masih berkecamuk di kepalanya itulah Mahesa Jenar melangkah kembali ke padukuhan Gedangan. Di sepanjang perjalanannya, ia sama sekali tak dapat melepaskan diri dari persoalan orang berjubah abu-abu itu.

Ketika ia sampai di padukuhan, dilihatnya di rumah Wiradapa masih lengkap duduk mengelilingi pelita minyak, Kebo Kanigara beserta anaknya di belakangnya, Wanamerta yang tampak sangat kelelahan, serta beberapa orang lainnya, yang kemudian mempersilahkan Mahesa Jenar untuk duduk diantara mereka.

Kepada mereka itu Mahesa Jenar minta untuk tetap bersiaga dan memberikan beberapa petunjuk apabila besok pertempuran masih harus dilakukan. Setelah itu maka segera ia minta diri untuk beristirahat, malahan ia menasehatkan kepada orang-orang lain untuk beristirahat pula. Setelah Mahesa Jenar membersihkan dirinya, terasalah bahwa tubuhnya menjadi segar kembali. Apalagi setelah ia mengisi perut sekadarnya. Tubuhnya yang telah diperas sehari penuh itu merasa sehat dan kekuatannya telah utuh seperti semula.

Sebelum ia memasuki ruangannya di bagian depan rumah Wiradapa, mula-mula ia perlu menengok keadaan Rara Wilis. Ketika ia masuk dilihatnya Rara Wilis duduk bercakap-cakap dengan Widuri.
Melihat kedatangan Mahesa Jenar, segera Widuri berdiri untuk meninggalkan ruangan itu, tetapi cepat Wilis menangkap lengannya. “Mau kemana kau Widuri?”

“Tidur, Bibi,” jawab gadis itu.
“Bukankah kau akan menemani aku malam ini?” sahut Rara Wilis.
Widuri berhenti. Tetapi ia termangu-mangu.
“Bukankah kau sudah berjanji…?” Wilis meneruskan, Widuri mengangguk.
“Nah, kalau begitu, kau tidak boleh pergi,” sambung Mahesa Jenar.

Widuri tidak jadi meninggalkan ruangan itu, tetapi ia duduk kembali disamping Rara Wilis.
“Silahkan masuk Kakang….” Wilis mempersilahkan. Tetapi Mahesa Jenar menggelengkan kepalanya. Ia tidak akan terlalu lama tinggal di ruang itu, sebab ia perlu beristirahat.

“Aku hanya ingin melihat apakah kau telah baik kembali Wilis,” kata Mahesa Jenar.
“Pangestumu Kakang,” jawab Wilis.
“Syukurlah dan tidurlah. Siapa tahu tenaga kita masih diperlukan besok atau lusa,” sambung Mahesa Jenar. Setelah itu segera ia minta diri untuk pergi ke ruang tidurnya

372
DI dalam ruangan itu dilihatnya lampu minyak yang terayun-ayun dipermainkan angin yang menyusup lubang-lubang dinding bambu. Cahaya yang dilontarkan membuat bayang-bayang yang selalu bergerak-gerak pula. Sebuah bayangan hitam yang terlukis di dinding tampak seperti sebuah lukisan hitam yang berguncang-guncang. Itulah bayang-bayang Arya Salaka yang masih saja duduk dipembaringannya memeluk lutut.

Ketika Arya Salaka melihat Mahesa Jenar masuk, segera ia membetulkan letak duduknya. Wajahnya masih nampak suram setelah mengalami peristiwa yang membentur langsung lubuk hatinya yang paling dalam, bahkan agaknya mandi pun Arya Salaka masih belum sempat.

Melihat keadaan Arya Salaka, hati Mahesa Jenar terketuk kembali. Ia tahu apakah yang dirasakan oleh anak murid satu-satunya itu. Karena itu maka ia mencoba untuk meredakannya. “Katanya Jangan banyak kau pikirkan apa yang sudah kau lakukan Arya. Menurut pendapatku kau telah melakukan hal yang sebaik-baiknya.”

Arya Salaka mengerutkan keningnya. Meskipun tampak perubahan di wajahnya, tetapi tidaklah begitu jelas. Namun ketika ia menyahut, terasalah bahwa ia belum yakin akan kata-kata gurunya. “Paman, tidakkah aku mengecewakan Paman?”

“Kenapa aku harus kecewa Arya?” tanya Mahesa Jenar.
“Aku tidak dapat membunuhnya. Tidak dapat,” jawab Arya sambil beberapa kali menggelengkan kepalanya.
“Justru karena itu aku mengagumimu,” potong Mahesa Jenar.
Arya memandang gurunya dengan mata yang memancarkan keraguan. Namun ia kenal betul watak gurunya. Kalau ia berkata demikian, maka hatinyapun akan berkata demikian pula. Karena itu ia menjadi terharu. Bahkan mata itu kemudian menjadi berkilat-kilat memantulkan sinar pelita karena air yang membayang didalamnya.

“Sudahlah Arya. Jangan kau terbenam dalam angan-angan. Bagiku kau telah bertindak benar dan terpuji. Sekarang beristirahatlah. Mandilah supaya kau menjadi segar. Dan adakah kau telah makan?”
Arya Salaka menggeleng.

“Nah, pergilah ke belakang. Mandi dan mintalah kepada Bibi Wiradapa makan secukupnya. Siapa tahu besok kita masih harus bekerja keras.”

Arya tidak menjawab. Tetapi ia berdiri dan dengan gontai melangkah keluar ruangan.
Dengan segar Arya pergi ke perigi. Sesaat kemudian terdengarlah gerit timba yang digerakkan oleh Arya, disusul dengan suara guyuran air yang dingin segar.

Dalam pada itu, ketika Arya sedang menikmati sejuknya air, tiba-tiba ia dikejutkan oleh sebuah bayangan orang berjubah yang berdiri di belakangnya. Arya menjadi terkejut dan agak bingung. Dalam keadaannya sekarang, selagi ia tidak berpakaian, sulitlah agaknya untuk melawan seandainya orang itu tiba-tiba menyerang. Meskipun demikian ia harus bersiaga. Tetapi sampai beberapa lama orang itu berdiri diam mematung.

Dalam pada itu Arya ingin mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Cepat ia meloncat untuk menyambar, setidak-tidaknya kainnya. Namun ia menjadi terkejut pula ketika orang itu sudah menghadangnya dengan sama sekali tak diketahuinya, kapan ia melontarkan diri. Karena hal itu, segera Arya Salaka mengetahui bahwa orang yang berjubah itu pasti seorang tokoh sakti. Tiba-tiba ia teringat gurunya pernah berceritera tentang seorang yang berjubah abu-abu dan bertopeng jelek. Yaitu Pasingsingan. Apakah orang ini Pasingsingan, guru Lawa Ijo?

Tetapi orang ini sama sekali tidak mempergunakan topeng yang jelek, meskipun wajahnya tampaknya juga tidak wajar. Dengan demikian Arya Salaka menjadi berdebar-debar.

Tiba-tiba orang itu melangkah maju, setapak demi setapak, seperti seekor kucing yang sedang merunduk seekor tikus. Dalam keadaan itu, Arya Salaka tidak dapat berbuat lain daripada bersiaga untuk melawan. Bahkan kemudian ia lupa akan keadaan dirinya yang sama sekali tidak berpakaian itu. Ia tidak mau mati di tangan seorang yang bagaimanapun juga saktinya tanpa perlawanan.

Maka ketika orang yang berjubah itu sudah sedemikian dekat, Arya pun telah siap melakukan hal-hal yang perlu untuk melindungi dirinya. Dalam keremangan malam Arya melihat orang itu perlahan-lahan menjulurkan tangannya. Demikian perlahan-lahan sehingga agaknya itu bukanlah suatu serangan.
Namun Arya tidak mau tertipu. Iapun perlahan-lahan surut beberapa langkah.

Tetapi kemudian orang itu meloncat dengan cepatnya untuk menangkap pinggangnya. Arya yang telah siap itupun segera meloncat menghindar dan bahkan dengan sekuat tenaga ia membalas menyerang dengan kakinya ke arah lambung orang yang belum dikenalnya itu. Kalau saja pada saat ia bertempur melawan orang-orang Paningit, tidak berada di sayap kanan, maka setidak-tidaknya ia dapat melihat orang yang berjubah abu-abu yang sekarang berdiri di hadapannya itu. Namun seandainya demikian iapun pasti tidak mau diserang tanpa sebab dan pasti akan melawannya.

Tetapi anehnya, meskipun ia telah merasa menghindarkan diri dan bahkan menyerang orang itu dengan sekuat tenaga, namun agaknya bagi orang berjubah abu-abu itu, gerakannya sama sekali tidak berarti. Sehingga apa yang diketahuinya, pinggangnya benar-benar telah dapat ditangkap. Tangan orang itu terasa demikian kerasnya seperti sebuah himpitan besi yang tak dapat direnggangkan.
Demikianlah Arya Salaka dalam sekejap telah hampir tak berdaya. Meskipun kedua tangannya bebas, namun karena himpitan itu terasa seolah-olah tenaganya lenyap, seperti tulang belulangnya terlepas dari tubuhnya. Tetapi Arya bukan orang yang lekas berputus asa. Dengan sisa tenaganya ia melawan sejadi-jadinya. Kaki dan tangannya bergerak sedapat-dapat untuk menyerang. Bahkan ia berusaha dengan kedua jari-jari tangannya menyerang mata orang itu. Namun usahanya sama sekali tak berarti.

Tangan yang menjepit pinggangnya itu semakin lama terasa semakin keras dan sejalan dengan itu tenaganya menjadi semakin surut semakin surut. Bahkan akhirnya tubuhnya menjadi tidak lebih dari selembar kain yang sama sekali tidak dapat digerakkan atas kemauan sendiri.

373
DEMIKIANLAH Arya Salaka kini tidak dapat berbuat lain daripada menunggu apa yang bakal terjadi. Hanya matanyalah yang dapat memancarkan cahaya kemarahan yang meluap-luap. Sedangkan mulutnya sama sekali tidak berhasil mengeluarkan suara. Meskipun dalam keadaan yang demikian kesadarannya sama sekali tidak terganggu. Ia dapat merasa dan mengetahui apa yang terjadi atas dirinya.

Setelah Arya tidak mampu untuk berbuat apapun, maka kemudian orang itu melepaskan jepitannya perlahan-lahan. Kemudian dengan kedua tangannya Arya dipapahnya kedalam kelam, dibawah daun-daun yang lebat rimbun di halaman belakang rumah Wiradapa.

Ditempat itu perlahan-lahan Arya diletakkan berbaring. Seperti seorang bayi, bahkan lebih dari itu, sebab ia sama sekali tidak mampu menggerakkan jarinya sekalipun.

Kemudian ia melihat orang itu berdiri tegap di sampingnya. Diangkatnya kepala sambil memperhatikan keadaan sekelilingnya. Namun yang terdengar hanyalah kemerisik daun yang digoyangkan angin, serta bunyi-bunyi jangkrik bersahutan dengan suara bilalang. Sedang malam semakin bertambah malam jua.

Padukuhan Gedangan telah terbenam dalam kesunyian yang lelap. Hampir setiap orang telah nyenyak tertidur, kecuali beberapa orang yang bertugas ronda. Mahesa Jenar yang telah membaringkan dirinya sama sekali tidak curiga tentang keadaan Arya Salaka. Ketika ia sudah tidak mendengar guyuran air, ia hanya mengira bahwa Arya sedang pergi ke dapur untuk minta makan kepada Nyai Wiradapa. Karena itulah maka ia sama sekali tidak memperhatikannya lagi.

Dalam pada itu, malahan kenangan Mahesa Jenar kembali melontar kepada orang yang berjubah abu-abu yang telah menyelamatkan laskarnya dari kehancuran. Ia mencoba untuk menghubung – hubungkan orang itu dengan orang-orang yang pernah dikenalnya. Orang-orang yang aneh-aneh dan orang-orang yang telah menyisihkan diri dari pergaulan.

Diingatnya nama-nama Radite dan Anggara. Kedua-duanya adalah murid Pasingsingan, yang bahkan Radite adalah orang yang sebenarnya berhak mempergunakan gelar Pasingsingan beserta tanda kebesarannya. Namun sebagai manusia ia mengalami kekhilafan, sehingga akhirnya ia merasa bahwa hidupnya seolah-olah tak berarti lagi. Ia merasa bahwa setiap dosa yang dibuat oleh Umbaran, orang yang kemudian memiliki tanda-tanda serta pusaka-pusaka Pasingsingan adalah akibat dari dosanya.

Tetapi dalam penilaian Mahesa Jenar, Radite dan Umbaran tidaklah jauh terpaut, bahkan mungkin masih berada dalam deretan yang sejajar dengan gurunya, dengan Ki Ageng Sora Dipayana, dengan Ki Ageng Pandan Alas. Sehingga dengan demikian ia tidak akan dapat melampaui Kebo Kanigara. Tetapi orang yang datang itu adalah orang yang terpaut banyak daripadanya, yang telah menemukan inti dari ilmu perguruan Pengging. Sehingga dengan demikian orang itu pasti bukan salah seorang diantara Radite maupun Anggara.

Dalam pada itu, tiba-tiba Mahesa Jenar teringat kepada Arya Salaka. Anak itu sudah terlalu lama pergi. Terlalu lama bagi seorang yang hanya mandi dan makan saja.

Setelah ia menyabarkan diri beberapa saat lagi, akhirnya perasaan Mahesa Jenar menjadi semakin tidak enak. Karena itu, iapun bangkit dan berjalan mondar-mandir di dalam ruang tidurnya. Sekali dua kali ia masih mencoba untuk menanti saja kedatangan anak itu, tetapi kemudian ia menjadi tidak sabar. Bahkan kemudian ia menduga bahwa pasti terjadi sesuatu yang tidak wajar. Untung kalau saja anak itu pergi berjalan-jalan untuk menenangkan dirinya.

Maka dengan perlahan-lahan agar tidak mengejutkan orang-orang lain yang tertidur nyenyak, Mahesa Jenar berjalan ke halaman belakang. Dadanya berdesir ketika ia melihat lampu dapur telah padam. Sehingga jelas bahwa anak itu tidak ada di sana. Kemudian Mahesa Jenar pergi ke perigi, meskipun ia menduga bahwa anak itu sudah tidak ada di sana. Tetapi tiba-tiba dadanya bergelora cepat sekali. Ia menemukan pakaian Arya lengkap diatas sebuah batu di tepi sumur itu. Pakaiannya saja. Lalu kemanakah anak itu pergi? Pasti tidak mungkin kalau Arya sengaja meninggalkan pakaian di sana, meskipun seandainya ia berganti dengan pakaian lain.

Karena itu Mahesa Jenar mendapat kesimpulan bahwa Arya telah mengalami suatu hal yang tidak wajar, yang bahkan mungkin berbahaya. Menilik keadaannya, serta tidak adanya sesuatu yang didengarnya, maka Mahesa Jenar menjadi berteka-teki. Ia menjadi heran kepada dirinya sendiri ketika tanpa sadarnya ia menjengukkan kepalanya ke dalam perigi, ke dalam lingkaran yang hitam kelam. Seolah-olah ia sedang mencari Arya Salaka di sana.

Suatu pikiran gila, gerutu Mahesa Jenar. Tak mungkin Arya berbuat demikian, apapun yang dihadapinya.

Dengan demikian maka kesimpulan yang terakhir, yang mengganggu otaknya adalah, bahwa Arya telah mendapat bahaya dari seseorang yang jauh melampaui ketangguhan anak muda itu.

Dengan kesimpulannya itu Mahesa Jenar menjadi marah sekali. Siapakah yang telah berani mengganggu murid satu-satunya itu? Murid yang diharapkan untuk dapat mewarisi ilmu serta mengembangkannya. Bahkan murid yang keselamatannya menjadi tanggung jawabnya atas permintaan ayah anak itu sendiri.

Mahesa Jenar mencoba untuk menemukan jawabnya. Namun ia menjadi bingung. Tidak mungkin kalau hal itu dapat dilakukan oleh sepasang Uling dari Rawa Pening. Meskipun kedua Uling itu menyerangnya bersama, namun pasti akan terjadi perkelahian yang cukup lama untuk memberinya kesempatan mendengar dan membantu. Tetapi apa yang terjadi adalah sangat mengagumkan. Anak itu agaknya begitu saja hilang sebelum ia sempat berbuat sesuatu.

Darah Mahesa Jenar menjadi semakin bergelora. Untuk beberapa saat ia berdiri diatas kedua kakinya yang renggang. Wajahnya sedikit terangkat. Dicobanya untuk menangkap setiap suara yang berdesir di sekitarnya.

Namun ia tidak mendengar sesuatu. Juga matanya yang tajam, setajam mata burung hantu itupun tidak dapat menangkap sesuatu yang mencurigakan. Karena itu ia menjadi gelisah. Kemana agaknya Arya Salaka harus dicari…?

374
SAMBIL berpikir keras, Mahesa Jenar demikian saja melangkah meninggalkan tempat itu. Yang mula-mula dilakukan adalah berjalan berkeliling halaman. Kalau-kalau ada hal-hal yang mencurigakan yang dapat dipakainya untuk bahan pencariannya. Dalam hal ini, ia sama sekali tidak ingin mengganggu orang lain. Ia ingin mencarinya seorang diri. Baru apabila ia tidak berhasil, ia akan minta pertolongan Kebo Kanigara.

Tetapi tiba-tiba, ketika ia baru mendapat separo dari perjalanan kelilingnya itu ia terhenti. Perlahan-lahan didengarnya nafas seseorang yang mengalir dengan teratur. Mahesa Jenar mencoba untuk meyakinkan pendengarannya. Perlahan-lahan ia melangkah setapak maju. Dan benarlah. Ia telah mendengar nafas seseorang.

Menilik tarikannya yang teratur itu, Mahesa Jenar dapat menduga bahwa di halaman itu terdapat seseorang yang tertidur. Karena itu ia menjadi bertanya-tanya di dalam hati. Adakah Arya Salaka yang tertidur di situ…? Anehlah kalau demikian. Bagaimanapun letih serta kantuknya, tetapi tidak mungkin bahwa ia tidak sempat berpakaian, lalu begitu saja menjatuhkan diri dan tertidur di situ.
Karena itu, ia tidak membiarkan dirinya mendapatkan sesuatu hal yang tak dikehendaki. Jangan-jangan hal yang serupa telah menyeret Arya kedalam bencana, karena ia kurang hati-hati atas suara desah nafas yang dikiranya orang yang sedang tertidur nyenyak.

Dengan demikian malahan Mahesa Jenar menjadi bersiaga penuh. Setiap saat ia dapat bertindak. Bahkan setiap saat, apabila ia benar-benar berhadapan dengan bahaya yang besar, ilmunya Sasrabirawa siap untuk dilontarkan. Setelah beberapa saat ia menunggu dengan tidak ada perubahan apapun, kembali ia maju setapak. Sekali lagi setapak demi setapak dengan penuh kewaspadaan.
Akhirnya suara desah nafas itu sudah sedemikian dekatnya. Dengan hati-hati sekali Mahesa Jenar bergerak beberapa jengkal maju. Matanya tajam dipergunakannya sebaik-baiknya menembus daerah yang gelap pekat karena daun-daun yang rimbun. Perlahan-lahan seolah-olah muncul dari daerah yang hitam sesosok tubuh yang terbujur diam. Melihat tubuh itu Mahesa Jenar menjadi berdebar-debar. Sejengkal lagi ia bergeser maju. Dengan demikian tubuh yang nampak lamat-lamat itu menjadi semakin jelas. Dan apakah yang nampak kemudian sangat mengejutkannya. Ketika tubuh itu menjadi jelas segera Mahesa Jear dapat mengenalnya. Tubuh itu adalah tubuh Arya Salaka. Dan dari tubuh itu pulalah Mahesa Jenar dapat mendengar desah nafasnya yang teratur. Nafas orang yang sedang tidur nyenyak.

Meskipun tubuh yang terbaring tanpa pakaian itu adalah Arya Salaka namun Mahesa Jenar tidak tergesa-gesa mendekatinya. Ia masih belum tahu pasti, apakah tidak ada hal-hal yang berbahaya. Baru setelah beberapa saat tidak terdengar sesuatu selain nafas Arya, Mahesa Jenar melangkah perlahan-lahan mendekati. Ketika ia meraba tubuh anak itu, terasa bahwa tubuh itu tetap hangat seperti biasa.

Demikian tubuh Arya tersentuh tangan Mahesa Jenar, tampaklah anak itu terkejut. Cepat ia meloncat bangkit dan bersiaga untuk menghadapi segala kemungkinan. Tetapi ketika yang dilihat berdiri dihadapannya adalah Mahesa Jenar, iapun segera mengendorkan perasaannya.

Dalam keadaan yang penuh dengan tanda tanya. Mahesa Jenar berkata, “Kau tertidur Arya?”
Arya menganggukkan kepalanya.
“Tetapi kenapa pakaianmu kau tinggalkan…?” Mahesa Jenar meneruskan.
Arya terkejut mendengar teguran itu. Ia baru merasa bahwa ia masih belum mengenakan pakaiannya. Karena itu segera ia meloncat berlari ke perigi. Mahesa Jenar menjadi semakin heran. Namun kemudian ia pasti, bahwa sesuatu telah terjadi.

Setelah Mahesa Jenar sekali lagi memperhatikan keadaan sekelilingnya, serta tidak ada sesuatu yang mencurigakan, iapun segera berjalan mengikuti arah langkah Arya Salaka. Sampai di tepi sumur, Arya segera menyambar pakaiannya. Ia tidak sempat membersihkan debu serta tanah lembab yang melekat pada tubuhnya.

Setelah Arya lengkap berpakaian, Mahesa Jenar tidak segera bertanya tentang apa yang telah terjadi atasnya, tetapi diajaknya Arya untuk masuk kembali ke dalam ruang tidurnya, setelah Arya menolak membangunkan Nyai Wiradapa untuk minta disediakan makan buatnya.
Baru setelah mereka duduk di pembaringan, Mahesa Jenar segera bertanya kepada anak muridnya, apakah sebabnya anak itu telah melakukan suatu pekerjaan yang aneh. Tidur di halaman belakang, di bawah daun-daun yang lebat rimbun serta sama sekali tidak berpakaian.

Arya sendiri mula-mula heran, bahwa ia telah tertidur di halaman belakang tanpa pakaian sama sekali. Diingatnya kembali apa yang telah terjadi atasnya. Perlahan-lahan sekali, semakin lama menjadi semakin jelas tampak kembali apa yang pernah dialaminya. Maka diceriterakannya apa saja yang terjadi atas dirinya. Pada saat ia sedang mandi, dan tiba-tiba muncullah seorang berjubah menangkapnya.

375

Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Lalu sambil mengangguk-angguk iabertanya, “Apa yang dilakukan atasmu ketika kau telah terbaring di bawah daun-daun yang lebat itu, dan adakah ia berkata sesuatu kepadamu?”. Setelah mengingat-ingat sebentar Arya menjawab, “Ya, Paman…. Memang ada yang dikatakan kepadaku. Ketika itu pendengaranku sudah menjadi lamat-lamat. Sebab pada saat itu terasa bahwa kantukku tiba-tiba menjadi tidak tertahan lagi.” Arya berhenti sebentar, lalu ia meneruskan. “Mula-mula dipijitnya seluruh tubuhku. Dari ubun-ubun sampai ke ujung ibu jari kakiku. Mula-mula terasa betapa sakitnya. Setiap jari-jari orang itu menyentuh kulitku terasa seolah – olah seluruh tubuhku menjadi nyeri tak terhingga. Namun aku sama sekali tidak bisa mengucapkan sepatah katapun, bahkan berdesispun tidak. Tetapi semakin lama perasaan sakit itu menjadi semakin berkurang. Bahkan akhirnya pijitan itu terasa nyaman sekali. Sehingga aku menjadi ngantuk bukan buatan. Sesaat sebelum aku tertidur aku masih mendengar orang itu berkata, “Arya Salaka, kau telah terlalu lama menyiksa tubuhmu dengan pekerjaan-pekerjaan berat. Namun kau sama sekali tidak memelihara urat-urat darah serta otot-ototmu. Dengan demikian kau telah menyia-nyiakan sebagian dari tenaga dahsyat yang sebenarnya dapat kau ikut setakan dalam setiap lontaran tenaga.”

Sekali lagi Arya berhenti, kemudian, “Sesudah itu aku tidak ingat apa-apa lagi sampai Paman membangunkan aku.”

Dada Mahesa Jenar berdebar-debar mendengar ceritera Arya. Ia memang pernah mendengar suatu ilmu yang dapat dipergunakan memperkokoh tubuh seseorang serta memperbesar tenaganya denga membuka segenap saluran yang ada di dalam tubuh. Memperlancar jalan darah serta memperbaiki letak otot – ototnya sehingga pada orang itu tidak lagi diperlukan tenaga untuk mengatasi kesulitan – kesulitan di dalam tubuh sendiri. Dengan demikian segenap cadangan tenaga apabila diperlukan dapat dipergunakan seluruhnya dan disalurkan lewat bagian-bagian tubuh yang dikehendaki.

Tetapi masih belum jelas, apakah orang itu telah memperlakukan Arya demikian atau sebaliknya, membuat beberapa rintangan di dalam tubuhnya sehingga dalam pelontaran tenaga akan dapat menimbulkan kesulitan-kesulitan. Karena itu segera ia bertanya, “Arya, bagaimanakah rasanya tubuhmu sekarang?” Tanpa sadar Arya mengamat-mati tubuhnya sendiri. Kakinya, tangannya, lengannya dan jari-jarinya. Semula ia sama sekali tidak memperhatikan, apakah ada perubahan – perubahan di dalam dirinya.

Tetapi ketika Mahesa Jenar bertanya kepadanya, terpaksa ia memperhatikan setiap perasaan yang lain di dalam dirinya.

Tentang peredaran darahnya, detak jantungnya serta sendi – sendi anggota badannya. Tiba-tiba saja ia merasa betapa segar darah yang mengalir di dalam tubuhnya, merambat sampai kesegenap ujung rambut di seluruh badannya. Setiap anggota badannya terasa menjadi betapa ringannya. Dan dengan demikian ia dapat bergerak bertambah cepat dan lincah. Detak jantungnya yang lunak teratur serta sendi-sendi anggota badannya yang licin, namun seakan-akan bertambah kokoh. Demikianlah akhirnya ia berkesimpulan bahwa kini ia telah mendapat suatu perasaan yang luar biasa. Yang bahkan ia tidak tahu bagaimana harus mengatakan. Sehingga yang dapat diucapkan hanyalah beberapa kata saja.

“Tubuhku menjadi bertambah baik Paman.”

Jawaban itu sendiri tidak begitu meyakinkan bagi Mahesa Jenar. Tetapi wajah Arya yang berseri, caranya menggerakkan tangan dan kakinya, serta betapa tampak anak itu keheran-heranan sendiri, adalah jawaban yang cukup jelas. Jawaban yang telah mengandung suatu ceritera bahwa tubuh Arya kini telah berbeda dengan tubuh Arya beberapa saat yang lalu.

Anak itu agaknya kini telah memiliki kesempurnaan tata nadi dalam tubuhnya. Mahesa Jenar sendiri meras bahwa selama ini ia telah memaksa anak itu bekerja keras, berlatih, berkelahi, berjalan dan berlari setiap hari. Namun ia tidak dapat melakukan hal yang lain bagi tata nadi anak itu.

Meskipun ia sendiri dahulu pernah juga mempelajari beberapa pengetahuan mengenai urat dan jalan darah, namun apa yang dapat dilakukan tidak lebih dari daripada saling memijit sesama prajurit apabila mereka sedang kelelahan. Baik didalam latihan-latihan maupun didalam pertempuran-pertempuran yang sebenarnya.

Tetapi tidaklah demikian yang terjadi atas Arya. Orang yang berjubah itu tidak sekadar memijit Arya supaya Arya tidak lagi merasa lelah. Lebih daripada itu. Orang itu telah menolong Arya untuk dapat mengerahkan segenap tenaga yang tersimpan didalam tubuhnya yang tegap kekar itu. Meskipun mula-mula Mahesa Jenar merasa cemas bahwa yang terjadi adalah sebaliknya, namun terhadap orang yang berjubah abu-abu yang belum dikenalnya itu, ia telah menumpahkan kepercayaan bahwa tidaklah mungkin ia akan berbuat jahat terhadap Arya.

Bersamaan dengan itu, makin kuatlah dugaan yang telah tumbuh di dalam dadanya, bahwa orang itupun sama sekali tidak bermaksud jahat atas perbuatannya mengambil kedua keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten dari Banyubiru, meskipun akibat hilangnya kedua keris itu sangat dahsyat atas tanah perdikan dilereng bukit Telamaya itu.

Untuk beberapa saat Mahesa Jenar berdiam diri. Namun tak habis-habisnya ia mengagumi tubuh muridnya yang sedang menginjak dewasa itu. Selama ini meskipun hampir setiap saat, siang dan malam, ia tidak pernah terpisah darinya, tetapi seolah-olah baru sekarang ia melihat alangkah gagahnya anak ini. Anak Ki Ageng Gajah Sora, yang dalam usianya yang masih sangat muda itu telah dapat mencerminkan kebesaran jiwa yang diwarisinya dari orang tuanya, serta pendidikan yang diberikannya.

Arya yang merasa selalu dipandangi oleh gurunya, menjadi tertunduk. Namun ia merasa bahwa gurunya sama sekali tidak menyesal atas kejadian yang baru saja dialami. Karena itu iapun tidak perlu mencemaskannya lagi. Bahkan perasaan yang segar yang memancar didalam tubuhnya, telah menumbuhkan suatu harapan dalam dirinya. Harapan atas masa depan yang lebih baik.71

YANG tersangkut di dalam otak Arya Salaka kemudian adalah pertanyaan-pertanyaan tentang orang yang berjubah itu. Orang yang dengan serta merta menangkapnya, dan menjadikannya tertidur di dalam semak-semak. Karena itu kemudian ia bertanya kepada gurunya, “Paman, adakah Paman mengenal orang yang berjubah itu?”

Mahesa Jenar menggeleng. “Tidak,” jawabnya. “Tetapi aku pernah melihatnya beberapa tahun yang lalu di Banyubiru.”

“Di Banyubiru…?” Arya bertambah heran.

“Ya,” jawab Mahesa Jenar pendek.

Kemudian kembali mereka berdiam diri. Dingin malam semakin tajam menusuk sampai ke tulang sungsum.

“Tidurlah Arya,” desis Mahesa Jenar kemudian sambil membaringkan dirinya. Dan sejenak kemudian mereka berdua telah lelap ditelan oleh sunyi malam. Arya Salaka tertidur dengan sebuah senyum yang tersungging di bibirnya. Ia tidak merasa lagi punggungnya menjadi gatal-gatal oleh serangga yang menggigitnya. Serangga yang terbawa oleh tanah lembab ketika ia terbaring di semak-semak halaman belakang. Sedang Mahesa Jenar pun kemudian tertidur karena kelelahan.

Pedukuhan Gedangan kini benar-benar telah terbenam dalam suasana yang hening. Beberapa orang peronda yang berjalan hilir-mudik di sudut-sudut desa kadang-kadang harus berdesis menahan angin malam yang mengalir lembut, membawa udara pegunungan yang dingin.

Ketika di timur tampak fajar mulai membayangkan cahaya kemerahan, datanglah beberapa orang yang dikirim untuk menyelidiki keadaan pasukan lawan. Dari mereka, pimpinan ronda mendapat laporan bahwa pasukan dari Pamingit dan Gunung Tidur sudah tidak lagi berada di perkemahan mereka.

Agaknya mereka telah merasa, bahwa meskipun mereka meneruskan pertempuran, namun mereka pasti tidak akan berhasil. Karena itu, lebih baik mereka menarik diri.

Karena laporan itulah, pasukan Gedangan tidak perlu lagi mempersiapkan diri untuk menghadapi serangan yang akan datang.

Meskipun tidak terdengar tanda-tanda bahaya, namun Mahesa Jenar dan Arya Salaka, bangun pada saatnya. Pada saat terang-terang tanah. Ketika mereka keluar dari ruang tidur, mereka melihat beberapa orang telah berada di halaman depan.

Tetapi demikian Mahesa Jenar melihat sikap mereka, segera Mahesa Jenar mengetahui bahwa tidak ada lagi bahaya yang mengancam pedukuhan itu. Setidak-tidaknya untuk waktu-waktu yang cukup untuk menyembuhkan luka-luka yang diderita oleh laskar Gedangan dalam pertempuran kemarin.
Meskipun demikian, Mahesa Jenar memerintahkan juga laskar Gedangan bersiap untuk melakukan pembersihan daerah yang kemarin dipergunakan sebagai ajang pertempuran.

Demikianlah sehari itu, yang dilakukan oleh orang-orang Gedangan adalah bekerja keras, mengubur mayat-mayat yang berserak-serakan, baik dari kawan sendiri maupun dari lawan.

Ketika matahari condong ke barat, selesailah pekerjaan mereka. Mereka kini boleh kembali kepada keluarga masing-masing, meskipun tetap untuk tidak meninggalkan kewaspadaan. Beberapa orang secara bergilir masih harus tetap berada di gardu-gardu penjagaan. Siang maupun malam.

Dalam keadaan yang demikian terasalah, betapa akibat pertempuran telah merampas kegembiraan seluruh penduduk Gedangan. Apalagi yang terpaksa melepaskan salah seorang anggota keluarga mereka.

Tetapi mereka tidak dapat berbuat lain daripada menyerahkan beberapa orang terbaik dari pedukuhan mereka sebagai tawur dalam perjuangan mempertahankan hak dan ketenteraman hidup mereka untuk seterusnya.

Ketika pekerjaan mereka telah selesai seluruhnya, barulah mereka dapat menarik nafas lega. Demikian juga Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Rara Wilis, Widuri dan Arya Salaka. Mereka kini telah dapat berkumpul bercakap-cakap dengan tenang.

Namun agaknya Arya tidak begitu tertarik duduk bercakap-cakap diantara mereka. Agaknya beberapa masalah masih selalu mengganggunya. Karena itu ia minta diri untuk berjalan-jalan menikmati cahaya matahari sore. Selain Arya Salaka, ternyata Widuri pun lebih senang berjalan-jalan dan berlari-lari diluar. Sehingga dengan demikian, ia minta diri pula untuk ikut serta bersama Arya Salaka bermain-main.

Demikianlah mereka berdua berjalan menyusur jalan-jalan pedukuhan sambil bercakap-cakap. Kadang-kadang Widuri minta Arya Salaka berceritera tentang dirinya, tentang pengalamannya dan tentang cita-citanya.

Sebaliknya kadang-kadang ia bercerita tentang segala sesuatu yang disenanginya. Tentang burung – burung yang terbang bebas di udara. Tentang bunga-bunga yang mekar di halaman. Dan kadang-kadang dengan penuh keingintahuan, Widuri menanyakan tentang daerah-daerah yang jauh di seberang punggung-punggung bukit, daerah dimana langit dan bumi seolah-olah berpadu dalam satu garis yang membujur panjang sekali. Dalam percakapan yang asik itu Arya selalu berusaha untuk menjawab sedapat-dapatnya. Diceriterakan apa yang pernah dilihatnya dibalik pegunungan yang berjajar seperti wayang di pakeliran. Diceriterakannya betapa di sana tergelar pantai yang luas serta laut tanpa tepi. Betapa nelayan di lautan bekerja keras untuk mencari kekayaan yang tersimpan di dalam lautan.
Diam-diam Widuri menjadi kagum kepada anak muda itu. Kagum akan pengalamannya yang luas, serta kagum akan ketetapan hatinya memandang hari kemudian. Hari yang bakal datang.
Sebaliknya, Arya pun menjadi tertarik perhatiannya kepada gadis itu. Dengan pertanyaan-pertanyaan ia dapat mengetahui betapa banyak kemauan dan cita-cita yang tersimpan didalam dadanya.

377

DEMIKIANLAH dengan tidak merasakan lelah, mereka berjalan terus. Meskipun sejak pagi Arya Salaka telah memeras keringat membantu orang-orang Gedangan membuat lubang-lubang kubur.
Namun dalam kesejukan angin senja, ia lebih senang berjalan-jalan bersama Widuri daripada beristirahat dan bercakap-cakap dengan orang-orang yang tidak sebayanya.

Karena itulah maka dengan tidak terasa, mereka telah melewati ladang persawahan beberapa tonggak dari pedukuhan. Bahkan mereka telah menyusur jalan-jalan sempit yang membujur ke dalam daerah-daerah hutan-hutan kecil. Jalan setapak yang selalu dilewati oleh orang-orang yang pergi mencari kayu ke dalam hutan itu, tanpa prasangka dan raga-ragu.

Bahkan dengan wajah yang berseri-seri mereka memandang ujung-ujung daun-daun muda yang bergoyang-goyang ditiup angin. Cahaya matahari yang tersangkut di pucuk-pucuk dahan kayu tampak berkilau-kilau dengan riangnya, seriang suara burung yang berkicau mengantar datangnya senja. Selembar awan yang menggantung di langit bergerak perlahan-lahan dihanyutkan angin dari selatan.

Ketika kemudian dari arah barat membayang warna merah kekuning-kuningan, Widuri memejamkan matanya sambil bergumam, “Layung…, layung senja, jangan kau pancarkan penyakit ke mataku, pancarkan kepada anak nakal di sampingku.”

Arya Salaka tertawa mendengarnya, sahutnya, “Layung-layung senja selalu baik kepadaku. Karena itu aku tidak pernah sakit mata.”

Kemudian Arya Salaka berdiri menatap langit-langit yang berwarna merah itu, sambil seolah-olah berkata kepadanya, “Layung…, layung senja yang baik. Simpanlah segala macam penyakit. Berikanlah kepada kami sejahtera dan sentosa.”

“Tidak bisa,” potong Widuri sambil tertawa. “Candhik ala tidak bisa memberi sejahtera dan sentosa. Ia hanya punya benih penyakit mata.”

“Penyakit matapun tidak,” sahut Arya Salaka.

Kemudian terdengarlah mereka tertawa bersama-sama.

Tetapi tiba-tiba suara tertawa itu terputus. Dari balik semak-semak hutan yang tidak begitu lebat, mereka mendengar suara berdesir. Telinga mereka yang sudah terlatih baik segera dapat mengetahui bahwa suara itu suara langkah orang. Karena itu mereka tidak bergurau lagi. Perhatian mereka tertuju kepada telapak kaki yang terdengar semakin lama semakin dekat. Bahkan suara langkah itu sama sekali tidak tertahan-tahan, sehingga mereka menduga bahwa orang yang datang itu sengaja akan menjumpainya tanpa bersembunyi-sembunyi.

Ketika mereka menoleh ke dalam semak-semak di belakang mereka masih belum ada seseorangpun yang tampak. Suara langkah itu masih berada di dalam semak-semak yang sudah mulai suram.

Tiba-tiba dari balik daun-daun yang lebat itu terdengar suara orang tertawa. Mirip dengan ringkik kuda liar yang kehausan. Widuri bukanlah seorang gadis penakut, namun mendengar suara tertawa yang mengerikan itu ia bergeser setapak mendekati Arya Salaka. Kecuali itu, sekaligus Arya Salaka dan Widuri dapat mengetahui bahwa orang yang berada di dalam semak-semak itu tidaklah hanya seorang, tetapi sedikitnya dua orang, yang tertawa bersama-sama.

Dalam pada itu perasaan Arya Salaka menjadi tidak enak. Seolah-olah ia mendapat suatu firasat yang kurang baik. Karena itu iapun segera bersiap-siap untuk menanti, apakah yang bakal terjadi.

Sesaat kemudian tampaklah daun-daun semak-semak itu tersibak. Yang mula-mula tampak adalah tangan-tangan kasar yang menyisihkan daun-daun yang lebat itu. Kemudian muncullah di hadapan kedua anak muda itu dua orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan, berwajah runcing, dengan tepi mata yang terangkat tinggi.

Demikian mereka berdiri tegak di luar semak-semak, kembali terdengar suara tertawa mereka yang mengerikan, seperti ringkik kuda-kuda liar.

Melihat kedua orang itu hati Arya Salaka berdebar-debar. Ia sudah mengenal keduanya. Beberapa kali ia pernah melihat. Bahkan sejak ia masih tinggal di Banyubiru. Dua orang itu tidak lain sepasang Uling dari Rawa Pening, dengan ikat pinggang yang lebar, bergambar dua ekor Uling yang saling berlilitan.

Kedua orang itu masih beberapa langkah lagi maju mendekati Arya Salaka dan Endang Widuri.
Endang Widuri masih belum mengenal keduanya. Tetapi dalam pertempuran yang terjadi kemarin, sepintas lalu ia melihat kedua orang yang menyerang dari belakang itu, dan kemudian dapat diusir oleh Mahesa Jenar. Dengan demikian iapun segera merasa bahwa ia kini berhadapan dengan dua orang lawan yang tangguh.

Karena itu bagaimanapun juga, Widuri harus memperhitungkan kemampuan diri. Dirinya sendiri dan Arya Salaka, satu-satunya kawan yang ada di tempat itu.

Tetapi karena di dalam tubuh Widuri mengalir darah keturunan Pengging, maka ia tidak gentar menghadapi lawan yang bagaimanapun juga. Yang justru menggoncangkan dadanya, bukanlah kemungkinan-kemungkinan yang akan dihadapinya, apabila ia benar-benar harus bertempur melawan sepasang Uling itu.

Dalam hal yang demikian, sedikit banyak ia telah menerima latihan-latihan yang berat dari ayahnya. Setidak-tidaknya ia akan dapat bertempur sambil menarik diri mendekati pedukuhan Gedangan. Apalagi di dekatnya ada Arya Salaka, meskipun ia masih belum dapat mengukur kekuatan tenaga anak muda itu dibandingkan dengan orang-orang yang tak dikenalnya itu.

Tetapi yang lebih mengerikan baginya adalah cara kedua orang itu mengamat-amati dirinya. Seolah-olah tubuhnya itu bulat-bulat akan ditelan mereka. Lebih-lebih lagi ketika tampak di bibir kedua orang itu membayang senyum. Senyum yang aneh. Tiba-tiba bulu kuduk Endang Widuri berdiri serentak, meskipun ia tidak tahu maksud yang terkandung dalam senyuman yang aneh itu.

Apalagi ketika kemudian terdengar salah seorang dari mereka berkata, “Selamat bertemu putera Ki Ageng Gajah Sora.”

Suara yang terdengar adalah suara yang serak parau.

378

ARYA SALAKA memandang kedua orang itu dengan seksama. Ia sudah pasti bahwa hal yang tak diinginkan akan terjadi. Maka dengan tidak melepaskan pandangannya kepada sepasang Uling itu ia menjawab, “Selamat bertemu sahabat. Adakah kau akan menyampaikan kabar tentang daerahku…?”

Terdengar Uling Putih tertawa berderai. “Ya… ya… Tuan muda. Aku membawa kabar untuk Tuan. Ketahuilah bahwa di daerah Tuan kini terjadi malapetaka yang hebat. Adik Tuan, Sawung Sariti dengan leluasa dapat membunuh setiap orang yang dikehendaki. Bahkan akhirnya Tuan sendiri. Sesudah itu, tahukah Tuan apa yang akan terjadi…? Banyubiru akan sepenuhnya jatuh ke tangan Sawung Sariti. Tetapi itu bukanlah peristiwa yang terakhir yang terjadi atas daerah Tuan itu. Sebab akhirnya Sawung Sariti, maupun ayahnya Ki Ageng Lembu Sora itu akan mati juga. Kau ingin tahu siapakah yang akan membunuhnya…?”

Uling Putih berhenti sejenak, seolah-olah ia menunggu kata-katanya itu meresap ke dalam dada Arya Salaka. Kemudian ia meneruskan, “Yang membunuh mereka beserta para pengikutnya adalah aku dan adikku. Uling Kuning.”

Seterusnya kembali terdengar suara tertawa sepasang Uling yang mengerikan itu.
Dada Arya Salaka terguncang oleh kata-kata itu. Namun ia tidak ingin segera bertindak, sebab ia tahu betapa perkasanya kedua Uling itu.
Sesaat kemudian terdengar Uling itu berkata lagi, “Tetapi Tuan muda, aku sudah terlalu lama menunggu. Sawung Sariti tidak juga berhasil membunuh Tuan. Nah sekarang aku akan menolong mempercepat rencana itu, supaya aku lebih cepat menguasai daerah Banyubiru itu sebagai kepala daerah perdikan yang dihormati, tidak sebagai sepasang perampok seperti sekarang itu.”

Jantung Arya Salaka terasa seperti diguncang-guncang mendengar kata-kata Uling Putih itu. Karena itu dengan suara gemetar karena marah ia menjawab, “Sepasang Uling yang perkasa… aku adalah ahli waris yang sah atas daerah itu. Dengan demikian aku tidak harus menuntut atas hak saja, tetapi aku harus bertanggungjawab pula atas daerah itu dengan menunaikan kewajiban-kewajibanku sebaik-baiknya. Salah satu dari kewajibanku adalah menyelamatkan daerah Banyubiru.”

Mendengar jawaban Arya Salaka, Uling Kuning tertawa keras-keras. Katanya, “Tuan adalah seorang yang mengagumkan. Seorang yang sudah terusir dari kedudukannya, namun masih merasa bertanggungjawab. Tetapi Tuan tidak usah menunggu lama. Sebab sebentar lagi Tuan harus sudah benar-benar melupakan impian Tuan untuk kembali ke Banyubiru. Sesudah itu, jalan yang akan kami lalui menjadi bertambah lapang. Apalagi sepeninggal Kakang Sima Rodra suami istri, maka jalan ke Pamingit telah terbuka pula.”

Kemudian terdengar Uling Putih menyambung, “Apalagi dengan kedua keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Jangankan Banyubiru dan Pamingit. Bahkan Demak pun akan dapat kami gulung.”

“Impian yang indah,” sahut Arya Salaka, “Tetapi kau lupa bahwa di Banyubiru ada Eyang Sora Dipayana. Seandainya kau dapat membunuh aku dan kemudian Adi Sawung Sariti, bahkan Paman Lembu Sora sekalipun, apa yang akan dapat kau lakukan atas Eyang Sora Dipayana itu?”

Kembali terdengar Uling Putih tertawa. Jawabnya, “Adakah kau mengira bahwa umur kakekmu itu akan dapat mencapai puluhan tahun lagi? Kalau semuanya sudah dapat aku bereskan, maka orang tua itu pasti akan mati kesedihan dan putus asa. Kalau tidak, seandainya orang tua itu tidak takut melihat kenyataan hari depannya yang patah, maka akupun dapat mempertemukannya dengan orang sebayanya, yang datang ke Rawa Pening, khusus untuk keperluan itu.”

“Gurumu…?” tanya Arya Salaka.

Kedua Uling itu mengangguk bersama-sama. Jawab Uling Putih, “Ya, guruku Sura Sarunggi.”

Arya Salaka mengerutkan keningnya. Agaknya Uling Rawa Pening itu telah benar-benar menyusun kekuatan untuk dapat sampai kekedudukan yang diinginkan.

Dalam pada itu ia sudah tidak melihat kemungkinan lain daripada menghadapi sepasang Uling itu dengan kekerasan. Seperti juga Widuri yang selama ini berdiam diri mendengarkan percakapannya dengan sepasang Uling itu, maka iapun harus memperhitungkan kekuatan diri. Untunglah bahwa Widuri telah memiliki bekal untuk membela dirinya sendiri.

Namun sekarang bagaimanakah imbangan kekuatan dari mereka berdua dengan kekuatan Uling itu sepasang…?

“Tuan muda…” tiba-tiba Uling Kuning masih meneruskan, “Sepeninggal Tuan jangan Tuan cemaskan gadis Tuan itu. Meskipun kami sudah tidak semuda Tuan, namun kami akan berusaha untuk memeliharanya baik-baik.”

Widuri menjadi muak mendengar perkataan itu. Apalagi ketika kemudian disusul dengan suara tertawa mereka yang mirip ringkik kuda yang sudah hampir gila. Namun Widuri masih dapat menahan dirinya ia menyerahkan segenap persoalan kepada Arya Salaka.

Namun Arya Salaka pun menjadi marah mendengar perkataan-perkataan yang menyakitkan hati itu. Maka dengan lantang iapun menjawab, “Sepasang Uling yang baik. Terima kasih atas berita yang telah kau sampaikan kepadaku. Dan terima kasih pula atas perhatianmu terhadap diriku sehingga untuk seorang anak-anak, kau berdua telah memberikan waktu yang cukup banyak serta tenaga yang besar sekali. Dengan demikian aku merasa mendapat kehormatan dari sepasang orang perkasa. Meskipun demikian sebaiknya kau mempertimbangkan sekali lagi, apakah kau ingin meneruskan rencanamu itu, ataukah lebih baik kau tetap menjadi perampok kecil-kecilan yang bersarang di Rawa Pening.”

Sepasang Uling itu terkejut mendengar jawaban Arya Salaka. Sindiran itu sudah jelas bagi mereka, bahwa Arya Salaka sama sekali tidak gentar menghadapinya. Meskipun mereka telah memperhitungkan bahwa anak itu pasti tidak akan menyerahkan lehernya begitu saja, namun mereka sama sekali tidak menduga bahwa anak itu berani merendahkannya. Karena itu dengan suara yang keras parau Uling Putih menjawab, “Hati-hatilah kau berbicara anak muda. Supaya aku tidak membiarkan kau menderita pada saat ajalmu datang.”

379
ARYA SALAKA sama sekali tidak mempedulikan ancaman itu, jawabnya, “Sebaiknya kau kembali saja ke Rawa Pening. Lebih baik kau menghadap Paman Lembu Sora dan minta menjadi pekatiknya. Kau akan mendapat jaminan seumur hidupmu. Kau tidak akan kelaparan.”

“Tutup mulutmu!” bentak Uling Kuning sambil melangkah maju. Ternyata darahnya agak lebih panas dari kakaknya. “Berlututlah dan minta ampun, supaya kau tidak mengalami siksaanku.”

Arya menatap mata Uling Kuning itu dengan penuh kebencian. Dengan dada menengadah ia menjawab, “Maaf Uling Kuning, aku tidak bisa berjongkok dan minta ampun. Kalau kau telah biasa melakukan itu kau sajalah yang berjongkok dan minta ampun.”

Darah Uling Kuning maupun Uling Putih menjadi mendidih karenanya. Tetapi pada saat Uling Kuning hampir saja lupa diri dan meloncat menyerang, tiba-tiba terpandanglah olehnya Endang Widuri. Karena itu tiba-tiba ia mengurungkan serangannya. Bahkan kemudian ia menoleh kepada Uling Putih sambil berkata, “Apakah yang harus kita lakukan terhadap anak yang telah menghina kebesaran nama Sepasang Uling dari Rawa Pening ini Kakang?”

Uling Putih yang telah marah itu menjawab, “Menyingkirlah, biar aku sayat kulit mukanya, dan akan aku biarkan ia hidup sampai matahari terbit esok.”

Ancaman itu sungguh mengerikan. Suatu siksaan yang tiada taranya. Namun Arya Salaka sama sekali tidak gentar. Ia masih berdiri dengan dada menengadah menghadapi setiap kemungkinan. Juga kemungkinan untuk disayat kulit wajahnya, dan dibiarkan hidup sampai besok. Dalam pada itu Uling Kuning tersenyum di dalam hati. Memang sebenarnya ia ingin menyerahkan Arya Salaka kepada kakaknya. Sebab ia lebih tertarik untuk menangkap gadis yang menjelang dewasa yang datang kepadanya seolah-olah hadiah dari langit. Meskipun demikian ia masih berpura-pura berkata, “Adakah Kakang perlu menanganinya sendiri?”

Uling Putih menjawab, “Biar puas hatiku, jangan kau ikut campur.”

Uling Kuning mundur selangkah. Matanya dengan liar merambat ke segenap bagian tubuh Endang Widuri. Tubuh yang tepat pada usia kemekaran menjelang masa remaja. Sementara itu Uling Putih telah siap. Dengan wajah yang mengerikan ia melangkah maju. Selangkah demi selangkah. Tangannya yang panjang telah siap sepenuhnya untuk merobek-robek kulit Arya Salaka.

Arya Salaka pun segera mempersiapkan dirinya. Ia harus melawan Uling itu mati-matian. Sebab ia tahu betul, bahwa sepasang Uling Rawa Pening adalah orang-orang yang hampir seluruh hidupnya diwarnai oleh noda-noda yang hitam kelam. Karena itu, Arya Salaka berpendapat bahwa ia harus mencoba untuk dapat memusnahkannya. Tetapi ia masih belum dapat mengukur, apakah ilmu yang selama ini dipelajarinya akan cukup mampu untuk melawan Uling Putih itu.

Namun dalam pada itu, yang tergores didalam hatinya, adalah perbuatan yang sebaik-baiknya sebagai suatu pernyataan kebaktian yang tulus kepada sesama. Tetapi yang masih sedikit mengganggu pikirannya adalah Endang Widuri. Ia melihat suatu tanda-tanda yang mencemaskan pada Uling Kuning. Ia melihat bagaimana cara Uling Kuning itu memandang Endang Widuri. Karena itu maka mau tidak mau ia merasa bertanggungjawab pula atas keselamatan gadis itu.

Uling Putih kini sudah dekat berdiri di depannya. Giginya gemeretak didalam mulutnya yang terkatub rapat. Tetapi sesaat kemudian terdengar ia menggeram, “Tidak sia-sia aku berdua tinggal untuk beberapa hari di sini. Sekarang aku akan puas menghisap darahmu.”

Arya Salaka tidak menjawab. Tetapi ia menarik kaki kirinya setengah langkah surut. Bersamaan dengan itu, Uling Putih meloncat dengan garangnya menyerang dada Arya Salaka. Cepat Arya Salaka menekuk lutut sambil membungkukkan tubuhnya. Sementara itu tangannya menyambar lambung lawannya dengan gerak yang mendatar.

Dalam pada itu Arya Salaka menjadi terkejut sendiri dengan gerakannya. Sebab tiba-tiba ia merasa seolah-olah ada tenaga kuat yang mendorong dari dalam. Tenaga yang selama ini seolah-olah tersembunyi. Bahkan dalam gerakannya itu, terasa benar bahwa segala sesuatu didalam tubuhnya telah berubah. Mungkin itulah yang dimaksud dengan penyempurnaan tata nadi yang dilakukan oleh orang berjubah abu-abu. Dan dengan demikian geraknya menjadi cepat dan kuat.

Uling Putih terkejut melihat kecepatan gerak anak itu. Bahkan ia terkejut pula ketika melihat tangan lawannya menyambar lambung. Karena ia sama sekali tidak menduga bahwa hal yang demikian akan terjadi, maka iapun kurang mempersiapkan dirinya. Ia mengira bahwa anak itu hanya dapat berloncat-loncatan sedikit.

Ia tidak tahu bahwa Arya Salaka dalam perkelahian seorang lawan seorang telah dapat mengalahkan Sawung Sariti. Sebab Sawung Sariti sendiri selalu mengatakan bahwa ia harus bertempur menghadapi beberapa orang yang datang membantu Arya Salaka. Dengan demikian Uling Putih itu tidak sempat berbuat lain daripada membentur tangan Arya Salaka.

380
ULING PUTIH menarik kaki kanannya, kemudian memutar tubuhnya dan menghantam lengan lawannya itu dengan kedua belah tangannya. Arya Salaka masih belum dapat menguasai geraknya sendiri sebaik-baiknya. Sebab sejak ia bertemu dengan laki-laki aneh yang berjubah abu-abu serta menidurkannya di dalam semak-semak, ia belum pernah mencoba tenaganya. Ini adalah yang pertama kalinya ia dapat melihat akibat dari kejadian malam yang mendebarkan itu. Karena itu ia tidak dapat menghindarkan diri dari benturan yang terjadi. Benturan antara lengannya dengan kedua tangan Uling Putih.

Akibatnya diluar dugaan Uling Putih dan Arya Salaka sendiri. Uling Putih yang pada dasarnya memandang rendah kepada lawannya, sengaja tidak mengerahkan segenap kekuatannya. Sebab ia mengira bahwa sebagian tenaganya saja ia akan mampu mematahkan lengan anak yang dianggapnya terlalu sombong itu.

Tetapi yang terjadi sama sekali tidaklah demikian. Tenaga tangan Arya ternyata besar sekali, sehingga Uling Putih terdorong surut beberapa langkah, sedang Arya sendiri tetap tidak bergeser dari tempatnya.

Mengalami peristiwa itu, dada Uling Putih seolah-olah menyala karena hatinya yang panas. Disamping perasaan heran yang tak habis-habisnya terhadap kekuatan tenaga anak yang dianggapnya tidak lebih dari seekor kelinci yang lemah itu, juga menggelora di dalam dadanya suatu perasaan malu, marah, dendam dan nafsu bercampur baur. Karena itu, maka segera ia mengerahkan segenap perhatiannya untuk satu tujuan, membunuh dan menyayat-nyayat putera kepala daerah Perdikan Banyubiru itu.

Demikianlah dengan garangnya ia menyerang kembali. Serangan yang datang menggelombang dengan dahsyatnya. Arya Salaka pun kemudian melayaninya dengan tangguhnya. Ia telah mewarisi hampir segenap jenis unsur-unsur gerak dari perguruan Pengging, ditambah dengan tata nadinya yang telah disempurnakan. Dengan demikian anak muda itu seolah-olah dapat bertempur seperti burung elang di udara, menyambar-nyambar dengan garangnya. Tetapi kemudian ia mampu pula bertempur laksana banteng yang tangguh kukuh, tenang dan meyakinkan.

Uling Kuning dan Endang Widuri berdiri terpaku menyaksikan pertempuran itu. Pertempuran yang berjalan dengan sengitnya. Yang sekali waktu berjalan cepat, tetapi kemudian menjadi lambat, namun penuh dengan ketegangan yang mendebarkan.

Uling Kuning, yang mula-mula menjadi sangat gembira ketika kakaknya bermaksud untuk membunuh Arya Salaka dengan tangannya sendiri, karena dengan demikian ia dapat berbuat leluasa atas gadis cantik itu, kemudian terpaksa mengikuti pertempuran itu dengan seksama. Bahkan kadang-kadang timbullah kecemasan di hatinya. Sebab kadang-kadang ia melihat serangan Arya Salaka seperti air yang mengalir dengan derasnya, melanda setiap usaha yang akan merintanginya.

Untunglah bahwa Uling Putih adalah seorang yang penuh dengan pengalaman bertempur. Dalam keadaan-keadaan yang sulit, ia masih mampu untuk membebaskan dirinya. Namun dengan demikian anggapannya terhadap Arya Salaka telah berubah. Ia kemudian menganggap anak muda itu seorang lawan yang berbahaya tak henti-hentinya, yang rasa-rasanya datang dari segenap penjuru.

Dalam keadaan yang demikian Uling Putih harus memeras keringatnya untuk dapat mencapai titik keseimbangan. Namun agaknya anak muda itu benar-benar luar biasa. Meskipun Uling Putih telah berusaha membentengi tubuhnya dengan gerakan-gerakan yang cepat dan berubah-ubah, tetapi ia tidak bisa menutup mata, atas suatu kenyataan bahwa dadanya menjadi semakin sesak oleh pukulan-pukulan Arya Salaka, yang meluncur seperti tatit menyambar tanpa dapat dihindari. Bahkan beberapa kali, ia tidak dapat berhasil membebaskan diri seluruhnya atas serangan-serangan kaki lawannya yang masih sangat muda itu.

Meskipun Uling Kuning melihat kenyataan itu, namun ia terlalu mengagumi kakaknya, seperti ia mengagumi dirinya sendiri yang seolah-olah tak seorangpun dari angkatan sebayanya, apalagi anak-anak seperti Arya Salaka, akan mampu mengalahkannya. Karena itu, ia tidak mengalami sendiri tekanan-tekanan maut yang mendesing-desing di telinga, ia tidak sedemikian mencemaskan keadaan Uling Putih. Bahkan tiba-tiba ia teringat kepada kepentingannya sendiri. Kepada gadis yang berdiri tak seberapa jauh darinya.

Dengan sudut matanya sekali lagi ia memandang Endang Widuri yang masih asik melihat pertempuran antara Arya Salaka dan Uling Putih. Dan sekali lagi dada Uling Kuning itu bergetar. Kalau saja ia nanti berhasil membawa anak itu ke Rawa Pening, pasti akan merupakan barang yang sangat berharga di daerah yang tersekat dari pergaulan. Berbeda dengan daerah Nusakambangan, pusat kerajaan Ular Laut yang tampan, dimana terdapat berpuluh-puluh gadis korbannya yang disimpan di sana. Berbeda pula dengan cara hidup Sima Rodra muda dari Gunung Tidar. Yang seolah-olah telah kehilangan tingkat tata pergaulan hidup manusia yang wajar, dimana laki-laki dan perempuan dibiarkan mengalami suatu penghidupan yang buas dalam segala segi-seginya.

Karena itu maka kemudian perlahan-lahan perhatiannya berkisar dari titik pertempuran kepada Endang Widuri. Bahkan kemudian iapun menggeser kakinya setapak demi setapak ke arah gadis itu. Ia ingin menangkapnya di tempat itu pula. Dengan demikian, kecuali ia akan mendapat sesuatu yang dianggapnya permainan yang menyenangkan, sekaligus ia dapat mempengaruhi perhatian Arya Salaka.

Dengan demikian secara tidak langsung ia sudah membantu kakaknya. Sebab sedikit saja Arya Salaka lengah, maka kakaknya pasti akan dapat mempergunakan kesempatan itu sebaik – baiknya.

Ketika ia sudah mendapat keputusan bulat atas rencananya itu. Uling Kuning tersenyum-senyum sendiri. Ia memastikan bahwa rencana itu akan berhasil. Menangkap Endang Widuri dan sekaligus menyebabkan Arya Salaka binasa.

Sementara itu, pertempuran berjalan semakin sengit. Arya Salaka terpaksa mengakui ketangguhan lawannya. Tahulah ia sekarang, mengapa ayahnya dahulu tidak tergesa-gesa bertindak terhadap kedua orang yang berbahaya itu. Pada waktu itu pasti ayahnya sedang mempersiapkan segala kemungkinan serta perhitungan-perhitungan yang masak.

TERNYATA kedua orang itu benar-benar luar biasa. Untunglah bahwa pada saat itu, ia telah banyak menerima tuntunan langsung atau tidak langsung, sehingga dengan demikian ia dapat melawan Uling Putih dengan sebaik-baiknya. Bahkan kemudian ternyata bahwa ia berhasil mendesaknya. Apalagi setelah ia mengalami pijatan-pijatan di seluruh permukaan tubuhnya, terasa sekali betapa ia bertambah segar, kuat dan lincah. Tenaganya dapat melontar bebas tanpa sesuatu rintangan.

Uling Putih kemudian mengumpat-umpat di dalam hati. Ia sama sekali tidak menduga bahwa Arya Salaka memiliki keteguhan serta ketangguhan yang sedemikian besarnya. Karena itu ia menjadi bertambah marah. Dikerahkannya segenap ilmunya. Tetapi ia harus menghadapi suatu kenyataan, bahwa setelah ia memeras diri, ia tetap tidak mampu untuk menundukkan lawannya.

Akhirnya ia menjadi gelisah. Bahkan ia mengharap agar adiknya melihat kesulitannya. Ia tidak dapat berteriak memintanya ikut bertempur sebab ia masih memperhatikan harga dirinya. Namun apabila keadaan memaksa, ia tidak akan pedulikan lagi, apalagi dengan demikian ia dianggap licik atau apapun.

Tetapi sebelum ia benar-benar minta adiknya menolongnya, dalam sekilas ia melihat Uling Kuning perlahan-lahan mendekati gadis kecil yang sedang asik melihat perkelahian itu. Dalam pada itu timbulah suatu harapan padanya. Mudah-mudahan gadis itu ditangkap oleh adiknya. Kalau gadis itu kemudian menjerit, saatnya tiba, Arya Salaka pasti akan lengah. Dan pada saat itu saat yang sebaik-baiknya untuk menghancurkannya.

Pada saat itu, malam telah turun perlahan-lahan. Warna-warna merah di langit telah lenyap disapu oleh warna-warna kelam. Bulan telah mulai menampakkan dirinya kembali diantara taburan bintang-bintang. Awan yang tipis bertebaran disana-sini menghias langit.

Perhatian Endang Widuri sebenarnya memang sedang tertumpah pada perkelahian yang sengit antara Arya Salaka melawan Uling Putih. Dengan keheran-heranan ia melihat Arya Salaka melontarkan diri, membelit dan kemudian meloncat dengan garangnya menghantam lawannya.

Tetapi ia mengerti pula bahwa Uling Putih pun mempunyai kekuatan yang cukup untuk dapat mempertahankan dirinya. Ia bergerak setapak-setapak, bergeser, meloncat dan berputar untuk menjaga agar ia tetap dapat menghadapi Arya Salaka yang seperti bayangan saja. Sekali muncul di sana, kemudian muncul di tempat lain. Kalau saja lawannya bukan orang yang cukup kuat, maka ia pasti akan menjadi pening dan kebingungan.

Semakin lama pertempuran itu menjadi semakin seru. Arya Salaka semakin mendesak lawannya pula. Melihat peristiwa itu Endang Widuri menjadi gembira, sehingga gadis itu tersenyum-senyum sendiri. Bahkan ia kadang-kadang bergerak pula seperti anak-anak mendengar gamelan. Sekali ia bergeser maju, sekali ke samping. Bahkan kadang-kadang ia meremas-remas tangannya sendiri dengan kuatnya.

Tetapi ketika Uling Putih telah benar-benar terdesak, tiba-tiba tangannya menarik tali yang membelit pinggangnya. Demikian tali yang besar itu terurai, tampaklah bahwa sebenarnya yang membelit pinggangnya itu adalah sebuah cemeti. Arya Salaka tertegun melihat cambuk yang lemas di tangan Uling Putih. Ia tahu benar bahwa cambuk itulah senjata andalannya. Dengan demikian ia harus berhati-hati menghadapinya.

Ketika itulah Uling Putih itu menyerang dengan garangnya. Cambuknya berdesing-desing dengan dahsyatnya. Sebuah sambaran mendatar mengarah ke dada Arya Salaka.

Dengan tangkasnya Arya membungkuk dalam-dalam, serta dengan sekali berputar, kakinya menyambar perut Uling Putih. Namun Uling Putih sempat menarik dirinya setapak mundur. Bersamaan dengan itu, ia telah sempat menarik cambuknya mendatar pula. Kali ini Arya tidak dapat membungkuk lebih rendah lagi.

Tetapi ia harus meloncat mundur. Uling Putih tidak mau memberinya kesempatan. Dengan loncatan yang panjang ia memburu Arya sambil mengayunkan cambuknya sendhal pancing. Arya yang mengetahui betapa bahaya yang mengancam apabila ia sampai terkena pukulan itu, segera meloncat kesamping.

Ketika ujung cemeti itu berdesing disamping telinganya, ia melontar dengan cepatnya maju dekat sekali dengan lawannya. Dengan sekuat tenaganya ia menghantam dada lawannya. Uling Putih terkejut melihat gerakan yang cepat dan tak terduga-duga itu.

Dengan tangan kirinya ia mencoba menahan tangan Arya, sedang tangan kanan memutar cambuknya cepat-cepat untuk menyerang dalam jarak yang pendek itu.

Demikianlah dengan kerasnya tangan Arya menghantam tangan kiri Uling Putih yang mencoba melindungi dadanya. Pukulan itu demikian kerasnya sehingga terdengarlah Uling Putih mengaduh tertahan. Tangan kirinya ternyata tidak mampu menahan tekanan tangan lawannya, sehingga bagaimanapun juga, terasa sesuatu mendesak dadanya. Desakan itu demikian kuatnya, sehingga ia terlontar mundur dan kemudian jatuh terguling.

Tetapi dalam pada itu, Uling Putih agaknya memang ahli memainkan senjatanya. Meskipun pada saat itu Arya berdiri hampir melekat tubuhnya, ujung cambuknya berhasil juga menyentuh pundaknya, sehingga terasalah betapa nyerinya, dan bahkan terasa bahwa kulitnya terkelupas.

Arya menyeringai menahan pedih. Tanpa disengaja tangannya meraba tempat yang terluka itu. Terasa betapa darahnya yang hangat mengalir. Dalam pada itu Uling Putih segera melenting berdiri. Namun terasa betapa dadanya semakin sesak.

Baik Uling Putih maupun Arya Salaka telah mencapai puncak kemarahannya. Mereka masing-masing telah merasakan betapa tubuh mereka telah berhasil disakiti oleh lawannya. Maka terdengarlah Uling Putih menggeram penuh dendam. Matanya yang menyala merah menjadi semakin liar. Arya Salaka pun kemudian menggigil karena kemarahan. Jantungnya berdebar keras, sedang tangannya bergetaran, siap untuk menghancurkan lawannya.

382

Uling Putih yang telah dapat menguasai dirinya kembali, segera melangkah maju. Ia telah melihat hasil serangannya pada lengan lawannya. Dengan demikian ia menjadi sedikit berbesar hati. Mudah-mudahan luka ditangan Arya itu dapat mempengaruhi keteguhan hatinya. Tetapi ia salah harap.Karena luka itu Arya malah menjadi semakin garang. Bahkan tiba-tiba tangannya yang gemetar telah menggenggam pusaka kebesaran tanah perdikan Banyubiru, Kyai Bancak.

Demikianlah pertempuran itu berkobar kembali. Cambuk Uling Putih berputar seperti baling-baling.

Bergulung-gulung seolah-olah ingin melibas lawannya dan membenamkan kedalamnya. Demikian dahsyatnya Uling Putih memainkan senjatanya sehingga terdengarlah angin mendesing-desing
menggoyang daun-daun pepohonan di sekitarnya serta merontokkan daun-daun kering yang sudah tidak mampu lagi berpegangan di batang-batangnya lebih erat lagi. Tetapi ia berhadapan dengan murid keturunan dari perguruan Pengging yang telah mengalami pembajaan diri yang luar biasa beratnya.

Bahkan telah mendapat pertolongan dari seorang ahli tata nadi memperbaiki letak otot-otot serta syaraf-syarafnya. Sehingga Arya Salaka dapat mempergunakan segenap tenaganya dalam lontaran-lontaran kekuatan tanpa dipengaruhi oleh penggunaan tenaga cadangan di dalam tubuhsendiri. Apalagi kini di tangannya telah tergenggam tombak sipat kandel yang dapat melipatgandakan kemampuannya melawan Uling Putih itu.

Dalam keremangan cahaya bulan, tampaklah gulungan sinar keputih-putihan melingkar-lingkar mengerikan yang seolah-olah sedang berusaha untuk melanda sinar yang menyala kebiru-biruan. Itulah cahaya tombak Kyai Bancak. Namun sinar yang kebiru-biruan itu selalu berhasil menghindarkan dirinya, dan bahkan sekali-sekali dengan dahsyatnya menyusup langsung ke pusat gulungan sinar putih itu. Dengan demikian maka tampaklah betapa Arya Salaka dapat mengimbangi lawannya dengan baik.

Bahkan kemudian Uling Putih terpaksa memeras keringat habis-habisan untuk dapat mengimbangi permainan tombak bertangkai pendek, sependek tangkai pedang, yang digerakkan oleh tangan yang kokoh kuat dan terlatih baik.

Dengan demikian pertempuran itu menjadi semakin sengit. Dan sejalan dengan itu perhatian Endang Widuri pun menjadi semakin terikat. Ia menjadi semakin kagum atas ketangkasan Arya Salaka. Kalau beberapa saat yang lalu, ia pernah berlatih bersama-sama dengan anak muda itu, maka sekarang dengan penuh keheranan ia melihat Arya Salaka telah melangkah jauh kedepan. Pada waktu Arya bertempur melawan Sawung Sariti pun, tenaganya masih belum sedahsyat sekarang ini. Tetapi ia tidak tahu bahwa di dalam tubuh Arya, baru saja terdapat beberapa perubahan tata nadi yang sangat menguntungkannya.

Tetapi karena keasyikannya melihat pertempuran itulah maka ia sama sekali tidak menduga bahwa Uling Kuning telah menjadi semakin dekat, semakin dekat di belakangnya.

Maka, tiba-tiba saja dirasanya sepasang tangan yang kuat telah memegang kedua belah lengannya. Dengan demikian Endang Widuri menjadi terkejut sekali, sehingga tanpa disengaja ia memekik kecil.

Saat itulah yang memang ditunggu-tunggu oleh kedua Uling bersaudara itu. Sebab dengan demikian mereka mengharap Arya akan menjadi lengah. Dan apa yang mereka harapkan itu benar-benar terjadi. Arya terkejut mendengar suara Widuri. Tetapi ia tidak menjadi lengah karenanya. Untuk dapat mengetahui keadaan gadis itu. Arya Salak meloncat jauh-jauh ke belakang.

Meskipun demikian, karena perhatiannya sebagian terampas oleh peristiwa lain, maka terasalah sebuah sengatan pedih di pinggangnya. Ternyata sekali lagi Uling Putih berhasil mengenainya dengan cambuknya yang sangat berbahaya. Terdengarlah Arya berdesis menahan sakit. Meskipun demikian ketika jaraknya telah menjadi agak jauh dari lawannya, ia sempat juga memandang kearah Widuri yang berdiri tidak begitu jauh dari titik perkelahian itu.

Tetapi yang terjadi kemudian, sama sekali tidak seperti yang diharapkan oleh sepasang Uling dari Rawa Pening itu. Luka di pinggang Arya itu ternyata telah membakar semangat Arya lebih dahsyat lagi. Dengan menyeringai menahan pedih, ia menggeram penuh kemarahan.

Meskipun demikian otaknya masih dapat bekerja dengan baik. Ia tidak mau terlibat dalam pertempuran yang liar.

Uling Kuning, yang berhasil menangkap Widuri tanpa diketahui sebelumnya, agaknya menjadi menyesal sekali. Ketika ia memegang lengan gadis itu, ia terlalu berhati-hati, seperti seorang yang memegang sebuah permainan ringkih, sehingga ia takut kalau merusakkannya.

Tetapi ia sama sekali tidak menduga, bahwa gadis kecil itu tidak ubahnya sebagai seekor lebah kuning yang manis namun sengatnya sangat berbahaya.

Demikian Endang Widuri merasa tangkapan pada lengannya, ia menjadi sadar bahwa Uling Kuning telah menyerangnya. Tetapi otaknya yang cerdas merasakan betapa tangan Uling Kuning itu terlalu hati-hati meraba kulitnya. Itulah sebabnya, maka dengan satu gerakan merendah, sambil memutar tubuhnya setengah lingkaran, kakinya dengan cepatnya telah berhasil mengenai perut Uling Kuning bagian bawah.

Uling Kuning sama sekali tidak menduga bahwa hal yang demikian dapat terjadi, sehingga ia sama sekali tidak bersiaga. Karena itu terdengarlah ia mengaduh kesakitan. Bahkan kekuatan Endang Widuri cukup melemparkannya beberapa langkah dan kemudian membantingnya jatuh ke tanah.

Untunglah Uling Kuning telah mempunyai cukup pengalaman. Dengan cepatnya ia meloncat berdiri dan mencoba menghadapi setiap kemungkinan yang dapat terjadi. Namun demikian, kaki gadis kecil, puteri Ki Kebo Kanigara, yang telah dibekali dengan pengetahuan yang cukup, terasa telah menggoncangkan isi perutnya. Perasaan mual berputar-putar mengganggu sekali, seolah-olah isi perutnya diaduk dengan hebatnya.

No. 383

BELUM lagi Uling Kuning benar-benar sadar atas apa yang terjadi, dilihatnya gadis kecil itu melayang dengan lincahnya, menyerang seperti semburan air hujan yang datang ke segenap bagian tubuhnya. Uling Kuning terpaksa surut beberapa langkah. Namun demikian ia mempunyai cukup kesempatan untuk membetengi dirinya dengan tangkisan-tangkisan yang rapat. Tetapi Endang Widuri cukup lincah dan cekatan untuk membingungkannya.

Ketika Arya Salaka melihat bahwa Endang Widuri ternyata telah berhasil menolong dirinya sendiri, ia menjadi berbesar hati. Ia percaya bahwa gadis itu akan mampu untuk menahan serangan Uling Kuning dalam waktu yang cukup lama. Ia mengharap bahwa keadaan akan memungkinkannya untuk membantu.

Apalagi ketika dilihatnya Uling Kuning menjadi gelisah karena serangan pertama kaki Widuri yang tepat mengenai bagian bawah perutnya. Ternyata bahwa akibat dari serangan itu sangat menguntungkan. Sebab untuk seterusnya tenaga Uling Kuning sangat terpengaruh oleh perasaan muak dan sakit yang melilit-lilit di dalam rongga perutnya.

Tetapi Arya tidak mempunyai kesempatan lebih lama lagi untuk menilai pertempuran antara Widuri dan Uling Kuning. Sebab pada saat itu Uling Putih telah menyerangnya pula, bagaikan badai yang datang bergulung-gulung. Tetapi agaknya badai itu menghantam gunung yang tegak dengan perkasanya, serta tak setapakpun bergeser dari tempatnya.

Demikianlah di tempat yang sepi itu telah terjadi dua lingkaran pertempuran. Uling Putih yang menyesal, bahwa ia tak berhasil mempergunakan saat yang ditunggu-tunggu menjadi semakin marah. Cambuknya berputar-putar semakin cepat. Tetapi lawannya menjadi semakin garang pula. Luka di lengan dan lambung Arya telah menambahnya semakin teguh.

Ujung tombaknya yang bercahaya kebiru-biruan, mematuk-matuk ke segenap bagian tubuh lawan seolah-olah menjadi beribu-ribu mata tombak yang datang dari segala arah. Sejalan dengan itu, dada Uling Putih terasa menjadi semakin sesak. Beberapa kali ia meloncat menjauhi lawannya untuk mendapat kesempatan menarik nafas dalam-dalam. Namun lawannya bukan pula seorang yang tidak mengetahui keadaannya. Karena setiap ia berusaha untuk mendapat kesempatan itu, Arya Salaka selalu dengan garangnya mendesak maju.

Kepada lawannya yang sangat berbahaya itu, Arya sama sekali tidak mau memberi kesempatan sama sekali. Bahkan kemudian, tiba-tiba ia teringat pada suatu pagi yang cerah di Banyubiru. Pada saat ia berhasil menangkap seekor Uling dari Rawa Pening.

Pada saat itu Mahesa Jenar berkata kepadanya, bahwa bukan Uling seperti yang ditangkapnya itulah yang berbahaya di daerah sekitar Rawa Pening, tetapi sepasang Uling yang sekarang berhadapan melawannya itulah yang dicemaskan. Diingatnya pada saat itu, ia seolah-olah berjanji kepada Mahesa Jenar, bahwa sepasang Uling itupun kelak akan dibunuhnya.

Sepasang Uling yang selalu membayangi kekuasaan ayahnya di Banyubiru.

Bahkan telah berterus terang kepadanya, bahwa sepasang Uling itupun sekarang sedang dalam perjuangan untuk dapat merebut kedudukan ayahnya itu lewat segala macam lekuk-liku dan cara-cara yang licik. Karena itu, dada Arya Salaka menjadi semakin menggelegak. Baginya tidak ada pilihan lain daripada berusaha untuk memenuhi harapannya, membinasakan sepasang Uling yang berhati hitam itu.

Dengan demikian, kebulatan tekadnya itu seolah-olah telah mempengaruhi tenaganya. Ia seolah-olah telah mendapat tenaga yang maha besar mengalir lewat pembuluh-pembuluh darahnya ke segenap bagian tubuhnya.

Karena itu, maka apa yang terjadi kemudian sangat mengejutkan lawannya. Dengan penuh keyakinan di dalam dadanya, Arya melanda lawannya seperti ombak lautan yang digoncangkan badai. Dengan garangnya, segulung demi segulung, berturut-turut menghantam tebing, yang akhirnya akan runtuh berguguran.

Demikianlah Uling Putih akhirnya merasakan, bahwa tekanan serangan Arya Salaka menjadi semakin dahsyat. Bahkan tiba-tiba ketika ia sedang mati-matian mempertahankan dirinya, terasa tangannya yang memegang cambuk itu bergetar. Dan apa yang dilihatnya sangat mengejutkannya.
Ternyata ujung cambuknya telah terpotong oleh ketajaman tombak Arya Salaka. Dengan demikian, Uling Putih menjadi cemas. Satu-satunya senjata yang selama ini dibangga-banggakannya telah terpotong. Ia menjadi bertambah cemas lagi ketika ia melirik ke arah adiknya.

Dalam sekilas Arya menyaksikan gadis itu dapat melawan Uling Kuning dengan baiknya setelah UlingKuning dikenainya lebih dahulu. Dengan demikian ia tidak dapat mengharap Uling Kuning akan dapat membantunya. Tetapi Uling Putih adalah seorang yang berhati batu. Meskipun pertempuan yang telah berlangsung itu mengatakan kepadanya bahwa Arya Salaka bukanlah anak-anak yang hanya dapat bermain loncat-loncatan, namun ia telah bertekad untuk memenangkan pertempuran itu dan membunuhnya. Karena itu ia menjadi semakin buas. Geraknya semakin lama menjadi semakin liar.

Dalam keadan yang demikian itulah Arya benar-benar berusaha menguasai keadaan. Ia bertempur dengan hati-hati. Ia tidak saja mempergunakan tenaganya, tetapi ia memperhitungkan pula setiap keadaan dan kemungkinan.

Demikianlah, ketika bulan muda telah membenamkan dirinya di balik punggung pegunungan, terdengarlah suatu jeritan ngeri mengumandang membentur dinding-dinding bukit. Jerit ngeri yang patah. Dan kemudian disusul dengan suara tubuh yang jatuh terbanting.

Sesaat kemudian kembali malam terlempar ke dalam suasana yang sepi, Arya Salaka tampak tegak berdiri dengan tangan yang gemetar memegang Kiai Bancak yang berlumuran darah. Darah Uling Putih yang kini terbaring tak bernafas di hadapannya. Yang terdengar pada saat itu hanya dengus nafas Arya Salaka yang melonjak-lonjak.

384
TETAPI Arya Salaka tidak mendapat kesempatan untuk menyaksikan tubuh lawannya itu lebih lama lagi. Sebab tiba-tiba ia melihat sebuah bayangan yang meloncat lari. Itulah Uling Kuning yang setelah tertegun sejenak bersama lawannya, Endang Widuri, yang seperti terpesona, menjadi sadar bahwa bahaya maut telah mengancamnya. Karena itu ia akan berusaha untuk menghindarkan dirinya. Tetapi Arya telah melihat bayangannya.

Dengan secepat kilat dikejarnya Uling Kuning itu. Terhadap orang-orang yang demikian itu Arya tidak dapat berbuat lain kecuali membinasakan. Itulah sebabnya maka Arya sama sekali tidak mau lagi memberi kesempatan kepada Uling Kuning untuk meloloskan diri.

Demikian pula Endang Widuri. Ia tidak mau pula ketinggalan. Maka segera iapun berlari mengejar kedua bayangan yang berlari berkejar-kejaran. Namun kedua bayangan itu kemudian lenyap menyusup ke dalam semak-semak. Untuk seterusnya Endang Widuri kehilangan jejak. Karena itu ia menjadi bingung. Ia tidak tahu kemana ia harus pergi. Sedang jalan kembalipun tak diketahuinya pula. Untuk beberapa saat Endang Widuri berdiri termangu-mangu.

Tiba-tiba, ketika ia sedang mencari-cari jalan terdengarlah gemersik daun di belakangnya. Cepat ia meloncat memutar tubuhnya, dan berdiri dengan teguhnya diatas kedua kakinya yang renggang setengah langkah serta tangannya yang disilangkan di muka dadanya, siap untuk menghadapi setiap kemungkinan yang akan terjadi.

Dalam sepi malam, terdengar langkah itu semakin jelas. Bahkan kemudian dilihatnya dalam gelap malam dua bayangan yang berjalan dengan tetap ke arahnya.

Endang Widuri yang baru saja bertempur melawan Uling Kuning, masih saja merasa dipengaruhi oleh suasana perkelahian. Karena itu ia menyambut kedatangan dua bayangan itu dengan sikap yang garang, siap untuk bertempur. Tetapi kemudian ia terkejut ketika didengarnya sebuah tawa yang lunak, yang sudah terlalu sering didengarnya.

“Ayah…!” teriaknya sambil berlari menyambut kedatangan bayangan yang sudah semakin dekat.

“Apa yang kau kerjakan di sini?” tanya Kebo Kanigara.

“Berkelahi,” jawab gadis itu.

“Hem… desis ayahnya. Aku memang sudah mengira. Apalagi ketika aku jumpai sesosok mayat dibalik semak-semak di sebelah.”

“Kakang Arya telah membunuhnya,” jawab Widuri.

Kebo Kanigara memandang wajah Mahesa Jenar, kawannya berjalan dengan wajah yang berkerut. Ia ingin mengetahui bagaimanakah pendapatnya mengenai muridnya.

“Aku sudah menduga pula, bahwa anak itu akan membunuhnya pada suatu saat. Dan sekarang hal itu sudah dilakukannya,” gumam Mahesa Jenar seperti kepada dirinya sendiri.

“Darimana ayah dan Paman Mahesa Jenar tahu bahwa kami berada di sini?” tanya Widuri.

“Ketika hari sudah gelap, dan kau berdua tidak juga datang, aku menjadi cemas. Seseorang telah melihat kau berjalan ke arah ini sore tadi. Dan yang terakhir teriakan seseorang, yang mungkin adalah teriakan Uling Putih pada saat dadanya disobek oleh tombak Arya, telah menuntun aku kemari. Tepat pada saat kami datang, kami melihat kau berlari-lari. Karena itulah maka aku dapat menemukan kau di sini,” jawab ayahnya.

“Tetapi aku kehilangan jejak Kakang Arya Salaka,” sahut Widuri.

“Marilah kita cari. Agaknya ia akan terlibat pula dalam pertempuran melawan Uling Kuning. Padahal tenaganya sudah jauh susut karena kelelahan,” potong Mahesa Jenar.

Mereka tidak berkata-kata lagi. Tetapi segera mereka melangkah menyibak daun-daun yang pekat, yang menghadang di hadapan mereka. Dengan matanya yang tajam, Mahesa Jenar dapat melihat bekas-bekas ranting yang tersibak patah-patah oleh injakan dan sentuhan tubuh Uling Kuning dan Arya Salaka, yang berkejar-kejaran. Dengan demikian meskipun agak sulit dan perlahan-lahan, Mahesa Jenar dapat mencari jejak mereka berdua.

Ternyata perjalanan itu cukup panjang. Ketika mereka telah hampir tidak sabar lagi, tiba-tiba kaki mereka menginjak tanah yang gembur basah. Semakin lama semakin dalam. Dan sejalan dengan itu, semak-semaknya pun menjadi bertambah tipis.

“Tanahnya mengandung air,” desis Mahesa Jenar.

“Aku kira kita sampai ke rawa atau telaga,” sahut Kebo Kanigara.

Apa yang mereka perkirakan adalah benar. Sesaat kemudian mereka sampai ke daerah yang ditumbuhi batang-batang ilalang, dan kemudian di hadapan mereka terbentang telaga yang tidak terlampau luas. Agaknya Uling Kuning berusaha melarikan diri dengan bersembunyi di telaga itu.

Ketika mereka sudah berdiri di tepi telaga, serta melayangkan pandangan berkeliling, tiba-tiba terlihatlah sesuatu yang bergerak-gerak di dalam telaga itu.

385

DEMIKIAN Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara melihat bayangan itu, segera mereka mengerti bahwa yang bergerak-gerak itu pastilah Arya Salaka dan Uling Kuning yang sedang bertempur di dalam air. Untuk sesaat Mahesa Jenar tertegun. Ia menjadi cemas melihat pertempuran di dalam air itu. Apalagi Kebo Kanigara. Sebab mereka tahu bahwa hampir sepanjang hidupnya Uling Kuning berada di sekitar tanah yang berawa-rawa, sehingga baginya, air merupakan tempat berlindung yang terbaik.

Kemudian Widuri pun melihat perkelahian itu, namun baginya tidaklah demikian jelas, apakah yang terjadi.

Sementara itu, Arya Salaka yang tidak mau melepaskan Uling Kuning, terpaksa mengejarnya pula terjun ke dalam telaga. Ia sadar bahwa Uling Kuning berharap, lewat telaga itu ia akan mampu melepaskan dirinya. Atau kalau terpaksa ia terlibat di dalam perkelahian, maka perkelahian di dalam air akan banyak memberinya keuntungan. Dan apa yang diharapkan itu terjadilah. Arya tidak peduli lagi apa yang akan terjadi, meskipun ia terpaksa berkelahi di dalam air.

Demikianlah pertempuran itu berlangsung dengan sengitnya. Disamping mereka harus berjuang untuk tidak terbinasakan oleh lawan, mereka juga harus menjaga diri mereka supaya tidak tenggelam.
Uling Kuning adalah seorang yang seolah-olah dapat hidup di dalam air. Tangan dan kakinya benar-benar dapat dipergunakan dengan baik seperti itik mempergunakan sayap serta kakinya, atau binatang air mempergunakan sirip-siripnya. Karena itu, ia dapat dengan lincahnya bertempur.

Namun sayang bahwa perasaan muak dan nyeri di dalam perutnya tidak juga mau hilang. Apalagi yang dihadapi adalah Arya Salaka. Uling Kuning tidak pernah mimpi bahwa anak itu pernah hidup sebagai anak nelayan di pantai Tegal Arang. Bahkan meskipun tidak begitu lama, namun Arya telah memiliki pengalaman yang cukup untuk menaklukan air. Tidak hanya air setenang air telaga itu, tetapi air yang sedang murka sekalipun.

Arya Salaka pernah terjun ke dalam gelombang yang ganas untuk menyelamatkan alat-alat penangkap ikannya bersama-sama kawan-kawannya. Bahkan darah pelaut yang mengalir di dalam tubuh ayahnya, ternyata mengalir pula di dalam tubuhnya. Pada masa kanak-kanaknya ia telah berani berkelahi dengan seekor uling yang cukup besar di dalam rawa. Sedang pada saat ia menginjak dewasa, ia menerjunkan diri dalam dunia kehidupan nelayan.

Karena itu, dengan tidak diduga oleh Uling Kuning, Arya Salaka pun dengan dahsyatnya berhasil menyerang lawannya dari arah yang membingungkan. Sekali-kali ia melenyapkan diri dari permukaan air, kemudian muncullah ia di tempat yang tak terduga-duga. Seandainya musuhnya bukan seorang yang memang sejak kecil hidup bergulat dengan air, maka Arya pasti akan dengan mudahnya dapat membinasakan. Tetapi sekarang ia menemukan lawan yang seimbang.

Maka pertempuran itu semakin lama menjadi semakin sengit. Air di sekitar tempat itu menjadi seolah-olah mendidih. Buih-buih yang putih bergolak dengan hebatnya diantara bayangan hitam yang timbul-tenggelam bersama-sama. Bahkan kedua bayangan itu akhirnya seolah-olah berpadu menjadi satu dan bergolak bukan main hebatnya.

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara beserta Endang Widuri yang berdiri di tepi telaga menjadi cemas. Apalagi ketika tiba-tiba bayangan yang hitam itu lenyap seperti ditelan putaran air yang melingkar-lingkar.

Mahesa Jenar kemudian menjadi tidak sabar lagi menunggui saja di tepi telaga. Karena itu segera ia melepas baju serta kainnya. Hanya dengan celana saja Mahesa Jenar meloncat pula ke dalam air, dan berenang cepat-cepat ke arah kedua bayangan itu tenggelam.

Sementara itu Arya berjuang mati-matian melawan maut. Uling Kuning benar-benar tangguh bertempur di dalam air. Tangannya benar-benar dapat melilit seperti seekor Uling yang melilit korbannya.

Untunglah bahwa Arya memiliki tenaga raksasa, sehingga dengan pukulan-pukulan yang keras, ia selalu dapat membebaskan diri dari belitan Uling Kuning. Namun akhirnya usaha Uling Kuning itu berhasil.

Seperti gila ia tidak menghiraukan sama sekali pukulan-pukulan terakhir yang dilontarkan oleh Arya Salaka yang tenaganya semakin lama semakin kendor. Bahkan tiba-tiba terasa sesuatu menjerat di lehernya.

Ternyata Uling Kuning telah berhasil mengurai cambuk lemasnya, dan berhasil membelit leher Arya dengan senjatanya itu. Dengan demikian seolah-olah nafas Arya menjadi tersumbat. Ia meronta sekuat tenaga, namun tenaga Uling Kuning itu semakin erat menarik belitan cambuknya pada leher Arya. Dalam keadaan demikian Arya menjadi marah bukan buatan dan mengamuk sejadi-jadinya.

Dengan kakinya ia menangkap tubuh Uling Kuning dan tidak mau melepaskannya lagi. Sedang kedua tangannya berusaha untuk mencekik leher lawannya. Namun sayang ia tidak berhasil. Meskipun demikian kakinya menjadi seperti terkunci dan dengan kerasnya membelit perut lawannya.

Perasaan muak dan nyeri pada perut Uling Kuning menjadi semakin hebat. Dengan sekuat tenaga ia mencoba untuk menahan perasaan itu. Sebab pada hematnya, sebentar lagi Arya pasti sudah tidak akan dapat bernafas dan dengan demikian ia akan bebas.

Dalam keadaan yang demikian itulah mereka bersama-sama berputar-putar dan akhirnya bersama-sama tenggelam. Bagi Arya tidak ada jalan lain kecuali mati bersama-sama daripada mati seorang diri. Itulah sebabnya, ketika terasa senjata Uling Kuning membelit lehernya semakin keras, kakinya pun menjadi semakin keras menekan perut lawannya itu, supaya Uling Kuning ikut serta terseret ke dalam air. Sedang tangannya berusaha untuk mengurangi tekanan lilitan cambuk di lehernya.

Tetapi dalam pada itu, tiba-tiba ia teringat bahwa pada saat ia menerjunkan diri ke dalam air. Kiai Bancak telah disarungkannya. 73

TEPAT pada saat-saat terakhir, dengan sisa tenaga yang ada Arya menarik tombak pusaka kebesaran Banyubiru, dan dengan sepenuh nafsu kemarahannya ditekankan ujung tombak itu ke dalam perut lawannya. Terdengarlah suara menggelegak sesaat. Setelah itu terasa tarikan cambuk yang membelit lehernya menjadi semakin kendor. Sadarlah Arya bahwa ia berhasil membunuh Uling Kuning dengan tombaknya. Karena itu dilepaskannya belitan kakinya, dan setelah air di sekitarnya dipenuhi dengan merahnya darah, ia berusaha untuk berenang ke permukaan air. Namun tenaganya sudah sedemikian lemahnya. Bagaimanapun juga ia berusaha, tetapi pada saat ia berhasil menegakkan kepalanya ke permukaan air terasa bahwa matanya menjadi berkunang-kunang.

Ketika Arya mencoba memandang bintang-bintang yang gemerlapan di langit, maka yang tampak seolah-olah mendung yang tebal menggantung di udara. Hitam dan kelam. Yang diingatnya pada saat terakhir adalah menyarungkan tombaknya yang baginya sama harganya dengan kepalanya, kembali ke dalam sarungnya. Sesudah itu semuanya seperti lenyap dari ingatannya.

Ketika ia tersadar, terasa seolah-olah sebuah mimpi yang indah membayang di hadapannya. Meskipun tubuhnya masih terasa dingin oleh pakaiannya yang basah, namun dilihatnya beberapa orang duduk di sekitarnya, pada sebuah balai-balai besar. Sebuah lampu minyak yang terang, menyala-nyala dengan riangnya, seolah-olah ikut serta bergembira untuk keselamatan Arya Salaka.

Ketika ia sempat mengamat-amati wajah-wajah di sekitarnya, tampaklah gurunya yang sedang merenunginya dengan seksama. Kebo Kanigara, Rara Wilis, Widuri, Wanamerta, Wiradapa dan beberapa orang lagi yang dikenalnya sebagai orang-orang Gedangan.

Demikian ia mulai menggerakkan matanya, tampaklah keriangan membersit di wajah-wajah mereka yang dengan kecemasan menungguinya. Apalagi Mahesa Jenar. Dengan tergopoh-gopoh ia bergerak maju dan dengan hati-hati ditempelkannya kupingnya pada dada Arya untuk mendengarkan detak jantung anak itu. “Arya…” bisiknya.

Arya mencoba tersenyum, namun kulit wajahnya serasa membeku.
“Kakang Wiradapa…” kata Mahesa Jenar perlahan-lahan. Pinjamilah anak ini pakaian kering.

Dengan tergesa-gesa Wiradapa bangkit, dan sesaat kemudian ia telah kembali dengan pakaian-pakaian kering. Dengan kain panjang, tubuh Arya diselimuti rapat-rapat, dan kemudian dilepaskannya pakaian-pakaiannya yang basah. Sesaat kemudian terasa tubuhnya menjadi agak hangat. Tetapi dalam pada itu, ingatannya masih belum pulih benar. Ia masih belum mengerti dimana ia berada. Dinding-dinding ruangan itu nampaknya masih kabur serta dilapisi selaput yang buram.

Dengan susah payah akhirnya terdengar ia berdesis, “Di manakah aku sekarang…?”

“Kau berada di Kelurahan Gedangan, Arya. Tenangkan pikiranmu. Semuanya sudah selesai,” sahut Mahesa Jenar.

“Uling Kuning…?” bisiknya perlahan.

“Ia tidak akan mengganggumu lagi,” jawab Mahesa Jenar.

“Jadi, aku berhasil…?” sambungnya.

“Ya, kau berhasil,” jawab Mahesa Jenar pula.

Arya menarik nafas dalam-dalam. Kemudian terdengarlah ia bergumam, “Tuhan Maha Besar.”

Yang mendengar gumaman Arya itu menjadi terharu. Mereka semakin yakin bahwa anak itu tidak saja akan menjadi seorang yang berjiwa besar, tetapi ia juga akan menjadi seorang pemimpin yang saleh. Seorang pemimpin yang akan membawa rakyatnya berjalan sepanjang jalan Allah.

Dalam usianya yang semuda itu, sudah tampaklah sifat-sifat Arya Salaka yang cemerlang. Jauh dari kesombongan dan nafsu membalas dendam. Cinta kepada manusia dan kemanusiaan, serta memandang alam ini dengan penuh cinta kasih pula.

Demikianlah setelah mengucapkan kata-kata itu hati Arya menjadi tenteram. Tetapi bersamaan dengan perasaan itu, tubuhnya mulai berasa betapa penat dan sakitnya. Tulang-tulangnya serasa berderak-derak patah, serta sendi-sendinya seperti terlepas. Luka di lengan serta lambungnya menjadi pedih sekali. Cambuk Uling itu telah menyobek kulitnya. Disamping itu, lehernyapun terasa nyeri. bekas-bekas cambuk Uling Kuning masih meninggalkan bekas-bekas goresan merah. Meskipun demikian Arya Salaka berusaha untuk melupakan semua sakit-sakit yang dideritanya.

Tetapi suatu pekerjaan yang berat, bahkan sangat berat telah diselesaikan. Melenyapkan Uling Putih dan Uling Kuning sekaligus. Kemudian tahulah ia, bahwa Mahesa Jenarlah yang telah menolongnya, ketika ia pingsan di tengah-tengah telaga, setelah ia berkelahi melawan Uling Kuning. Gurunya itu datang tepat pada saatnya, yang kemudian menyambarnya dan menariknya ke tepi. Kalau saja Mahesa Jenar terlambat beberapa saat saja, mungkin iapun telah binasa seperti Uling Kuning.

Ketika orang-orang yang mengerumuninya mengetahui bahwa keadaannya telah berangsur baik, maka satu demi satu mereka meninggalkan tempat itu. Yang tinggal kemudian hanya beberapa orang saja. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Rara Wilis, Widuri, Wanamerta dan Wiradapa.

Dengan pertolongan beberapa orang, Kebo Kanigara mendapatkan beberapa macam daun-daunan serta akar-akar yang diperlukan untuk mengobati luka Arya. Untunglah bahwa dalam beberapa hal Kebo Kanigara telah belajar pada Panembahan Ismaya, sehingga dengan cekatan ia dapat mengobati luka-luka itu.

Beberapa saat kemudian tampaklah keadaan Arya Salaka berangsur baik. Bahkan kemudian ia sudah dapat tidur. Dengan demikian ia dapat beristirahat lahir dan batin.

387

DEMIKIANLAH, untuk beberapa hari Arya perlu beristirahat benar-benar untuk menyembuhkan luka-lukanya serta memulihkan tenaganya. Sebab setelah ia bertempur mati-matian, terasa seolah – olah tenaganya telah terhisap habis.

Dalam saat-saat itu, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara telah berusaha menjadikan orang-orang Gedangan lebih masak lagi. Sebab untuk seterusnya tidaklah selalu Mahesa Jenar, Arya Salaka dan Kebo Kanigara akan dapat berada di tempat itu. Meskipun menurut perhitungan Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, musuh tidak akan datang kembali. Orang-orang yang berkepentingan langsung dengan daerah Gedangan telah binasa. Sedangkan laskar Pamingitpun menurut dugaan Mahesa Jenar tidak akan segera kembali. Mereka pasti harus mempertimbangkan kekuatan yang ada di daerah kecil ini.

Mereka pada saat-saat yang lalu pasti tidak akan menduga bahwa di daerah ini ada orang-orang seperti Kebo Kanigara dan bahkan orang yang berjubah abu-abu, yang tanpa diduga-duga datang menolong.

Setelah Arya sudah pulih kembali kesehatan serta tenaganya, maka mulailah mereka mempertimbangkan apa yang akan dilakukan seterusnya. Menurut pertimbangan Kebo Kanigara, maka yang sebaik baiknya adalah menghadap Panembahan Ismaya dan melaporkan apa yang telah terjadi serta menyatakan keselamatan diri.

Demikianlah kemudian mereka terpaksa minta diri kepada orang-orang Gedangan, setelah mereka mengalami suka duka bersama, berjuang bersama. Tentu saja orang-orang Gedangan menjadi kecewa atas perpisahan itu. Tetapi perpisahan itu harus terjadi, sebagaimana matahari akan tenggelam pada senja hari setelah sehari penuh sinarnya memancari permukaan bumi. Demikianlah pula setiap pertemuan pasti akan diikuti dengan perpisahan. Cepat atau lambat. Karena tak ada sesuatu yang kekal di muka bumi ini. Setiap kali selalu ada perubahan-perubahan dan putaran-putaran peristiwa. Seperti berputarnya bola bumi itu sendiri. Sekali sebagian wajahnya menjadi terang benderang karena cahaya matahari tetapi sekali menjadi gelap oleh bayangannya sendiri.

Kepada orang-orang Gedangan Mahesa Jenar mencoba untuk menjelaskan hal itu. Kemudian katanya mengakhiri karena itu selagi kita berada ditempat yang terang. janganlah kita bersombong diri. Janganlah kita menganggap bahwa di sana ada dunia yang gelap, yang hanya diperuntukkan bagi mereka yang tidak berhak menikmati terangnya sinar matari. Tetapi dalam keadaan demikian, kita justru harus mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, bahwa kita masih berkesempatan untuk memandang udara yang cerah. Sebab pada saat yang lain, kitapun akan sampai pada daerah yang kelam. Pada saat yang demikian kita harus berdoa, semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu menerangi hati kita menjelang masa depan yang cerah.

Akhirnya Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Rara Wilis, Arya Salaka, Endang Widuri dan Wanamerta terpaksa dilepas pergi, meskipun dengan berat hati. Meskipun demikian, mereka berkesempatan untuk mengadakan sekedar selamatan perpisahan, meskipun sederhana.

Demikianlah ketika cerahnya matahari pagi sedang memercik di atas dedaunan, berjalanlah sebuah rombongan yang kecil meninggalkan desa Gedangan menuju ke pebukitan Karang Tumaritis. Di sepanjang jalan tidaklah banyak yang mereka percakapkan, sebab kepala mereka masing-masing dipenuhi oleh kenangan-kenangan atas peristiwa yang baru saja terjadi.

Tetapi tidaklah demikian dengan Mahesa Jenar dan Arya Salaka. Selain kenangan-kenangan yang sekali-sekali membayang di dalam ingatannya, mereka juga berangan-angan tentang masa depan. Tentang Sawung Sariti beserta ayahnya Ki Ageng Lembu Sora. Tentang daerah perdikan Banyubiru. Dan yang tidak kalah pentingnya, tentang pusaka-pusaka Demak, Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Dengan diketemukannya kedua keris itu, maka banyak hal yang sekaligus dapat diurai. Sebab keadaan Ki Ageng Gajah Sora pun sebagian tergantung pada keris-keris itu.

Yang juga terlintas di dalam otak Mahesa Jenar adalah cara penyelesaian yang secepat-cepatnya mengenai Banyubiru. Tidaklah sepantasnya kalau Arya Salaka masih harus menyembunyikan diri terus-menerus. Karena itu bagi Mahesa Jenar, sebaiknya Arya Salaka yang datang ke Banyubiru, dan dengan berterus terang menyatakan diri sebagai pengganti ayahnya, kepala daerah perdikan Banyubiru.

Tetapi pelaksanaan rencana itu haruslah diolah semasak-masaknya. Sebab setiap kesalahan akan dapat menimbulkan akibat yang sama sekali tidak diharapkan.

Demikianlah rombongan kecil itu berjalan menyusur jalan-jalan pegunungan dengan tenangnya. Sekali-kali mereka harus meloncat-loncat di atas batu-batu padas. Dan dengan demikian mereka telah mengejutkan burung-burung liar yang sedang bertengger di atas karang-karang terjal yang menjorok di tebing-tebing pegunungan.

Pada saat rombongan kecil, yang terdiri dari Kebo Kanigara beserta putrinya Endang Widuri. Mahesa Jenar, Rara Wilis, Arya Salaka dan Wanamerta sampai di Padepokan Karang Tumaritis, mereka melihat Panembahan Ismaya sedang duduk dikerumuni beberapa orang cantrik. Agaknya Panembahan itu sedang bercakap-cakap atau berceritera tentang suatu hal yang sangat menarik. Sebab tidaklah lazim Panembahan Ismaya memberi wejangan dan pelajaran dengan cara yang demikian.

Ketika salah seorang cantrik melihat kedatangan rombongan itu, serta memberitahukan kepada Panembahan Ismaya, maka dengan tergopoh-gopoh Panembahan tua itu berdiri dan menyambut. Dipersilahkannya rombongan itu duduk pula bersama-sama dengan para cantrik.

Yang pertama-tama ditanyakan adalah keselamatan mereka yang baru saja datang menghadap.
Kebo Kanigaralah yang mewakili menjawab setiap pertanyaan Panembahan Ismaya, serta menyampaikan bakti mereka bersama-sama.

388

PANEMBAHAN Ismaya mendengarkan semua ceritera Kebo Kanigara dengan penuh perhatian. Kata demi kata seolah-olah dicernakan kembali didalam otaknya untuk dapat menangkap saripatinya.
“Syukurlah kalau kalian selamat,” katanya kemudian, namun wajahnya tampak muram.
“Karena pangestu Panembahan,” jawab Kebo Kanigara.
“Sebenarnya aku telah mendengar apa yang terjadi di Gedangan, dari tembang-rawat-rawat bakul sinambi wara. Juga seorang cantrik yang sedang turun untuk menukarkan hasil pertanian kami, mendengar pula ceritera tentang pertempuran yang terjadi di Gedangan.”

Panembahan Ismaya berhenti sejenak. Wajahnya yang muram itu menatap dengan tajam ke arah mata Kebo Kanigara yang kemudian menundukkan kepalanya.

“Dan aku mendengar pula…” sambung Panembahan Ismaya, “Bahwa pada kedua belah pihak jatuh korban.”

“Ya.” jawab Kanigara pendek sambil masih menekurkan kepalanya.

“Dalam setiap perselisihan dan kekerasan akan jatuh korban,” sambung Panembahan Ismaya bergumam seperti kepada dirinya sendiri. “Besar atau kecil, seperti apa yang baru saja terjadi.”

Sekali lagi Panembahan tua itu berhenti, menelan ludahnya. Lalu kemudian ia berkata kepada salah seorang cantrik, “Kenapa belum kalian sajikan minuman untuk para tamu ini?”

Seorang cantrik segera berdiri dan pergi ke belakang untuk menyiapkan minuman bagi rombongan yang memang kehausan itu. Setelah mengucapkan kata-kata itu. Panembahan Ismaya tidak meneruskan kata-katanya. Bahkan kemudian tampaklah ia menundukkan wajahnya. Agaknya ada sesuatu yang menyumbat kerongkongannya.

Yang melihat hal itu, tak seorangpun yang berani mengucapkan sepatah katapun. Meskipun hati mereka diliputi oleh berbagai pertanyaan namun mulut mereka terkatub rapat.

Baru beberapa saat kemudian Panembahan tua itu berkata, “Anak-anakku semua. Baru saja aku memperkatakan angger Arya Salaka. Aku dengar bahwa angger mengalami peristiwa yang hampir menyeretnya kedalam kesulitan.”

Arya Salaka membungkukkan badannya, dan dengan hormatnya ia menjawab, “Benar Panembahan. Tetapi Tuhan yang Maha Murah telah membebaskan aku dari cengkeraman maut.”

Panembahan Ismaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya lirih, “Angger, baru saja memperkatakan angger dengan para cantrik. Peristiwa seperti apa yang terjadi atas daerah Perdikan Banyubiru itu telah berulang kali terjadi. Dalam lingkungan yang besar dan dalam lingkungan yang lebih kecil. Pertentangan yang terjadi diantara keluarga sendiri.”

Panembahan Ismaya berhenti sesaat, seolah-olah hendak menunggu sampai kata-katanya meresap kedalam otak bocah itu. Kemudian ia meneruskan, “Baru saja aku berceritera kepada para cantrik. Ceritera tentang masa-masa lalu, yang pernah aku dengar dari mulut ke mulut, atau yang pernah aku baca dari lontar-lontar. Keretakan demi keretakan, perselisihan demi perselisihan dan pertempuran demi pertempuran telah berulang kali menusuk jantung kita sendiri. Usaha yang telah dikerjakan dengan bekerja keras dan penuh keprihatinan, akhirnya dihancurkan oleh ketamakan dan pemanjaan nafsu.”

“Kisah tentang kebesaran Baginda Erlangga di Jawa Timur adalah satu diantaranya. Dengan susah payah baginda Erlangga berusaha untuk membina persatuan dari seluruh kerajaannya.”

Dibekali dengan sakit dan lapar. Dengan mesu raga disepanjang bukit dan hutan. Sehingga oleh Empu Kanwa Baginda dipersamakan dengan Arjuna dalam Kakawin Arjunawiwaha. Tetapi yang kemudian terpaksa membagi daerah yang dengan susah payah disatukan itu menjadi dua. Itu sebenarnya bukanlah peristiwa yang paling menyedihkan didalam hidupnya. Tetapi lebih daripada itu pewaris-pewarisnya ternyata telah menyobek-nyobek dada sendiri. Terutama Janggala, yang semakin lama menjadi semakin surut. Dan akhirnya lenyap dari percaturan sejarah. Sedang Kediri agaknya masih dapat bertahan lebih lama lagi. Namun negara inipun mengalami peristiwa yang sama.”

“Baginda Jayabaya terpaksa harus berperang melawan kadang sendiri, yaitu Jayasaba. Tetapi apa yang mereka dapatkan dari perselisihan-perselisihan itu? Kediri pun semakin lama semakin surut. Dan hanyutlah Kediri pada jaman Baginda Kertajaya, dilanda oleh kekuatan yang tumbuh dari lingkungan yang tak dapat diketahui.”

“Ken Arok, yang kemudian bergelar Rajasa Sang Amurwabhumi. Tetapi kekuatan inipun kemudian terpecah belah. Pertengkaran-pertengkaran timbul. Golongan yang satu melawan golongan yang lain. Pengikut-pengikut Anusapati dari darah Tunggul Ametung melawan golongan Tohjaya dari darah Sang Amurwabhumi dengan isterinya yang kedua Ken Umang. Juga mereka tidak mendapatkan sesuatu dari pertengkaran ini kecuali kelemahan dan mendorong diri sendiri ke tepi jurang keruntuhan. Ketika golongan-golongan itu telah tidak lagi saling berdesak-desakan, datanglah Kertanegara. Tetapi tanpa disangka-sangka, di dalam tubuh kekuasaan Kertanegara terdapatlah Ardaraja, yang membantu kekuatan dari luar untuk menghancurkan Singasari. Juga Singasari kemudian runtuh. Setelah itu lahirlah Majapahit dengan megahnya.”

“Kesatuan dan persatuan dapat dibina dengan cucuran keringat Sang Maha Patih Gajah Mada. Karena itulah Majapahit menjadi mercusuar dari negara-negara yang terserak-serak dari Gurun, Seran, Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik dan banyak daerah-daerah lagi. Juga dengan negara-negara tetangga Syangka, Darmanegari, Campa, Kamboja dan masih banyak lagi.”

Sekali lagi Panembahan Ismaya berhenti untuk sesaat. Arya mendengar ceritera Panembahan Ismaya itu dengan penuh perhatian. Beberapa dari ceritera itu pernah didengarnya dari gurunya. Namun kali ini rasa-rasanya ceritera itu lebih meresap daripada yang pernah didengarnya.

389

PANEMBAHAN Ismaya meneruskan, “Tetapi Majapahit pun kemudian menjadi surut. Sepeninggal Gajah Mada dan Baginda Hayam Wuruk, Majapahit seolah-olah kehilangan alas. Perang yang timbul diantara keluarga sendiri semakin mempercepat kehancurannya. Perang Saudara yang menyedihkan terjadi, ketika Blambangan tidak mau tunduk lagi. Sebab Adipati Blambangan merasa berhak pula atas tahta Majapahit. Akibat perang saudara yang disebut Perang Paregreg inilah maka Majapahit benar-benar telah menghancurkan dirinya sendiri. Sebab setelah itu Kerajaan Besar yang telah mengalami perang saudara selama 5 tahun itu benar-benar telah lumpuh dan tidak mampu mengembangkan sayapnya kembali. Raja-raja yang ada kemudian sama sekali tidak berarti. Adipati-adipati dan Bupati-bupati kemudian lebih senang memisahkan diri dan mendirikan negara-negara kecil yang terpecah belah.”

“Dalam pada itu, bangkitlah kemudian kerajaan Demak. Nah, dalam hal ini anakmas Mahesa Jenar akan lebih banyak tahu daripada aku. Namun satu hal yang sekarangs angat mencemaskan. Kebesaran Demakpun agaknya terganggu. Dua garis keturunan yang aku dengar sekarang ini sedang dalam keadaan yang kurang menyenangkan. Garis keturunan Sultan Trenggana dan garis keturunan Sekar Seda Lepen.”

Panembahan Ismaya mengakhiri ceriteranya. Pandangan matanya yang lunak beredar dari wajah yang satu ke wajah yang lain. Sedangkan mereka yang mendegarkan ceritera itu, dengan cermatnya mengikuti setiap persoalan. Apalagi Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Mereka tidak mendengar kisah itu sebagai kisah melulu. Kisah yang harus disesali bahwa hal-hal yang menyedihkan itu telah terjadi.

Tetapi lebih daripada itu, masa yang lampau itu hendaknya menjadi cermin atas masa datang perpecahan demi perpecahan, perselisihan demi perselisihan antara keluarga sendiri. Dan itu terjadi sekarang. Ya, sekarang ini. Dan ini mengancam keselamatan kerajaan Demak.

Mahesa Jenar menundukkan wajahnya. Demikian pula Kebo Kanigara sebagai seorang bangsawan cucu dari salah seorang yang pernah merajai Majapahit, hatinya tersentuh pula.

Arya Salaka yang tidak mengerti terlalu jauh tentang ceritera itu berusaha untuk menghubungkan dengan peristiwa di daerahnya, Banyubiru. Setiap kali ia merasa, bahwa memang hal yang serupa telah terjadi. Dalam lingkungan yang kecil, Tanah Perdikan Banyubiru. Namun demikian ia tidak tahu, bagaimana seharusnya ia memecahkan masalah yang dihadapinya. Tetapi ia tidak perlu bingung. Sebab nanti akan dapat menanyakan itu kepada gurunya.

Dalam keheningan itu tiba-tiba terdengar Panembahan Ismaya berkata dengan nada yang berbeda, “Nah anak-anak sekalian. Aku terlalu tergesa-gesa untuk berceritera, sampai aku lupa bahwa kalian sedang lelah dan perlu beristirahat. Karena itu, silahkan kalian membersihkan diri, dan kemudian biarlah para cantrik melayani kalian makan bersama. Akupun perlu beristirahat setelah terlalu lama bermain-main dengan para cantrik.”

Kemudian ditinggalkannya Kebo Kanigara beserta rombongannya oleh Panembahan Ismaya untuk mengaso di dalam sanggarnya.

Demikianlah kemudian merekapun segera menempati tempat mereka masing-masing seperti pada saat mereka berada di tempat itu. Dan untuk waktu-waktu seterusnya, kembalilah mereka menjadi bagian dari masyarakat kecil di atas bukit Karang Tumaritis.

Kebo Kanigara kembali dalam kedudukannya sebagai seorang Putut bersama Mahesa Jenar dan Arya Salaka, Wilis dan Widuri pun kembali pula hidup diantara para Endang di padukuhan itu.
Tetapi dalam pada itu, ada yang selalu menyentuh-nyentuh perasaan Mahesa Jenar. Ceritera Panembahan Ismaya tentang keadaan Demak sekarang sangat menarik perhatiannya. Ia selalu menghubung-hubungkan ceritera itu dengan pusaka-pusaka Demak yang hilang. Yaitu Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.

Apakah kalau pusaka itu diketemukan, dan kemudian dimiliki oleh salah seorang dari garis keturunan itu, keadaan lalu jadi tenang?

Dalam pada itu tiba-tiba Mahesa Jenar teringat kepada orang yang berjubah abu-abu, yang pernah datang ke Banyubiru dan mengambil kedua keris itu. Lebih daripada itu. Mahesa Jenar teringat dengan gamblangnya seorang yang berjubah abu-abu pula, yang dijumpainya di perjalanannya pada saat ia sedang kehilangan akal. Pada saat hatinya seolah-olah pecah karena hubungannya dengan Rara Wilis yang pada saat itu diantarkan oleh Sarayuda. Pada saat ia meninggalkan Arya Salaka di perjalanan dan berusaha untuk melupakan anak itu. Pada saat itu dijumpainya orang yang berjubah abu-abu itu. Teringat dengan jelasnya orang itu berkata kepadanya, ketika ia bertanya di mana kedua keris itu berada. Katanya, Mahesa Jenar, kedua keris itu berada di dalam kekerasan hatimu serta usahamu. Lalu orang berjubah itu meneruskan, Hati-hatilah kelak kau memilih. Ada dua keturunan yang merasa berhak memiliki keris itu. Keturunan Trenggana dan Keturunan Sekar Seda Lepen.

Pilihlah siapa diantara mereka yang mengutamakan kepentingan rakyat serta kesejahteraan negara. Kepadanya keris itu kau serahkan.

390

SUARA itu seolah-olah kini terngiang kembali dalam telinganya. Suara orang yang berjubah abu-abu. Tiba-tiba ia menghubungkan pesan orang berjubah abu-abu itu dengan ceritera Panembahan Ismaya.

Dua garis keturunan yang diam-diam mengandung pertentangan, garis keturunan Sultan Trenggana dan garis keturunan Sekar Seda Lepen.

Hati Mahesa Jenar kemudian menjadi berdebar-debar. Apakah hubungannya antara ceritera Panembahan Ismaya dan orang yang berjubah abu-abu itu. Dan apakah sebabnya maka orang yang berjubah abu-abu itu tiba-tiba saja muncul di dalam pertempuran yang terjadi beberapa saat yang lalu, ketika pasukannya sedang dalam keadaan yang sangat berbahaya? Persoalan-persoalan itu selalu melingkar-lingkar di dalam relung dada Mahesa Jenar, bahkan kemudian telah mendorongnya untuk menilai setiap keadaan paling kecilpun dalam usahanya untuk menemukan jawaban teka-teki yang selalu mengganggu otaknya itu. Malahan lebih daripada itu, ia sudah bertekad untuk menemukan suatu kepastian, bahwa orang yang berjubah abu-abu dan orang yang menamakan dirinya Panembahan Ismaya pastilah ada tali yang menghubungkan mereka itu. Dalam usahanya itu mula-mula Mahesa Jenar tidak ingin berkata kepada seorangpun. Untuk sementara ia ingin bekerja sendiri.

Dihubung-hubungkannya semua yang pernah dilihat dan didengarnya, yang pernah dialami dan pernah dihayati selama ini. Meskipun dalam beberapa hari kemudian tak ada sesuatu yang menjelaskan dugaannya, namun dengan sabarnya ia bekerja terus. Sebab apabila hal itu bisa dipecahkan, akan terbukalah beberapa masalah sekaligus. Tetapi akhirnya kepada Kebo Kanigara, seorang yang telah banyak memberi bantuan kepadanya dalam pencapaiannya atas taraf peresapan ilmunya lebih sempurna lagi, Mahesa Jenar ternyata tidak dapat berahasia.

Kepada Kebo Kanigara diceriterakannya semua yang pernah dialami dan semua dugaan yang tersimpan di dalam dadanya. Mendengar semuanya itu, Kanigara mengerutkan keningnya tinggi-tinggi. Wajahnya berubah menjadi tegang. Dan dengan hati-hati ia menjawab, “Mahesa Jenar, meskipun aku telah agak lama tinggal di padepokan ini, namun banyak hal yang tidak aku ketahui tentang Panembahan Ismaya. Yang aku ketahui adalah, Panembahan Ismaya memang sering meninggalkan padepokan ini. Seterusnya aku tidak tahu.”

Mahesa Jenar dapat mempercayai kata-kata Kebo Kanigara itu. Sebab orang yang berjubah abu-abu itu pasti tidak menginginkan seorangpun mengetahui keadaan sebenarnya. Dalam pada itu tiba-tiba Mahesa Jenar mendapatkan suatu pikiran yang barangkali akan dapat memperjelas persoalan. Dan ketika pikirannya itu disampaikan kepada Kanigara, ia menjadi tersenyum dan menjawab, “Mahesa Jenar, otakmu benar-benar terang. Dan beruntunglah semua pengalaman yang pernah kau alami dapat kau pergunakan sebaik-baiknya. Aku sependapat dengan rencanamu, dan aku akan membantumu.”

Kemudian bersepakatlah mereka untuk mencoba memecahkan teka-teki yang rumit itu. Kali ini mereka akan menempuh jalan yang sedikit berbahaya. Namun apabila jalan yang dilewatinya benar, akan terpecahkanlah persoalan itu.

Demikianlah pada suatu malam, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara meninggalkan Padepokan Karang Tumaritis. Kepada Rara Wilis dan Endang Widuri, mereka berpesan bahwa mereka akan menempuh suatu perjalanan yang agak panjang, untuk menyelesaikan banyak persoalan, sehingga mereka tidak perlu ikut. Sedang kepada Arya Salaka, dipesankan untuk menyampaikan kepergian mereka besok pagi, langsung kepada Panembahan Ismaya, tidak kepada orang lain. Juga tidak kepada Rara Wilis dan Endang Widuri.

Ketika pada pagi harinya Arya Salaka menyampaikan pesan itu kepada Panembahan Ismaya, panembahan tua itu tiba-tiba mengerutkan keningnya.

Wajahnya berubah membayangkan kecemasan. Kepada Arya, ia bertanya, “Arya… kapankah mereka berangkat?”

“Semalam Panembahan,” jawab Arya.

“Kenapa mereka tidak mengatakan keperluannya itu kepadaku?”

“Kedua paman itu takut kalau Panembahan tidak mengijinkan. Sebab Panembahan selalu tidak memperkenankan paman-paman itu untuk melakukan kekerasan untuk mencapai maksudnya, apabila tidak terpaksa sekali.”

Kembali Panembahan Ismaya mengerutkan keningnya. Namun karena kebijaksanaannya, Arya tidak dapat mengerti tanggapan apa yang menjalar dalam dada orang tua itu.

“Arya…” kata Panembahan pula, “Adakah paman-pamanmu itu yakin bahwa mereka akan menemukan apa yang dicarinya?”

“Ya Eyang… kedua paman itu yakin bahwa yang dicarinya itu ada di sana,” jawab Arya.

“Seharusnya mereka minta ijin dulu kepadaku,” gumamnya, lalu katanya meneruskan, “Tetapi semuanya sudah terlanjur. Kaulah sekarang yang harus menggantikan kedua pamanmu menuntun para cantrik dan semua penghuni padepokan ini.”

Demikianlah Panembahan tua itu menyesali perbuatan Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Dalam hal ini, Arya Salaka pun menjadi heran. Apakah salahnya kalau kedua pamannya minta ijin lebih dulu? Kalau masalahnya benar-benar penting, apalagi menyangkut kedua keris pusaka Demak itu, pasti Panembahan Ismaya akan mengijinkan. Tetapi Arya Salaka tidak mau berpikir terlalu panjang. Kalau kedua pamannya itu berbuat demikian, pastilah ada hal yang memaksa mereka melakukan itu.
74 pulkan dari Harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta

391

SEMENTARA itu Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar telah jauh meninggalkan Padepokan Karang Tumaritis. Mereka pergi ke arah timur dan kadang-kadang mereka mengarah ke utara, dengan tujuan Banyubiru.

Perjalanan itu memang agak jauh. Lewat tanah-tanah yang berbatu-batu tajam dan kadang-kadang mereka harus mendaki lereng-lereng terjal. Untunglah bahwa sebelum mereka menempuh perjalanan itu mereka sempat singgah di Gedangan untuk mendapatkan dua ekor kuda yang baik.

Dengan kuda itulah mereka menempuh perjalanan. Diiringi oleh derap kaki-kaki kuda mereka yang berirama menyentuh batu-batu padas di bawah sinar matahari pagi, setelah mereka beristirahat beberapa lama. Burung-burung yang hinggap di batang-batang pohon liar memandang kedua penunggang kuda itu dengan kagumnya. Seolah-olah mereka sudah mengenalnya dengan baik, bahwa kedua orang itu adalah dua orang perkasa yang sedang dalam perjalanan yang berbahaya.

Namun demikian, wajah-wajah mereka itu tampak betapa cerahnya secerah matahari pagi, yang memandang jalan yang terbentang di hadapannya dengan penuh keyakinan. Meskipun batu-batu padas menjorok menghadang perjalanan mereka, mereka sama sekali tidak mempedulikannya.

Demikianlah kuda-kuda itu berlari dengan kecepatan sedang. Beberapa saat kemudian mereka menyusup hutan-hutan yang tidak begitu lebat. Tetapi semakin mereka menyusup ke jantung hutan itu, terasa bahwa hutan itu menjadi semakin padat. Meskipun demikian perjalanan mereka sama sekali tidak terganggu. Kuda-kuda mereka pun seolah-olah terpengaruh oleh kebesaran tekad para penunggangnya.
Ketika matahari menjadi terik, seakan-akan ingin membakar hutan itu. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menghentikan perjalanan mereka, pada saat mereka menjumpai air. Mereka segera membiarkan kuda-kuda mereka minum, sedang mereka berduapun beristirahat pula. Setelah puas, barulah mereka meneruskan perjalanan kembali.

Tujuan mereka yang sebenarnya bukanlah kota Banyubiru. Banyubiru bagi Mahesa Jenar hanyalah merupakan ancar-ancar ke arah tujuannya. Karena beberapa orang Banyubiru telah mengenalnya, maka ia sengaja memasuki kota itu, setelah malam menjadi gelap.

Dari Banyubiru, Mahesa Jenar menyusup ke utara. Melewati hutan-hutan yang tidak begitu lebat untuk kemudian membelok ke arah Timur. Mendaki lambung Bukit Gajahmungkur dan seterusnya menyusur sepanjang lerengnya ke utara.

Pada sebuah puncak kecil dari bukit-bukit yang merentang membujur ke utara itu Mahesa Jenar berhenti.

”Kakang Kanigara, di sini aku pernah berkelahi melawan orang-orang dari golongan hitam hampir seluruhnya,” kata Mahesa Jenar.

”Siapa saja?” tanya Kebo Kanigara.

”Sima Rodra muda suami istri, sepasang Uling, Lawa Idjo dan Lembu Sora,” jawab Mahesa Jenar.

”Jaka Soka…?” tanya Kanigara pula.

”Tidak. Ia sedang bertengkar dengan Lembu Sora saat itu,” jawab Mahesa Jenar pula.

”Dapatkah kau mengatasi keadaan?”

”Tidak. Aku hampir saja mati. Untunglah aku terperosok ke dalam jurang karena pertolongan seseorang.”

”Bagaimana ia menolongmu?”

”Ia adalah orang yang cukup sakti untuk meruntuhkan tebing dimana pada saat itu aku sedang terdesak.”

Kanigara tersenyum. Hebat juga orang yang telah menolongnya itu.

”Siapakah dia?”

”Dialah yang aku sebut-sebut bernama Radite.”

Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, ”Jadi… orang yang sebenarnya berhak menamakan diri Pasingsingan itukah?”

”Ya.”

Kemudian mereka terdiam untuk beberapa saat. Angin malam berhembus perlahan mengusap wajah-wajah yang segar itu. Kanigara memandang berkeliling. Di sebelah Barat tampak berkilat-kilat memantulkan cahaya bulan, permukaan air Rawa Pening yang tenang seperti kaca. Sedikit ke arah barat tampaklah seperti gelombang hitam, batang-batang padi yang bergerak-gerak tersentuh angin.

”Inikah daerah yang harus dipimpin oleh Arya Salaka kelak?” tanya Kebo Kanigara.

”Ya. Membujur ke barat dan menjorok ke utara sepanjang tepi Rawa Pening,” jawab Mahesa Jenar.
Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya sekali lagi. Memang Banyubiru adalah tanah yang patut diperebutkan. Daerah yang subur dan memiliki sungai-sungai yang cukup, sehingga sawah ladangnya tidak saja selalu tergantung pada jatuhnya hujan.

Sesaat kemudian kembali mereka meneruskan perjalanan. Ketika mereka sampai di sebuah hutan kecil, mereka berhenti untuk melepaskan lelah.

Ketika matahari pagi mulai menerangi punggung-punggung bukit, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara mulai dengan perjalanannya kembali. Kuda-kuda mereka nampaknya menjadi segar dan berlari-lari dengan riangnya. Hutan-hutan di daerah ini bukanlah merupakan hutan-hutan yang lebat. Sebab hampir setiap hari daerah ini dirambah oleh orang-orang yang mencari kayu.

Kaki-kaki kuda Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara terdengar berderap-derap dalam irama angin pagi. Debu yang putih tipis mengepul-ngepul dilemparkan oleh kaki-kaki kuda itu. Tetapi sesaat kemudian telah lenyap terhambur oleh hembusan angin.

Demikianlah mereka menempuh perjalanan pada hari terakhir. Mereka mengharap bahwa malam nanti mereka telah sampai pada arah yang harus mereka tuju.

392

DI daerah ini perjalanan mereka tidaklah dapat begitu lancar. Karena Mahesa Jenar masih harus mengingat-ingat jalan manakah yang pernah ditempuhnya dahulu. Sebab baru sekali ia pernah ke tempat yang ditujunya sekarang. Itu saja pada arah yang berlawanan. Untunglah bahwa ketajaman ingatannya cukup terlatih untuk mengenal daerah-daerah baru. Sebagai seorang prajurit, hal yang sedemikian adalah sangat berguna.

Mereka sampai ke tempat tujuan ketika matahari masih tampak tergantung di langit sebelah barat. Meskipun sinarnya sudah tidak begitu kuat, namun pantulan cahaya ujung-ujung dedaunan nampak berkilat-kilat. Alangkah segarnya alam.

Karena itu mereka masih harus beristirahat kembali sambil menunggu matahari itu membenamkan diri, sebelum mereka memasuki daerah yang disebut oleh penghuninya Pudak Pungkuran.

Demikianlah, sambil beristirahat mereka memperbincangkan apakah yang kira-kira akan terjadi. Mereka mengharap bahwa mereka menempuh jalan yang benar. Dalam pada itu merekapun masih harus menilai-nilai diri. Terutama Mahesa Jenar. Apakah dalam tingkatannya yang sekarang ia sudah dapat menempatkan dirinya sejajar dengan angkatan gurunya.

”Mahesa Jenar…” kata Kebo Kanigara, ”Menurut pendapatku, kau benar-benar sudah mencapai tingkatan ayah Pengging Sepuh. Bahkan andaikata ayah Pengging Sepuh itu masih ada sekarang, belum tentu ayah dapat menang bertempur melawanmu. Sebab tenagamu masih penuh, disamping pengalamanmu yang aneh-aneh yang barangkali tidak terlalu banyak orang lain mengalami. Kesenanganmu bersama muridmu mengamat-amati gerak-gerik binatang adalah sangat berguna bagi ilmumu. Dan bukankah kau telah pernah membuktikannya pula untuk melawan Sima Rodra tua.
Kekalahan Sima Rodra adalah karena ia hanya mengagumi ketangkasan dan kekuatan seekor harimau. Sedang kau tidak. Kau mengagumi ketangkasan harimau tetapi kau mengagumi pula kelincahan seekor kijang, bahkan seekor kelinci sekalipun.”

Mahesa Jenar tersenyum mendengar pujian itu. Jawabnya, ”Terima kasih Kakang. Dan bukankah itu berkat hadirnya seorang Mahesa Jenar palsu di kaki bukit Karang Tumaritis?”

Kanigara tersenyum pula. ”Aku hanya merupakan lantaran supaya kau sudi sedikit membuang waktu untuk mendalami ilmumu. Tidak saja berjalan dari satu daerah ke daerah yang lain, meskipun kehadiranmu di daerah-daerah itu ternyata sangat berguna pula.”

Sementara itu langit telah bertambah buram. Dan sesaat kemudian lenyaplah cahaya matahari yang terakhir. Meskipun kemudian bulan muncul pula di langit, namun sinarnya tidaklah terlalu cerah.
Pada saat yang demikian Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara meneruskan perjalanan mereka, memasuki sebuah pedukuhan kecil yang masih belum banyak mengalami perubahan seperti empat atau lima tahun yang lalu.

Ketika mereka sampai di depan sebuah rumah di ujung pedukuhan kecil itu. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara segera meloncat turun dan kemudian menambatkan tali kudanya pada sebatang pohon.
Mereka sama sekali tidak memperdulikan wajah-wajah yang terheran-heran mengintip dari sela-sela daun pintu hampir dari setiap rumah, ketika penduduk di pedukuhan terpencil itu mendengar derap dua ekor kuda di jalan-jalan mereka. Hal yang demikian adalah jarang sekali, bahkan hampir belum pernah terjadi.

Ketika penghuni rumah di ujung jalan itu mendengar langkah kuda di halaman, maka segera tampaklah ia membuka pintu rumahnya. Sebuah wajah yang telah meninggalkan usia pertengahan menjelang saat-saat senja dalam edaran hidupnya, menjenguk keluar. Mula-mula tampak keningnya berkerut. Lalu kemudian membayanginya sebuah senyuman yang jernih.

Mahesa Jenar segera dapat mengenalnya. Wajah yang ditandai oleh dahi yang lebar, bibir yang tebal, dan hidung yang besar, serta rambut yang mulai memutih, namun dari bawah dahinya memancarkan sinar matanya yang bersih lembut.

Ketika orang itu dengan tergopoh-gopoh datang menyongsongnya, Mahesa Jenar membungkuk hormat serta berkata, ”Selamat malam Kiai. Mudah-mudahan kedatanganku tidak mengejutkan Kiai.”

”Tidak, tidak Angger. Aku senang kau sudi menjenguk aku kembali,” jawabnya.

Kemudian Mahesa Jenar memperkenalkan Kebo Kanigara sebagai seorang Putut dari Padepokan Karang Tumaritis dan bernama Putut Karang Jati.

”Marilah Angger berdua, marilah masuk,” ajaknya.

Kemudian Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara mengikuti orang tua itu memasuki rumahnya. Belum lagi mereka mulai dengan sebuah percakapan, tiba-tiba sebuah tubuh yang tinggi kekurus-kurusan berkulit merah tembaga terbakar oleh teriknya matahari, namun bermata terang seterang bintang-bintang di langit, telah berdiri di muka pintu. Dengan sebuah tawa yang memancar langsung dari dadanya ia menyambut kedatangan Mahesa jenar. Katanya, ”Aku tidak mimpi apapun malam tadi, serta siang tadi burung-burung prenjak tidak berkicau. Tetapi tiba-tiba membayanglah teja di langit.”

Mahesa Jenar tersenyum sambil membungkuk hormat pula kepada orang itu. Demikian pula Kebo kanigara. Melihat kedua orang itu, segera Kebo Kanigara mengetahui, bahwa meskipun mereka berpakaian petani seperti kebanyakan petani, namun kedua orang itu pasti bukanlah sembarang petani. Karena itu segera ia dapat menebak, bahwa kedua orang itulah yang oleh Mahesa Jenar dimaksud bernama Paniling dan Darba, atau yang bernama sebenarnya Radite dan Anggara.

393
DARBA selanjutnya meneruskan, ”Ketika aku mendengar derap kuda, aku bertanya-tanya dalam hati, siapakah orang yang terperosok ke pedukuhan kecil ini? Tetapi beberapa orang yang sempat mengintip dari celah-celah pintu berkata kepadaku, bahwa orang berkuda itu menuju ke rumah Kakang Paniling. Karena itulah aku segera datang kemari. Dan dugaanku benar. Bahwa pasti orang yang datang dari jauhlah yang telah mengunjungi rumah ini.”

”Demikianlah Paman…” jawab Mahesa Jenar. Dan kepada Darba pun Mahesa Jenar memperkenalkan Putut Karang Jati.

Demikianlah mereka setelah masing-masing mengucapkan salam selamat, mulailah Paniling dan Darba bertanya-tanya mengenai keadaan Mahesa Jenar selama ini tanpa prasangka apapun. Namun Mahesa Jenar hanya berusaha menjawab beberapa hal saja.

Akhirnya Paniling dan Darba merasa bahwa sikap Mahesa Jenar agaknya kurang wajar. Karena itu kemudian Paniling bertanya ”Angger, aku sangka kedatangan Angger mengandung suatu keperluan yang penting, yang barangkali agak tergesa-gesa. Nah, angger. Katakanlah. Kalau saja kami berdua dapat menolong kesulitan angger, biarlah kami berusaha untuk menolongnya.”

Sesaat Mahesa Jenar menjadi ragu-ragu. Beberapa kali ia memandang kepada Kebo Kanigara. Tetapi karena Kebo Kanigara sedang menundukkan mukanya, merenungi lantai, maka ia tidak melihatnya.

Akhirnya Mahesa Jenar memutuskan untuk melaksanakan rencananya. Meskipun dengan dada yang berdebar-debar. Tetapi ia berdoa agar segala sesuatu dapat berlangsung dengan baik.

Maka kemudian berkatalah ia, ”Paman berdua… benarlah dugaan Paman. Aku datang dengan suatu keperluan yang penting. Meskipun dengan berat hati, namun terpaksalah aku akan melakukan kewajibanku, kewajiban kepada negara dan rakyat.”

Paniling dan Darba bersama-sama mengerutkan keningnya. Mereka menduga-duga, apakah yang akan dilakukan oleh Mahesa Jenar berdasarkan atas kewajibannya kepada negara dan rakyat?

”Paman…” Mahesa Jenar meneruskan, ”Setelah beberapa tahun aku berkeliling hampir seluruh sudut negeri ini untuk mencari kedua keris Demak yang lenyap seperti yang pernah aku katakan dahulu, dan sama sekali aku tidak menemukan jejaknya, maka berdasarkan pengamatanku, atas seseorang yang mengambil keris itu langsung dari Banyubiru, akhirnya aku berkesimpulan, bahwa tidak ada orang lain yang demikian saktinya, melampaui kesaktian Pasingsingan, serta berjubah abu-abu seperti Pasingsingan pula, selain salah seorang dari kedua paman ini. Paman Radite atau Paman Anggara.”

Perkataan Mahesa Jenar yang diucapkan kata demi kata dengan jelasnya itu, bagi Paniling dan Darba, seolah-olah menggelegarnya berpuluh-puluh guntur bersama-sama diatas kepala mereka. Sehingga dengan demikian, malahan seolah-olah tidak sepatah katapun yang dapat mereka tangkap dengan jelas. Karena itu dengan agak ragu-ragu pada pendengarannya, Paniling bertanya, ”Angger, apakah yang Angger katakan itu?”

”Maafkanlah aku Paman,” Mahesa Jenar menjelaskan, ”Bahwa aku akhirnya berkesimpulan. Keris -keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten agaknya berada di tangan paman salah seorang atau kedua-duanya.”

Paniling dan Darba bersama-sama menarik nafas panjang. Untunglah bahwa umur mereka yang telah lanjut, menyebabkan mereka dapat mengendapkan setiap perasaan yang paling pedih sekalipun.

Dengan sareh terdengar Paniling menjawab, ”Angger, beberapa tahun yang lampau telah aku katakan, bahwa akupun ikut merasa sedih atas lenyapnya kedua keris itu. Tetapi orang yang berjubah abu-abu itu bukanlah salah seorang diantara kami. Apakah pamrih kami dengan menyimpan kedua keris itu…? Kami telah merasa berbahagia hidup di padepokan ini bersama-sama dengan para petani. Sebab mereka adalah orang-orang yang berhati terbuka. Demikian yang dikatakan, demikian pulalah yang dipikirkan. Di sini aku merasa bahwa hidup kami telah penuh dengan arti.”

”Paman…” jawab Mahesa Jenar, ”Sekali lagi aku mohon maaf. Tetapi sayang Paman, bahwa aku tidak dapat berkesimpulan lain daripada itu.”

Darba menggeleng-gelengkan kepalanya. Dengan mata yang suram ia berkata, ”Bagaimana aku dapat menduga yang demikian Angger. Kami sama sekali tidak melihat adanya suatu keuntungan apapun dengan menyimpan kedua keris itu. Sedang kami tahu, bahwa orang lain sangat memerlukannya. Seandainya kedua keris itu ada pada kami, maka dengan senang hati akan kami serahkan kepada Angger Mahesa Jenar.”

”Paman, aku tidak tahu siapakah yang berdiri di belakang Paman. Aku juga tidak tahu, apakah Paman mempunyai seorang calon untuk merebut tahta.”

Kembali Paniling dan Darba terkejut bukan buatan. Perlahan-lahan tanpa disadarinya mereka mengelus dada. Katanya, ”O… Ngger…. Jangan berpikiran demikian. Aku berdua sama sekali tidak mempunyai seorang muridpun. Juga kami berdua tidak mempunyai anak keturunan. Apalagi membayangkan seseorang untuk menduduki tahta kerajaan. Sungguh Ngger, mimpi pun aku tidak berani.”

Mahesa Jenar tertawa dingin. Sahutnya, ”Aku sudah bertanya kepada lebih dari seratus orang. Semuanya menjawab seperti jawaban Paman berdua itu. Apalagi Paman berdua adalah dua orang sakti yang hampir tak ada bandingnya di dunia ini.”

Sekali lagi Paniling dan Darba menarik nafas dalam-dalam. Terdengarlah Darba menjawab dengan nada sedih, ”Angger Rangga Tohjaya… Angger seharusnya bijaksana. Seandainya kami berdua benar-benar sakti seperti apa yang Angger sebutkan. Namun mustahillah bahwa kami berdua akan dapat menguasai seluruh prajurit dan pengawal kerajaan, meskipun kami menyimpan sipat kandel Demak. Yaitu Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.”

394

MAHESA JENAR tertawa semakin keras. ”Hampir setiap anak kecilpun mengetahui, bahwa dengan berpegangan pada kedua sipat kandel itu Paman berdua mengharapkan seluruh istana akan tunduk dengan sendirinya tanpa kekerasan.”

”Angger…” potong Paniling, ”Pandanglah wajah-wajah kami yang telah mulai berkeriput ini. Apakah terbayang nafsu duniawi yang berlebih-lebihan? Kalau demikian maka kami adalah orang-orang tua yang paling berdosa di dunia ini. Kami yang telah bertekad untuk meninggalkan segala nafsu duniawi dan berusaha untuk menenteramkan diri serta mendekatkan diri pada sesembahan kami yang langgeng. Tuhan Yang Maha Besar.”

Mahesa Jenar menggelengkan kepalanya. Dengan tajam ia memandang Paniling dan Darba berganti -ganti. Lalu katanya dengan lantang, ”Aku tidak percaya, bahwa kalian sudah tidak mempunyai pamrih duniawi lagi. Dan ketahuilah, bahwa pada wajah kalian memang terbayang nafsu yang berlebih-lebihan.”

Paniling dan Darba tersentak mendengar jawaban itu. Beberapa saat wajah mereka menjadi tegang. Tetapi sesaat kemudian wajah-wajah itu menjadi semakin sayu. Dengan nada yang sedih terdengar Paniling menjawab, ”Jadi, adakah Angger Mahesa Jenar tetap pada pendirian Angger, menyangka bahwa Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten ada pada kami…?”

”Ya,” jawab Mahesa Jenar tegas.

”Kalau demikian, lalu apakah yang akan Angger lakukan?” lanjut Paniling.

”Serahkanlah keris-keris itu kepadaku.” Suara Mahesa Jenar menjadi semakin tegas.

”Sayang, kami tidak dapat melakukan karena tidak ada yang dapat kami serahkan,” jawab Paniling pula.

”Aku akan membuktikan bahwa keris itu berada di tempat ini,” potong Mahesa Jenar.

Paniling dan Darba menggeleng-gelengkan kepala. Untuk beberapa lama mereka saling berpandangan. Sampai akhirnya terdengarlah Paniling menjawab dengan suara yang agak dalam, ”Kalau Angger ingin membuktikan, kami persilakan dengan senang hati.”

Mahesa Jenar menjadi tidak sabar lagi. Ia ingin Paniniling dan Darba menjadi marah. Karena itu ia membentak seperti membentak pesakitan, ”Hai paman berdua, jangan coba berputar-putar lagi. Aku dapat bertindak lunak. Tetapi aku juga dapat berbuat kasar. Jangan membantah lagi. Berdirilah dan tunjukkan kedua keris itu, di mana kau sembunyikan.”

Dahi Paniling dan Darba menjadi bertambah berkerut. Akhirnya dengan lemah terdengar Paniling menjawab, ”Angger… barangkali Angger benar. Bahwa aku telah berbuat diluar tahuku sendiri. Kalau demikian terserahlah kepada Angger. Kalau Angger ingin menghukum kami berdua, hukumlah. Lakukanlah yang Angger anggap paling benar dan adil. Kami tidak akan ingkar. Kalau Angger menganggap bahwa kami sepantasnya dihukum mati, dipancung atau digantung, lakukanlah itu. Kami akan menjalani penuh keiklasan dan kami akan tersenyum pada saat akhir kami.”

Mahesa Jenar terkejut mendengar jawaban itu. Demikian agaknya Kebo Kanigara. Mereka sama sekali tidak menduga bahwa kedua orang itu sudah demikian iklasnya menghadapi maut sekalipun, untuk membuktikan betapa bersih mereka.

Karena itu Mahesa Jenar menjadi bingung. Ternyata ia tidak berhasil membuat kedua orang itu marah dan menantangnya berkelahi. Bahkan kemudian Mahesa Jenar menjadi terharu sehingga terpaksa menundukkan kepala.

Apalagi ketika terdengar Darba melanjutkan kata-kata Paniling, ”Anakmas agaknya mempunyai wewenang untuk bertindak. Baik sebagai seorang yang setia pada keyakinannya atau bahkan barangkali Anakmas sekarang benar-benar sedang mengemban tugas sebagai seorang prajurit. Kalau dengan menjalani tindak kekerasan, kami dapat melapangkan tugas Angger maka kami akan merasa bahagia karenanya.”

Mahesa Jenar kemudian tidak mengerti lagi apa yang harus dilakukan. Ia sudah berusaha untuk memancing kemarahan kedua orang itu, namun ternyata sia-sia.

Dalam pada itu Kebo Kanigara yang sebenarnya terharu pula atas keiklasan kedua orang itu untuk pasrah diri, tiba-tiba tertawa nyaring. ”Hai orang-orang yang berjiwa kerdil… buat apa kami membunuh kalian? Ketahuilah bahwa sebenarnya aku adalah seorang petugas dari Istana. Akulah yang bernama Tumenggung Surajaya. Kalau kalian tidak mau menyerahkan kedua keris itu sekarang, maka kalian akan kami bawa menghadap ke Istana Demak. Aku berwenang untuk menghukum kalian, dan hukuman yang aku rencanakan adalah mengikat leher kalian, serta menggiring kalian keliling kota. Setiap orang yang berpapasan harus mengucapkan kata-kata penghinaan terhadap kalian. Perempuan dan anak-anak harus melempari kalian dengan batu. Sedang laki-laki dapat berbuat sekehendaknya atas kalian.”

Mahesa Jenar sendiri terkejut mendengar kata-kata itu, sehingga tanpa disengaja ia mengawasi Kebo Kanigara dengan tajamnya. Namun Kanigara masih saja tertawa, malahan semakin keras.

395

BAGAIMANAPUN jernihnya hati yang tersimpan di dalam dada Paniling dan Darba, namun mereka adalah manusia juga. Manusia yang memiliki kesadaran diri atas derajadnya sebagai manusia. Karena itu, ketika mereka mendengar kata-kata hinaan tamunya, dada mereka terasa bergetar juga.

Dalam pada itu agaknya Darba yang lebih muda daripada Paniling, yang mula-mula merasa bahwa kelakuan tamu mereka sudah berlebihan. Dengan nafas yang semakin cepat beredar, beberapa kali ia menelan ludahnya. Dengan sekuat tenaga ia mencoba menahan diri supaya ia tidak melakukan hal-hal yang dapat mengotori diri mereka.

Baru beberapa saat kemudian, sambil membungkuk hormat Darba berkata, ”Tuan… maafkanlah kami. Kalau kami tidak mengetahui sebelumnya bahwa yang sudi datang ke pondok kami adalah seorang tumenggung. Karena itu terimalah sembah bekti kami berdua.”

Kebo Kanigara tertawa masam. Jawabnya, ”Aku sama sekali tidak membutuhkan segala macam upacara yang tak berarti itu. Kedatanganku adalah untuk kepentingan yang jauh lebih besar daripada salam yang akan menyenangkan hatiku.”

”Bukan itulah maksud kami,” potong Darba yang nafasnya semakin berdesakan di dalam rongga dadanya. ”Tetapi memang seharusnyalah kami menghormati Tuan. Hanya sayanglah bahwa Tuan telah menjalankan pekerjaan agak kurang bijaksana.”

”Apa…?” bentak Kebo Kanigara sambil membelalakkan mata. ”Kau bilang aku kurang bijaksana…? Hai orang-orang yang tak berarti, berjongkoklah dan cium telapak kakiku sambil mengucapkan permohonan maaf atas kelancangan mulutmu.”

Paniling yang berdada luas lautan pun kemudian menjadi tidak senang. Bahkan Mahesa Jenar sendiri menganggap bahwa Kebo Kanigara sudah agak terlalu jauh. Namun Mahesa Jenar sadar, kalau tidak demikian maka kedua orang itu pasti tidak akan dapat marah.

”Baiklah, aku mohon maaf,” sahut Darba, ”Namun biarlah aku tidak usah berjongkok dan mencium telapak kaki Tuan. Sebab barangkali aku sudah terlalu tua untuk melakukan hal itu.”

Mata Kebo Kanigara menjadi semakin terbelalak. ”Patuhi perintah, hai orang tua yang tak malu,” teriaknya. ”Sekarang aku menjadi tidak percaya bahwa kalianlah yang bernama Radite dan Anggara. Sebab kalian tidak lebih daripada sisa-sisa orang paria yang berkeliaran sejak zaman pemerintahan Majapahit. Kalian tidak pantas mendapat pelayanan sebagaimana aku menjadi manusia yang paling hina sekalipun dari sisa-sisa golongan sudra.”

Sekarang Darba sudah tidak dapat membiarkan dirinya dihina lebih jauh. Apalagi ketika disebut sebutnya nama Radite dan Anggara. Namun yang selama ini disembunyikan untuk tidak dilekati oleh noda. Karena itu tiba-tiba matanya menjadi bercahaya kembali. Cahaya yang memancar kemerah-merahan karena marah yang terpendam di dalam dada. Kemudian katanya, ”Terserahlah kepada Tuan. Namun sayang bahwa aku tidak ingin berbuat seperti yang Tuan maksudkan.”

Wajah Kebo Kanigara tampak benar-benar menjadi merah. Dengan garangnya ia melangkah ke arah Paniling yang duduk di hadapannya. Sambil menunjuk kepada Darba yang berada di depan pintu, ia berteriak, ”Hai kau tua bangka, suruh adikmu melakukan perintahku.”

Perlahan-lahan Paniling menggelengkan kepalanya. Terdengar suaranya lirih namun terasa betapa getaran kemarahan melontar hampir tak terkendali. ”Tidak, Tuan. Aku tidak dapat menyuruhnya berbuat demikian.”

”Lakukan perintahku,” ulang Kebo Kanigara. ”Atau aku harus datang kepadamu dengan membawa seorang perempuan seperti yang dilakukan Umbaran untuk memaksamu?”

Kata-kata Kanigara itu langsung menyentuh luka yang paling dalam. Karena tajamnya lebih daripada segala macam kata hinaan. Tiba-tiba tanpa disengaja Paniling telah tegak berdiri. Matanya memancar merah serta nafasnya berkejar-kejaran melalui lubang hidungnya yang besar. Kemudian terdengarlah kata-katanya bergetar. Kata-kata seorang jantan yang pernah bergelar Pasingsingan. Yang pernah merantau dari satu tempat ke tempat lain untuk mengamalkan kebajikan. Karena itulah maka kata kata-kata itupun mempunyai pengaruh yang luar biasa atas Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar. ”Angger berdua… aku sudah mengatakan apa yang aku ketahui dan apa yang iklaskan. Tetapi Angger berdua minta terlalu banyak dariku. Karena itu biarlah aku berikan yang paling berharga yang ada padaku, yaitu namaku Radite. Tetapi nama itu agak berbeda dengan nama Paniling, seorang petani yang tidak berharga. Tuan boleh berbuat sekehendak Tuan atas seorang petani yang bernama Paniling dan Darba. Tetapi tidak demikian atas nama Radite dan Anggara. Nah, Tuan… apakah yang tuan-tuan kehendaki sekarang, ambillah. Tetapi jangan mengharap Tuan dapat mengambilnya begitu saja. Nama itu adalah sama berharganya dengan nyawa kami.”

Hati Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tergetar mendengar kata-kata itu. Apalagi ketika mereka melihat sikap Paniling dan Darba yang tiba-tiba telah berubah. Sikapnya kemudian benar-benar meyakinkan bahwa kedua orang itu adalah orang-orang sakti yang jarang dicari bandingannya.

Namun Kebo Kanigara adalah seorang sakti pula. Seorang yang masih cukup muda untuk berkembang terus, namun yang telah melampaui kesaktian ayahnya sendiri, Ki Ageng Pengging Sepuh. Sedangkan Mahesa Jenar telah menemukan inti ilmu Perguruan Pengging. Apalagi mereka telah melakukan semuanya itu dengan sengaja. Sengaja memancing pertengkaran dan pertempuran dengan orang yang bernama Radite dan Darba, murid terpercaya dari Pasingsingan Sepuh.

Demikianlah kemudian Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar telah tegak pula. Dengan bentakan-bentakan marah, Kebo Kanigara berkata, ”Bagus… bagus…. Begitulah seharusnya orang yang bernama Radite berkata. Aku, Tumenggung Surajaya, kepercayaan Sultan Demak, serta Adi Rangga Tohjaya pasti akan melakukan tugasnya dengan baik. Nah, keluarlah. Biar aku renggut nama kebanggaanmu dengan usaha seorang laki-laki.”75

KEBO Kanigara tidak menunggu Paniling menjawab kata-katanya. Cepat ia mendahului melangkah keluar pintu, diikuti oleh Mahesa Jenar. Sementara itu Paniling menjadi ragu pula ketika dilihatnya kedua tamunya lenyap dibalik pintu, terjun ke dalam gelapnya malam. Sekali lagi tangannya menekan dadanya untuk mencoba mencari kembali pikirannya yang bening. Namun akhirnya ketika dilihatnya Darba telah meloncat pula keluar pintu, dengan ragu iapun keluar.

Di luar ia melihat Kanigara telah bersiap. Bahkan demikian ia melangkah keluar, terdengarlah Kebo Kanigara berteriak, ”Hati-hatilah, hai orang yang bernama Radite. Aku datang untuk membunuhmu.”

Demikian suara itu lenyap ditelan angin malam, tampaklah tubuh Kanigara dengan garangnya melayang menyerang Ki Paniling.

Paniling yang sebenarnya bernama Radite terkejut sekali mendapat serangan yang demikian tiba-tiba, cepat dan luar biasa kuatnya. Dengan demikian dapat mengukur betapa sakti lawannya. Dalam pada itu timbul pula pertanyaan dalam dirinya, tentang orang yang mengaku bernama Tumenggung Surajaya.

Tetapi ia sempat banyak berpikir. Lawannya bergerak demikian cepat dan berbahaya. Karena itu iapun segera harus melayaninya.

Maka segera terjadilah perkelahian yang dahsyat. Perkelahian antara dua orang sakti yang sukar dicari bandingnya. Dalam pada itu segera terasa oleh Kebo Kanigara bahwa Radite benar-benar seorang yang benar-benar sakti. Seorang yang telah mencapai tingkatan yang sangat tinggi dalam meresapi ilmunya.

Meskipun orangtua itu tidak tampak terlalu banyak bergerak, namun setiap gerakannya mengandung unsur-unsur yang sangat berbahaya.

Sebaliknya setelah mereka bertempur beberapa saat, Radite pun menjadi heran atas lawannya yang masih muda itu. Dalam usia yang baru menjelang pertengahan abad telah memiliki ilmu yang sedemikian sempurna. Bahkan kadang-kadang sangat membingungkan. Apalagi ketika Radite melihat beberapa unsur gerak yang dikenalnya dengan baik. Unsur-unsur gerak dari sahabatnya almarhum Ki Ageng Pengging Sepuh. Meskipun dalam beberapa hal telah banyak mengalami perubahan, namun unsur-unsur pokok masih jelas sebagaimana pernah dilihatnya dahulu.

Demikianlah kemudian pertempuran itu semakin lama menjadi semakin sengit. Dua orang yang sakti, yang dengan ilmu-ilmunya sedang berjuang untuk menguasai lawannya. Karena Kanigara masih belum berkenalan sebelumnya maka ia dapat bertempur dengan baik tanpa segan-segan. Dan karena itu pula, pertempuran itu pun menjadi seru sekali.

Darba dan Mahesa Jenar melihat pertempuran itu dengan kagumnya. Bahkan Darba pun akhirnya melihat pula persamaan antara orang yang menamakan dirinya Tumenggung Surajaya itu dengan Ki Ageng Pengging Sepuh. Karena itu ia bertanya dalam otaknya, siapakah orang itu dan apakah hubungannya dengan Ki Ageng Pengging Sepuh serta Mahesa Jenar. Tetapi disamping itu ia menjadi sangat heran, bahwa Mahesa Jenar berkeras hati menyangka bahwa keris-keris pusaka Demak berada di tempat mereka. Bahkan akhirnya Darba menyangka bahwa orang itu pasti mempunyai garis keturunan ilmu dengan Mahesa Jenar, dan orang itu sengaja diajaknya untuk mencari Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.

Dalam pada itu Mahesa Jenar tidak mau untuk menjadi penonton saja. Ia pun harus ikut dalam persoalan yang diharapkan akan memecahkan beberapa persoalan yang penting dalam hidupnya dan masa depannya. Karena itu ketika Darba sedang asik memperhatikan pertempuran antara Radite dan Kebo Kanigara, berteriaklah Mahesa Jenar, ”Paman Anggara… karena Paman Anggara ikut pula dalam usaha menyembunyikan pusaka-pusaka Istana itu, maka Paman pun harus menerima hukumannya.”

Anggara yang sehari-hari menamakan dirinya Darba, terkejut. Apakah yang dikehendaki Mahesa Jenar…? Dan ketika ia melihat Mahesa Jenar bersiap untuk menyerangnya, ia menjadi bertambah heran. Beberapa tahun yang lalu ia pernah bertemu dengan orang itu. Ilmunya tak lebih dari tingkatan seorang murid dibandingkan dengan ilmunya. Meskipun Anggara tak pernah merendahkan orang lain, namun terhadap Mahesa Jenar tidaklah sewajarnya kalau ia terpaksa bertempur.

Karena itu Darba pun menjawab, ”Angger Mahesa Jenar… biarlah pamanmu Radite mempertahankan nama baiknya sekaligus namaku. Sebaiknya kita tidak usah ikut serta dalam perselisihan ini. Meskipun barangkali kau juga mengemban tugas sebagai seorang prajurit seperti Tumenggung Surajaya itu pula, Mahesa Jenar… namun biarlah pertempuran mereka itu yang menentukan nasibmu. Kalau Kakang Radite binasa karena benar-benar berdosa terhadap negara, biarlah nanti aku kau binasakan pula. Tetapi kalau ternyata Kakang Radite tidak bersalah, aku harap kau menerima pula kenyataan itu. Dan untuk seterusnya kau tidak lagi menganggap kami menyembunyikan pusaka-pusaka itu.”

Mendengar jawaban Anggara, Mahesa Jenar menjadi ragu. tetapi ketika ia melihat pertempuran antara kebo Kanigara dan Radite menjadi bertambah seru dan berbahaya, ia tidak mau tinggal diam. Dengan ikut sertanya dalam pertempuran itu ia mengharap segala sesuatunya akan menjadi jelas pula. Apakah ia telah menempuh jalan yang benar atau tidak. Karena itu sekali lagi ia berteriak, ”Paman Anggara terserahlah kepadamu. tetapi Rangga Tohjaya wajib melakukan kewajibannya.”

Selesai dengan kata-katanya, segera Mahesa Jenar meloncat dan langsung menyerang dada Anggara dengan kecepatan luar biasa. Melihat serangan Mahesa Jenar, Anggara mau tidak mau secara naluriah terpaksa meloncat mengelak.

Sebenarnya Anggara masih ingin memperingatkan Mahesa Jenar. Tetapi demikian Mahesa Jenar gagal dengan serangan pertamanya, langsung ia berputar dan meluncurkan kakinya ke arah lambung Anggara dengan dahsyatnya. Serangan kedua ini benar-benar tidak disangka-sangka. Sedang Mahesa pun bergerak dengan kecepatan penuh. Sebenarnya maksudnya hanya untuk meyakinkan Anggara bahwa dalam tingkatannya yang sekarang, ia telah cukup dewasa untuk bertempur melawannya. Tetapi tanpa disengaja, serangannya itu benar-benar telah membahayakan lawannya, sehingga ia menjadi terkejut sendiri ketika melihat Anggara benar-benar tidak sempat menghindar.

397

ANGGARA yang tidak menduga sebelumnya, bahwa Mahesa Jenar mampu bergerak secepat itu, benar-benar telah kehilangan kesempatan untuk menghindar. Karena itu, segera ia menekuk kakinya, sedikit merendahkan tubuhnya, sambil melindungi lambungnya dengan sikunya untuk menangkis serangan Mahesa Jenar. Dengan demikian maka terjadilah benturan yang sengit antara kaki Mahesa Jenar dengan siku Anggara. Akibatnya mengejutkan. Bahkan tidak diduga-duga oleh Mahesa Jenar dan juga oleh Anggara. Dalam benturan yang terjadi, Anggara dan Mahesa Jenar masing-masing terdorong surut.

Bagi Mahesa Jenar yang sejak semula mengagumi kesaktian kedua tokoh murid Pasingsingan itu, menjadi heran bahwa kekuatan yang ada pada dirinya, setelah ia bekerja keras untuk menemukan inti sari dari ilmunya, dapat mengimbangi kekuatan Anggara. Sedangkan Anggara menjadi heran dan bertanya-tanya di dalam hati, siapakah yang telah mengubah Mahesa Jenar dalam waktu-waktu terakhir ini menjadi seorang yang demikian kuatnya. Tetapi karena itulah maka akhirnya Anggara menjadi sadar, bahwa Mahesa Jenar benar-benar telah memiliki bekal untuk melakukan tugasnya. Dengan demikian. Anggara kemudian benar-benar telah bersiap menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi.

Sesaat kemudian kembali Mahesa Jenar menyerang dengan cepatnya. Tetapi kali ini Anggara telah dapat mengetahui, bahwa Mahesa Jenar sekarang bukanlah Mahesa Jenar beberapa tahun lalu, ketika bersama-sama dengan Mantingan, Wiraraga, Gajah Alit dan Paningron bertempur melawan Sima Rodra tua dari Lodaya dan Pasingsingan. Ketika itu Mahesa Jenar berlima tidak lebih daripada lima ekor tikus melawan dua ekor kucing yang ganas. Tetapi tikus itu kini telah berubah tidak saja sebagai seekor kucing yang ganas, namun benar-benar telah berubah menjadi seekor harimau yang garang.

Karena itulah maka Anggara pun menyambut serangan Mahesa Jenar dengan penuh kewaspadaan. Kewaspadaan seorang sakti yang mempunyai perbendaharaan pengalaman seluas lautan.

Demikianlah di ujung padukuhan kecil yang sepi itu terjadilah dua lingkaran pertempuran yang sengit. Dua pasang orang-orang sakti. Namun karena kepercayaan mereka pada diri sendiri, serta sifat-sifat kejantanan yang mereka miliki, maka pertempuran itu tidak banyak menimbulkan keributan. Masing-masing bertempur dengan berdiam diri. Hidup atau mati mereka sepenuhnya mereka percayakan kepada sumber hidup mereka.

Tetapi pertempuran itu sendiri merupakan pertempuran yang dahsyat tiada taranya. Kebo Kanigara memiliki ketangguhan seperti seekor banteng yang kuat tiada taranya. Sepasang kakinya yang kokoh telah membawakan tubuhnya pada keadaan-keadaan yang menguntungkan. Kadang-kadang kedua kaki itu tampak seolah-olah tertancap dalam-dalam membenam di tanah tempatnya berpijak, seperti batu karang yang kokoh kuat berdiri dengan tegaknya. Namun kemudian kakinya itu pula dapat berloncatan dengan lincah dan kecepatan yang mengagumkan.

Sebaliknya, Radite pun mempunyai keistimewaan yang sukar ada bandingnya. Meskipun kadang-kadang seakan-akan ia hanya bergeser setapak demi setapak, namun kadang-kadang seakan-akan kakinya seakan-akan tidak berpijak di atas tanah. Dengan tangan yang mengembang ia berloncatan kesana kemari, seperti seekor Garuda yang dengan garangnya bertempur mati-matian, mempertahankan serangannya.

Di tempat lain, tampak Mahesa Jenar dengan gigihnya bertempur melawan Anggara, murid Pasingsingan yang termuda. Namun murid termuda inipun memiliki ilmu yang luar biasa tingginya. Sebagai seekor naga yang bersayap, ia menyerang Mahesa Jenar dari segala jurusan. Menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Tangan dan kakinya seolah-olah telah berubah menjadi sayap menyebar angin maut.

Namun Mahesa Jenar adalah seorang yang luar biasa pula. Dengan mesu dhiri serta meraga-sukma tanpa seorang penuntun langsung ia berhasil menemukan intisari dari ilmu perguruan Pengging. Ditambah dengan kecerdasan otaknya yang cemerlang seperti bintang di langit, serta usahanya untuk menyesuaikan diri dengan alam, telah menjadikan ilmu dari perguruan Pengging itu suatu ilmu yang tiada bandingnya. Dengan demikian, maka iapun telah berusaha secermat-cermatnya, menyesuaikan diri untuk melawan Anggara yang bertempur sebagai seekor naga bersayap.

Demikianlah Mahesa Jenar berusaha pula untuk dapat mengimbangi lawannya. Sebagai seekor burung rajawali ia berjuang dengan dahsyatnya. Tangannya yang hanya sepasang itu seolah-olah berubah menjadi puluhan bahkan ratusan pasang sayap yang mengibas bersama-sama, menimbulkan desing angin yang menderu-deru, disamping kaki-kakinya yang menyambar-nyambar ke segenap bagian tubuh lawannya.

Ternyata, ketika pertempuran itu telah berlangsung beberapa lama, kekuatan mereka tampak berimbang. Kebo Kanigara benar-benar dapat mengimbangi kesaktian murid Pasingsingan yang pernah mendapat kepercayaan untuk mempergunakan topeng yang terkenal sebagai wajah Pasingsingan, pernah memiliki pula jubah abu-abu serta akik kelabang sayuta beserta sebuah pisau belati panjang kuning gemerlapan, yang bernama Kyai Suluh.

Radite bukan seorang yang sombong, yang menganggap kesaktiannya tanpa tanding. Namun terhadap orang ini, yang menamakan diri Tumenggung Surajaya, ia menjadi heran. Ilmu orang itu pasti bersumber pada ilmu seketurunan dengan sahabatnya Pengging Sepuh. Namun ia menjadi heran, bahwa orang ini benar-benar dapat menguasainya dengan baik, bahkan memiliki perkembangan-perkembangan yang mengagumkan.

Menurut pengertiannya, Ki Ageng Pengging Sepuh hanya mempunyai seorang murid, yang bernama Mahesa Jenar, dan bergelar Rangga Tohjaya. Dalam pada itu, keheranannya, dalam pengamatannya yang hanya sepintas, tidak segera dapat menguasai Mahesa Jenar yang menyerangnya. Bahkan dalam beberapa lama, pertempuran mereka masih tetap dalam keadaan seimbang.

398
TAPI justru karena itulah, maka akhirnya mereka benar-benar telah mengerahkan segenap tenaga serta kemampuan mereka. Pertempuran itu benar-benar telah menjadi semakin seru dan dahsyat. Bahkan yang tampak kemudian hanyalah bayangan-bayangan hitam di dalam gelapnya malam, yang berloncat-loncatan, berputar-putar semakin lama semakin cepat. Yang akhirnya menjadi seolah-olah dua pasang Wisnu dalam bentuknya yang hitam cemani, menari-nari dengan lincahnya, mengungkapkan sebuah tarian maut yang mengerikan.

Sementara itu, malam menjadi semakin dalam. Orang-orang di pedukuhan kecil yang sepi itu, yang mula-mula mengintip dari balik pintu-pintu mereka, ketika mereka tidak mendengar apapun lagi, maka mereka sama sekali tidak merasa tertarik untuk mengetahui lebih banyak tentang dua orang berkuda yang menyusur jalan-jalan sempit di padepokan mereka. Mereka hanya mengira, bahwa kedua orang itu adalah perantau-perantau yang memasuki mulut lorong dari satu arah dan keluar dari mulut lorong di arah lain. Mereka berhenti di ujung padepokan mereka, dan kemudian bertempur mati-matian dengan orang cikal bakal pedukuhan itu.

Kalau saja mereka mengetahui hal itu, apapun yang terjadi, pastilah mereka akan membantunya. Namun kalau mereka sempat menyaksikan pertempuran itu, mereka akan menjadi keheran-heranan, bahwa orang-orang yang setiap hari mereka panggil Ki Paniling dan Ki Darba, yang hanya mereka kenal sebagai seorang petani yang rajin, mampu bertempur sedemikian dahsyatnya, bahkan pasti diluar kemampuan pengamatan mereka, atau malahan mereka akan jatuh pingsan karenanya.

Demikianlah pertempuran itu masih belum tampak akan berakhir. Masing-masing sudah berjuang dengan sepenuh tenaga, namun seolah-olah mereka bertempur melawan hantu yang tak dapat disentuhnya.

Dalam saat-saat yang demikian itulah, terlintas di dalam otak masing-masing, suatu cara penyelesaian yang lebih cepat. Sudah pasti mereka mengerti bahwa setiap orang sakti memiliki ilmu-ilmu simpanan yang tak akan dipergunakan dalam sembarang waktu. Bagi Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar, dalam hal yang demikian tidaklah sewajarnya mempergunakan ilmu-ilmu pamungkas mereka. Sebaliknya, Radite dan Anggara pun tak terlintas di dalam otak mereka untuk mengakhiri pertempuran dengan ilmu terakhir.

Karena itu, mereka telah mempersiapkan diri mereka untuk mengadakan pertempuran yang lama. Sebab mereka tidak dapat mengandalkan kekuatan maupun kecepatan bergerak serta unsur-unsur gerak yang dapat membingungkan lawan-lawan mereka, sebab ternyata apa yang mereka lakukan selalu dapat diimbangi oleh setiap pihak. Meskipun demikian pertempuran itu masih tetap berlangsung dengan sengitnya. Sebab bagaimanapun juga mereka tetap berusaha untuk setidak-tidaknya tidak dikalahkan oleh lawan masing-masing. Tetapi justru dalam hal yang demikian itulah kadang-kadang orang terpaksa untuk berpikir lebih banyak. Dan dalam keadaan yang terpaksa demikian itulah kadang-kadang muncul kesanggupan-kesanggupan yang tidak pernah dirasakan ada di dalam dirinya. Kesanggupan yang malahan dapat mengejutkan diri sendiri.

Demikian pula apa yang terjadi dalam kancah pertarungan itu. Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar yang masih memiliki masa depan yang lebih panjang dari lawan-lawan mereka, dapat memanfaatkan pertempuran itu dengan baiknya. Dalam masa-masa yang masih memungkinkan perkembangan yang menanjak terus, mereka selalu berusaha untuk melengkapi ilmunya dengan apapun yang mereka ketemukan dalam perjalanan hidup mereka. Namun dengan satu bekal yang tak akan tanggal dari hati mereka, bahwa ilmu-ilmu mereka harus mereka amalkan untuk kebajikan. Kebajikan bagi tanah tumpah darah, kebajikan bagi rakyat yang hidup di atasnya, serta kebajikan bagi umat manusia.

Ketika kemudian terdengar kokok ayam jantan bersahut-sahutan menjelang lingsir malam pertempuran itu masih berlangsung terus. Namun demikian tak seorangpun penduduk padukuhan itu yang mendengar keributan itu. Pertempuran yang sengit itu berlangsung dengan tertibnya. Sama sekali tidak nampak kekasaran-kekasaran seperti yang pernah terjadi, ketika Mahesa Jenar dalam tingkatannya pada waktu itu bertempur melawan Jaka Soka, Lawa Ijo atau Sima Rodra. Tetapi dalam keadaan yang terasa tertib itu melontarlah pukulan-pukulan yang dahsyat dan penuh mengandung bahaya.

Dalam keadaan yang demikian, ketika keempat orang sakti itu sedang terbenam dalam arus pertempuran yang merampas segenap perhatian mereka, tiba-tiba terasalah udara yang aneh mengalir mengusap tubuh mereka. Udara yang seakan-akan mengandung pengaruh yang tajam, yang langsung menyusup ke dalam tulang sungsum, sehingga dengan demikian tenaga mereka seolah-olah ikut serta terhembus oleh aliran udara aneh itu.

Demikianlah perlahan-lahan tenaga mereka menjadi semakin lemah. Bahkan kemudian seperti lenyap sama sekali. Dengan penuh keheranan, mereka masih tetap berusaha untuk mempertahankan diri mereka sekuat tenaga. Sebab mula-mula mereka mengira bahwa kesaktian lawan-lawan mereka telah mempengaruh tenaga mereka. Tetapi ketika serangan-sernagan lawanpun menjadi jauh susut, akhirnya mereka mengetahui, bahwa sesuatu telah terjadi. Sesuatu diluar lingkaran pertempuran itu.

Mereka berempat adalah orang-orang yang cukup sakti. Yang tanggap akan kejadian-kejadian di dalam maupun di luar diri mereka sendiri. Karena itu, ketika mereka merasa bahwa suatu kekuatan diluar kemampuan mereka, telah mempengaruhi diri mereka, segera mereka menghentikan pertempuran itu. Dengan sekuat tenaga jasmaniah dan batiniah, mereka berusaha untuk menyelamatkan sisa-sisa tenaga mereka.

Tetapi pengaruh dari udara yang aneh itu demikian besarnya, sehingga tiba-tiba saja, mereka tidak saja merasa tenaga mereka susut, namun mereka juga merasa, bahwa mereka telah dipengaruhi oleh kantuk yang luar biasa.

399
RADITE adalah yang tertua diantara mereka berempat. Ialah orang yang memiliki pengalaman yang terbanyak. Pengalaman yang kadang-kadang hampir tak masuk akal sekalipun pernah dijumpainya. Karena itulah maka segera ia mengenal bentuk aliran udara yang aneh itu. Karena itu terdengar ia berdesis perlahan, ”Alangkah kuatnya sirep ini.”

Anggara dan Kebo Kanigara pun mengenal pula, bahwa seseorang dapat mempergunakan pengaruh kekuatan batin atas orang lain. Bahkan apabila ditekuni, dapatlah orang itu melahirkan suatu ilmu sirep semacam ini.

Sedang Mahesa Jenar sendiri pernah mengalami betapa pengaruh sirep itu dapat melenyapkan kesadaran seseorang, sehingga orang yang berada di dalam lingkungan itu dapat seolah-olah tidur nyenyak sekali. Ketika itu ia sedang bertugas di Istana, beberapa tahun yang lampau. Ia pernah mengalami pengaruh sirep yang dilontarkan oleh Lawa Ijo. Kecuali itu diatas Gunung Tidar, ketika ia berusaha untuk menemukan keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, ia pernah terkena arus sirep itu pula. Sirep yang disebarkan oleh Gajah Sora, namun yang sebenarnya telah dapat dilenyapkan oleh Sima Rodra tua, kalau saja pada saat itu seorang yang bernama Titis Anganten dari ujung timur tidak membantunya.

Sekarang, kembali ia mengalami pengaruh sirep. Seandainya kekuatan sirep ini sama dengan kekuatan sirep yang pernah mempengaruhinya, maka dalam tingkatannya yang sekarang ini, kekuatan sirep itu tidak akan banyak pengaruhnya. Tetapi ternyata kekuatan sirep yang sekarang jauh lebih besar dari yang pernah mempengaruhinya dahulu. Bahkan dalam tingkatannya yang sekarang hampir-hampir ia tidak mampu untuk mempertahankan kesadarannya. Apalagi tenaganya.

Dalam keadaan yang demikian, akhirnya mereka berempat hanya dapat duduk bersila sambil mengheningkan diri, berusaha untuk tetap dalam keadaan sadar.

Malam yang kelam masih saja terserak di permukaan bumi. Di daun-daun pepohonan bergayutan titik-titik yang setetes demi setetes berjatuhan mengusik rumput-rumput kering yang bertebaran disana-sini dengan liarnya. Suasana kemudian menjadi hening sepi. Lamat-lamat di kejauhan terdengar suara-suara jangkrik seperti teriakan bayi yang kehausan susu ibunya.

Dalam pada itu, ketika mereka sedang tekun berjuang untuk tidak kehilangan kesadaran, tiba-tiba melayanglah sebuah bayangan yang hitam, yang kemudian dengan cepat sekali, seolah-olah tidak menyentuh tanah, telah berdiri di hadapan mereka. Dan bersamaan dengan itu, terasa bahwa pengaruh sirep itupun menjadi semakin kendor, bahkan kemudian dengan cepatnya lenyap dari diri mereka berempat.

Meskipun mereka terkejut pula atas kehadiran seseorang tanpa diduganya lebih dahulu, namun mereka sempat pula menarik nafas lega atas kebebasan mereka dari ikatan udara yang aneh itu.

Ketika mereka telah sempat memperhatikan bayangan yang berdiri di hadapan mereka, tahulah mereka bahwa orang itu adalah orang yang mengenakan jubah yang hanya tampak kehitam-hitaman di dalam gelap malam, namun dalam pada itu Mahesa Jenar segera mengenal, bahwa orang itu adalah orang yang selalu dikenalnya mengenakan jubah abu-abu.

Karena itu segera terpancarlah cahaya yang cerah dari wajahnya. Demikian pula Kebo Kanigara, sehingga tanpa disengajanya ia bergeser sejengkal maju.

Adapun Radite dan Anggara, ketika melihat orang yang berjubah itu tegak di hadapan mereka seperti patung, terlonjaklah dada mereka. Tiba-tiba saja tubuh mereka menjadi bergetar dan nafas mereka menjadi semakin cepat beredar. Karena pada tubuh yang tegak mematung di hadapannya itu, seolah-olah terpancarlah suatu kenangan atas masa silam. Suatu kenangan dari masa yang gemilang dari seorang yang menamakan dirinya Pasingsingan.

Ya, pada saat Radite berhak mengenakan jubah yang berwarna abu-abu, seorang yang berhak mengenakan topeng yang meskipun kasar dan jelek namun dari padanya terpancar suatu harapan bagi setiap orang yang menyaksikannya. Karena dibalik wajah yang kasar dan jelek itu tersembunyi suatu pengabdian yang luhur tanpa pamrih. Tetapi keluhuran serta kemurnian pengabdian itu kemudian menjadi lebur. Dan setelah itu nama Pasingsingan menjadi hancur. Nama Pasingsingan dengan cepatnya meluncur hanyut ke dalam lumpur, karena pokal seorang saudara seperguruannya yang bernama Umbaran.

Tiba-tiba kembali Radite terlempar pada suatu anggapan, bahwa dirinyalah sumber dari segala bencana dan noda yang kemudian melekat dan mengotori jubah abu-abu, topeng yang kasar dan jelek namun mamancarkan harapan damai serta nama yang menggetarkan, ”Pasingsingan.”

Dan sekarang di hadapannya berdiri seseorang yang mengingatkannya kepada dirinya beberapa tahun yang silam. Tetapi yang pasti baginya orang yang berjubah itu bukanlah Umbaran. Sebab bagaimanapun saktinya Pasingsingan, yang berasal dari orang yang bernama Umbaran itu, namun tidaklah mungkin ia mampu menciptakan suasana sedemikian seramnya.

400
TIBA-TIBA Radite teringat akan sumber dari nama Umbaran. Sumber dari mahluk-mahluk yang kemudian menyebut dirinya Pasingsingan. Teringatlah ia pada saat ia menerima warisan jubah abu-abu serta segala kelengkapannya yang demikian saja berada di dalam ruang tidurnya. Teringatlah ia ketika orang yang mewariskan benda-benda itu kemudian lenyap tak berbekas. Yang kemudian datang kembali ketika nama Pasingsingan itu telah ternoda dan berkata kepadanya ”Bahwa tak ada gunanya untuk mencoba memperbaiki nama yang telah terbenam didalam arus ketamakan, kedengkian dan kejahatan.”

Radite adalah seorang tua yang mempunyai mata hati yang tajam. Demikian pula adiknya, Anggara. Karena itu tiba-tiba tergoreslah suatu tanggapan batin yang tak dapat diketahui dari mana datangnya yang mengatakan padanya, bahwa kemungkinan satu-satunya orang yang berdiri di hadapannya itu adalah gurunya Pasingsingan Sepuh. Karena itu, seperti orang berjanji, Radite dan Anggara tiba-tiba bersama-sama berjongkok dan membungkukkan kepala mereka dengan takzimnya.

Orang yang berjubah abu-abu itu mundur beberapa langkah ke belakang. Wajahnya yang kosong dan pucat, sama sekali tak menampakkan sesuatu kesan. Apalagi didalam gelap malam, wajah itu seolah-olah sama sekali tidak bergerak.

Dalam pada itu tiba-tiba terdengarlah suara Radite serak, ”Guru… ampunkanlah kami, atas segala ketikdaksopanan kami. Sebab kami sama sekali tidak menduga bahwa kami masih berhak untuk memandang wajah guru karena dosa-dosa kami.”

Orang yang berjubah abu-abu itu terdengar menggeram. Lalu terdengarlah suaranya seolah-olah bergulung-gulung di dalam perutnya, ”Radite dan Anggara, demikianlah, sejak aku kau kecewakan, aku memang sudah berhasrat untuk tidak menjumpaimu lagi. Sebab setiap aku memandang wajahmu, tergoreslah kembali luka di hati ini. Bagaimanapun aku berusaha untuk bersikap sebagai seorang yang berjiwa besar, namun ternyata aku bukanlah orang yang berjiwa demikian. Meskipun aku tidak membebankan semua kesalahan kepadamu, namun dengan menghindari pertemuan itu, aku berhasrat untuk melupakan segala-galanya yang pernah terjadi. Melupakan gelar Pasingsingan yang sudah sejak berpuluh tahun sebelumnya dipupuk dan disiangi, untuk kemudian dapat berkembang dengan harumnya. Tetapi, kemudian karena sifat-sifat yang sebenarnya alami dari setiap manusia, maka semuanya itu menjadi hancur. Sifat-sifat alami yang tanpa kesadaran serta pengarahan yang benar, maka kaburlah batas antara manusia yang berakal budi dengan mahluk-mahluk lainnya, yang hanya mengenal sifat-sifat alami melulu sebagai naluri.”

Radite dan Anggara menundukkan wajahnya dalam-dalam. Mereka sama sekali tidak berani menatap wajah orang yang berdiri di hadapannya. Mereka merasakan benar-benar betapa kata-kata orang itu langsung menembus jantung mereka. Dan karena kata-kata itu pula kemudian Radite dan Anggara menjadi yakin seyakin-yakinnya bahwa tidak mungkin ada orang lain yang dapat berbuat, bersikap dan berkata kepadanya sedemikian itu selain Pasingsingan Sepuh. Karena itu maka sekali lagi Radite menundukkan kepalanya sambil berkata parau, ”Guru, telah sekian lama aku menanti, bahwa pada suatu saat aku akan dapat membersihkan dosa-dosaku dengan menjalani hukuman yang dapat guru jatuhkan kepadaku. Dan sekarang aku mendapat kesempatan untuk bertemu. Karena itulah aku mohon, guru sudi berbuat sesuatu atas diriku sebagai suatu pernyataan penyesalanku yang tiada terhingga.”

”Radite…” jawab orang yang berjubah itu, ”Pengakuan atas kesalahan yang tiada dibuat-buat, yang diucapkan dengan jujur dan ikhlas adalah suatu hukuman yang seberat-beratnya. Sebab, hukuman bukanlah sekadar menyakiti, menyiksa atau penderitaan-penderitaan lain. Tetapi tujuan dari pada hukuman yang sebenarnya adalah mencegah terulangnya kesalahan itu. Kalau seseorang, dengan ikhlas dan jujur telah mengakui kesalahannya dan berusaha dengan sepenuh hati untuk tidak berbuat kesalahan-kesalahan lagi, maka menurut pendapatku tidak adalah hukuman lain yang wajib ditimpakan atasnya.”

Sekali lagi kata-kata orang berjubah itu meresap ke dalam setiap relung dada Radite maupun Anggara, seperti meresapnya rasa sejuk dari percikan air yang telah wayu sewindu. Meskipun demikian, karena beban perasaan yang terasa sangat berat menghimpit hati, Radite mencoba sekali lagi mendesak, ”Guru, bukankah hal yang demikian setidak-tidaknya akan dapat menjadi suri tauladan, bahwa Radite mengalami hukuman atas kesalahannya? Sebab apabila ada kesalahan yang lepas dari hukuman, maka ada kemungkinan orang lain akan melakukan hal yang sama dengan harapan untuk membebaskan diri pula dari setiap hukuman.”

Terdengarlah orang yang berjubah itu tertawa lirih. Jawabnya, ”Radite, aku tahu bahwa kau ingin mengurangi tanggungan perasaanmu. Tetapi ketahuilah, bahwa dengan penyesalan serta keikhlasanmu mengakui kesalahanmu itu adalah hukuman yang sudah cukup berat. Sedang apabila ada orang lain yang dengan sengaja berbuat kesalahan, kepadanyalah hukuman harus dibebankan, bahkan dua kali lipat dari yang seharusnya.”

Radite menjadi terdiam. Untuk beberapa saat suasana kembali dicekam oleh kesepian. Dalam pada itu timbul pulalah berbagai pertanyaan di dalam dada Radite dan Anggara. Kalau gurunya pada saat yang tiba-tiba tanpa diduga-duganya itu hadir di hadapannya, apakah maksudnya? Ia tidak ingin memberi hukuman kepadanya, sebaliknya gurunya itu telah bertekad untuk tidak menjumpainya lagi. Tetapi sekarang orang itu ada disini. Baru kemudian teringatlah oleh Radite bahwa disampingnya ada orang lain dari perguruan lain. Yaitu Mahesa Jenar dan orang yang menamakan dirinya Tumenggung Surajaya. Apakah kedatangan gurunya itu ada sangkut-pautnya dengan mereka itu?. Karena itu kemudian bertanyalah ia, ”Guru, kalau demikian apakah aku berhak mempersilahkan guru untuk singgah ke dalam pondokku?”

TERDENGAR orang berjubah itu tertawa pendek. Lalu sahutnya, ”Radite, kau agaknya terlalu cemas melihat bayanganmu sendiri. Bagiku, dosamu tidak sebesar yang kau duga sendiri. Sudah aku katakan bahwa kalau aku tidak ingin menjumpaimu lagi itu karena kekerdilan jiwaku sendiri. Jiwa orang tua yang merindukan masa lampau itu tetap menjadi kebanggaannya. Bahkan kalau mungkin, menjadi kebanggaan setiap orang Radite dan Anggara, ternyata apa yang cemerlang di masa lampau tidaklah selalu yang cemerlang masa sekarang dan masa yang akan datang. Dan ini akhirnya harus aku yakini meskipun tidak semua yang berasal dari masa lampau itu harus dilupakan dan disisihkan.
Namun satu hal yang bagiku tetap harus tak berubah dari masa ke masa. Dari masa lampau, masa kini dan masa yang akan datang. Bahwa apa yang kita lakukan seharusnya kita abdikan dengan penuh kasih dan cinta kepada manusia dan kemanusiaan. Bukan sebaliknya manusia dan kemanusiaan kita abdikan pada diri kita, pada kepentingan kita pribadi. Demikianlah manusia akan mencerminkan kasih dan cinta Tuhan.”

Tidak hanya Radite dan Anggara yang meresapi kata-kata orang berjubah itu. Juga Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara mendengarkan kata demi kata dengan seksama. Sehingga untuk sesaat mereka lupa pada kepentingan mereka sendiri.

Sementara itu terdengar orang berjubah itu meneruskan, “Dan karena itulah agaknya aku datang kemari. Kalau pada saat-saat lampau tak sepantasnya orang-orang muda menyeret orang-orang tua ke dalam satu persoalan, namun sekarang ternyata aku terseret kemari karena pokal anak-anak muda.”

Radite dan Anggara terkejut mendengar kata-kata itu. tanpa disengaja mereka menoleh kepada Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara yang masih duduk disamping mereka. Namun ketika didengarnya kata-kata orang berjubah itu, mereka pun mengangkat wajah mereka.

Dan orang berjubah itu pun meneruskan, ”Aku terpaksa datang kemari karena aku tidak mau melihat permainan yang berbahaya.”

Radite dan Anggara menjadi semakin tercengang. Sedangkan Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara terpaksa menundukkan wajah. Dalam pada itu terdengar kelanjutan kata-kata orang berjubah itu, ”Nah Radite… katakanlah kepadaku sekarang, apakah kau menyimpan Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten…?”

Bukan main terkejutnya. Tidak hanya Radite dan Anggara. Tetapi juga Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Dengan tergagap terdengar Radite menjawab, ”Guru, aku sama sekali tidak menyimpan kedua pusaka itu. seandainya demikian, buat apakah kiranya kedua pusaka itu bagiku?”

Orang berjubah itu menoleh kepada Mahesa Jenar dan bertanya kepadanya, ”Aku dengar, kau berkeras menuduh bahwa kedua pusaka itu berada di tempat ini.”

Mahesa Jenar sama sekali tidak menduga bahwa ia akan mendapat pertanyaan itu. Karena itu dengan ragu-ragu ia menjawab, ”Ya Tuan… memang aku menyangka bahwa kedua keris itu berada di sini.”

”Nah…” jawab orang berjubah itu, ”Radite dan Anggara telah menjawab bahwa kedua pusaka itu tidak berada di tempat ini. Kau harus percaya, sebab sepengetahuanku, Radite dan Anggara tidak pernah berbohong.”

Kembali Mahesa Jenar kebingungan. Sesekali ia menoleh kepada Kebo Kanigara. Tetapi Kebo Kanigara agaknya sedang berpikir. Karena itu akhirnya Mahesa Jenar terpaksa menjawab, ”Tuan… memang sebenarnya aku tidak ingin menemukan keris itu di sini.”
”Lalu apakah maksudmu sebenarnya…?” desak orang berjubah itu.

Sekali lagi Mahesa Jenar ragu. Sedangkan Radite dan Anggara pun menjadi bingung. Ia tidak mengerti arah jawaban Mahesa Jenar.

Mahesa Jenar sendiri, yang mula-mula sudah merencanakan segala sesuatu dengan lengkap dan urut, namun di hadapan orang berjubah abu-abu itu semuanya menjadi terpecah-pecah kembali. Seolah-olah ia kehilangan ingatan atas segala rencana yang telah disusunnya bersama Kebo Kanigara. Meskipun demikian satu hal yang dapat dijadikan pegangan. Orang berjubah abu-abu itu kini sudah datang.

Karena itu ia tidak perlu berbelit-belit lagi. Dan ketika ia melihat Kebo Kanigara mengangguk kecil, berkatalah Mahesa Jenar, “Tuan yang berjubah abu-abu, kalau aku datang kemari dan memaksakan suatu perselisihan kepada Paman Radite dan Paman Anggara, sebenarnya adalah karena Tuan. Sebab sejak semula aku pun sudah percaya bahwa kedua keris itu sama sekali tidak berada di tempat ini, tetapi berada pada seseorang yang sakti, yang mengenakan jubah abu-abu mirip dengan jubah yang pernah dan selalu dipakai oleh Pasingsingan.”

Radite dan Anggara tersentak bersama-sama mendengar kata-kata itu. Mula-mula jantungnya berdebar-debar, tetapi kemudian jantung itu menjadi seolah-oleh berhenti bekerja. Keringat dingin mulai membasahi punggungnya. Bagaimanapun mereka menyadari bahwa sementara ini mereka telah dipergunakan oleh Mahesa Jenar untuk memancing kehadiran gurunya.

Tetapi sebelum ia sempat berkata sesuatu, terdengarlah Mahesa Jenar berkata kepada mereka, ”Paman berdua… ampunkan kami. Kami sama sekali tidak bermaksud menyakiti hati Paman berdua. Apalagi sampai ada oertempuran yang sebenarnya antara hidup dan mati. Apa yang kami lakukan benar-benar suatu permainan yang berbahaya. Namun penuh dengan tanggungjawab atas kedua pusaka yang hilang itu.”

Perasaan aneh menjalar dalam dada Radite dan Anggara. Bahkan kemudian mereka tidak tahu, bagaimana seharusnya mereka menanggapi kejadian itu. Dalam keadaan yang demikian terdengarlah orang berjubah itu tertawa lirih. Katanya, ”Aku kagum pada kecerdasanmu Mahesa Jenar. Rupanya kau pernah mendengar bahwa Radite dan Anggara adalah murid Pasingsingan. Kau pernah melihat bahwa orang yang membawa kedua keris itu pun berjubah abu-abu seperti Pasingsingan. Nah, kau yakin bahwa apabila kau bertempur melawan Radite dan Anggara, pastilah orang berjubah abu-abu itu datang meleraimu. tetapi bagaimana kalau aku berpendirian, biarlah kau berdua dibinasakan oleh Radite dan Anggara?”

402

HAMPIR saja Mahesa Jenar menjawab bahwa ia berusaha untuk tidak terbinasakan, karena keseimbangan yang telah dicapainya setelah ia mesu raga. Sedangkan Kanigara adalah seorang yang cukup sakti untuk mengimbangi Radite. Tetapi niat itu diurungkan, karena dengan demikian, meskipun ia tidak bermaksud apa-apa, agaknya akan nampak bahwa ia menyombongkan dirinya.

Dan karena beberapa saat Mahesa Jenar tidak menjawab, orang berjubah abu-abu itu meneruskan, seolah-olah mengerti perasaan Mahesa Jenar. “Atau kalau kalian merasa bahwa kesaktian kalian berimbang, bagaimanakah kalau seandainya aku tidak mengetahui apa yang terjadi di sini?”

Karena perkataan itu, seolah-olah Mahesa Jenar mendapat tuntunan untuk menjawabnya, “Tuan… aku yakin bahwa Tuan akan mengetahui apa yang akan terjadi di sini. Sebab kehadiran Tuan pada pertempuran di Gedangan, serta usaha Tuan untuk menyempurnakan tata nadi Arya Salaka menunjukkkan kepadaku bahwa Tuan selalu hadir di dalam saat-saat yang gawat. Sedangkan aku yakin pula bahwa Tuan tidak akan membiarkan salah satu pihak dari kita yang sedang bertempur menjadi binasa. Sebab Paman Radite dan Paman Anggara adalah murid-murid Tuan yang terpercaya. Meskipun akhirnya Tuan merasa perlu untuk menjauhinya, namun Tuan tidak akan tega sampai sejauh-jauhnya. Sebaliknya, apakah Tuan dapat melihat kami, aku dan Kakang Kebo Kanigara, binasa…?”

“Kenapa tidak…?” terdengar orang berjubah itu menyahut.

“Kalau demikian…” tiba-tiba Kebo Kanigara menyela, “Tuan pasti tidak akan melerai kami. Membiarkan kami bertempur terus. Dan apabila kami binasa, selesailah persoalan Tuan, tetapi kalau kami menguasai keadaan, Tuan akan datang membantu Paman Radite dan Paman Anggara, tetapi ternyata yang terjadi tidaklah demikian.”

“Kau yakin bahwa aku tidak akan berbuat demikian?” jawab orang berjubah abu-abu itu.

“Bukankah kau masih berada di tempat ini, dan aku masih belum berbuat sesuatu? Nah, agaknya kau telah mempercepat tindakan-tindakan yang akan aku lakukan. Ketahuilah bahwa kau benar. Aku datang untuk membantu Radite dan Anggara mebinasakan kalian berdua.”

Radite dan Anggara menjadi semakin bingung. Persoalan yang agaknya menjadi semakin berbelit-belit. Ia menjadi bertambah terkejut lagi ketika tiba-tiba Kebo Kanigara tertawa. Tiba-tiba saja ia menemukan sifat-sifat yang sudah sangat dikenalnya pada orang berjubah abu-abu itu.

Karena itu tiba-tiba pula ia berkata hampir berteriak, “Nah, Tuan yang berjubah abu-abu… lakukanlah apa yang Tuan kehendaki. Namun aku ingin meninggalkan pesan buat anakku Arya Salaka di Padepokan Karang Tumaritis.”

Orang berjubah itu terdiam. Bahkan tampak beberapa jengkal ia surut ke belakang. Namun kemudian ia berkata, “Aku tidak kenal Arya Salaka dari Karang Tumaritis. Kalau yang kau maksud itu adalah anak yang pernah aku tolong, memperbaiki tata nadinya, maka aku tidak ada hubungan sama sekali dengan anak itu.”

Sekarang Mahesa Jenar sudah tidak dapat menahan hatinya lagi. Karena itu maka ia ikut berteriak,
“Nah, Tuan… aku yakin bahwa Tuan tidak berani mengganggu kami. Sebab di belakang kami berdiri seorang yang maha sakti pula seperti Tuan, yang bermukim di gunung Karang Tumaritis, bernama Panembahan Ismaya. Seorang Panembahan yang sangat gemar mengumpulkan dan menyimpan hampir segala jenis topeng-topeng serta pahatan kayu.”

Sekali lagi Radite dan Anggara terkejut. Bahkan darahnya seolah-olah mengalir semakin cepat, ketika ia mendengar Mahesa Jenar berkata, bahwa seolah-olah menantang gurunya. Di samping itu ia menjadi heran pula bahwa ada orang lain yang disebut maha sakti, apalagi sampai gurunya tidak berani bertindak karena orang itu.

Setelah perasaan mereka terguncang-guncang untuk kesekian kalinya, kembali Radite dan Anggara menjadi tercengang ketika tiba-tiba gurunya tertawa. Tertawa hampir terkekeh-kekeh. Dalam keadaan yang demikian semakin jelaslah, betapa tua usia orang yang berjubah abu-abu itu.

Katanya kemudian, “Mahesa Jenar, adakah orang yang kau sebutkan maha sakti itu gurumu?”

“Bukan,” jawab Mahesa Jenar, “Tetapi Panembahan Ismaya adalah seorang Panembahan yang tak ada duanya di kolong langit ini. Aku sangat tertarik pada topeng-topengnya yang beraneka ragam. Ada yang kasar dan jelek, namun penuh menyimpan watak yang sejuk damai. Tetapi ada pula yang tampak cerdik, namun jauh dari sifat-sifat kesombongan. Dan salah satu yang sangat menarik bagiku adalah yang Tuan pakai sekarang ini.”

Orang berjubah abu-abu itu terdengar menggeram. Namun sama sekali tidak menakutkan. Bahkan kemudian katanya kepada Radite dan Anggara, “Anak-anakku, agaknya kalian menjadi pening mendengar kata-kata Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Tetapi biarkanlah mereka berkicau sesukanya.”

Radite dan Anggara mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun mereka sebenarnya ingin penjelasan. Disamping itu tiba-tiba mereka mendengar nama Kebo Kanigara disebut-sebut. Baik oleh Mahesa Jenar maupun oleh gurunya. Karena itu terdengarlah Radite berkata, “Benar Bapa, aku benar-benar menjadi pening. Namun sudilah kiranya Bapa memberi penjelasan.”

Orang berjubah abu-abu itu tertawa. Katanya, “Radite, sebaiknya aku kau persilahkan masuk ke dalam pondokmu dahulu bersama kedua tamu-tamumu yang aneh ini.”

Radite kemudian merasa diingatkan atas kewajibannya sebagai tuan rumah. Karena itu dipersilahkannya gurunya beserta kedua tamu yang membingungkan itu masuk ke dalam rumahnya.

403

SETELAH mereka duduk melingkari lampu minyak jarak, diatas sebuah bale-bale yang besar, mulailah orang berjubah itu berkata, ”Radite dan Anggara… kau kenal aku karena kau adalah murid-muridku yang seolah-olah telah merupakan bagian dari hidupnya sendiri. Tetapi kau melihat wajahku selalu tertutup oleh sebuah topeng yang kasar dan jelek, yang kemudian dipakai oleh Umbaran. Dan karena itulah agaknya kau belum pernah melihat wajahku yang sebenarnya. Meskipun demikian, dengan wajah yang lainpun kau segera dapat mengenal aku pula. Demikian pula agaknya Kebo Kanigara yang meskipun aku mengenakan pakaian yang belum pernah dilihatnya, namun karena pergaulan kami yang sudah lama, maka iapun segera dapat mengenal aku pula. Sedangkan Mahesa Jenar, akan segera mengenal aku karena perhitungan-perhitungan otaknya yang cemerlang. Sehingga karena pokalnya kau benar dapat dipancingnya malam ini. Dan kalian adalah umpan-umpannya.”

Radite dan Anggara memang sudah merasakan hal itu. Namun peristiwa seterusnya adalah terlalu aneh baginya. Apalagi orang yang disebut Kebo Kanigara, yang mula-mula menamakan dirinya Tumenggung Surajaya itupun telah banyak bergaul dengan gurunya. Apakah iapun berguru pada orang yang dahulu bernama Pasingsingan itu? Tetapi kalau demikian, maka unsur-unsur pokok ilmu mereka pasti bersamaan. Sedangkan orang itu justru bersumber pada cabang perguruan Pengging.

Dalam pada itu, orang yang berjubah abu-abu itu agaknya mengerti akan isi hati Radite dan Anggara, karena itu ia meneruskan, ”Satu-satunya cara bagi Mahesa Jenar untuk dapat bercakap-cakap dengan orang yang berjubah abu-abu ini, yang dilihatnya dengan mata kepala sendiri telah mengambil Nagasasra dan Sabuk Inten dari Banyubiru, adalah dengan cara ini. Bertempur dengan murid-muridnya. Dengan demikian orang yang berjubah abu-abu ini pasti tidak hanya sekadar memperlihatkan diri untuk melerai atau memihak kepadanya saja, sebab lawan-lawannya adalah murid orang berjubah abu-abu itu sendiri.”

Tiba-tiba Radite menggeser duduknya ke dekat Mahesa Jenar dan menepuk bahunya keras-keras sambil berkata, ”O, ngger, ngger. Pandai benar kau buat hati orang tua kalang kabut. Hampir saja aku kehilangan pengamatan diri. Sebab persoalan yang Angger berdua paksakan kepada kami adalah langsung menyinggung luka hati yang paling parah. Itulah sebabnya aku tak dapat menahan diri lagi.”

”Maafkan kami Paman,” sela Kebo Kanigara, ”Sebab kami tahu betapa sabar dan alimnya Paman berdua, sehingga mula-mula kami menemui kesulitan untuk membuat paman berdua marah. Maka terpaksalah kami agak melampaui batas-batas kesopanan. Tetapi kami harap Paman percaya, bahwa bukanlah demikian maksud kami yang sebenarnya.”

Radite mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian bertanyalah ia, ”Tetapi kenapa Angger menyinggung-nyinggung Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten?”

”Sebab memang kedua keris itulah yang kami cari,” jawab Kebo Kanigara. ”Dan terhadap orang yang kami harapkan hadir kemudian, kami menaruhkan harapan sepenuhnya atas kedua pusaka itu. Karena orang yang berjubah abu-abu itupun tahu pasti bahwa kedua keris itu tidak berada di sini.”

Radite menarik nafas dalam-dalam, sedang Anggara pun kemudian tertawa lirih, katanya,
”Alangkah bingungnya aku kemudian. Baru sekarang aku menjadi jelas. Alangkah bodohnya orang-orang tua ini, yang hanya pantas untuk menjadi penunggu burung di sawah-sawah.”

”Tetapi…” tiba-tiba Radite menyela, ”Siapakah sebenarnya Angger ini, yang menamakan dirinya Tumenggung Surajaya, namun yang kemudian disebut oleh Bapa Guru dengan nama Kebo Kanigara…?”

Orang berjubah abu-abu itu tersenyum. Katanya, ”Itulah kesenangannya. Membingungkan orang lain dengan nama-nama yang dibuatnya. Ia pernah menamakan diri Putu Karang Jati waktu ia menemui Pandan Alas.”

”Pandan Alas…?” ulang Radite dan Anggara hampir berbareng. ”Ki Ageng Pandan Alas dari Klurak…?”

”Ya,” jawab orang yang berjubah abu-abu itu. ”Dan sekarang ia menamakan dirinya Tumenggung Surajaya. Dan orang yang suka berganti nama itu tidak lain adalah seorang yang menganut ilmu perguruan Pengging. Sebagaimana kau lihat, Mahesa Jenar pun memiliki nama yang aneh pula. Di Gedangan mula-mula ia dikenal bernama Manahan. Barangkali memang demikianlah kebiasaan anak-anak Ki Ageng Pengging Sepuh.”

”Aku sudah menduga,” sela Radite, ”Bahwa Angger ini pasti seorang murid yang sempurna dari perguruan Pengging.”

”Tidak saja murid,” sahut orang berjubah abu-abu itu, ”Tetapi ia adalah anak Handayaningrat itu, dan bahkan adik seperguruannya.”

Radite dan Anggara bersama-sama mengerutkan keningnya. Tahulah ia sekarang kenapa ia memiliki kesaktian yang mengagumkan. Yang dapat mengimbangi ilmu yang dimiliki oleh Radite sendiri.

Tetapi dalam pada itu terdengarlah Mahesa Jenar berkata, ”Tuan benar. Memang anak-anak perguruan Pengging suka berganti nama. Tetapi agaknya Tuan lupa bahwa seorang yang bernama Radite pernah bernama Pasingsingan dan pernah bernama Paniling. Seorang yang bernama Anggara pun memiliki nama lain, yaitu Darba. Tetapi lebih daripada itu, seorang lain yang pernah bernama pula Pasingsingan, ternyata memiliki nama yang lain, Panembahan Ismaya.”

Bagaimanapun juga, orang berjubah abu-abu itu tergeser beberapa jengkal. Namun wajahnya yang pucat sama sekali tidak menunjukkan sesuatu perubahan. Sinar pelita yang menggapai-gapai dengan gelisahnya, membuat bayangan-bayangan yang bergerak-gerak di dinding.

Mendengar kata-kata Mahesa Jenar itu, Paniling dan Darba masih juga terkejut. Apakah sangkut-paut antara Pasingsingan dengan Panembahan Ismaya…?

404

TIBA-TIBA tampaklah orang berjubah abu-abu itu melepas ikat kepalanya. Dan karena itu tampaklah di bawah rambutnya yang telah memutih, suatu garis yang memisahkan antara kulit kepalanya dengan kulit wajahnya.

“Sekarang aku tidak perlu bersembunyi-sembunyi lagi,” bisiknya. “Sebab Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara telah mengetahui semuanya dengan jelas. Dan bagiku, sekarang sudah tidak ada gunanya lagi memiliki bermacam-macam nama dan kedudukan.”

Bersamaan dengan itu, terkelupaslah kulit yang tipis dari wajah orang berjubah abu-abu itu. Kulit kayu yang dipahatnya halus-halus menyerupai benar wajah seseorang. Terhadap topeng itu tak seorangpun yang terkejut. Apalagi Mahesa Jenar, yang jauh sebelumnya telah mengenal bahwa orang berjubah abu-abu itu tidak memiliki wajah sewajarnya, melainkan mengenakan topeng. Dan topeng itu jauh berbeda dengan topeng yang pernah dipakainya pada saat ia bernama Pasingsingan.
Dari balik topeng itu muncullah wajah orang berjubah abu-abu itu. Wajah seorang tua yang lunak damai. Meskipun berkerut-kerut namun kesegaran masih memancar dari wajahanya. Wajah yang sudah dikenal oleh Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara.

Memang orang itulah Panembahan Ismaya.

Radite dan Anggara tiba-tiba merasa terharu. Terharu karena mereka berkesempatan mengenal wajah gurunya. Wajah yang selama ini menjadi teka-teki. Bahkan mereka menduga bahwa seumur hidup mereka tak akan sempat memandang wajah itu. Namun suatu hal yang mengejutkan mereka berdua, bahwa orang berjubah abu-abu itu tidaklah setua yang mereka duga. Umurnya tidak banyak terpaut banyak dengan umur mereka sendiri.

Meskipun demikian Radite dan Anggara membungkukkan kepalanya sambil berkata dengan hormatnya, “Bapa Guru… aku merasa mendapatkan suatu kurnia juga tiada taranya, bahwa Bapa Guru telah berkenan memberi kesempatan kepada kami untuk lebih mengenal Bapa.”

Orang yang berjubah abu-abu, yang pernah bernama Pasingsingan dan kemudian menjauhkan diri dari kesibukan dunia ramai di Bukit Karang Tumaritis dan bernama Panembahan Ismaya itu tersenyum. “Semua permulaan akan ada akhirnya. Hanya yang tidak bermula sajalah yang tidak akan berakhir. Yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Di hadapan kalian berempat aku merasa seolah-olah aku telah mencapai segala cita-cita serta idamanku, sejak aku menamakan diriku Pasingsingan.”

Ketika orang yang berjubah abu-abu dan menamakan dirinya Panembahan Ismaya dalam bentuknya yang lain itu berhenti sejenak, suasana menjadi hening. Tak seorang pun yang berkata-kata. Mereka sedang terbenam dalam arus perasaan masing-masing. Mereka mencoba menghubung-hubungkan apa yang pernah terjadi atas orang berjubah abu-abu itu sehingga ia terpaksa mempergunakan topeng hampir seumur hidupnya. Sedangkan sebagai Panembahan Ismaya, ia menyepi di sebuah bukit kecil dan menjauhkan diri dari pergaulan.

Tetapi tak seorangpun yang berani bertanya. Mereka takut kalau ada hal-hal yang dapat menyinggung perasaannya. Namun tanpa mereka duga, orang itu berkata dengan sendirinya, “Mungkin apa yang terjadi atas diriku agak mengherankan. Bertopeng seumur hidup dan menyepi hampir seumur hidup pula.”

Keterangan itu akan menarik bagi Radite dan Anggara. Bahkan juga bagi Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara.

Tetapi tiba-tiba orang berjubah abu-abu itu membelokkan percakapan kepada Mahesa Jenar.

“Mahesa Jenar… sekarang kau sudah bertemu dengan orang yang berjubah abu-abu, yang mengambil kedua keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten dari Banyubiru. Dan karena pengotak-atikmu bersama Kebo Kanigara, menghubung-hubungkan semua yang pernah kalian alami, akhirnya kalian mengambil kesimpulan bahwa orang berjubah abu-abu itulah Panembahan Ismaya. Lalu apakah keperluanmu dengan aku?”

Mahesa Jenar menelan ludahnya beberapa kali. Mula-mula ia agak bimbang untuk langsung menyampaikan keperluannya. Tetapi ia yakin bahwa sebenarnya orang tua itu pun sudah mengerti pula. Karena itu ia mencoba mengelak, “Tuan… apakah aku masih perlu mengatakan keperluanku? Aku kira Tuan telah mengetahui selengkapnya.”

“Mahesa Jenar…” jawab orang berjubah itu, “Lebih baik kau tidak mengira-ira. Katakanlah, dan aku akan menjadi jelas, tanpa kira-kira lagi.”

Sekali lagi Mahesa Jenar menelan ludahnya. Lalu dengan suara yang parau ia menjawab, “Tuan… sebenarnya aku hanya ingin mengetahui di manakah keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten itu berada.”

“Hanya itu…?” sahut orang berjubah itu.

“Dan apabila Tuan berkenan, aku ingin menerima kedua pusaka itu, kembali untuk menyelesaikan beberapa masalah antara aku dan kakang Gajah Sora di satu pihak, dan Pemerintahan demak di lain pihak.

“Hanya itu…? Hanya supaya kau dapat kembali ke Istana dan Gajah Sora dapat dibebaskan?”

“Tidak,” jawab Mahesa Jenar tergesa-gesa. “Bukan hanya itu. Tetapi aku tidak mau menyembunyikan pamrih itu supaya aku tidak menjadi penipu atas diri sendiri. Sebab apabila aku hanya mengatakan bahwa aku ingin mengembalikan kedua pusaka itu demi kelangsungan pemerintahan, maka aku telah menyembunyikan beberapa bagian darinya, yaitu pamrih pribadi.”

405

ORANG berjubah abu-abu itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu jawabnya, ”Kau memang jujur dan berterus terang. Tetapi kau terlalu tergesa-gesa. Sudah beberapa kali aku isyaratkan kepadamu, bahwa sekarang ini sedang ada pertentangan yang tajam terjadi di Demak. Antara keturunan Sultan Trenggana dan keturunan Sekar Seda Lepen. Karena itu kau masih harus menilai siapakah diantara mereka yang patut mendapat sipat kandel itu. Kalau kau muncul sekarang dengan pusaka-pusaka itu, maka akibatnya akan menjadi lebih parah lagi. Mereka menjadi semakin bernafsu dalam pertentangan-pertentangan yang akan timbul. Kedua pusaka itu akan merupakan penyebab pula, karena mereka merasa perlu untuk memilikinya. Dengan demikian kau membantu menimbulkan persoalan-persoalan baru yang akan menambah ketegangan. Bahkan akan dapat menimbulkan pertumpahan darah diantara para perwira, bintara dan tamtama. Kalau demikian yang terjadi, maka tinggal menunggu besok atau lusa, Demak pasti akan binasa. Sebab yang akan berhadapan sebagai lawan dalam pertentangan itu adalah kekuatan-kekuatan Demak sendiri. Baik yang berpihak kepada keturunan Sekar Seda Lepen maupun yang berpihak kepada Sultan Trenggana. Setiap jiwa yang melayang karenanya adalah kerugian yang harus ditanggung oleh Demak sendiri. Karena itu janganlah suasana menjadi bertambah tegang. Mudah-mudahan mereka dapat memecahkan persoalan itu dengan baik. Dengan musyawarah diantara kekuatan-kekuatan saka guru Demak sendiri.”

Mendengar keterangan itu, Mahesa Jenar menundukkan kepala dalam-dalam. Demikian pula Kebo Kanigara. Sedangkan Radite dan Anggara mendengarkan dengan penuh perhatian.

”Dengan demikian…” orang berjubah abu-abu itu meneruskan, ”Setiap orang Demak akan dapat mencurahkan tenaganya untuk kesejahteraan negeri. Membangun tempat-tempat ibadah dan pendidikan, surau-surau dan langgar. Disamping itu setiap prajurit Demak akan berkesempatan untuk menumpas habis golongan-golongan yang tidak senang melihat Demak menjadi bulat. Maka setelah itu akan terjalinlah kesatuan hati rakyat. Ketenteraman hidup dengan berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa tanpa mendapat gangguan dalam pangkuan tanah tumpah darah yang gemah ripah lohjinawi, tata titi tentrem kertaraharja, tanpa bibit-bibit pertentangan yang ditaburkan di hari ini, yang akan tumbuh dan menjadi lebat di hari kemudian.”

Ketika orang berjubah abu-abu itu berhenti, terdengarlah kokok ayam bersahutan menyambut datangnya fajar. Fajar yang tidak akan dapat ditunda oleh siapapun. Ia akan datang apabila saatnya datang. Biarpun ayam jantan tidak berkokok. Demikianlah kekuasaan Tuhan yang melampaui segenap kekuasaan yang ada.

Mahesa Jenar sadar akan ketergesaannya. Ia agaknya kurang dapat menanggapi setiap ajaran isyarat yang diberikan, baik oleh seorang yang berjubah abu-abu yang dijumpainya dahulu di jalannya yang hampir sesat dan kehilangan akal maupun oleh orang itu juga dalam pakaiannya sebagai seorang Panembahan.

Namun demikian masih saja ada beberapa hal yang belum dapat dipahami, apakah dengan diketemukannya keris itu justru tidak dapat menghentikan persengketaan antara dua golongan besar itu. Tetapi disamping itu timbul pula pertanyaan-pertanyaan lebih lanjut di dalam dadanya. Juga di dada Kebo Kanigara dan kedua murid Pasingsingan itu. Demikian besar minat orang yang berjubah abu-abu itu terhadap persatuan dan kesatuan Demak, sehingga mustahil kalau ia tidak memiliki sangkut-paut yang sangat rapat dengan kedua golongan itu.

Meskipun demikian, meski berbagai pertanyaan bergelut di dalam dada setiap orang yang duduk di dalam lingkaran kecil itu, namun tak seorang pun yang menyatakannya. Agaknya orang berjubah abu-abu itu sudah merasa perlu untuk menyatakan dirinya tanpa satu pertanyaan pun.

Dalam sesaat orang tua berjubah itu berdiam diri, memandangi setiap wajah dari keempat orang yang dengan penuh minat mendengarkan ceritanya. Dan ketikasambaran matanya hinggap pada wajah Mahesa Jenar, tertangkaplah banyak sekali persoalan yang ingin dikatakannya. Namun tak sepatah katapun yang terloncat dari mulutnya. Orang tua yang berjubah abu-abu itu agaknya dapat merasakan persoalan-persoalan itu.

Karena itu ia meneruskan, ”Mahesa Jenar… seandainya salah seorang dari mereka memiliki kedua keris itu sekalipun, tidaklah dapat dianggap sebagai suatu jaminan bahwa persengketaan mereka akan mereda. Sebab dengan memiliki kedua keris itu tidaklah berarti bahwa ia mutlak dapat memegang pemerintahan di Demak, selama jiwa orang itu masih belum menjadi luluh dengan jiwa kedua keris itu. Apabila seseorang telah benar-benar dapat menguasai, serta jiwa kedua keris itu luluh dalam dirinya, barulah ia mendapat sipat kandel yang sebenarnya. Selama masih ada jarak antara seseorang dengan keris itu, maka selama itu keris-keris yang keramat itu sama sekali tak akan berguna. Karena itulah maka meskipun orang yang berjubah abu-abu sebagaimana kau lihat, berhasil menyimpan kedua keris itu, seandainya, ia ingin memegang tampuk pemerintahan Demak, hal itu tidak akan dapat dicapainya. Sebab jiwa keris itu tidak dapat luluh ke dalam dirinya. Juga orang-orang dari golongan hitam itupun akan tidak mempunyai sesuatu arti, apabila mereka memiliki kedua pusaka Demak itu.”

Kembali orang tua itu berhenti. Di luar, cahaya matahari pagi telah memercik hinggap di dedaunan. Burung-burung dengan riangnya berkicau bersahutan.

Demikianlah Padepokan yang sepi itu seolah-olah telah terbangun dari tidurnya. Namun halaman-halaman rumah penduduk padepokan itu masih tampak sepi. Satu-dua orang yang telah muncul dari ambang pintunya, dengan tergesa-gesa pergi ke sungai, sedang yang lain dengan sibuknya menyalakan api untuk merebus air. Di sana-sini terdengar jeritan anak-anak kecil yang memanggil ibunya, ketika mereka terbangun dari tidurnya yang nyenyak, seolah-olah mereka kecewa kehilangan mimpi yang segar.

DALAM kecerahan pagi itu tampaklah orang-orang yang duduk di atas sebuah bale-bale besar di rumah Paniling masih belum berkisar dari tempatnya. Mereka masih dengan asiknya mendengarkan kisah dari orang tua yang berjubah abu-abu itu.

Sementara itu, tiba-tiba orang yang berjubah abu-abu itu berkata. ”Radite, biarlah aku melepaskan jubah abu-abuku, supaya orang-orang yang lewat di muka rumahmu ini tidak menjadi keheran-heranan melihat pakaianku yang tidak biasa di pedukuhanmu ini.”

Dengan tergoboh-gopoh Radite mempersilahkan orang tua itu masuk ke dalam sebuah ruangan untuk berganti pakaian. Untunglah bahwa hal itu segera dilakukan, sebab ketika matahari telah semakin naik di atas punggung-punggung perbukitan, tampaklah jalan-jalan pedukuhan itu mulai sibuk. Beberapa orang telah mulai turun ke sawah dengan binatang-binatang kesayangan mereka, menjelang saat tanam padi.
Demikianlah, ketika beberapa orang lewat di muka pondok di ujung pedukuhan itu, mereka melihat dua ekor kuda tertambat di halaman. Karena itu teringatlah mereka, bahwa kemarin mereka melihat dari celah-celah pintu mereka, dua orang berkuda lewat di jalan pedukuhan itu. Karena itu sesuai dengan watak-watak mereka yang sederhana dan penuh rasa kekeluargaan, mereka pun merasa berkepentingan pula dengan penunggang-penunggang kuda itu. Meskipun demikian mereka terheran-heran pula ketika mereka melihat bekas-bekas tanaman yang terinjak-injak di halaman.

Ketika beberapa orang menjenguk ke dalam rumah itu, dilihatnya beberapa orang duduk-duduk di atas bale-bale besar bersama-sama dengan Ki Paniling dan Ki Darba. Karena itu dengan ramahnya mereka menyambut kehadiran mereka. Dengan tergopoh-gopoh pula Paniling dan Darba mempersilakan mereka masuk dan memperkenalkan mereka yang masih dapat mengenal Mahesa Jenar. Karena itu terdengar suara orang itu. ”He, kakang Paniling bukankah ini kemanakanmu yang beberapa tahun yang lalu pernah datang kemari?”

Ki Paniling tersenyum lebar, jawabnya, ”Otakmu agaknya baik sekali. Ya, ialah kemenakan yang beberapa tahun yang lalu pernah datang kemari.”

Kemudian sambil tertawa-tertawa bangga atas pujian itu, orang itu bertanya seterusnya, ”Dan siapakah yang dua lagi?”

”Ia juga kemanakanku,” sahut Paniling, ”Dan yang satu lagi…” Tiba-tiba ia menjadi ragu-ragu. Bagaimana ia mesti menyebut gurunya. Untunglah bahwa gurunya segera menyahut, ”Aku adalah kakaknya. Ayah anak-anak ini.”

”O…” terdengar beberapa orang bergumam. Lalu berkata salah seorang diantaranya, ”Selamatlah Kakang berkunjung ke pedukunan ini. Mudah-mudahan Kakang krasan pula, dan sudi singgah ke rumah tetangga-tetangga di sebelah.”

”Pasti, pasti,” jawab guru Radite itu. ”Aku akan tinggal beberapa hari di sini. Dan aku akan singgah di rumah kalian apabila waktuku memungkinkan.”

Demikianlah terjadi percakapan yang akrab dan semanak di antara mereka. percakapan yang sama sekali tidak dibumbui oleh maksud-maksud lain daripada apa yang mereka percakapkan. Penduduk pedukuhan itu sama sekali tidak mengenal cara-cara yang dilapisi oleh sifat berpura-pura. Dada mereka tak ubahnya seperti sebuah kitab lontar yang terbuka. Setiap orang yang berkepentingan akan langsung dapat membacanya kata demi kata. Demikianlah huruf itu membentuk kata-kata serta kalimat-kalimat.

Demikianlah maksud serta isi dari kitab itu sebenarnya.

Tetapi mereka tidak lama berada di tempat itu. Karena sawah serta ladang mereka selalu menunggu. Menunggu uluran tangan para petani yang dengan setia dan tekun menggarapnya. Tanpa banyak persoalan. Mereka bekerja untuk memetik hasilnya. Karena itu mereka sadar bahwa apabila mereka tidak bekerja, maka mereka pun akan kelaparan. Dengan demikian mereka tidak pernah berpikir lain daripada kesejahteraan pedukuhan mereka, tergantung atas kesanggupan serta kemauan mereka bekerja.

Dan seandainya ada orang lain, yang berbelas kasihan memberi kepada pedukuhan itu kesejahteraan yang melimpang-limpah, maka pastilah itu bukan hal yang sewajarnya. Pastilah dengan demikian mereka mempunyai pamrih. Setidak-tidaknya orang-orang dari pedukuhan itu akan terikat oleh suatu perasaan berhutang budi. Dan dengan demikian hilanglah sebagian, meskipun hanya sebagian kecil, kemerdekaan serta kedaulatan mereka atas diri sendiri.

Karena itulah maka mereka bekerja keras dengan penuh kegembiraan dan terima kasih. Terima kasih kepada Tuhan yang telah melimpahkan tenaga dan tanah garapan bagi mereka.

Namun ketika mereka meninggalkan halaman rumah itu, ada juga yang sempat bertanya, ”Bapak Paniling, kenapakah tanaman-tanaman Bapak rusak bekas terinjak-injak?”

Paniling agak binggung untuk menjawab pertanyaan itu, tetapi akhirnya diketemukan juga jawabnya. ”Akh, semalam kuda tamu-tamuku itu lepas dari ikatannya. Terpaksalah kami beramai-ramai menangkapnya.”

Mereka percaya saja pada keterangan itu. Bahkan beberapa orang menjadi geli karenanya. Tetapi apabila mereka tahu apa yang sebenarnya terjadi, pastilah mereka mempunyai tanggapan yang akan sangat jauh berbeda.

Demikianlah ketika para petani meninggalkan rumah Ki Paniling, kembali perhatian mereka tertuju kepada orang tua yang sekarang sudah tidak lagi mengenakan jubah abu-abu. Tetapi orang tua itu kini mengenakan baju lurik merah coklat serta ikat kepala yang kehijau-hijauan.

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara telah mengenal wajah orang itu dengan baiknya sebagai seorang Panembahan. Tetapi kali ini, dalam pakaian yang lain, tidak seperti yang biasa dipakainya, yaitu jubah putih, tampaklah bahwa wajah itu menjadi semakin segar. Cahaya matanya tidak saja tampak dalam dan damai, seperti biasa, yang seolah-olah menjangkau jauh ke alam yang tidak kasat mata. Tetapi mata itu kini memancar dengan terangnya menyorot ke depan, ke masa yang akan datang. Ke masa yang tidak terlalu jauh. Maka seolah-olah terjadilah suatu paduan antara masa depan yang dekat dengan masa yang tak teraba oleh pancaindera.

407

KETIKA suara sendau dan tawa para petani sudah hilang di kejauhan, orang tua itu agaknya merasa perlu untuk melanjutkan keterangannya. Karena itu ia mulai berkata, ”Anak-anakku sekalian. Demikianlah tuah dari kedua keris yang sedang kau cari itu. Ia baru bermanfaat bagi pemiliknya apabila jiwa keris itu sudah luluh dalam dirinya. Pertandanya bahwa keris itu kehilangan kecemerlangannya. Ia kuningan. Tetapi kedua keris itu menjadi tak ubahnya seperti besi biasa saja. Sama warnanya dengan sebuah pisau dapur saja. Sedang apabila jiwa kedua keris itu luluh pada diri seseorang, maka orang itu akan memiliki sifat-sifat khusus yang meresap ke dalam dirinya. Kyai Nagasasra mempunyai watak disuyuti oleh kawula. Dicintai dan disegani oleh rakyat. Dengan demikian ia akan mencinta kasih Tuhan, perikemanusiaan, memberi perlindungan kepada orang yang kehujanan dan kepanasan, memberi makanan kepada orang yang kelaparan, memberi pakaian kepada orang yang telanjang, memberi tuntunan bagi yang kehilangan jalan. Sedang Kyai Sabuk Inten mempunyai watak seperti watak lautan. Luas tanpa tepi. Menampung segala arus sungai dari manapun datangnya. Menerima dengan tadah banjir yang bagaimanapun besarnya. Namun gelombangnya dapat menunjukkan kedahsyatan dan kesediaan bergerak dan bahkan selalu bergerak. Watak yang demikianlah yang memungkinkan seseorang dapat menemukan yang belum pernah diketemukan. Dan karenanyalah kesejahteraan rakyatnya dapat dijamin. Kesejahteraan lahir dan batin. Memberi kesempatan kepada mereka untuk mengalirkan airnya yang ditampung dapat beriak dengan manisnya, namun dapat bergulung-gulung dengan dahsyatnya, seolah-olah lautan itu sedang mendidih.”

Orang tua itu berhenti sejenak. Ia memandang berkeliling lalu melemparkan sorot matanya yang damai itu lewat lubang pintu dan jatuh di atas tanah berdebu di halaman. Sekali-kali ia menarik nafasnya dalam-dalam. Seolah-olah ada sesuatu yang kurang pada tempatnya. Kemudian terdengarlah ia melanjutkan, ”Sayang, bahwa kedua keris itu masih harus dilengkapi dengan yang satu lagi. Kyai Sengkelat. Keris itupun sekarang sudah lenyap dari perbendaharaan istana.”

”Kyai Sengkelat?” sela Mahesa Jenar hampir berteriak.

Orang tua itu mengangguk, jawabnya, ”Ya, Kyai Sengkelat. Tidak saja keris-keris itu tidak mau luluh pada diri seseorang, tetapi keris-keris itu ternyata lolos dari tempat penyimpanannya. Padahal Sengkelat pun tidak kalah pentingnya. Ia memiliki watak yang lengkap dari watak seorang prajurit. Prajurit yang setia dan patuh akan kewajibannya, yang bekerja dan berjuang bukan untuk kepentingan diri. Tetapi seorang prajurit akan berjuang untuk tanah tumpah darah serta rakyatnya, dengan penuh kejujuran dan tanpa pamrih, dalam lingkaran kebaktian dan cinta kasih Yang Maha Agung.”

Suasana kemudian menjadi hening sepi. Masing-masing tenggelam dalam angan-angan sendiri. Mahesa Jenar yang dengan bekerja keras dan mati-matian berusaha untuk menemukan Kyai Sabuk Inten, bahkan usahanya itu belum dapat dikatakan berhasil sepenuhnya, tiba-tiba ia mendengar bahwa Kyai Sengkelat pun sedang lolos dari simpanannya.

Sedang Kebo Kanigara, sebagai seorang keturunan Brawijaya, menjadi sedih pula. Bagaimanapun juga, ia masih selalu merindukan kebesaran yang pernah dicapai oleh Majapahit dahulu.

Tiba-tiba terdengarlah Kebo Kanigara bertanya, ”Tuan, tidak adakah hulubalang Istana yang dapat berusaha untuk menemukan keris-keris itu?”

Orang tua itu kemundian tersenyum. Jawabnya, ”Tidak kurang banyaknya para prajurit Demak yang disebar ke segenap penjuru. Bukankah Mahesa Jenar pernah juga bertemu dengan Gajah Alit dan Panigron? Juga bukankah Arya Palindih pernah diutus ke Banyubiru untuk menemukan keris-keris itu? Bahkan sampai sekarangpun masih banyak dari para perwira Demak yang berkeliaran mencari pusaka-pusaka itu.”

Kebo Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun jelas terbayang di dalam kepalanya, bahwa para prajurit Demak itu akan menjadi selalu kecewa, karena mereka tidak akan dapat menemukan Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Agaknya Kyai Sengkelat pun masih terlalu sulit untuk diketahui tempatnya.

Sebenarnya tidaklah terlalu banyak orang yang mengetahui hilangnya pusaka-pusaka itu. Sebab memang hal itu dirahasiakan. Yang boleh mengetahui hanyalah orang-orang terbatas saja. Tetapi ada di antara mereka yang bertugas, terutama dari pejabat-pejabat rahasia Demak sendiri, mempunyai pamrih atas pusaka-pusaka itu. Sebab mereka mempunyai pengertian yang salah, seolah-olah siapa saja yang memiliki pusaka itu, dengan sendirinya akan dapat menduduki tahta.

Orang tua itu kembali membetulkan letak duduknya. Dan sekali-kali menarik napas dalam-dalam. Kemudian ia meneruskan, ”Padahal, segala sesuatu sangat tergantung kepada orang itu sendiri. Dan tergantung padanya pulalah pusaka-pusaka keraton itu dapat luluh atau tidak ke dalam dirinya. Itulah yang biasa disebut orang -wahyu-. Dan wahyu itu bukanlah semacam permainan dadu dengan mempertaruhkan keberuntungan, tetapi untuk dapat menerima wahyu maka seseorang harus mempersiapkan dirinya sebagai wadah dari watak dan sifat-sifat wahyu itu. Karena itulah maka untuk menerima wahyu seseorang harus bekerja keras, mesu raga dengan penuh keprihatinan.”

Segala sesuatunya menjadi jelas bagi Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan kedua murid Pasingsingan itu. Tetapi justru karena itu Mahesa Jenar tidak lagi menjadi gelisah atas pusaka-pusaka keraton yang hilang itu. Sebab meskipun ia berada di tangan seseorang, seseorang yang mempunyai pamrih sekalipun, tidaklah ia akan selalu berhasil setelah memiliki kedua pusaka itu.

Meskipun demikian untuk meyakinkan diri sendiri, bertanyalah Mahesa Jenar, ”Tuan, aku sudah dapat memahami semua keterangan itu. Namun meskipun demikian, untuk menenteramkan perasaanku sendiri, aku ingin mendapat penjelasan yang pasti, apakah kedua keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten ada pada Tuan.”

408
SEKALI lagi orang itu tersenyum. Sambil mengangguk ia menjawab, ”Benar… Mahesa Jenar. Kedua keris itu ada padaku. Jangan takut. Bagiku kau adalah lantaran yang sebaik-baiknya untuk menyerahkan kembali kedua pusaka itu ke Demak kelak apabila kita sudah mendapat gambaran, siapakah yang paling sesuai untuk menjadi wadah dari wahyu itu. Meskipun demikian segala sesuatu masih tergantung atas kebenaran yang terringgi. Adakah Tuhan memperkenankan atau tidak. Sebab Tuhan-lah Maha Penentu dari segala kejadian.”

Yang tiba-tiba menjadi persoalan di dalam otak Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara kemudian adalah Ki Ageng Gajah Sora. Ia akan dapat dibebaskan apabila kedua keris itu sudah dapat diketemukan. Sebab dengan demikian akan dapat dibuktikan apakah ia bersalah atau tidak. Sedang menurut orang tua itu, penyerahan kembai keris-keris itu masih memerlukan waktu. Lalu bagaimanakah yang akan terjadi dengan Gajah Sora itu…? Karena persoalan itu bertubi-tubi menghantam dinding kepalanya, akhirnya Mahesa Jenar memberanikan diri bertanya, ”Tuan… Masih ada sesuatu yang sangat mengganggu perasaanku, yaitu masalah Kakang Gajah Sora. Dengan demikian maka ia tidak akan segera mendapatkan penyelesaian.”

Orang tua itu, yang pernah mengenakan gelar Pasingsingan itu, mengerutkan keningnya. Persoalan itu bagi Banyubiru bukan persoalan yang kecil. Sebab persoalan itu bagi Banyubiru akan menentukan garis sejarah masa depan Banyubiru, meskipun tidak seluruhnya. Untunglah Gajah Sora meninggalkan seorang anak laki-laki yang dapat dibanggakan, Arya Salaka. Karena itu ia berkata, ”Mahesa Jenar… sebaiknya kalian tidak usah menunggu Gajah Sora. Bawalah Arya Salaka ke dalam tugas sucinya. Aku kira ia cukup mampu untuk melakukan, meskipun kau harus selalu berada di sampingnya. Sedangkan Ki Ageng Gajah Sora… serahkan saja kepadaku.”

Sekali lagi suatu pertanyaan membersit di dalam hati Mahesa Jenar, bahkan juga di dalam hati Kebo Kanigara dan kedua murid Pasingsingan itu. Mereka mendapatkan suatu firasat yang mengatakan bahwa orang tua itu bagaimanapun pasti mempunyai hubungan sambut rapat dengan Sultan Trenggana atau pemerintah Demak.

Akhirnya Kebo Kanigara tidak dapat lagi menahan keinginannya untuk mengetahui keadaan orang tua itu lebih banyak lagi, sehingga kemudian ia berkata, ”Tuan, telah bertahun-tahun aku tinggal di Bukit Karang Tumaritis, bersama-sama dengan Tuan dalam kedudukan Tuan sebagai seorang Panembahan bergelar Panembahan Ismaya. Namun kemudian ternyata aku sama sekali masih belum mengenal Tuan. Sebab ternyata aku masih belum mengetahui apa yang Tuan lakukan apabila Tuan sampai berbulan-bulan meninggalkan padepokan kami. Juga ternyata karena keterangan-keterangan Tuan, aku malahan menjadi semakin banyak menyimpan pertanyaan-pertanyaan tentang Tuan. Karena itu seandainya Tuan tidak keberatan sejalan dengan pernyataan Tuan untuk tidak berahasia lagi, khususnya terhadap kami, apakah Tuan tidak keberatan apabila Tuan menyatakan kepada kami siapakah Tuan serta dari manakah Tuan sebenarnya.”

Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, berkatalah ia dengan suara yang dalam dan perlahan, ”Kebo Kanigara dan kalian yang lain… apakah ada perlunya aku menyatakan diri serta asal-usulku? Sebab apa yang sudah terjadi itu tidak akan banyak pengaruhnya bagi masa yang akan datang.”

Karena Mahesa Jenar pun ingin sekali mendengar keterangan itu, ia pun mendesaknya, ”Bahwa masa lampau selalu penting bagi masa kini maupun masa depan. Apa yang terjadi sekarang karena telah terjadi sesuatu pada masa-masa lampau. Karena itu kami tidak akan dapat meninggalkan angkatan dari masa lampau. Alangkah kerdilnya jiwa kami apabila kami memperkecil arti angkatan-angkatan sebelum kami. Meskipun bukan berarti bahwa kami akan selalu menggantungkan diri padanya. Namun pengalaman-pengalaman adalah mahaguru yang sangat baik. Hasil-hasil yang pernah dicapai serta cara-cara untuk mencapainya. Juga kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan adalah suatu cermin untuk mengenal cacat wajah sendiri.”

Kembali orang itu mengangguk-angguk. Matanya yang sejuk itu sekali lagi terlempar ke atas tanah berdebu di halaman. Matahari kini telah semakin tinggi menggantung di langit yang biru bersih. Daun-daun yang hijau segar tampak berkilat-kilat memantulkan cahayanya yang cerah.

Orang tua yang menamakan diri Panembahan ismaya itu masih berdiam diri. Tampaknya ia agak ragu-ragu. Namun akhirnya diceritakanlah kepada Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan kedua muridnya itu tentang dirinya. ”Anak-anakku sekalian…. Baiklah aku menuruti permintaanmu. Tetapi jangan kau ceritakan kepada orang lain dari apa yang akan kau dengar.”

Ia berhenti sejenak untuk mendapat kesan bahwa mereka yang akan mendengarkan ceritanya benar-benar tidak akan mengatakan kepada orang lain. Sejenak kemudian ia meneruskan, ”Yang mula-mula boleh kau ketahui, namaku yang sebenarnya yang diberikan oleh ayah dan ibuku, adalah Buntara, lengkapnya Raden Buntara.”

Mendengar nama itu, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan kedua muridnya bersama-sama tergerak hatinya. Bahkan tiba-tiba Kebo Kanigara mengangkat wajahnya serta memandang orang tua itu tajam-tajam. Memandang segenap bagian tubuhnya seolah-olah di dalamnya tersimpan sesuatu yang sangat menarik perhatiannya. Agaknya orang tua itu merasa betapa Kebo Kanigara tertarik pada namanya. Karena itu ia bertanya, ”Adakah sesuatu yang menarik dari nama itu, Kanigara…?”

Kanigara mengerutkan keningnya. Otaknya bekerja keras untuk mengingat-ingat nama-nama yang pernah didengarnya. Akhirnya seperti orang terperanjat ia menjawab, ”Ya… nama itu sangat menarik bagiku.”
Orang tua itu tersenyum, lalu katanya, ”Apakah yang menarik?”

409

KANIGARA kembali menarik alisnya. Ketika kemudian ia teringat sesuatu, hampir berteriak ia berkata, ”Raden Buntara, bukankah Raden Buntara itu adik Sultan Brawijaya Pamungkas dari seorang garwa ampeyan…?”

Sekali lagi orang tua itu tersenyum. Katanya, ”Kau pernah mendengar nama itu?”

”Ya,” jawab Kanigara, ”Aku pasti pernah mendengarnya. Ayahku pernah menyebut-nyebut nama itu.”

”Tentu,” sahut orang tua itu. ”Ayahmu pasti pernah menyebut-nyebut namaku. Aku adalah pamannya yang paling dekat dengan ayahmu itu.”

”Kalau demikian Tuan lah Eyang Buntara yang pernah aku dengar namanya,” kata Kanigara sambil membungkuk hormat. Hormat sekali.

Raden Buntara mengangguk-angguk. Namun kemudian ia berkata, ”Kanigara, kau benar. Aku adalah orang yang kau maksud itu. Tetapi jangan panggil aku Eyang Buntara. Panggilah aku Panembahan Ismaya.”

Sekali lagi Kebo Kanigara membungkukkan kepala dengan takzimnya. Bahkan kemudian Mahesa Jenar, Radite dan Anggara pun membungkuk hormat. Hormat kepada seorang yang mereka segani. Tetapi lebih dari itu, orang tua itu ternyata adalah adik Baginda Brawijaya pamungkas.

Untuk sesaat suasana ditelan oleh kesepian. Berbagai perasaan muncul di dalam kepala masing-masing. Sehingga kemudian kesunyian itu dipecahkan oleh suara Panembahan Ismaya. ”Tetapi kemudian aku terlibat dalam berbagai persoalan, sehingga aku merasa perlu untuk mengasingkan diriku dari dunia ramai.”

Sekali lagi orang tua itu berhenti untuk menarik nafas dan membetulkan duduknya. Kemudian disambungnya lagi, ”Ketika itu terjadi perbedaan paham yang bersumber pada perbedaan kepercayaan. Pada waktu itu aku sudah mencoba untuk meyakinkan bahwa kepercayaan bukanlah sumber yang tak dapat dibendung. Namun agaknya Sultan merasa bahwa ia lebih baik mengundurkan diri dari tahta serta meninggalkan istana. Tetapi Raden Patah pun sama sekali tidak mau memperkosa kekuasaan Majapahit. Karena itu sebelum Prabu Brawijaya itu menyerahkan kekuasaan. Dan ternyata Prabu Brawijaya memberikan izin itu, meskipun ia sudah berada di perjalanan. Ketika Raden Patah kemudian memegang pimpinan kerajaan, dipindahkannya pusat kerajaan dari Majapahit ke Demak, sehingga dengan demikian berakhirlah suatu rangkaian pemerintahan yang berpusat di Majapahit.

Pada saat itu Prabu Brawijaya, diiringi oleh beberapa orang pergi berkelana dari satu tempat ke lain tempat. Beliau berjalan menyusur pantai selatan menuju arah matahari terbenam. Akhirnya sampailah beliau ke daerah Bukit Seribu, yang juga terkenal dengan nama Gunungkidul.”

Setelah berhenti sejenak, orang tua itu meneruskan, ”Meskipun aku adalah adik Brawijaya, namun umurku agak terpaut banyak daripadanya. Bahkan dengan Raden Patah pun agaknya aku tidak lebih tua. Karena itu, pada suatu saat Raden Patah memerintahkan kepadaku, bahwa ia mengharap dapat menerima kunjungan ayahanda Baginda. Bahkan mengharapkan Prabu Brawijaya menghentikan perantauannya dan menetap di suatu tempat yang dikehendakinya. Dengan susah payah aku menyusur bekas perjalanan Baginda. Bertanya dari suatu tempat ke tempat lain. Dengan demikian dapatlah banyak yang dilihat dan banyaklah yang dapat didengar, tentang hidup dan penghidupan. Tentang alam dan seluk-beluknya, untuk melengkapi pengetahuannya menjelang masa langgeng.”

Kembali orang tua itu meneruskan ceritanya, ”Tetapi terjadilah hal yang sama sekali tak terduga-duga. Seorang tumenggung yang ikut serta dalam rombongan Baginda merasa curiga atas kehadiranku. Tumenggung itu menyangka bahwa aku datang dengan pamrih. Kalau aku dianggap lawan yang harus dibunuh, maka aku tidak akan sakit hati. Tetapi yang tidak dapat aku terima adalah sangkaan yang bukan-bukan atas diriku dalam persoalan-persoalan yang memalukan. Ia menganggap bahwa aku sengaja mendekatkan diriku kepada Baginda untuk dapat mengetahui di mana kekayaan Baginda yang dibawa sebagai bekal perjalanan, disimpan. Ia menuduh bahwa aku ingin memiliki harta kekayaan itu. Dan yang lebih parah lagi, ia mempergunakan istrinya yang ikut serta dalam perjalanan itu untuk memancing persoalan. Dengan susah payah aku selalu mencoba untuk menghindarkan diri dari setiap bentrokan yang mungkin timbul. Namun ketika akhirnya aku ketahui bahwa sebenarnya ialah yang bermaksud jahat atas Baginda dan harta bendanya, aku tidak dapat membiarkannya.”

Panembahan Ismaya berhenti sejenak. Pandangannya yang jauh menatap cahaya matahari yang menari-nari di daun-daun dan ranting-ranting pepohonan di luar, seolah-olah mencari lembah peristiwa-peristiwa masa lalu pada bayang-bayang yang selalu bergerak di batang-batang kayu.

Setelah menarik nafas panjang, ia kembali meneruskan, ”Kemudian akulah yang sengaja membuat persoalan. Atau tegasnya aku sengaja menanggapi persoalan-persoalan yang dibuatnya. Agaknya darah mudaku pada saat itu sangat mempengaruhi jalan pikiranku, sehingga karena itu aku telah membuat suatu kesalahan. Seperti yang sekali dua kali pernah dilakukan, istri Tumenggung itu sengaja datang ke pondokku di belakang rumah yang dipergunakan sebagai pesanggrahan sederhana. Pada saat-saat sebelumnya, apabila perempuan itu datang, aku selalu pergi menghindar jauh-jauh. Sebab aku sudah dapat mengetahui maksud kedatangannya. Tetapi kali ini aku sengaja menemuinya.

410
AKU ingin mendengar apa yang akan dikatakannya kepadaku, meskipun aku sudah dapat menduganya lebih dahulu. Ternyata dugaanku tidak jauh menyimpang. Perempuan itu mula-mula mencela suaminya, kemudian memuji-muji aku sebagai seorang pemuda yang gagah, tampan dan berani. Kemudian dengan solah yang dibuat-buat, ia mulai mengatakan tentang ketidakpuasannya terhadap suaminya, dan yang terakhir, yang tidak aku duga-duga bahwa sedemikian jauh pertentangan yang ingin dibuatnya, adalah perempuan itu minta tolong kepadaku, supaya aku membunuh suaminya. Tentu saja dengan pura-pura mengharap, supaya aku akan menggantikan suami itu.

”Sayang” jawabku kepada perempuan itu berterus terang ”Aku sudah tahu permainan yang harus kau lakukan. Bukankah dengan demikian setiap orang akan menuduh aku merebut isteri orang. Suamimu mengharap aku akan menyerangnya. Siang atau malam, apabila laki-laki itu tampaknya sedang lengah. Namun sebenarnya ia telah siap membunuhku, sebab kau sudah memberitahukan kepadanya. Kalau laki-laki itu sudah berhasil melawan aku dalam suatu perkelahian, maka setiap orang akan meludah dihadapanku. Hidup atau mati. Nah, kalau demikian katakanlah kepadanya. Kalau ia menghendaki suatu perkehalian, suruhlah ia menantang aku sebagai seorang laki-laki. Ada atau tidak ada persoalan.”

Wajah perempuan itu menjadi merah. Tetapi agaknya ia memang perempuan yang cerdik. Aku mengharap ia akan marah, dan berlari menyampaikan kata-kataku kepada suaminya. Tetapi ia tidak berbuat demikian. Wajahnya yang merah itu sesaat kemudian telah cerah kembali. Sambil tersenyum-senyum ia mendekati aku. Katanya ”Kau laki-laki jujur. Sayang kau masih terlalu muda untuk menanggapi persoalan. Agaknya Raden belum mengenal aku sungguh-sungguh.”

Mula-mula aku menjadi gemetar ketika tiba-tiba perempuan itu meraba tubuhku. Bahkan kemudian aku menjadi muak. Dan karena itulah aku berbuat kesalahan. Sebenarnya lebih baik sekali aku berlari jauh-jauh meninggalkan tempat itu. Tetapi aku tidak berbuat demikian. Ketika aku tidak dapat menahan perasaan muak yang bergolak di dalam dadaku, perempuan itu aku dorong keras-keras dan jatuh terbanting dilantai. Karena itulah maka tiba-tiba terdengar ia berteriak-teriak. Mula-mula aku menyangka bahwa ia berteriak karena kesakitan. Tetapi dugaanku itu ternyata keliru. Perempuan itu sama sekali tidak berteriak karena kesakitan. Ternyata beberapa saat kemudian terdengarlah langkah beberapa orang berlari-lari. Beberapa diantaranyalangsung masuk ke dalam pondok. Hampir pecah kepalaku pada saat itu ketika aku mendengar perempuan itu berteriak ”Lelaki gila. Aku diseretnya kemari dengan kasarnya.” Semua mata terarah kepadaku. Diantaranya adalah sepasang mata laki-laki tamak, suami dari perempuan gila itu. Sambil menggeram mengerikan ia bertanyakepada isterinya dengan suara mengguntur.

”Hai perempuan rendah. Apa kerjamu disini?”

Dengan suara tergagap perempuan itu menjawab ”aku tidak sengaja datang kemari. Aku berjalan dihadalaman untuk memetik sirih. Tetapi tiba-tiba aku diseret oleh laki-laki itu dengan laku seekor binatang kelaparan.”

Kembali laki-laki itu mengeram. Kemudian dengan pandang mata yang mengerikan pula ia bertanya kepadaku. ”Kau hinakan nama isteriku Raden. Sayang bahwa suaminya adalah seorang laki-laki yang mempunyai harga diri. Kalau kau inginkan dia, marilah kita selesaikan dengan cara seorang laki-laki.”

Aku menjadi ragu. Untuk menjelaskan persoalan yang sebenarnya agaknya sama sekali tidak ada gunanya. Karena itu aku mengambil keputusan untuk menerima tantangannya. Bukankah aku memang ingin membuat perhitungan dengan Tumenggung itu? Namun sayang, sangatlah sayang. Bahwa tak seorangpun yang mengerti keadaan sebenarnya. Tak seorangpun yang mengerti isi hatiku yang sesungguhnya, kecuali seorang jajar tua yang sangat setia kepada baginda. Dan jajar itu pulalah yang mengetahui segala seluk beluk pokal Tumenggung itu. Ia pulalah yang mendengar dengan telinganya sendiri, bagaimana Tumenggung itu mengadakan pertemuan-pertemuan dengan para Menteri yang sependapat dengan pikirannya. Tetapi ia hanyalah seorang jajar yang tidak berarti. Karena itu, apa yang didengar dan diketahuinya itu tak dapat dipercaya oleh siapapun meskipun ia sudah pernah mengajukannya kepada baginda lewat seorang bupati dalam yang boleh dipercaya. Bahkan akhirnya Bupati itu yang semula tertarik kepada ceriteranya berkata kepadanya ”Jajar, agaknya kau terlalu letih. Karena kau bermimpi buruk.”

Akulah orang yang pertama-tama menaruh perhatian sepenuhnya atas keterangannya. Ia langsung berkata kepadaku, kepada adik baginda. Ia mengharapkan keselamatan baginda dapat terjamin.

Akhirnya terjadilah perkelahian itu. Perkelahian yang ditunggui oleh beberapa orang saksi.

Tumenggung itu agaknya yakin bahwa ia akan dapat membunuhku. Dengan demikian rencananya tidak akan terhalang. Ia memang pernah mengenal aku sebelumnya, dan aku pernah mengenalnya pula, sebagai seorang Tumenggung dalam susunan keprajuritan Majapahit. Justru dalam kesatuan pengawal raja.
Namun perkelahian itu berakhir sebaliknya. Akupun kemudian kehilangan pengamatan diri, sehingga tanpa aku sadari, laki-laki itu terbunuh oleh tanganku. Mula-mula aku merasa bhawa akibatnya tidak akan terlalu jauh. Aku akan berusaha meyakinkan, bahwa apa yang sebenarnya terjadi tidaklah seperti yang diduga oleh banyak orang. Tetapi aku tidak mempunyai kesempatan.”

Untuk beberapa saat Panembahan Ismaya berhenti berceritera. Matanya yang memancar damai itu kemudian tampak sayu dan redup. Agaknya kenangan masa silam itu tidak begitu menyenangkan. Kemudian ia meneruskan. ”Ketika pertempuran itu berakhir beberapa orang sahabat Tumenggung itu mengangkat mayatnya pergi, sedang beberapa orang lain dengan pandangan yang aneh berkata kepadaku. ”Nah, Raden. Tuan sekarang berhak memiliki perempuan itu.”

Tentu saja aku terkejut. Karena itu aku jawab ”Aku tidak perlukan perempuan itu.”

Beberapa orang itu mencibirkan bibirnya. Kata salah seorang diantaranya . “Hm, agaknya tuan mau bermain-main saja dengan isteri orang. Tetapi kemudian tuan mengingkari kewajiban tuan.”78

HAMPIR saja aku meloncat dan membunuh orang itu pula, kalau tidak tiba-tiba saja semua orang tegak memandang ke suatu arah dan hampir bersamaan membungkuk dengan hormatnya. Agaknya Baginda datang pula ke tempat itu. Pada saat itu keringat dingin telah mengaliri segenap tubuhku. Aku tidak tahu apakah sebenarnya maksud kedatangan baginda. Tetapi aku sudah menduga bahwa pasti ada hubungannya dengan perkelahian yang baru saja terjadi. Dan apa yang aku duga adalah benar. Baginda yang telah tampak sedemikian tuanya itu memandangku dengan sinar mata yang marah. Meskipun terdengar Baginda berkata-kata dengan sabar dan perlahan-lahan, namun bagiku setiap kata Baginda terdengar sebagai meledaknya guruh diatas kepalaku. Kata Baginda, ”Adikku… apakah yang terjadi adalah sama sekali diluar dugaanku. Aku bergembira bahwa salah seorang keluarga terdekatku sudi datang berkunjung kepadaku. Kepada orang yang sudah hampir dilupakan. Namun tiba-tiba kau membuat hatiku semakin parah karena kelakuanmu.”

Hampir menangis aku berjongkok di kaki Baginda. Dengan terputus-putus aku mencoba menjelaskan apa yang sebenarnya tersimpan di dalam kepalaku.
Tetapi keteranganku itu agaknya terdengar aneh sekali. Meskipun Baginda tidak membantahnya, namun aku yakin bahwa Baginda sama sekali tidak percaya. Bahkan kemudian Baginda dengan berdiam diri meninggalkan tempat itu. Karena itulah aku menjadi semakin tersiksa. Tersiksa oleh berbagai perasaan yang menghujam hati.
Dengan terbunuhnya Tumenggung yang curang itu, menyebabkan gerombolannya semakin marah. Mereka kemudian tidak mau menunggu lebih lama lagi. Mereka menjadi takut kalau gerakan mereka akan segera diketahui. Disamping itu mereka agaknya takut pula kalau aku juga akan mengadakan gerakan untuk melawannya. Akhirnya terjadilah dimalam yang mengerikan itu. Beberapa orang prajurit kepercayaan raja mati terbunuh. Mereka disergap dengan tiba-tiba oleh gerombolan orang-orang tamak yang sudah hampir gila itu. Dalam keadaan yang demikian, sekali lagi aku kehilangan pengamatan diri. Kembali aku berbuat kesalahan. Bahwa aku tidak lebih dahulu menunggu perintah Baginda. Ketika aku mendengar keributan langsung aku menyerbu, melibatkan diri dalam perkelahian itu. Akibatnya, beberapa orang terbunuh. Orang-orang yang dengan sengaja ingin merebut harta kekayaan Baginda.
Namun agaknya apa yang aku lakukan itu tidak berkenan pula di hati Baginda. Bahkan beberapa orang dari pihak lain pun menyalahkan aku. Mereka takut kalau kepercayaan Baginda akan berkisar kepadaku. Sekali lagi Baginda berkata kepadaku dengan sabar dan perlahan-lahan. ”Adikku Raden Buntara… aku tidak akan menyalahkan kau. Jiwa muda yang tersimpan didalam dadamu memang memerlukan penyaluran. Aku hanya ingin menunjukkan beberapa kenyataan kepadamu. Sebelum kau datang ke tempat ini pesanggrahanku yang terpencil ini, selalu diliputi oleh suasana damai. Tetapi dengan kehadiranmu di sini, keadaan menjadi lain. Terserahlah atas penilaianmu terhadap kenyataan itu.”

Aku menjadi semakin berduka atas pernyataan Baginda itu. Beberapa orang segera memencilkan aku seolah-olah akulah orangnya yang selalu membuat ribut. Satu-satunya sahabatku di tempat itu adalah jajar tua yang dapat mengetahui keadaan yang senyatanya. Ia melihat kenyataan yang sebenarnya. Dan hanya jajar tua itulah yang melihat, bahwa aku telah berjuang untuk keselamatan Baginda beserta rombongannya. Tetapi sekali lagi hatiku terluka.

Lebih parah dari luka-luka yang terdahulu. Pada suatu pagi aku ketemukan jajar tua, sahabatku itu terguling di tanah di depan pondoknya tanpa nyawa. Sebuah luka menggores di lehernya.

Pada saat itu darahku tiba-tiba mendidih. Hampir saja otakku tak dapat aku kendalikan lagi. Untunglah bahwa pengalaman pahit selama ini agaknya dapat mengekang segala tingkah lakuku. Dengan sedih aku mencoba untuk memberitahukan kematian itu kepada beberapa orang. Namun tak seorangpun menaruh perhatian kepada jajar tua yang dianggap sama sekali tak berarti itu. Bahkan karena ia benci kepadaku. Karena itu aku tak dapat berbuat lain daripada menguburkan mayat itu sendiri. Sendiri.

Dengan segala peristiwa yang sangat menyakitkan hati itulah kemudian aku memutuskan untuk segera meninggalkan tempat itu kembali ke Demak. Melaporkan apa yang sudah terjadi. Aku mengharap agar Sultan dapat menjernihkan suasana. Menjernihkan hubungan yang gelap antara aku dengan Baginda Brawijaya beserta orang-orang di sekitarnya.

Tetapi apa yang terjadi kali ini tak dapat aku pikul lebih jauh lagi. Ketika aku menghadap Baginda Sultan Demak, beliau berkata, juga dengan sabar dan perlahan-lahan. ”Paman, aku sudah mendapat laporan lengkap tentang Paman. Ayahanda Prabu telah mengirim utusan kemari sebelum paman datang. Beliau merasa menyesal bahwa segala sesuatu yang kurang pada tempatnya telah terjadi. Apalagi persoalan itu bersumber pada persoalan seorang istri, yang karena keadaan menjadi sedemikian buruknya. Paman tidak saja membunuh suaminya, tetapi karena Paman, maka terjadilah bentrokan antara sahabat-sahabat laki-laki itu dengan beberapa orang prajurit yang memihak kepada Paman. Karena itu Paman bukanlah seorang utusan seperti yang aku harapkan. Bahkan sebaliknya, Paman telah menjadikan Ayahanda Prabu semakin jauh daripadaku.”

Dadaku hampir pecah mendengar tuduhan itu. Tetapi aku tidak dapat menyangkalnya. Satu-satunya orang yang mengetahui keadaan yang sebenarnya telah meninggal. Yaitu jajar tua yang bermuka jelek, namun berhati bersih sebersih air yang baru memancar dari sumbernya. Adapun nama dari jajar tua itu adalah Pasingsingan.”

Yang mendengarkan ceritera Panembahan Ismaya itu tersentak dalam duduknya. Mereka hampir bersamaan mengulangi nama itu. ”Pasingsingan.”

”Ya,” sahut Panembahan Ismaya. ”Jajar tua itulah yang sebenarnya bernama Pasingsingan. Aku pahatkan nama itu pada dinding-dinding hatiku.”

Mahesa Jenar, Kanigara dan kedua murid orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

412
MAHESA JENAR, Kanigara dan kedua murid orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara itu Panembahan Ismaya meneruskan, ”Ketika aku sudah tidak mendapat kesempatan lagi untuk membersihkan namaku, maka aku menjadi sangat malu. Aku merasa bahwa wajahku tak patut lagi berada ditengah-tengah para satria Demak. Karena itulah maka akhirnya aku memutuskan untuk mengundurkan diri dari padanya. Mengasingkan diri di tempat yang jauh.”

Akhirnya aku menemukan suatu lembah yang pantas bagi tempat pengasinganku. Di lembah itulah akhirnya aku bertapa. Mencoba untuk mendapat imbangan dari segala perasaan yang menekan dadaku. Kalau kadang-kadang aku ingin melihat kesibukan manusia, aku datang ke desa-desa di sekitar lembah itu. Namun rasa-rasanya setiap orang muak memandang wajahku, sehingga akhirnya aku terpaksa mengenakan sebuah kedok. Demikianlah aku dengan prihatin hidup tidak sebagai manusia yang sewajarnya. Aku hidup benar-benar seperti seekor kelelawar. Yang muncul dalam saat-saat menusia tenggelam dalam mimpi. Bahkan akhirnya ada orang yang menyangka aku hantu. Hantu bertopeng dan berjubah abu-abu.

Namun demikian aku tetap percaya pada keadilan. Keadilan yang maha tinggi, yang terletak di tangan Tuhan Yang Maha Kuasa. Aku yakin, bahwa meskipun pada saat-saat itu aku seolah-olah hilang dari percaturan manusia, namun aku yakin, bahwa pada suatu saat aku akan kembali. Kembali ditengah-tengah pergaulan hidup. Meskipun bukan Buntara, tetapi setidak-tidaknya cita-citaku, berlanjut dari hidupku akan berada di tengah-tengah manusia dalam keadaan yang baik.

Akhirnya saat itu tiba. Ketika aku melihat seorang pemuda dalam perjalananku yang memang sering aku lakukan, beserta seorang anak laki-laki yang memiliki wajah yang cerah, tiba-tiba aku merasa bahwa padanya aku dapat menumpangkan harapan. Padanya aku ingin ikut serta dengan menyerahkan tekad untuk kembali berada di tengah manusia. Karena itulah aku selalu membayanginya. Kalau bukan aku sendiri, aku menyuruh Kanigara untuk mengikutinya. Apalagi ketika aku melihat, bahwa orang muda itu memiliki keturunan ilmu yang sama dengan Kanigara.

Demikianlah akhirnya aku berhasil membawa Mahesa Jenar ke bukit kecil yang aku namakan Karang Tumaritis beserta muridnya Arya Salaka. Aku ingin memberinya bekal-bekal dalam usahanya menjelang hari-harinya yang akan datang. Tidak saja Nagasasra dan Sabuk Inten, tetapi juga berbagai macam ilmu sekadarnya.

Tetapi agaknya otaknya terlalu jernih. Sehingga bersama-sama dengan Kanigara ia justru memaksa aku untuk mempercepat membuka diri. Untunglah bahwa segala sesuatunya bagiku sudah terasa matang. Sehingga meskipun aku dipaksa untuk membuka diri, tidak banyaklah pengaruhnya bagi semua rencana-rencana yang sudah aku siapkan.

Yang mendengar ceritera itu seolah-olah terpaksa menahan napasnya. Ternyata bahwa Panembahan Ismaya telah lama membayangi Mahesa Jenar. Teringatlah Mahesa Jenar, pada saat ia hampir kehilangan akal, ia telah dicegat oleh laki-laki berjubah abu-abu itu untuk meluruskan kembali jalannya.

Juga di pantai Tegal Arang, seseorang telah mengingatkan tekadnya untuk menemukan Kiai Nagasasra dan Kiai Sabuk Inten. Dan orang itu agaknya bukan Panembahan Ismaya, tetapi Kebo Kanigara, dimana ia sempat menuntun Arya Salaka dalam beberapa hari untuk menjadikan anak itu bertambah masak. Tetapi ternyata Kebo Kanigara sendiri tidak mengerti keseluruhan dari tugasnya.

Sementara itu Panembahan Ismaya meneruskan, ”Dalam jarak yang cukup panjang, diantara masa-masa aku melenyapkan diri dari istana, sampai saat terakhir ini, banyaklah pengalaman yang aku jumpai. Bahkan terlalu banyak. Di dalam hidupku muncullah orang-orang seperti Umbaran, yang mula-mula aku sangka orang yang berhati baik, namun akhirnya, ternyata bahwa ia telah menambah hidupku menjadi semakin buruk.

Kemudian datanglah Radite dan Anggara. Kepadanya aku mula-mula menaruh harapan. Tetapi kembali Umbaran merusak jalan hidup mereka. Sehingga Radite akhirnya tergelincir dan mengalami masa-masa seperti yang pernah aku alami. Mengasingkan diri di Pudak Pungkuran ini. Untunglah bahwa ia menemukan ruang gerak yang dapat menolong kepahitan masa lampaunya. Juga kemudian aku jumpai Kanigara dengan gadis kecilnya. Aku bawa ia ke Karang Tumaritis. Tetapi agaknya ia lebih cinta pada anak gadisnya daripada masa depannya sendiri. Sehingga seolah-olah, seluruh hidupnya telah diserahkan buat hari kemudian anaknya.

Dan karena sifat kebapaan yang sedemikian dalamnya itulah, aku tidak sampai hati untuk memisahkannya dari anaknya, meskipun aku dapat menjamin masa depan anak itu. Karena itu, tugas yang aku bebankan padanyapun bukanlah tugas yang panjang-panjang. Sehingga ia akan selalu berada disamping gadis kecil yang sudah tak beribu lagi itu. Sehingga akhirnya aku dijumpai Mahesa Jenar beserta Arya Salaka. Meskipun dalam garis hubungan keluarga, ia tidak dekat Kanigara, namun karena ia berasal dari istana pula, maka aku mengharap agak banyak dari padanya. Mudah-mudahan Mahesa Jenar tidak akan menyia-nyiakan harapanku itu.”

Tiba-tiba Mahesa Jenar merasa, suatu beban yang sangat berat terpikul di atas pundaknya. Beban yang masih samar-samar. Apakah yang harus ia lakukan untuk memenuhi harapan Panembahan tua itu. Karena itu ia sambil membungkukkan kepalanya, bertanya kepadanya, ”Panembahan, apakah agaknya yang harus aku lakukan untuk memenuhi harapan Panembahan itu?”

Panembahan Ismaya mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya, ”Hampir setiap orang telah melupakan nama Buntara. Mereka yang sekali dua kali teringat nama itu, terutama bagi mereka yang telah lanjut usia, akan mencibirkan bibir mereka. Tetapi itu tidak penting. Sebagaimana tekadku sejak masa mudaku, bagiku yang penting adalah keselamatan negeri diatas segala-galanya. Demikianlah hendaknya kau Mahesa Jenar. Adalah suatu kebetulan bahwa aku dapat menyimpan pusaka-pusaka yang hilang itu, yang justru akan dapat membantu membina kesejahteraan negara, dengan menyerahkannya kepada orang yang tepat. Nah, Mahesa Jenar, pekerjaan yang aku harap dapat kau lakukan, adalah mengadakan penilaian atas kedua keturunan yang sudah aku katakan kepadamu, kelak. Tetapi itu tidak berarti bahwa kau hanya menjadi penonton saja, namun dalam saat-saat yang perlu, kau harus ikut pula.”

Dengan demikian segala sesuatu kini menjadi jelas, kenapa Panembahan Ismaya bernama Pasingsingan dan kenapa ia sangat menaruh perhatian atas tata pemerintahan Demak.

413

SETELAH orang tua itu menarik nafas panjang, ia mulai lagi berkata, ”Mahesa Jenar, ternyata kau telah melakukan pekerjaan itu. Bahkan apabila kelak ada seorang pemimpin yang memiliki sifat-sifat kepemimpinan, disuyudi oleh para kawula serta berjiwa seperti jiwa lautan, karena memiliki Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, yang akibatnya akan membawa kesejahteraan bagi tanah tumpah darah ini, sebagian adalah karena perjuanganmu. Perjuangan yang telah kau lakukan sejak lama. Perjuangan yang tak dikenal oleh siapapun. Sebab perjuangan yang kau lakukan adalah perjuangan yang khusus. Tetapi aku percaya akan kebesaran jiwamu. Meskipun namamu kelak tidak akan dipahatkan di batu-batu ataupun tertulis di lontar-lontar kitab babad, namun kaulah hakekat dari kemenangan itu.”

Mendengar penjelasan itu, tiba-tiba bulu-bulu kuduk Mahesa Jenar meremang. Memang sejak semula ia sama sekali tidak bermimpi untuk mendapat tanda jasa di dadanya. Atau namanya digoreskan di pintu-pintu gerbang kota, serta di jalan-jalan raya. Yang diimpikan adalah kesejahteraan rakyat di bumi tercinta ini. Kesejahteraan lahir dan batin. Jasmaniah dan rohaniah.

Dalam pada itu, terdengar Panembahan Ismaya meneruskan, ”Karena itu Mahesa Jenar, sebagian besar dari pekerjaanmu itu sudah selesai. Kau tidak perlu lagi bersusah payah mencari Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, sebab kedua pusaka itu sudah di tanganku. Sementara itu, kau dapat menyelesaikan pekerjaanmu yang lain. Kau telah berjanji kepada sahabatmu Ki Ageng Gajah Sora untuk menuntun anaknya. Nah, lakukanlah itu baik-baik. Bawalah anak itu pada suatu tugas yang besar. Memperoleh kembali tanah pusaka baginya. Sementara itu biarlah aku berusaha mendapatkan kembali kebebasan Gajah Sora itu.”

Kemudian ruangan itu menjadi hening. Yang terdengar hanyalah tarikan nafas mereka yang duduk di dalamnya sambil mengurai gagasan masing-masing. Sehingga kemudian suasana itu dipecahkan oleh suara Panembahan Ismaya dalam nada yang jauh berbeda dari semula. Katanya, ”Nah, Paniling, Darba dan kedua kemanakannya. Aku sudah selesai berceritera. Sekarang berilah aku kesempatan untuk mengenal desamu yang sepi ini.”

Mendengar kata-kata itu Paniling seperti orang yang terbangun dari mimpi yang mengasyikkan. Dengan tergagap ia menjawab, ”Baik, baiklah Guru.”

”Jangan panggil aku Guru. Di sini aku adalah kakakmu,” potong Panembahan Ismaya. ”Namaku….” ia berhenti mengingat-ingat, lalu lanjutnya, ”Siapakah kau akan menyebut diriku kalau tetangga-tetanggamu bertanya namaku?”

Paniling tidak segera menjawab. Ia tidak tahu, nama apakah yang baik diterapkan pada orang yang menyebut dirinya kakaknya itu.

Tiba-tiba Kebo Kanigara menyela, ”Among Raga.”

Panembahan Ismaya tertawa, jawabnya, ”Ah, seolah-olah aku hanya mementingkan masalah-mnasalah jasmaniah belaka. Tetapi nama itu baik. Memang kau pandai mencari nama. Baiklah aku pakai nama itu di sini, meskipun isi kata itu sendiri tidak begitu mapan bagiku.”

Kanigara sadar, bahwa memang nama itu tidak begitu menyenangkan, namun ia masih juga membela diri. ”Tetapi Panembahan, bukankah nama itu akan menjadi aling-aling dari keadaan Paman yang sesungguhnya. Bukankah di sini Panembahan ingin menampakkan diri dalam ujud jasmaniahnya saja, tetapi bukan dalam ujud keseluruhan.”

Panembahan Ismaya mengangguk-anggukkan kepalanya, jawabnya, ”Baiklah, aku tidak keberatan.”

Demikianlah, untuk sehari-dua Panembahan Ismaya tinggal di rumah muridnya. Ia mencoba memenuhi harapan tetangga-tetangga Paniling, untuk sekali dua kali berkunjung ke rumah mereka berganti-ganti. Dengan penuh kesederhanaan Panembahan Ismaya, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara bergaul dengan mereka.

Meskipun demikian, apabila malam datang, serta pondok di ujung padukuhan itu telah menutup pintunya, selalu terjadilah pembicaraan-pembicaraan yang jauh berbeda dengan setiap pembicaraan yang sederhana dengan para tetangga mereka. Tetapi di belakang pintu tertutup itu, Panembahan Ismaya selalu memberi kepada keempat orang yang terdekat dari padanya itu berbagai ilmu dan pengetahuan. Lahir dan batin. Bahkan diceriterakan pula bagaimana ia memiliki segala macam kesaktian. Memang sejak masa mudanya, ia selalu berusaha untuk mendapatkan berbagai macam ilmu.
Sebab dalam kekisruhan yang terjadi, pada akhir kejayaan Majapahit, ia selalu mengira bahwa dengan kekuatan jasmaniah kejayaan itu dapat dibina kembali.

Karena itulah ia mencoba untuk mendapatkan kekuatan-kekuatan itu. Setelah ia terpaksa meninggalkan lingkungan kesatriaan, usaha itu semakin diperdalam. Namun jiwanya telah berbeda. Ia ingin menemukan segala bentuk kekuatan untuk mencapai tujuan. Panembahan tua itu mengakui, bahwa mula-mula memang dikandung maksud untuk menunjukkan kebersihan dirinya dengan kekuatan. Ia ingin membuat hal yang aneh-aneh dengan memaksa orang untuk berlutut di hadapannya. Dan kepada orang-orang itu ia akan memaksakan kehendaknya.

Meskipun dasar kehendak itu selalu baik dan bermanfaat bagi beberapa orang, namun cara-cara dan sifat kepahlawanan cengeng itu akhirnya tidak memberinya kepuasan. Dan akhirnya maksud-maksud itu sama sekali diurungkan. Bahkan semakin banyak ilmu yang dihirupnya, semakin jauhlah ia dari sifat-sifat itu.

Dan akhirnya malahan ia membawa dirinya dengan luka-luka di hati untuk mengasingkan diri di lembah yang jauh dari lingkungan manusia. Di situlah ia menerima Umbaran sebagai muridnya, tetapi orang itu kemudian dimintanya meninggalkan tempat itu.

414

BEBERAPA tahun kemudian datanglah Radite dan Anggara. Sehingga suatu saat, ia merasa bahwa ilmu-ilmu yang pernah dicapainya itu tak akan berarti apa-apa bagi manusia apabila tidak diamalkan. Dengan demikian ia mengharap Radite untuk mewakilinya dengan topeng dan jubah abu-abu. Dengan mempergunakan nama Pasingsingan, mulailah Radite mengamalkan ilmunya. Sedang Anggara untuk sementara dimintainya memelihara pertapaannya selama ia melenyapkan diri dari kedua muridnya untuk menyaksikan hasil pengamalannya dari jarak yang cukup jauh. Tetapi ia menjadi kecewa ketika Radite kemudian tergelincir.

”Bagimu Mahesa Jenar…” akhirnya Panembahan Ismaya minta, ”Jadikanlah semua itu bekal bagimu.”

Demikianlah yang mereka lakukan dari hari ke hari. Bergaul dengan para petani disiang hari, dan menambah bekal hidup mereka di malam hari. Sehingga akhirnya, ketika Panembahan Ismaya memandang segala sesuatunya telah cukup, maka setelah ia bermohon diri kepada para tetangga, pergilah ia meninggalkan padukuhan Pudak Pungkuran mendahului Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, setelah ia berpesan kepada Radite. ”Radite, seseorang yang membiarkan kejahatan berlangsung tanpa berusaha untuk menghalang-halangi maka orang yang demikian itu dapat dianggap telah ikut membantu berlangsungnya kejahatan.”

Mula-mula Radite tidak mengerti maksud pesan itu. Tetapi beberapa waktu kemudian barulah ia sadar, bahwa ia sama sekali tidak berbuat sesuatu terhadap saudara seperguruannya yang terang-terangan telah melakukan berbagai kejahatan. Yaitu Umbaran. Karena itu, tiba-tiba ia merasa bahwa gurunya telah memaafkan segala kesalahannya, bahkan mempercayakan kepadanya, untuk menghentikan segala kejahatan yang selalu dilakukan oleh Umbaran dengan nama Pasingsingan. Hidup atau mati. Dengan demikian tiba-tiba beban yang selama ini menghimpit hatinya, seolah-olah berguguran, rontok tanpa bekas. Terasalah kemudian betapa ringan perasaannya kini. Dan dengan penuh tekad ia berjanji, bahwa ia akan melakukan pesan itu sebaik-baiknya.

Beberapa hari kemudian Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun segera mohon diri pula, kembali ke Karang Tumaritis. Kebo Kanigara telah merasa sedemikian rindunya kepada putrinya yang ditinggalkannya beberapa hari, sedang Mahesa Jenar pun ingin segera menemui muridnya untuk mengajaknya memulai dengan suatu tugas yang berat, kembali ke Banyubiru.

Dalam perjalanan pulang, Mahesa Jenar dan kebo Kanigara memerlukan singgah sebentar di kota Banyubiru. Ketika malam turun perlahan-lahan di lereng-lereng bukit Telamaya, mereka berdua menambatkan kuda mereka agak jauh di luar kota. Dengan berjalan kaki mereka menyusuri jalan-jalan kota. Satu-dua masih tampak pintu rumah yang terbuka. Lampu minyak yang suram melemparkan cahanyanya berpencaran menusuk gelap malam. Bahkan di belakang regol halaman yang masih ternganga, masih tampak beberapa orang laki-laki duduk-duduk sambil bercakap-cakap.

Banyubiru dalam penglihatan Mahesa Jenar tidak banyak mengalami perubahan. Jalan-jalan yang itu-itu juga menjalar dari satu ujung ke ujung yang lain. Bangunan-bangunan tidak banyak bertambah, bahkan beberapa banjar tampak tak terpelihara. Tempat-tempat ibadah pun agaknya menjadi bertambah suram. Tetapi ketika Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara sampai di ujung jalan kota, mereka terkejut ketika mereka melihat obor terpancang di tengah-tengah lapangan. seperangkat gamelan telah siap pula di tempat itu. Beberapa orang telah mulai ramai mengerumuninya.

Dengan penuh keinginan untuk mengetahui, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara mendekati lapangan itu. Kepada seorang anak yang lewat di sampingnya, Mahesa Jenar bertanya, ”Apakah Banyubiru sedang ada perayaan?”

Anak itu memandang Mahesa Jenar dengan heran. Kemudian anak itu malah ganti bertanya, ”Apakah Bapak bukan penduduk Banyubiru…?”

Mahesa Jenar ragu sebentar. Tetapi ia harus menjawab agar tidak menimbulkan kecurigaan. Karena itu katanya, Bukan, Nak. Aku bukan penduduk Banyubiru. Aku datang dari Pangrantunan.”

”Pangrantunan…?” Anak itu tiba-tiba terkejut.

Kembali Mahesa Jenar ragu. Namun ia mengangguk. ”Ya, kenapa…?”

”Tidak apa-apa,” jawab anak itu. ”Beberapa hari yang lalu beberapa orang Pangrantunan juga datang kemari. Mereka adalah saudara-saudara ibuku. Menurut paman-paman itu, Pangrantunan sekarang kembali kacau. Mereka ketakutan karena Simarodra tua sering mengunjungi pedukuhan itu. Apakah betul demikian…? Dan apakah betul Simarodra tua itu menuntut lebih banyak dari Simarodra dahulu?”

”Betul, Nak…” jawab Mahesa Jenar sekenanya, namun karena itu ia ingin lebih banyak tahu. Karena itu ia bertanya, ”Siapakah pamanmu itu? Dan apakah yang dilakukan di sini…?”

”Pamanku bernama Reksadipa. Ia datang untuk melaporkannya kepada Ki Ageng Lembu Sora,” jawab anak itu.

Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu sahutnya, ”Hem… jadi kau kemenakan Kakang Reksadipa.” Kemudian Mahesa Jenar berhenti sebentar. ”Lalu apa katanya ketika ia kembali ke Pangrantunan?”

415
ANAK itu menjawab, ”Tidak apa-apa. Tetapi Paman mengeluh. Katanya Ki Ageng Lembu Sora sedang akan mempertimbangkan. Tetapi itu tidak bijaksana. Sebab menurut Paman, keadaan sudah sangat gawat. Dan rakyat pangrantunan sendiri tidak mampu untuk melawan mereka, meskipun rakyat Pangrantunan tidak takut.”

Mahesa Jenar menarik nafas panjang. Memang letak Pangrantunan yang seolah-olah berhadapan dengan Gunung Tidar itu sangat tidak menguntungkan. Tetapi menghadapi hal sedemikian tidakkah Ki Ageng Lembu Sora Dipayana dapat berbuat sesuatu…? Namun kepada anak itu sudah pasti Mahesa Jenar tidak bertanya demikian. Karena itu ia bertanya tentang obor dan gamelan yang sudah siap di lapangan itu. Katanya, ”Nak, ada apakah dengan keramaian itu?”

”Itu bukan keramaian,” jawabnya. ”Dahulu Paman Reksadipa juga bertanya demikian. Gamelan itu memang setiap hari berada di sana. Orang-orang sekarang sedang bersenang senang karena panenan kemarin meskipun tidak memuaskan. Mereka setiap malam mengadakan tayub di lapangan itu.”

”Di lapangan terbuka…? Tiba-tiba Mahesa Jenar menyela.

”Ya,” jawab anak itu. ”Setiap orang boleh ikut. Kalau siang mereka mengadu ayam. Juga di tempat itu.”

”O….” Tiba-tiba Mahesa Jenar mengeluh. Alangkah jauh kemunduran yang dialami oleh tanah perdikan ini.

Meskipun Kanigara tidak mengerti seluruh persoalan yang berputar di dalam kepala Mahesa Jenar, namun sedikit banyak ia pun mengerti. Tayub setiap malam dan mengadu ayam setiap hari adalah gejala-gejala kehancuran suatu daerah.

Ketika beberapa lama Mahesa Jenar berdiam diri, berkatalah anak itu, ”Sudahlah Paman, aku akan pulang. Hari telah malam.”

Anak itu tidak menunggu jawaban Mahesa Jenar. Demikian ia selesai berbicara segera ia menghambur ke dalam gelap. Di kelokan jalan, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara masih melihat anak itu singgah di sebuah warung untuk membeli sesuatu.

”Itulah Kakang… gambaran Banyubiru saat ini. Suram dan mengerikan. Menyabung ayam di siang hari dan tuak di malam hari,” kata Mahesa Jenar kepada Kebo Kanigara.

”Kesalahan yang tak boleh dibiarkan lebih lama lagi,” jawab Kebo Kanigara.

Kemudian kedua orang itu bersepakat untuk menyaksikan tari tayub yang sebentar lagi akan diselenggarakan di lapangan itu.

Demikianlah, ketika hari menjadi semakin gelap, di tanah lapang itu menjadi semakin banyak orang. Beberapa orang niyaga pun telah bersiap di belakang seperangkat gamelan. Sehingga sesaat kemudian suara gamelan telah mulai mengalun, menggoncang kesepian malam, yang kemudian disusul dengan suara waranggana memanjat tinggi. Namun terasalah bahwa suasananya bukanlah suasana yang sopan.

Sebentar kemudian ternyata bahwa memang demikianlah yang terjadi. Beberapa orang lelaki segera muncul di gelanggang. Menari dan berdendang. Sedang dari mulut mereka menyebar bau tuak. Disusul dengan munculnya beberapa orang ledek di tengah-tengah arena itu.

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara duduk tidak seberapa jauh dari tempat itu. Namun mereka mencari tempat yang gelap, dimana cahaya obor tidak menyentuhnya, karena bayang-bayang beberapa orang yang berdiri menonton.

Ketika malam menjadi semakin dalam, suasana di tengah tanah lapang itu pun menjadi semakin riuh. Beberapa orang telah menjadi pening karena mabok. Bahkan beberapa orang telah kehilangan kesadaran dan berbuat hal-hal yang aneh-aneh di arena itu. Beberapa penari wanita yang telah terlatih melayani mereka dengan baiknya, sehingga suasana di arena itu betul-betul menjadi suasana gila-gilaan.

Dalam keadaan yang demikian tidak mustahil kalau sampai terjadi bentrokan-bentrokan dan perkelahian-perkelahian diantara mereka, karena mereka telah kehilangan pengamatan diri.

Di tepi arena, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara melihat beberapa orang yang sibuk berjualan. Apa saja yang dapat mereka jual. Makanan, minuman dan tembakau. Mereka sama sekali tidak menaruh perhatian pada suasana yang berlangsung di sekitarnya. Yang penting bagi mereka adalah bahwa dagangan mereka laku, dan mereka mendapat uang sebanyak-banyaknya. Para penjual yang terdiri laki-laki dan perempuan, menghanyutkan diri saja dengan keadaan. Bersenda-gurau, berteriak-teriak melayani orang-orang mabok atau kelelahan. Namun orang itu tak sempat menghitung lagi berapa uang yang harus mereka bayarkan. Asal mereka menggenggam uang logam, mereka lemparkan begitu saja kepada penjualnya, perempuan-perempuan muda yang merajuk dengan manjanya.

Tetapi tiba-tiba mata Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara sempat melihat seorang perempuan yang berdiri tegak agak di kejauhan. Nampaknya ia ragu-ragu untuk mendekati tempat itu. Tetapi kemudian perlahan-lahan ia melangkah maju. Ketika ia menjadi semakin dekat, dan seleret sinar lampu para penjual menyambar wajahnya, tampaklah bahwa perempuan itu memiliki ciri-ciri yang lain dari setiap perempuan yang berada di tanah lapang itu. Wajahnya yang sayu pucat dan tubuhnya yang kekurus-kurusan, seolah-olah mencerminkan perasaannya yang sedih.

Ketika beberapa orang melihatnya, segera mereka melemparkan pandangan mata mereka. Tetapi ada juga orang yang dengan nada mengejek berteriak, ”Marilah Nyai. Apakah yang kau cari…?”

Perempuan itu tidak menjawab. Tetapi segera matanya memandang berkeliling, kepada hampir semua orang yang berdiri di sekitar arena itu. Seakan-akan ia sedang mencari seseorang diantara wajah-wajah itu.

”Anakmu tidak berada di sini, Nyai,” teriak salah seorang, yang kemudian disusul dengan gelak tawa.
”Carilah anak itu di tengah rimba,” sambung suara yang lain. ”Mungkin ia berada bersama bapaknya.” Kembali terdengar suara bergelak-gelak.79
PEREMPUAN itu masih berdiam diri, berdiri seperti patung. Namun dengan demikian Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara dapat memandangnya lebih jelas. Dari sinar matanya, mereka dapat menduga bahwa karena sesuatu penderitaan, orang itu agaknya menjadi agak terganggu kesadarannya. Meskipun tidak begitu berat.

Ketika kemudian dilihatnya dari mata perempuan itu menitik butiran-butiran air. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menjadi yakin bahwa sesuatu benar-benar telah menghimpit perasaannya. Ternyata mereka tidak perlu terlalu lama berteka-teki ketika terdengar seorang laki-laki berkata dengan kasarnya, ”Suamimu tak berani pulang, Nyai. Demikianlah hukuman bagi pemberontak. Dan bayimu yang mati itu tidak akan bisa hidup lagi. Apalagi ikut bersenang-senang bersama kami sekarang, tak ada tempat bagi laki-laki semacam suamimu itu.”

Air mata di wajah perempuan itu menjadi semakin deras. Agaknya ia dapat mengerti, bahwa suaminya tidak berada di tempat itu.

Kemudian terdengarlah suara lain yang bertanya, ”Siapakah dia?”

”Istri Penjawi,” jawab suara yang lain lagi.

”O, karena itulah ia masih muda dan cantik,” sahut suara yang pertama. ”Kalau begitu kenapa tidak saja ia kau ajak menari…?”

”Tidak mau. Ia baru saja kematian bayinya. Mungkin dua tiga hari lagi,” sahut suara lain yang disusul dengan gelak tertawa orang banyak.

Diantara suara yang riuh, di sela-sela suara gamelan yang semakin menggila itu tiba-tiba terdengarlah suara yang berat mengatasi yang lain. Katanya, ”Aku tidak percaya kalau ia tidak mau. Ataupun kalau ia tidak mau, seret saja ia ke arena.”

Oleh suara yang berat itu, tiba-tiba semua terdiam. Dan semua mata memandang ke arah suara itu. Seorang yang tinggi besar dan berwajah kasar berdiri bertolak pinggang di pinggir arena. Sedang bola matanya dengan tajam memandang istri Penjawi itu seperti hendak meloncat dari kepalanya. Sambungnya, ”Ternyata ledek Banyubiru tak ada yang secantik ledek-ledek dari Pamingit. Dan perempuan itu agaknya akan bisa setidak-tidaknya menyamainya.”

Orang yang berwajah kasar itu maju beberapa langkah ke arah perempuan muda yang disebut istri Penjawi, yang kemudian menjadi ketakutan. Apalagi ketika orang itu meneruskan kata-katanya. ”Sayang bahwa wajah yang cantik itu tidak mendapat pemeliharaan.”

Ketika orang yang tinggi besar dan berwajah kasar itu melangkah terus, keadaan segera menjadi tegang. Tetapi beberapa orang yang mabok mulai tertawa-tawa kembali dan menganggp bahwa apa yang akan terjadi merupakan suatu tontonan yang menyenangkan. Namun beberapa orang lain, yang kepalanya juga sudah mulai pening-pening, segera merasa tersinggung. Bahkan seorang yang sudah setengah mabuk berteriak, ”Hei, monyet dari Pamingit. Jangan ganggu orang Banyubiru. Aku sendiri sudah lama jatuh cinta kepadanya. Tetapi aku tidak mendapat kesempatan. Nah, sekarang suaminya mungkin sudah mampus ditelan macan. Karena itu, perempuan itu akan aku ambil sebagai istriku yang muda.”

Orang yang bertubuh tinggi besar itu menoleh. Dilihatnya seseorang yang bertubuh sedang, namun kokoh kuat seperti orang hutan berjalan mendekatinya. Tampak bibir orang Pamingit itu bergerak-gerak mengejek. Kemudian terdengar ia menjawab, ”Jangan terlalu kasar berkelakar sahabat. Orang Banyubiru harus menghormati orang-orang Pamingit. Sebab Banyubiru sekarang berada di bawah pemerintahan Pamingit. Kalau kau tidak mau mati, jangan ganggu aku. Biarkan orang Pamingit berbuat sesuka hatinya. Bahkan istrimu pun kalau aku kehendaki harus kau serahkan.”

Mata orang Banyubiru yang kokoh kuat itu segera menyala marah. Dengan membentak-bentak ia menjawab, ”Jangan banyak mulut. Pergi atau kau akan segera jadi bangkai.”

Pertunjukan itu segera terhenti karena ribut-ribut yang terjadi. Beberapa ledek yang sedang menari-nari dengan tenangnya berjalan ke tengah-tengah jajaran gamelan dan duduk diantara para niyaga. Mereka sama sekali tidak menunjukkan perasaan cemas atau takut.

Hal yang demikian sudah sering terjadi. Tetapi ketika mereka mendengar bahwa pertengkaran itu terjadi antara orang Pamingit dan Banyubiru, perhatian mereka agaknya tertarik juga.

Salah seorang ledek dengan memanjangkan lehernya, berusaha melihat mereka yang bertengkar, lalu bertanya, ”Siapakah yang bertengkar?”

Terdengarlah seorang niyaga menjawab, ”Jiwala dengan orang Pamingit.”

Ketika ledek itu berhasil melihat orang Pamingit yang tinggi besar berwajah kasar itu, ia tertawa sambil menyubit kawannya. ”Hei, agaknya Si Saraban yang bertengkar dengan Jiwala. Apakah kau tidak membantunya…?”

”Peduli apa?” jawab kawannya, seorang ledek yang berhidung pesek. ”Kemarin ia sanggup memberi aku uang, tetapi sampai sekarang ia tidak menepati janjinya.”

Sekali lagi mereka menjengukkan kepalanya. Lalu dengan mengerutkan keningnya, ledek yang berhidung pesek itu berkata, ”Gila. Bukankah mereka mempertengkarkan istri Penjawi itu?”
Sekali lagi kawannya mencubitnya sambil tertawa. ”He, kau agaknya mendapat saingan. Kalau Saraban menang, kaulah yang harus berkelahi melawan istri Penjawi itu.”

Kawannya tidak menjawab, tetapi ia semakin merengut.

Mendengar percakapan itu Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara terpaksa menahan nafas. Tetapi hatinya mengeluh. Sampai sedemkian jauh orang-orang Banyubiru terperosok ke dalam jurang yang mengerikan.
Dalam pada itu, orang Banyubiru yang bernama Jiwala itupun sudah berdiri di hadapan Saraban. Dengan bertolak pinggang ia memandang orang Pamingit itu dari ujung rambut sampai ke ujung kakinya. Sedang orang Pamingit itu mengawasinya dengan marah. Tetapi sebentar-sebentar mereka berdua terpaksa menengok ke arah perempuan yang kekurus-kurusan dan berdiri dengan gemetar di pinggir tanah lapang itu. Ternyata sedemikian ketakutan, sampai istri Penjawi itu tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Dalam pada itu sekali lagi Saraban membentak, ”Pergi. Jangan halang-halangi aku.”

No. 417

JIWALA tidak menjawab, tetapi dengan tangkasnya ia menyerang perut Saraban. Namun agaknya Sarabanpun bukan orang yang dapat diremehkan. Demikian tangan Jiwala terulur ke arah perutnya, dengan cepatnya ia memiringkan tubuhnya dan sekaligus kakinya menyambar dada lawannya. Jiwala yang sedang mabuk itu tidak sempat menghindarkan dirinya, sehingga terasa kaki orang yang bertubuh tinggi besar itu mendorong tubuhnya kuat-kuat.

Demikianlah ia terlempar beberapa langkah dan jatuh berguling. Agaknya tendangan orang Pamingit itu cukup keras, karena ternyata setelah bersusah payah berusaha barulah Jiwala dapat bangun.

Namun ia sudah tidak berani lagi mendekati orang Pamingit yang bernama Saraban itu.

Melihat geraknya, segera Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tahu, bahwa orang Pamingit itu bukan lawan Jiwala. Menurut dugaan mereka, Saraban pasti termasuk orang yang cukup baik kedudukannya, bahkan mungkin ia adalah salah seorang pimpinan laskar Pamingit.

Perkelahian itu hanya berlangsung beberapa saat saja. Sebab ketika Jiwala tidak berani lagi mendekati lawannya, tak seorangpun lagi yang mengganggu Saraban. Bahkan tiba-tiba terdengar seseorang berbisik. ”Salah Jiwala sendiri, kenapa ia melawan orang itu. Bukankah ia pengawal Ki Ageng Lembu Sora?”

Mendengar bisikan itu, dada Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara berdesir. Tentulah orang Banyubiru itu tidak akan dapat mengalahkannya. Kemudian terdengarlah orang lain berbisik pula, ”Kalau Jiwala tidak sedang mabok, tentu ia tidak berani berbuat demikian.”

Demikianlah ternyata Saraban kemudian akan dapat berbuat sekehendak hatinya. Kembali dengan wajah yang menakutkan, ia memandang istri Penjawi yang berdiri gemetar. Ternyata ia benar-benar menjadi ketakutan dan kehilangan akal, sehingga ia sama sekali tidak berpikir untuk melarikan diri. Mula-mula ia mengharap bahwa ada orang yang menolongnya, tetapi dengan jatuhnya Jiwala, harapannya menjadi lenyap.

Mula-mula Saraban itu masih memandang berkeliling. Agaknya ia masih mencari lawan untuk menunjukkan kekuatannya. Ketika tak seorangpun yang berani mengganggu lagi, barulah setapak demi setapak ia mendekat.

Nyi Penjawi menjadi semakin ketakutan. Setapak ia mundur, tetapi dua tapak Saraban melangkah maju, sehingga jarak mereka menjadi semakin dekat.

Dalam pada itu, beberapa orang yang semula tertawa-tawa kini menjadi terdiam. Bagaimanapun juga, di dalam sudut hati mereka yang paling dalam, tersirat juga rasa kasihan. Kasihan kepada istri Penjawi yang sedang ditinggal suaminya menyingkir, karena Lembu Sora akan membinasakannya. Ditambah lagi, baru beberapa minggu ia kehilangan bayinya.

Sekarang tiba-tiba seorang laki-laki berwajah kasar, dengan rakusnya ingin merampas kecantikannya. Apalagi orang itu adalah orang Pamingit.

Tetapi tak seorangpun yang berani berbuat sesuatu. Sebab tak seorangpun yang merasa mampu mengalahkan Saraban. Sedang untuk maju bersama-sama pun mereka tidak berani. Sebab dengan demikian, orang-orang Pamingit pasti akan beramai-ramai menyerang mereka. Meskipun sebenarnya mereka tidak bersalah, karena melindungi seseorang yang diperlakukan tidak adil, namun orang Pamingit dapat saja membuat alasan-alasan.

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menyaksikan semua peristiwa itu dengan wajah yang tegang. Ketika Saraban tinggal beberapa langkah saja jaraknya dari Nyi Penjawi, Mahesa Jenar tidak dapat membiarkan hal yang kotor itu berlangsung.

Tetapi ketika ia sudah bergerak, terasa Kebo Kanigara menggamitnya sambil berbisik, ”Duduklah Mahesa Jenar. Biarlah aku selesaikan masalah ini. Sebab belum ada di antara mereka yang mengenal aku. Sedang kau agaknya telah dikenal oleh beberapa orang di sini.”

Mendengar bisikan Kebo Kanigara, Mahesa Jenar mengurungkan niatnya. Ia membiarkan Kebo Kanigara perlahan-lahan berdiri. Tetapi ketika selangkah ia maju, mereka bersama dikejutkan oleh sebuah suara yang berat parau dari kegelapan di belakang perempuan yang kekurus-kurusan itu. Katanya, ”Saraban, jangan berlagak jantan sendiri. Orang Banyubiru tidak semuanya berjiwa betina. Cobalah kau maju selangkah lagi, namamu akan terhapus dari deretan nama-nama pengawal Lembu Sora. Dan bangkaimu akan dikubur dengan segala macam kutuk dan caci.”

Saraban ternyata terkejut juga mendengar suara itu. Dengan tidak disadarinya sendiri, ia menghentikan langkahnya. Matanya yang liar dibukanya lebar-lebar untuk mengetahui, siapakah yang dengan sombong mencoba menghalang-halangi niatnya. Dalam pada itu, dari dalam gelap, muncullah sebuah bayang-bayang, yang dengan tetap melangkah maju. Sesaat kemudian tampaklah di bawah cahaya lampu yang samar, seorang laki-laki dengan mata yang menyala-nyala karena marah, berdiri diantara laki-laki yang bernama Saraban dengan perempuan yang kekurus-kurusan, yang sedang meneteskan air mata putus asa. Orang itu tidak setinggi dan sebesar Saraban. Namun tubuhnya tampak kuat seperti baja.

Ketika Saraban mengenal wajah orang itu, ia menggeram. Dan bersamaan dengan itu terdengar Mahesa Jenar berdesis sambil berdiri karena terkejut, ”Bantaran….”

”Bantaran….” ulang Kebo Kanigara yang terpaksa menghentikan langkahnya. ”Siapakah dia?”

”Salah seorang kepercayaan Ki Ageng Gajah Sora yang bersama-sama dengan Penjawi terpaksa menyingkir dari Banyibiru.”

”Kalau begitu…” sahut Kanigara, ”Aku tak perlu mengganggunya.”
”Aku kira demikian,” jawab Mahesa Jenar.

Dengan demikian Kanigara mengurungkan langkahnya, tetapi mereka mencari tempat untuk menyaksikan peristiwa yang mendebarkan hati itu.

419

SEKALI lagi tangan Bantaran terayun deras sekali. Namun agaknya Saraban melihat arah sambaran tangan lawannya. Dengan sisa tenaganya ia menghindar ke samping. Dengan demikian serangan Bantaran tidak mengenai sasarannya. Bahkan tubuhnya terbawa beberapa langkah maju, terseret oleh ayunan tangannya. Saraban melihat kesempatan itu. Dengan sekuat tenaga yang masih ada ia memukul tengkuk Bantaran.

Namun Bantaran yang masih segar ternyata sudah dapat memperbaiki kedudukannya menghadapi serangan itu. Demikian tangan Saraban terjulur, dengan kecepatan kilat tangan itu ditangkapnya sambil memutar tubuhnya dan merendahkan diri. Bantaran menjangkau kepala Saraban dari atas pundaknya. Dengan menghentakkan kekuatan. Bantaran menarik orang Pamingit yang bertubuh besar itu, sehingga melontar dengan kerasnya, dengan kaki terputar ke atas. Kemudian dengan gemuruhnya tubuh Saraban terbanting di tanah.

Semua orang yang menyaksikan kesudahan dari perkelahian itu menahan nafasnya. Meskipun orang-orang Banyubiru menjadi cemas atas peristiwa itu, namun mereka di dalam hatinya bangga juga atas keunggulan orang Banyubiru atas orang Pamingit.

Bantaran yang telah berhasil menjatuhkan lawannya, berdiri dengan tegap di depan tubuh Saraban yang sudah tak berdaya lagi untuk bangkit. Sekali lagi ia memandang berkeliling, ke arah wajah-wajah orang Banyubiru yang berdiri di sekitar tempat perkelahian itu. Dan sekali lagi wajah-wajah orang Banyubiru itu terbanting di tanah yang ditumbuhi rumput dengan suburnya.

Dalam pada itu terdengarlah suara Bantaran parau, ”Saudara-saudaraku, rakyat Banyubiru. Aku menyesal atas semua yang telah terjadi di tanah perdikan ini. Kalian ternyata telah terbius oleh pemanjaan nafsu yang tak terkendali. Tetapi dengan peristiwa ini, kalian tidak akan dapat untuk seterusnya berpangku tangan. Sebab kawan-kawan orang Pamingit itu tidak akan tinggal diam. Dan akibatnya akan dapat kalian rasakan. Untuk seterusnya kalian hanya dapat memilih, menangkap aku, lalu menyerahkan kepada Lembu Sora, yang dengan demikian kalian akan bebas dari pembalasan dendam, atau bangkit melawan kekuasaan Pamingit atas tanah kita sambil menunggu kehadiran pemimpin kita Ki Ageng Gajah Sora atau putranya Arya Salaka.”

Tak seorangpun yang menyatakan pendapatnya. Dan memang demikianlah perasaan mereka yang mendengar kata-kata Bantaran. Sebagian diantara mereka menjadi malu atas kelakuan mereka, tetapi memang ada juga diantaranya yang di dalam hatinya mengumpati Bantaran. Sebab dengan perbuatannya itu, pastilah akan terjadi hal-hal yang sama sekali tak dikehendaki. Orang-orang Pamingit pasti akan datang ke tempat itu dan mengaduknya. Menangkapi orang-orang yang dicurigainya, memukuli mereka tanpa alasan untuk melampiaskan dendam mereka.

Belum lagi gema suara Bantaran itu lenyap, tiba-tiba terdengarlah derap beberapa ekor kuda dengan kencangnya menuju ke tanah lapang itu. Mendengar derap yang berdatangan Bantaran tampak terkejut. Segera ia tahu apakah yang sebentar lagi akan terjadi. Meskipun demikian ia tetap tenang. Dan dengan tenang pula ia berkata lantang, ”Rupa-rupanya ada juga pengkhianat-pengkhianat di Banyubiru ini. Dan agaknya mereka telah melaporkan kehadiranku.”

Orang-orang yang berdiri di tanah lapang itu segera menjadi gelisah. Beberapa orang telah bersiap untuk melarikan diri. Tetapi mereka sama sekali tidak mendapat kesempatan. Sebab dalam waktu yang sangat singkat, beberapa orang berkuda telah datang dan langsung mengepung tanah lapang itu di empat penjuru.

Bantaran masih dalam sikapnya yang tenang, memandang berkeliling. Kepada kira-kira sepuluh-duabelas orang yang masih berada di atas punggung kuda mereka. Wajah para penunggang kuda itu tampak garang-garang, sedang di tangan mereka masing-masing tergenggam senjata. Ada yang berupa tombak, pedang atau macam-macam senjata yang lain.

Dua orang diantara mereka, mendorong kuda mereka agak ke depan. Rupa-rupanya dua orang itu adalah pemimpin rombongan. Salah seorang daripadanya terdengar berteriak dengan suara yang nyaring, ”Hai orang-orang Banyubiru yang tak tahu diri. Katakanlah kepada kami, siapakah diantara kalian yang bernama Bantaran.”

Bantaran masih tegak di tempatnya. Tetapi karena kekacauan yang timbul, karena beberapa orang yang ingin melarikan diri, maka di sekitarnyapun telah berdiri beberapa orang dengan tubuh gemetar sehingga orang-orang berkuda itu tidak segera dapat melihat tubuh Saraban yang terkapar di tanah.
Suara pemimpin rombongan berkuda yang bergeletar memenuhi tanah lapang itu untuk beberapa lama tidak mendapat jawaban. Karena itu ia mengulangi, ”Ayo… katakanlah kepada kami, siapakah diantara kalian yang bernama Bantaran. Kalau tidak ada diantara kalian yang mau menunjuk batang hidungnya, maka semuanya yang berada di tanah lapang ini akan kami bawa. Sesudah itu janganlah kalian mengharap untuk bertemu kembali dengan anak istri kalian.” Bantaran menarik nafas dalam-dalam sambil menekan dadanya. Sudah tentu ia tidak menghendaki sekian banyak orang menjadi korban untuk dirinya. Meskipun demikian sekali dua kali tampaklah ia menoleh ke arah Nyi Penjawi yang berdiri tidak jauh di belakangnya.

420

AGAKNYA, Nyi Penjawi itulah yang memberati hati Bantaran. Sebagai seorang sahabat Penjawi, ia tidak akan tega melihat nama perempuan itu dinodai.

Sebelum Bantaran mengambil suatu sikap, tiba-tiba seorang diantara dua orang berkuda itu meloncat turun dan menyambar baju orang yang bertubuh sedang tetapi tampak otot-ototnya menonjol seperti orang hutan. Sambil membentak-bentak orang itu bertanya, ”Siapa namamu…?”

Dengan tergagap orang yang masih agak mabok itu menjawab, ”Gonjang, Tuan.”

”Kenalkah kau dengan orang yang bernama Bantaran?” tanya orang Pamingit seterusnya.

Untuk beberapa saat Gonjang berdiam diri. Namun tiba-tiba terdengarlah jawabannya di luar dugaan. Orang yang suka mabok dan berbuat tidak sepantasnya itu ternyata memiliki kesetiakawanan yang tinggi. Sebagai orang Banyubiru ia merasa berkewajiban melindungi Bantaran. Karena itu jawabnya, ”Kenal Tuan. Aku kenal betul dengan orang itu.”

”Nah kalau begitu tunjukkanlah orangnya kepada kami,” desak orang Pamingit itu.

Kemudian terdengarlah jawabnya yang mengejutkan hati orang-orang di tanah lapang itu. ”Sudah sejak berbulan-bulan ia tidak pernah menampakkan dirinya, Tuan. Karena itu aku tidak dapat menunjukkannya kepada Tuan.”

Tiba-tiba mata orang Pamingit itu seolah-olah akan meloncat dari batok kepalanya. Ternyata jawaban itu sama sekali tidak diduganya. Karena itu ia menjadi marah sekali. Ketika tangannya yang memegang baju Gonjang diguncang-guncangkan, Gonjang pun ikut terguncang seperti sebatang pohon yang diputar-putar badai. Sambil membentak-bentak lebih kasar orang Pamingit itu sekali lagi bertanya, ”Ayo katakanlah kepada kami, yang mana diantara kalian yang bernama Bantaran.”

”Betul Tuan… ia tidak berada di sini sekarang,” jawab Gonjang tergagap.

”Bohong!” bentak orang Pamingit itu. ”Aku mendapat laporan bahwa ia berada di tanah lapang ini sekarang.”

”Nah, kenapa Tuan tidak bertanya kepada orang yang melaporkan itu saja…?” sahut Gonjang.
Orang Pamingit itu tidak menjawab lagi. Tetapi sebuah pukulan yang keras melayang ke wajah Gonjang. Dengan kerasnya orang itu terdorong ke belakang, dan kemudian terjatuh dengan kerasnya. Terdengarlah ia mengerang kesakitan. Namun meskipun demikian ia tidak juga menunjukkan siapakah diantara mereka yang bernama Bantaran.

Tetapi dalam pada itu, ternyata Gonjang adalah orang yang cerdik. Ia telah mencoba memancing orang Pamingit itu untuk menunjukkan kepada orang-orang Banyubiru, siapakah yang sebenarnya tidak berkhianat. Namun agaknya orang Pamingit itu pun telah berjanji untuk melindungi pengkhianat itu, sehingga orang itu tidak dibawanya serta.

Bantaran yang menyaksikan peristiwa itu, hatinya menjadi berdebar-debar. Ia menjadi bimbang, justru karena ia sedang berusaha untuk melindungi istri Penjawi. Kalau saat itu ia dapat ditangkap, maka bila Saraban nanti sadar kembali, nasib istri Penjawi itupun sudah dapat dibayangkan. Sebab untuk melawan sepuluh orang berkuda itu agaknya di luar kemampuannya.

Bantaran hampir mengenal satu demi satu orang-orang Pamingit yang akan menangkapnya. Temu Ireng, Talang Semut, Dadahan, dan orang-orang setingkatnya. Seandainya tak seorang diantara orang Banyubiru yang mau menunjukkannya, namun kalau orang-orang Pamingit itu meneliti satu demi satu orang yang berada di tanah lapang itu, meskipun makan waktu lama, akhirnya dirinya akan diketemukan juga. Sebab orang-orang Pamingit itu pun telah mengenalnya seperti ia mengenal mereka.

Belum lagi Bantaran mendapat suatu cara yang sebaik-baiknya, orang Pamingit itu telah menangkap seorang lagi. Seorang muda yang berwajah tampan, berkumis sebesar lidi. Pakaiannya terbuat dari kain lurik yang mahal. Tetapi demikian ia diseret ke depan, tubuhnya tiba-tiba serasa lumpuh. Dan ketika orang Pamingit itu membentaknya, ia menjadi pingsan.

Akhirnya Bantaran mengambil suatu ketetapan untuk menyatakan dirinya di hadapan orang-orang Pamingit itu sebelum jatuh korban lebih banyak lagi. Ia akan mencoba melawan dan menimbulkan kekacauan, sementara itu ia berharap Nyi Penjawi sempat melarikan diri.

Tetapi ketika Bantaran bermaksud membisiki Nyi Penjawi tentang maksudnya itu, tiba-tiba diantara sekian banyak orang yang berdiri di tanah lapang itu muncullah seseorang yang bertubuh sedang, tegap dan berdada bidang. dengan suara yang berat namun penuh wibawa ia berkata nyaring, ”Hai, orang-orang Pamingit…. Inilah Bantaran.”

Semua yang berada di tanah lapang terkejut mendengar pengakuan itu. Untuk sesaat kembali tanah lapang itu menjadi hening sunyi. Sesunyi tanah pekuburan.

Tetapi dalam pada itu semua mata bergerak ke arah seorang yang berjalan perlahan-lahan namun pasti, menyibak orang-orang yang berada di depannya, menuju ke arah dua orang yang agaknya memimpin rombongan orang-orang Pamingit itu.

Ketika mereka melihat orang itu, sekali lagi mereka terkejut. Dan yang lebih terkejut adalah Bantaran sendiri. Orang-orang Banyubiru menjadi bertanya-tanya di dalam hati, siapakah orang yang telah dengan beraninya menamakan dirinya Bantaran di hadapan sepuluh orang Pamingit yang garang-garang itu…?

Sesaat kemudian Bantaran menjadi sadar, bahwa seseorang telah mencoba melindunginya. Namun orang itu belum pernah dilihatnya.

”Nyai…” bisik Bantaran kepada Nyi Penjawi, ”Adakah ia orang baru…?”

Nyai Penjawi menggelengkan kepalanya. ”Aku belum pernah melihatnya, Kakang.” 80
BANTARAN menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba menebak, siapakah orang yang telah mencoba menyelamatkan dirinya itu. Tetapi tiba-tiba ia menjadi cemas atas keselamatan orang itu. Dua orang pemimpin rombongan orang-orang Pamingit itu bukanlah orang yang dapat diajak berbicara. Mereka adalah Temu Ireng dan Talang Semut. Dua orang yang lebih suka mempergunakan tangannya daripada mulutnya. Apalagi pengakuan orang itu hanya akan mendatangkan bencana saja baginya. Sebab orang yang bernamaTemu Ireng dan Talang Semut itu telah mengenal siapakah orang yang bernama Bantaran, sehingga pengorbanannya akan menjadi sia-sia. Sebab akhirnya mereka masih akan mencari orang yang dikehendakinya. Karena itu Bantaran ingin meloncat maju untuk mencegah pengorbanan yang dianggapnya akan sia-sia saja.

Tetapi ketika ia sudah bersiap untuk meloncat dan berteriak, tiba-tiba seseorang menggamitnya. Ketika ia menoleh, ia terperanjat bukan kepalang, sampai ia tergeser dari tempatnya. Demikian terperanjatnya Bantaran, sampai beberapa saat ia tak dapat berkata-kata.

Baru setelah debar jantungnya berkurang, terdengarlah ia berdesis, ”Tuan… Bukankah Tuan….”

”Ssst… jangan kau sebut nama itu,” potong orang yang menggamitnya. Bantaran mengangguk angguk cepat. Namun ia masih agak bingung menanggapi kehadiran orang yang sama sekali tak disangka-sangka itu.

”Tuan…” sambungnya sambil tergagap, ”Kenapa Tuan tiba-tiba saja berada di tempat ini…?”
Orang itu, yang tak lain adalah Mahesa Jenar, tersenyum lebar. ”Bantaran… ketika sepuluh orang berkuda itu datang, kau agaknya tetap tenang. Tetapi ketika kau lihat aku, kau menjadi kebingungan.”

Bantaran mencoba memperbaiki jalan nafasnya sambil menjawab, ”Sebab bagiku kehadiran Tuan lebih berkesan di hati, daripada monyet-monyet dari Pamingit itu.”

Sekali lagi Mahesa Jenar tertawa kecil. Kemudian katanya memperingatkan Bantaran pada keadaannya kini, ”Apalagi orang-orang Pamingit itu akan menangkap kau.”

Bantaran tersadar akan bahaya yang mengancam. Tetapi bersamaan dengan itu kembali ia teringat kepada orang aneh yang mengaku dirinya Bantaran itu.

Karena di sampingnya sekarang ada Mahesa Jenar maka disampaikannya keheranannya itu kepadanya. ”Tuan, aku menjadi heran, ketika seseorang mengaku bernama Bantaran, dan dengan beraninya menghadapi Temu Ireng.”

Mahesa Jenar dan Bantaran bersama-sama mengangkat wajah, memandang ke arah orang yang menamakan dirinya Bantaran, yang sekarang telah dekat benar dengan Temu Ireng dan Talang Semut.
Dalam pada itu terdengar Bantaran meneruskan, ”Agaknya orang itu belum mengenal siapakah mereka berdua, ditambah dengan delapan orang lainnya.”

”Jangan risaukan orang itu,” sahut Mahesa Jenar.

Bantara menoleh sambil mengerutkan keningnya. ”Kenalkah Tuan dengan orang itu?”
Mahesa Jenar mengangguk, tetapi ia masih tetap memandang kepada orang yang menamakan diri Bantaran, yang sekarang sudah berdiri tepat di hadapan Temu Ireng.

”Siapakah dia…?” desak Bantaran.
”Paman guruku,” jawab Mahesa Jenar singkat.
”O….” Suara Bantaran seolah-olah terpotong di kerongkongan. Baru kemudian ia meneruskan, ”Alangkah bodohnya aku. Kalau demikian sepuluh orang itu sama sekali tidak akan berarti.”

Mahesa Jenar tidak sempat memperhatikan kata-kata Bantaran, sebab pada saat itu ia melihat Temu Ireng melangkah maju. Kemudian terdengarlah suaranya mengguntur, ”Kaukah yang bernama
Bantaran…?”

Orang yang bediri di hadapannya, yang sebenarnya adalah Kebo Kanigara, menjawab dengan tenangnya, ”Ya, akulah Bantaran.”

Sekali lagi temu Ireng memandang orang yang berdiri di hadapannya itu tanpa berkedip. Kemudian terdengarlah ia tertawa terbahak-bahak, tertawa untuk menegaskan kemarahannya yang hampir memecahkan dadanya. Dan ketika suara tertawa itu tiba-tiba terhenti, terdengarlah ia berkata dengan kerasnya kepada kawannya yang masih berada di atas kudanya. ”Hai… Adi Talang Semut, agaknya mataku telah rusak. Coba katakan kepadaku, adakah orang ini Bantaran…?”

Orang-orang yang berada di tanah lapang itu hatinya menjadi tegang.

Mereka sama sekali belum pernah mengenal orang aneh yang mengumpankan dirinya itu. Tetapi disamping itu, orang-orang yang mula-mula mengumpati Bantaran di dalam hati, menjadi malu. Kalau orang yang belum mereka kenal saja bersedia melindungi pemimpin Banyubiru itu, bukankah kewajiban orang Banyubiru sendiri untuk berbuat lebih banyak lagi?

Dalam pada itu Talang Semut tidak kalah marahnya. Ia mendorong kudanya maju mendekati Kebo Kanigara. Semakin dekat ia dengan Kanigara, semakin teganglah setiap wajah yang menyaksikan peristiwa itu. Tidak pula kalah tegangnya wajah Bantaran.

Bahkan sampai ia menggigit bibirnya sendiri. Talang Semut ternyata tidak menjawab pertanyaan Temu Ireng dengan kata-kata. Sedemikian marahnya ia, karena ia merasa dipermainkan oleh orang yang belum dikenalnya, yang disangkannya juga orang Banyubiru yang ingin melindungi pemimpinnya, sehingga Talang Semut merasa tidak perlu bertanya-tanya lagi. Maka ketika kudanya telah dekat benar dengan tubuh Kebo Kanigara, diangkatnya cambuknya tinggi-tinggi sambil menggeram keras.

Cambuk itu sekali menggeletar di udara, dan seterusnya dengan derasnya menyambar tengkuk Kebo Kanigara. Hampir semua orang yang menyaksikan peristiwa itu seakan-akan berhenti bernafas.

422

TALANG SEMUT bagi orang Banyubiru tak ubahnya seperti hantu peminum darah. Sekali ia turun tangan, maka hampir dapat dipastikan bahwa korbannya tak akan dapat lagi melihat matahari terbit. Demikianlah mereka menyangka bahwa orang yang mengaku bernama Bantaran itu akan menjadi korban kemarahan Talang Semut.

Tetapi sekejap kemudian, dada mereka terguncang menyaksikan akibat perbuatan Talang Semut. Bahkan beberapa orang menjadi tak begitu percaya kepada mata mereka. Sebab apa yang mereka saksikan sama sekali diluar dugaan mereka.

Ketika cambuk itu melayang ke arah tubuhnya, Kebo Kanigara meloncat dengan tangkasnya, menangkap tangkai cambuk itu. Dengan keras sekali ia menariknya. Tetapi agaknya Talang Semut memegang cambuk itu sedemikian eratnya, sehingga cambuk itu tak terlepas dari tangannya. Tetapi ternyata kekuatan Talang Semut bukanlah tandingan Kebo Kanigara, sehingga ketika Kanigara menariknya lebih keras lagi, tubuh Talang Semut-lah yang ikut terseret dari kudanya.

Karena Talang Semut tidak menduga, maka untuk sesaat ia kehilangan akal.

Ketika ia sadar, tangan Kebo Kanigara telah memegang bagian depan bajunya sedemikian erat, dan sebuah pukulan melayang tepat ke arah pelipisnya. Semuanya itu berlangsung sedemikian cepatnya sehingga Talang Semut tidak mempunyai kesempatan sama sekali untuk membela diri. Yang terjadi kemudian adalah pelipisnya seolah-olah membentur dinding baja. Begitu kerasnya sehingga tiba-tiba saja matanya menjadi berkunang-kunang. Sesaat kemudian ia sama sekali tidak sadarkan diri, dan tubuhnya yang sudah tak berdaya itu jatuh terkulai di tanah.

Pingsan.

Temu Ireng melihat peristiwa itu terjadi di depan hidungnya. tetapi ia seolah-olah terpukau oleh suatu kekuatan gaib. Bermimpi pun ia tidak. Bahwa ada orang yang dapat sedemikian mudahnya mengalahkan Talang Semut. Yang pernah didengar Temu Ireng adalah, orang yang paling sakti di Banyubiru adalah Ki Ageng Sora Dipayana. Dan orang yang telah melakukan suatu keajaiban itu adalah seorang yang masih terhitung muda.

Tiba-tiba Temu Ireng sampai pada suatu kesimpulan bahwa hal itu terjadi atas kesalahan Talang Semut sendiri. Sebab agaknya ia kurang berhati-hati. Dengan demikian ia kehilangan kesiagaan diri. Karena itulah kemudian dengan menggeram Temu Ireng mencabut goloknya, dan dengan berteriak keras ia langsung menyerang Kebo Kanigara.

Dalam pada itu Dadahan beserta kawan-kawannya telah menyaksikan bagaimana Talang Semut dijatuhkan oleh orang yang mengaku bernama Bantaran. Karena itu mereka tidak mau membiarkan Temu Ireng bertempur seorang diri. Dengan demikian mereka beramai-ramai menyerang Kebo Kanigara.

Namun Kebo Kanigara adalah seorang yang hampir sempurna dalam ilmunya. Ilmu tata berkelahi dari keturunan ilmu perguruan Pengging. Karena itu, meskipun kemudian empat orang menyerangnya bersama-sama dari atas punggung kuda, namun ia sama sekali tidak gugup. Bahkan kemudian dengan lincahnya ia menyambut setiap serangan yang datang.

Dengan demikian, terjadilah suatu pertempuran yang ribut. Empat orang berkuda bertempur melawan seorang yang meloncat-loncat dengan lincahnya diantara derap kaki kuda. Bahkan kemudian keempat penunggang kuda itu kadang-kadang menjadi bingung, karena kuda-kuda mereka saling melanggar.

Sesekali kalau Kebo Kanigara sempat, ditusukkanlah jari-jarinya yang kuat itu ke perut salah satu kuda yang bersimpang-siur di sekitarnya, sehingga dengan terkejut kuda itu meringkik dan melonjak-lonjak.

Beberapa penunggang kuda yang lain masih berusaha untuk dapat mengawasi seluruh tanah lapang, supaya orang yang sesungguhnya dicari tidak melepaskan diri. Namun dalam pertempuran itu, orang-orang yang berada di tanah lapang menjadi kacau balau. Mereka berlarian kesana kemari tak tentu tujuan, menghindarkan diri dari kemungkinan terinjak oleh kaki-kaki kuda yang seolah-olah menjadi liar.

Dalam keadaan yang demikian itulah Mahesa Jenar berbisik kepada Bantaran, ”Bantaran… masih adakah keluarga Penjawi yang lain yang perlu diselamatkan dari kemarahan orang Pamingit kelak, atau barangkali keluargamu sendiri…?”

”Keluargaku… tidak Tuan. Mereka semua telah mengungsikan diri. Sedang keluarga Penjawi pun sudah tidak ada, kecuali seorang kakek, ayah Nyi Penjawi itu,” sahut Bantaran.
”Nah, kalau demikian, pergilah kepada kakek itu,” sambung Mahesa Jenar, ”Supaya ia tidak memikul tanggungjawab atas peristiwa ini. Sebab mungkin besok atau lusa, Saraban benar-benar menjadi gila. Juga orang-orang yang menjadi malu atas kekalahannya dari Paman Guru itu.”

Bantaran mengangguk-angguk. Tetapi ia masih bertanya, ”Lalu bagaimanakah dengan Tuan dan Nyi Penjawi…?”

”Tinggalkan Nyi Penjawi ini padaku,” jawab Mahesa Jenar. ”Nanti kita dapat bertemu di tepi Sendang Putih. Kuda kami, kami tinggalkan di sana.”

Sekali lagi Bantaran mengangguk.

Disamping itu…” lanjut Mahesa Jenar, ”Aku ingin mendapat keterangan darimu tentang pasukan-pasukan yang telah kau persiapkan bersama-sama dengan Penjawi. Mungkin sebentar lagi kita memerlukannya.”
”Baiklah Tuan,” sahut Bantaran.
”Hati-hatilah,” bisik Mahesa Jenar kemudian. ”Aku harap kita dapat bertemu sebelum fajar.”

Setelah berpesan kepada Nyi Penjawi, untuk mengikuti segala petunjuk Mahesa Jenar, Bantaran kemudian ikut serta menghanyutkan diri dalam kekacauan yang terjadi. Demikian pula Mahesa Jenar, dengan menggandeng Nyi Penjawi, berusaha mencari kesempatan untuk melepaskan diri dari daerah tanah lapang yang terkutuk itu.

No. 423

USAHA Mahesa Jenar itu tidaklah terlalu sukar. Dalam puncak kekacauan, kelima orang berkuda yang berusaha mengawasi orang-orang di tanah lapang itu ternyata tidak dapat menguasai keadaan. Ditambah dengan usaha Kebo Kanigara menyeret titik pertempuran itu semakin ke tengah, sehingga keadaan menjadi semakin kacau. Akhirnya beberapa orang berbondong-bondong berlarian meninggalkan lapangan itu tanpa menghiraukan apapun juga.

Meskipun kelima orang Pamingit itu berusaha untuk tetap menahan orang-orang itu di lapangan, namun usaha mereka tidak berhasil. Bahkan akhirnya mereka terpaksa melepaskan orang-orang berlarian kesana kemari, karena kuda-kuda mereka seolah-olah menjadi gila di kejutkan oleh teriakan-teriakan orang-orang yang ketakutan.

Sesaat kemudian, lapangan itu telah menjadi kosong, kecuali Kebo Kanigara yang masih harus bertempur melawan orang-orang berkuda dari Pamingit itu. Apalagi kini kelima orang yang lain, yang tidak berhasil menahan orang-orang Banyubiru di lapangan, ingin menumpahkan kemarahan mereka kepada orang yang menamakan dirinya Bantaran. Sebab orang itulah sumber dari kekacauan dan kegagalan mereka menangkap Bantaran.

Dalam pada itu, Kebo Kanigara merasa bahwa tugasnya telah selesai. Ia yakin bahwa Bantaran dan Mahesa Jenar telah berhasil menyelamatkan Nyi Penjawi. Karena itu ia harus segera mengakhiri pertempuran. Demikianlah Kebo Kanigara mulai bertempur dengan sepenuh tenaga. Ia tidak saja menghindari serangan-serangan orang Pamingit itu, tetapi iapun telah mulai menyerang mereka. Ketika seekor kuda dengan penunggangnya yang garang bersenjata sebilah pedang yang gemerlapan menyerangnya, Kebo Kanigara tidak saja menghindari serangannya, tetapi tiba-tiba iapun meloncat keatas punggung kuda itu. Lawan-lawannya yang menyaksikan perbuatannya menjadi heran, bahkan menjadi kebingungan untuk beberapa saat, lebih-lebih penunggang itu sendiri. Ketika ia masih belum sadar, terasalah sebuah pukulan yang dahsat mengenai tengkuknya. Sesudah itu, tubuhnya dengan kerasnya terlempar dari punggung kudanya dan seterusnya tak sadarkan diri. Sedang pedangnya yang gemerlapan kini telah berada di tangan Kebo Kanigara.

Maka mulailah Kebo Kanigara bertempur melawan delapan orang, tetapi kini dengan pedang ditangan. Sebagai seorang yang memiliki ilmu yang tinggi, maka Kebo Kanigara selalu dapat menempatkan dirinya pada keadaan yang menguntungkan. Dengan tangan kiri memegang kendali kuda, sedang dengan tangan kanan ia mengayun-ayunkan pedangnya berputar-putar dahsyat. Ia dapat mempergunakan hampir seluruh tanah lapang itu sebaik-baiknya. Sekali-sekali ia melarikan kudanya menjauhi lawan-lawannya. Kemudian dengan tangkasnya ia memutar kudanya cepat-cepat untuk menghadapi lawannya yang paling depan.

Dengan demikian ia dapat memancing pertempuran melawan orang-orang Pamingit itu hampir satu persatu. Dan satu persatu pula mereka dapat dirobohkan. Pedang ditangannya itu seolah-olah merupakan patuk seekor burung garuda yang bertempur melawan delapan ekor serigala.

Sekali-sekali garuda itu terbang tinggi, kemudian menukik cepat, dan dengan paruhnya yang runcing tajam, dibinasakannya serigala itu satu persatu. Demikianlah akhirnya pedang Kanigara itu telah berhasil melukai orang kelima dipundak kanannya. Demikian hebat luka itu, sehingga akhirnya seperti keempat orang yang lain, orang itu jatuh tersungkur ditanah, dengan tubuh lemas tak berdaya.

Kini tinggallah tiga orang lagi. Tentu saja ketiga orang itu mengerti bahwa lawannya bukanlah manusia setingkat mereka. Kalau semula mereka, delapan orang, tidak mampu mengalahkannya, apalagi kini tinggal 3 orang lagi. Bagaimanapun juga beraninya orang-orang Pamingit itu, namun mereka harus melihat suatu kenyataan, bahwa mereka bertiga tidak akan mungkin memenangkan pertempuran itu.

Karena itu selagi nyawa mereka masih tinggal didalam tubuh, serta selagi darah mereka masih belum tertumpah, maka tidak ada cara lain yang lebih baik daripada menghindarkan diri dari tanah lapang itu secepat-cepatnya.

Untunglah kalau mereka sempat datang kembali dengan membawa bantuan. Syukurlah kalau Sawung Sariti atau lebih-lebih Ki Ageng Lembu Sora sendiri, yang kebetulan sedang berada di Banyubiru dapat menyaksikan ketangkasan orang itu.

Maka setelah mereka masing-masing berpikir dan mengambil suatu keputusan, yang seolah-olah diatur bersama, maka ketika salah seorang daripadanya memutar kudanya dari tanah lapang itu sambil memperingatkan kawan-kawannya, bahwa lebih baik menyelamatkan diri serta membawa bantuan lebih banyak lagi, segera menghamburlah ketiga ekor kuda itu dengan penunggangnya meninggalkan Kebo Kanigara secepat mungkin.

Kebo Kanigara memandang ketiga orang yang meninggalkan gelanggang itu sambil mengusap peluhnya. Kemudian matanya berkisar dari satu tubuh ketubuh yang lain, yang masih terkapar ditanah lapang itu. Ia mengharap agar kemudian kawan-kawan mereka segera datang dan merawat luka-luka mereka. Sebab Kebo Kanigara sama sekali tidak bermaksud membunuh mereka semua. Kalau diantara terpaksa ada yang menghembuskan napas penghabisan, itu adalah diluar kemauannya. Sebab dalam bermain dengan air, pastilah ada diantaranya yang terpercik dan menjadi basah karenanya.

Setelah itu, segera Kebo Kanigara teringat kepada Mahesa Jenar dan Bantaran. Dengan Mahesa Jenar ia berjanji untuk segera kembali ketempat kuda-kuda mereka tertambat. Karena itu sebelum keadaan menjadi lebih buruk, segera Kebo Kanigara meloncat dari kudanya, dan berlari lewat jalan semula, pergi ke Sendang Putih. Ia terpaksa menyusur jalan-jalan sempit dan halaman-halaman kosong seperti yang dilaluinya semula, karena ia tidak mengenal daerah dan jalan-jalan lain di Banyubiru.

Tetapi dengan demikian, beruntunglah ia, karena sesaat kemudian lamat-lamat ia mendengar derap kuda, jauh lebih banyak dari semula, menuju ketanah lapang dimana ia baru saja bertempur. Karena itulah ia segera mempercepat larinya supaya tidak terkejar oleh orang-orang yang pasti akan mencarinya.

424

NAGASASRA DAN SABUK INTEN
Karya SH. Mintarja
No. 424

KANIGARA menyusup ke semak-semak, mengambil jalan yang memotong. Ia menjadi agak lega dan memperlambat larinya. Apalagi ia terpaksa berusaha mengenal kembali jalan setapak yang dilaluinya itu, supaya ia tidak tersesat. Beberapa lama kemudian sampailah ia di tempat mereka berjanji untuk bertemu.

Di situ telah menanti Mahesa Jenar, Bantaran, Nyi Penjawi dan seorang kakek tua ayah Nyi Penjawi.
Dengan tersenyum Mahesa Jenar menyambut kedatangan Kebo Kanigara, katanya, ”Sudah puaskah Kakang bermain-main dengan orang Pamingit?”

Sambil duduk di samping Mahesa Jenar, Kanigara menjawab sambil tersenyum pula, ”Mereka adalah kawan bermain yang baik. Orang-orang Pamingit itu ternyata ahli menunggang kuda.”

Dengan tersenyum pula Mahesa Jenar menjawab, ”Sayang mereka tidak dapat bermain-main dengan senjata sebaik mereka naik kuda.”

Kemudian dengan lesu Kanigara berkata seperti kepada diri sendiri, ”Aku terpaksa melukai beberapa orang diantaranya. Sebab aku tidak dapat bermain-main dengan senjata sebaik diantara mereka yang terbunuh.”

Mahesa Jenar sama sekali tidak menyahut. Ia tahu betul perasaan Kebo Kanigara, bahwa bukanlah pada tempatnya, dalam keadaan yang demikian, dimana ia tidak mempunyai persoalan langsung dengan orang-orang Pamingit itu, tangannya terpaksa menumpahkan darah. Tetapi dalam keadaan yang
demikian, tak seorangpun yang akan dapat menyalahkannya. Apalagi Bantaran.

Sebagai seorang pemimpin laskar Banyubiru, ia menjadi keheran-heranan, bahwa dalam pertempuran yang berlangsung itu, dimana seorang harus melawan 10 orang bersama-sama, masih juga menyesal kalau ia terpaksa membunuh lawannya.

Sesaat kemudian keadaan menjadi sunyi. Masing-masing membiarkan angan-angannya mengembara ke daerah yang berbeda-beda.

Kemudian terdengarlah kembali Mahesa Jenar berkata kepada Bantaran, ”Bantaran… aku masih ingin mendapat beberapa keterangan tentang laskarmu dan laskar Penjawi. Sebab mau tidak mau, apabila Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti tetap pada pendiriannya, kita akan
memerlukannya.”

Bantaran menggeser duduknya, kemudian menjawabnya, ”Laskar kami sebenarnya tidaklah begitu banyak, Tuan. Apalagi sampai saat ini kami sama sekali tidak mendapat bimbingan yang baik. Apakah artinya kami berdua. Aku dan Penjawi. Sedang yang kami hadapi adalah Ki Ageng Lembu Sora dan putranya, Sawung Sariti. Sedangkan tingkat keterampilan kami tidaklah lebih daripada pengawal-pengawal Lembu Sora itu.”

”Tetapi bagaimanakah dengan tekad mereka…?” sela Mahesa Jenar.
”Itulah yang mendorong kami untuk tetap berjuang. Mereka ternyata bersedia menunggu pemimpin mereka. Ki Ageng Gajah Sora atau putranya, Arya Salaka yang hilang itu.”
”Bagaimanakah dengan Wanamerta?” Mahesa Jenar mencoba bertanya.
”Orang tua itupun telah meninggalkan Banyubiru.” jawab Bantaran. ”Tetapi kami belum mengetahuinya, di mana ia berada.”
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia berkata, ”Bantaran, agaknya Wanamerta benar-benar belum berhasil mencari hubungan dengan kalian. Ketahuilah bahwa Wanamerta telah berhasil menyusul putra Ki Ageng Gajah Sora.”
”Arya Salaka…?” potong Bantaran terkejut.
”Ya,” jawab Mahesa Jenar, ”Dan selama ini Arya salaka dalam keadaan selamat.”
”Syukurlah,” sahut Bantaran. ”Memang demikianlah berita yang pernah aku dengar, meskipun aku belum meyakini sebelumnya. Sekarang karena Tuan yang mengatakannya, maka aku dapat mempercayainya.”
”Dari mana kau dengar berita itu?” tanya Mahesa Jenar.
”Aku tidak jelas sumbernya,” jawab Bantaran. ”Tetapi aku kira dari orang-orang Pamingit. Sebab aku dengar mereka sedang mencari untuk membunuhnya. Bahkan yang kami dengar Arya Salaka selalu bersama-sama dengan Tuan.”

”Berita itu benar. Hampir seluruhnya. Bahkan Sawung Sariti sendiri sudah untuk kedua kalinya berusaha membunuh Arya Salaka dengan tangannya.”
Mendengar keterangan itu, Bantaran mengangkat kepalanya. Bagaimanapun ia merasa tersinggung atas kelakuan Sawung Sariti.
Maka katanya, ”Untunglah bahwa Arya Salaka dapat Tuan selamatkan.”
”Ia telah dapat menyelamatkan dirinya sendiri,” jawab Mahesa Jenar.

Bantaran menjadi heran mendengar jawaban itu. Sawung Sariti pada saat-saat terakhir telah menjadi seorang pemuda yang tangguh, berkat tuntunan kakeknya, Ki Ageng Sora Dipayana. Meskipun seandainya Arya Salaka mendapat tuntunan dari Mahesa Jenar, apakah anak itu akan dapat
menyamai ketangguhan Sawung Sariti. Sebab Ki Ageng Sora Dipayana adalah seorang yang sukar dicari tandingnya. Tetapi Bantaran tidak mau menanyakannya. Ia takut kalau-kalau dengan demikian akan dapat menyinggung perasaan Mahesa Jenar.

Dalam pada itu Mahesa Jenar meneruskan, ”Yang penting bagimu Bantaran, peliharalah tekad dan kesetiaan laskarmu terhadap perjuangan yang telah dirintisnya. Dalam waktu yang singkat aku akan membawa Arya Salaka ke tengah-tengah mereka.”

425

TIBA-TIBA dada Bantaran terasa seolah-olah mengembang karena kegembiraan. Kalau Arya Salaka berada di tengah-tengah mereka maka laskarnya akan menjadi laskar yang bertekad baja, yang tidak lagi memperhitungkan hidup dan mati yang memang diluar kekuasaan manusia.

”Karena itu…” Mahesa Jenar meneruskan, ”Bersiaplah menghadapi masa yang menentukan.”
”Baiklah Tuan,” jawab Bantaran mantap. ”Akan kami khabarkan hal ini kepada mereka supaya mereka merasa bahwa apa yang mereka lakukan itumempunyai arti bagi tanah perdikan mereka.”
”Kalau demikian, ke manakah aku harus membawa Arya Salaka…?” sahut Mahesa Jenar.
”Ke Gedong Sanga, Tuan,” jawab Bantaran cepat. ”Di sekitar candi itu kami menempatkan laskar kami.”
”Baiklah. Dan beruntunglah aku dapat bertemu dengan kau di sini, sehingga aku mendapat banyak bahan untuk saat-saat terakhir.”

Demikianlah, mereka mengakhiri pembicaraan.

Setelah sekali lagi Mahesa Jenar berjanji akan membawa Arya ke Candi Gedong Sanga, maka bersama dengan Kebo Kanigara ia minta diri untuk segera kembali ke Karang Tumaritis, dimana Arya Salaka pasti telah menunggunya.

Bersamaan dengan itu, berangkat jugalah Bantaran lewat jalan-jalan hutan membawa istri Penjawi beserta ayahnya untuk berkumpul kembali dengan laskarnya, setelah beberapa hari ia berkeliaran di daerah sekitar Banyubiru untuk melihat perkembangan daerah itu.

Namun kali ini dengan bangga ia akan dapat berkata kepada laskarnya tentang apa yang disaksikannya di Banyubiru, pertemuannya dengan Mahesa Jenar yang tanpa diduga-duganya. Serta yang terakhir bahwa mereka boleh mengharap, dalam waktu singkat Mahesa Jenar akan membawa Arya Salaka ke
tengah-tengah mereka.

Dalam perjalanan kembali ke Karang Tumaritis, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tak henti-hentinya memperbincangkan kemunduran-kemunduran yang terjadi di Banyubiru. Kemunduran dalam segala bidang. Namun mereka masih menduga-duga apakah sebabnya Ki Ageng Sora Dipayana masih berdiam diri. Demikianlah mereka menempuh perjalanan, melintasi padang-padang rumput, hutan hutan yang tidak begitu lebat, mendaki lambung-lambung bukit, serta menuruni lereng-lerengnya, untuk kemudian sampai ke daerah persawahan yang membentang luas di hadapan mereka, setelah mereka
bermalam di bawah bentangan langit biru.

Pedukuhan yang tampak di hadapan mereka, seperti pulau-pulau yang tersembul dari lautan, adalah pedukuhan Gedangan. Oleh hembusan angin yang cepat-cepat lambat, butir-butir padi yang sudah mulai menguning tampak seperti wajah lautan yang berombak-ombak. Jauh di ujung desa tampaklah beberapa puluh orang perempuan seperti semut yang terapung-apung, sudah mulai menuai padi.

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara melihat semuanya itu dengan wajah yang cerah. Mereka ikut bersama-sama dengan para petani Gedangan, merasa gembira bahwa hasil jerih payah mereka selama beberapa bulan kini sudah dapat dipetik hasilnya.

Lebih daripada itu, Mahesa Jenar melihat benar-benar kemajuan yang telah dicapai oleh pedukuhan kecil ini dalam bidang pertanian. Setelah puas memandang sawah yang terbentang di hadapan mereka itu,
segera mereka menarik kekang kuda masing-masing, dan berjalanlah kuda-kuda mereka seenaknya. Burung-burung liar yang terkejut karena suara telapak kaki kuda itu, beterbangan terpencar-pencar. Sedang butiran-butiran padi yang penuh berisi, seolah-olah merundukkan batang-batang mereka kepada kedua orang yang baru datang itu.

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara bagi orang-orang Gedangan adalah orang-orang yang sangat dihormati. Karena mereka berdua telah banyak memberikan jasa mereka kepada pedukuhan kecil itu. Karena itu ketika seseorang melihat kehadiran mereka, ia segera berlari-lari melaporkannya
kepada pejabat-pejabat pedukuhan, sehingga sesaat kemudian ributlah pendapa kelurahan Gedangan. Mereka segera bersiap-siap untuk menyambut kedatangan tamu-tamu mereka.

Ketika Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara sampai di halaman kelurahan, bahkan mereka menjadi terkejut. Mula-mula mereka heran, apakah yang terjadi di kelurahan itu sehingga banyak orang hilir-mudik kesana kemari. Tetapi ketika akhirnya mereka mengetahui duduk perkaranya, mereka menjadi geli. Hal yang sedemikian itu sebenarnya sama sekali tak mereka kehendaki.

Sebab apa yang mereka lakukan tidak lebih dan tidak kurang daripada melakukan kewajiban mereka, sebagai manusia yang mengabdikan diri pada sumbernya serta hasil pancaran dari sumber itu.
Tetapi rakyat Gedangan itu menjadi kecewa ketika mereka mengetahui bahwa Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tidak dapat terlalu lama tinggal di pedukuhan mereka, sebab suatu kewajiban yang penting telah menanti.

Mereka hanya dapat bermalam satu malam saja, untuk seterusnya mereka minta diri meneruskan perjalanan ke Karang Tumaritis. Sedangkan kuda-kuda yang dipinjamnya, masih belum mereka kembalikan, bahkan Mahesa Jenar telah berpesan apabila diperlukan mereka masih akan meminjamnya
lebih banyak lagi nanti.

”Berapa ekor lagi yang akan Tuan perlukan…?” tanya Wiradapa.

”Lima atau enam ekor,” jawab Mahesa Jenar kepada Lurah Gedangan itu.

”Baiklah Tuan, kuda-kuda itu akan kami sediakan sejak hari ini,” sahut Wiradapa, dan seterusnya ia berkata, ”Kecuali itu, perkenankan kami mengundang Tuan berdua beserta sahabat dan putra-putra Tuan untuk mengunjungi pedukuhan kami ini pada akhir bulan.”

”Apakah keperluan kalian…?” tanya Mahesa Jenar.

”Kami akan mengadakan upacara bersih desa. Sebagai pernyataan terimakasih dan kegembiraan kami atas karunia Tuhan yang telah menjadikan sawah-sawah kami bertambah subur serta tanaman-tanaman kami selamat dari gangguan hama.”

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tersenyum. ”Baiklah,” jawab mereka hampir bersamaan.

MAHESA JENAR dan Kebo Kanigara segera berangkat ke bukit kecil yang dinamai oleh penghuninya Karang Tumaritis. Ketika matahari telah sampai di atas kepala mereka, sampailah mereka di atas bukit kecil itu. Perjalanan mereka di atas punggung kuda seakan-akan merupakan tamasya yang menyenangkan.

Kedatangan mereka disambut dengan meriah oleh penghuni bukit kecil itu.

Para cantrik dan endang. Lebih-lebih lagi, betapa gembira hati Endang Widuri yang telah beberapa lama ditinggalkan oleh ayahnya. Untunglah bahwa saat itu ia sudah mempunyai kawan bermain yang dapat melayaninya, yaitu Rara Wilis. Arya Salaka pun menjadi sangat gembira. Sebab hanya dialah yang mengetahui, walaupun hanya sedikit, bahwa apa yang dilakukan oleh gurunya beserta Kebo Kanigara adalah tugas yang berbahaya. Ketika mereka sudah beristirahat beberapa lama, bertanyalah Kebo Kanigara kepada anaknya, “Widuri, apakah Panembahan dalam keadaan sehat…?”

Dengan manjanya Widuri menjawab, “Yang aku ketahui, sepeninggal ayah, Panembahan mengurung dirinya di dalam sanggar sampai berhari-hari. Tak seorang pun yang diperkenankan ikut serta. Bahkan makanan pun telah dibawanya sendiri sejak Panembahan mulai dengan samadinya.”

Kebo Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tahulah ia, dan juga Mahesa Jenar tahu, bahwa sebenarnya Panembahan Ismaya pada saat itu sedang pergi meninggalkan padepokan untuk menyusulnya ke Pudak Pungkuran, dimana ia bersama-sama dengan Mahesa Jenar sedang menemui Radite dan Anggara.

“Apakah beliau sekarang masih berada di dalam sanggar?” tanya Kanigara kemudian.

Widuri menggeleng. Jawabnya, “Sudah hampir seminggu Panembahan wudhar dari samadinya.”
Sambil memandang kepada Mahesa Jenar, Kebo Kanigara berkata, “Kalau demikian, baiklah kita menghadap.”

Mahesa Jenar menyetujuinya pula. Dan ketika mereka sudah melangkah sampai luar pintu pondok, menyusullah Arya Salaka sambil berbisik, “Paman, Panembahan agak menyesal ketika aku katakan tentang kepergian Paman berdua.”

Kanigara dan Mahesa Jenar terhenti. Tetapi kemudian mereka berdua tersenyum.

Jawab Kanigara, “Kami akan mencoba menjelaskan kepada Panembahan.”
“Mudah-mudahan Panembahan dapat mengerti,” sahut Arya Salaka.
“Aku kira demikian,” sahut Mahesa Jenar. “Nanti sesudah kami menghadap, aku beritahukan kepadamu.”

Arya Salaka mengangguk, tetapi hatinya masih juga gelisah. Jangan-jangan Panembahan masih tetap kecewa terhadap gurunya serta Kebo Kanigara.tetapi ia sudah tidak berani bertanya lagi.

Ketika Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar sampai di rumah kediaman Panembahan Ismaya, Panembahan tua itu ternyata sedang duduk dihadap beberapa orang cantrik tertua. Agaknya ada sesuatu yang sedang mereka perbincangkan. Ketika dilihatnya kedatangan Kabo Kanigara dan Mahesa Jenar, maka dengan perasaan gembira mereka berdua disambutnya serta segera dipersilakan masuk.
“Marilah Angger berdua… beberapa hari aku menjadi gelisah atas kepergianmu berdua. Syukurlah kalau kau berdua tidak menemui halangan sesuatu.”

Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar mengangguk hormat, sebagai pernyataan bakti mereka kepada Panembahan tua itu.

“Agaknya kalian berdua menjadi gembira karena perjalanan itu…? Ternyata wajah kalian bertambah segar,” sambung Panembahan Ismaya.

Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar tidak menjawab. Mereka hanya menundukkan muka mereka. Sebab tak ada yang akan mereka katakan, karena Panembahan Ismaya telah mengetahui seluruhnya.
Tetapi tiba-tiba Panembahan Ismaya berkata kepada para cantrik,

“Cantrik-cantrik sekalian… aku perkenankan kalian meninggalkan ruangan ini. Sediakanlah makan siangku. Aku ingin setelah ini makan bersama-sama dengan Kanigara dan Mahesa Jenar.”

Maka mundurlah para cantrik dari ruangan itu, untuk mempersiapkan makan siang Panembahan Ismaya.
Sepeninggal para cantrik, barulah Panembahan bertanya segala sesuatu mengenai perjalanan kembali Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Dan kepada Panembahan itu diceritakan pula bagaimana keadaan Banyubiru sekarang. Kemunduran dalam segala bidang, terutama kemunduran akhlak.

“Panembahan…” kata Mahesa Jenar kemudian, “Menurut pertimbanganku, segala sesuatu yang terjadi di Banyubiru itu harus segera dihentikan, dengan mengembalikan Arya Salaka ke sana. Atau lebih-lebih kalau mungkin Kakang Gajah Sora.”

Panembahan Ismaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia merasa ditagih janji, sebab merasa berkesanggupan untuk membebaskan Gajah Sora. Tetapi untuk melaksanakan kesanggupan itu agaknya tidak terlalu mudah.

Karena itu ia menjawab, “Kau benar Mahesa Jenar. Bawalah Arya Salaka lebih dahulu. Aku masih belum dapat membebaskan ayahnya. Aku harap hal itu segera terjadi. Dan bukankah akan sangat menggembirakan kalau Gajah Sora nanti dapat kembali ke Banyubiru setelah Banyubiru dapat dipulihkan…?
Dan apa yang terjadi sebelum itu, seolah-olah hanya suatu peristiwa dalam mimpi, meskipun mimpi yang menyedihkan.”

Mahesa Jenar masih merenungkan masalah-masalah yang akan dihadapinya. Kalau saja tidak ada persoalan yang lebih besar, yang akan langsung mempengaruhi pemerintahan Demak, maka cara yang semudah-mudahnya untuk membebaskan Ki Ageng Gajah Sora adalah menyerahkan kembali Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.

Tetapi ternyata cara itu tidak dapat ditempuhnya. Sebab Banyubiru bagi Demak hanyalah merupakan sebagian saja dari seluruh persoalan. Namun ia percaya kepada Panembahan Ismaya. Panembahan itu pasti akan menemukan suatu cara untuk membebaskan Gajah Sora. Dengan atau tanpa Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.

427

SYUKURLAH kalau kalau nanti Gajah Sora dapat menjumpai tanah perdikan sudah pulih kembali, meskipun belum seluruhnya. Tetapi setidak-tidaknya Gajah Sora merasa bahwa ia kembali ke tanahnya sendiri, seperti pada saat ditinggalkan.

Kemudian diceritakan pula oleh Mahesa Jenar pertemuannya dengan Bantaran, salah seorang pemimpin laskar Banyubiru, serta pasukannya di sekitar Candi Gedong Sanga.

Akhirnya Panembahan Ismaya menyetujui permintaan Mahesa Jenar untuk mengajak Kanigara serta dalam usahanya mengembalikan Banyubiru ke dalam tangan Arya Salaka. Sebab tanpa orang-orang yang lebih tua itu, Arya Salaka tidak akan mampu melakukan pekerjaan berat itu.

“Tetapi kau jangan terlalu tergesa-gesa, Mahesa Jenar…” Panembahan Ismaya menasihati, “Sebab apa yang akan dilakukan oleh Arya Salaka adalah pekerjaan yang sulit. Mula-mula kau harus berusaha untuk menjelaskan masalahnya tanpa pertumpahan darah. Kau dapat membawa laskar yang dipimpin Bantaran hanya untuk membuat keadaan seimbang, supaya keseimbangan itu diperhitungkan pula oleh Lembu Sora. Sebab apabila ia hanya berhadapan dengan kalian berdua beserta Arya Salaka, maka mereka pasti akan berkeras kepala.
Selain daripada itu, kau harus mempersiapkan Arya Salaka untuk menghadapi setiap kemungkinan yang akan terjadi. Lahir dan batin. Supaya dalam setiap keadaan hatinya tidak terguncang dan kehilangan keseimbangan.”

Demikianlah Mahesa Jenar mendapat banyak sekali bekal yang perlu baginya untuk memenuhi kesanggupannya kepada Ki Ageng Gajah Sora, pada saat orang itu pergi meninggalkan Banyubiru, dan menitipkan anaknya kepadanya.

Setelah makan siang bersama-sama dengan Panembahan Ismaya dan Kebo Kanigara, maka segera Mahesa Jenar minta diri untuk beristirahat. Namun demikian ia tidak dapat melepaskan diri dari persoalan-persoalan yang selalu membelit hatinya, persoalan Banyubiru.

Agaknya Arya Salaka pun hampir tidak sabar menanti Mahesa Jenar. Ketika ia melihat gurunya itu datang, segera ia bertanya, apakah Panembahan Ismaya marah kepadanya.

Dengan tersenyum Mahesa Jenar menjawab, “Panembahan bukanlah orang yang dapat marah. Apakah kau pernah melihat Panembahan marah?”

Arya menggeleng, tetapi ia menjawab, “Aku selalu cemas bahwa Panembahan akan marah untuk pertama kalinya kepada Paman dan Paman Kanigara.”

Mahesa Jenar tertawa kecil. Kemudian sahutnya, “Tidak. Panembahan tidak marah. Ia hanya memberi aku dan Kakang Kanigara nasihat. Dan nasihat-nasihat itu akan sangat berguna bagiku dan Kakang Kanigara.”

Sejak saat itu Mahesa Jenar mencoba untuk memberi penjelasan kepada Arya Salaka untuk melengkapi pengetahuannya tentang keadaan sebenarnya yang terjadi di Banyubiru. Karena Arya Salaka sekarang menurut anggapan Mahesa Jenar telah cukup siap untuk mengetahui segala-galanya, maka Mahesa Jenar kini tidak lagi menyembunyikan sesuatu.

Juga dijelaskan apa yang sekarang terjadi kalau keadaan yang demikian dibiarkan berlarut-larut.
Arya Salaka mendengarkan semua penjelasan itu dengan menekan dada. Ia telah dapat merasakan betapa jeleknya keadaan Banyubiru sepeninggal ayahnya.

Hampir setiap malam ia duduk bercakap-cakap dengan Mahesa Jenar, yang kadang-kadang ditemani Kebo Kanigara, Rara Wilis dan Endang Widuri. Apa yang mereka percakapkan selalu berkisar pada masalah Banyubiru. Apalagi kalau Wanamerta berkesempatan untuk ikut serta berbicara. Banyak sekali cerita yang dapat membakar dada Arya Salaka.

Sebagai orang tertua, yang pada saat Gajah Sora meninggalkan Banyubiru menerima tanda pemerintahan Pusaka Kyai Bancak, dan yang selajutnya kehadirannya di Banyubiru oleh Ki Ageng Lembu Sora sama sekali tidak diperhitungkan, bahkan disingkirkan dengan satu cara yang keji, ia benar-benar sakit hati.

Disamping semua penjelasan, untuk mempersiapkan Arya Salaka menghadapi keadaan-keadaan di Tanah Perdikan yang sudah kira-kira lima tahun ditinggalkan, ia selalu menerima pula tuntunan-tuntunan lahiriah. Setiap hari ia masih harus berlatih sekeras-kerasnya. Menambah pengetahuan tata pertempuran dan olah senjata.

Dalam keadaan yang demikian, terasalah betapa perkembangan jasmaniah Arya Salaka menjadi bertambah cepat setelah orang aneh yang mengenakan jubah memijiti hampir seluruh tubuhnya pada suatu malam, setelah ia bertempur melawan Sawung Sariti.

Untunglah bahwa di bukit kecil itu ia mempunyai banyak kawan berlatih.

Endang Widuri yang memiliki cabang keturunan ilmu yang sama dengan ilmunya. Rara Wilis dari Perguruan Pandan Alas. Serta Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara.

Meskipun sebenarnya Arya Salaka kadang-kadang bertanya di dalam hati tentang persamaan yang sedemikian dekatnya antara Kebo Kanigara dengan gurunya, Mahesa Jenar, namun pertanyaan itu tetap disimpannya. Sejalan dengan itu, kadang-kadang ia menjadi heran pula, bahwa ilmu gurunya sendiri agaknya menjadi jauh berkembang, seolah-olah berkembang dengan sendirinya. tetapi juga keheranan ini disimpannya di dalam hati.

Sudah tentu bahwa dalam keadaan demikian tidak saja Arya Salaka sendiri yang berhasil memperkuat dirinya lahir-batin, tetapi juga kawan-kawannya berlatih. Mereka ternyata saling menerima dan memberi. Ilmu pedang yang luar biasa lincahnya, dari perguruan Pandan Alas, dalam keserasiannya dengan ilmunya. Sebaliknya, keteguhan serta gerak-geraknya yang kuat dapat mempengaruhi keterampilan Rara Wilis. Sedangkan kenakalan Endang Widuri pun kadang-kadang dapat memberi banyak ilham kepada Arya, sehingga dalam ilmunya kadang-kadang sifat itu terungkap dalam gerak-gerak yang tampaknya tidak masuk akal dan kurang berhati-hati, namun sebenarnya mempunyai segi-segi yang mengelabuhi lawan.

428

KETIKA segala sesuatunya telah dirasa cukup, sampailah Mahesa Jenar pada taraf terakhir dari pekerjaannya menjelang keberangkatan mereka ke Banyubiru, yaitu mematangkan jiwa Arya Salaka menghadapi segala macam kemungkinan. Kemungkinan yang paling menyenangkan sampai kemungkinan terakhir yang dapat saja terjadi. Yaitu gugur dalam menunaikan kewajiban sucinya.
Tetapi jiwa Arya memang sudah mendapat tempaan yang luar biasa sejak bertahun-tahun terakhir. Kesulitan hidup yang hampir setiap hari dijalani, sulit lahir-batin, adalah bekal yang baik dalam pekerjaannya itu. Disamping itu, Mahesa Jenar tidak pula lupa menunjukkan, bahwa apa yang akan dilakukan itu adalah suatu usaha. Usaha yang wajib diperjuangkan oleh manusia untuk mencapai cita-citanya, namun segala keputusan terakhir dari semua masalah, terletak ditangan Tuhan Yang Maha Kuasa.

Demikianlah, akhirnya Mahesa Jenar menyampaikan segala macam persiapan dan anggapannya, bahwa segala sesuatunya sudah cukup, kepada Panembahan Ismaya. Bersamaan dengan itu, ia mohon diri bersama muridnya untuk menunaikan kewajibannya, serta sekali lagi ia mohon kepada Panembahan untuk mengizinkan Kebo Kanigara pergi bersamanya.

Panembahan Ismaya memandang Mahesa Jenar dengan hampir tak berkedip. Ini adalah suatu masalah yang paling rumit, yang selalu tumbuh hampir setiap saat. Alangkah menyedihkan, bahwa seseorang melakukan persiapan sampai seteliti-telitinya untuk melakukan tindakan kekerasan.

Padahal, seharusnya setiap bentuk kekerasan pasti harus ditentang. Tetapi ia tidak dapat menyembunyikan kenyataan, bahwa diantara anak manusia di dunia ini masih saja ada yang sama sekali tidak menghiraukan kemanusiaannya, yang dengan segala macam cara, menindas manusia-manusia yang lain.

Dan terhadap manusia-manusia yang demikian itu, wajarlah bahwa ada usaha-usaha untuk mencegahnya. Usaha terakhir pencegahan itu adalah dengan cara yang sama sekali menyimpang dari tuntutan cinta kasih manusia. Sebab kadang-kadang yang harus dilakukan adalah nampaknya berlawanan dengan ungkapan cinta kasih itu sendiri. Yaitu kekerasan, perkelahian dan bahkan kadang-kadang persoalan hidup dan mati.

Karena persoalan-persoalan yang sedemikian itulah, maka selalu timbul pertentangan di dalam diri. Pertentangan antara hakekat dari pengabdian diri terhadap manusia sebagai tempat untuk meletakkan pengabdian yang tertinggi dengan penuh cinta kasih sebagaimana Tuhan melimpahkan cinta kasihnya kepada manusia, serta kenyataan bahwa manusia itu sendiri telah menodainya.

Di sinilah kadang-kadang dijumpainya persimpangan jalan antara tujuan dengan cara pengabdian. Namun demikian bukanlah segala cara dapat dibenarkan untuk mencapai tujuan. Sebab dalam hal yang demikian kaburlah batas antara tujuan yang hendak dicapai dengan mengorbankan tujuan itu sendiri, sebagai puncak pengabdian. Dalam hal yang demikian itu, apabila segala macam cara dapat dibenarkan, maka akan timbullah fitnah, kebiadaban, kekejaman dan kesewenang-wenangan, yang justru menghilangkan nilai tertinggi dan tujuannya, yaitu manusia.

Terhadap Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, Panembahan Ismaya tidak tedheng aling-aling. Dan karena itulah maka Panembahan Ismaya sendiri masih mempergunakan dua bentuk selama ini. Orang berjubah abu-abu yang sakti dan seorang Panembahan yang menjauhkan diri dari daerah keduniawian.
Mendengar uraian itu Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar hanya dapat menundukkan wajah mereka dengan takzimnya. Namun didalam dada mereka bergolaklah pertanyaan-pertanyaan yang tak terucapkan. Pertanyaan tentang diri mereka, tentang Arya Salaka yang terusir dari Banyubiru, dan tentang hak yang sudah terampas dari tangannya.

Namun meskipun pertanyaan itu tidak terucapkan, agaknya Panembahan Ismaya dapat mengertinya. Karena itu katanya, “Karena itu Mahesa Jenar, kau harus dapat mencari keserasian dari cara dan tujuan pengabdian. Dan dari sinilah nanti akan tampak, bahwa seseorang memiliki ketinggian budi yang tidak sama. Ada orang yang berbudi luhur dan berjiwa besar dan ada orang yang berbudi rendah dan berjiwa kecil.

Ada orang yang mengumandangkan nilai-nilai kemanusiaan, namun akan seribu satu macam semboyan, tetapi nilai-nilai kemanusiaan itu tercermin dalam tindak tanduknya sehari-hari. Seorang yang menganggap dirinya pendukung nilai-nilai kemanusiaan, tetapi ia mengorbankan manusia untuk mempertahankan kepentingan diri sendiri yang dipancangkannya di atas tumpukan bangkai-bangkai.

Namun sebaliknya ada orang yang dengan berdiam diri membangun nilai-nilai itu dalam lingkungan yang jauh dari pamrih untuk mencemerlangkan diri.

429

SETELAH berhenti sejenak, Panembahan Ismaya meneruskan, “Karena itulah Mahesa Jenar, aku tidak dapat mencegah Arya Salaka untuk mengambil haknya kembali. Untuk mengambil kekuasaan yang ada di Banyubiru dari tangan adik atau pamannya. Sedang kekuasaan itu sendiri bukanlah hal yang selalu baik atau tidak baik. Hampir semua orang di dunia ini menginginkan kekuasaan. Dalam bentuk yang besar atau dalam ujud yang lebih kecil serta dalam lingkungan yang kecil pula.

Namun yang harus dinilai kemudian adalah bagaimana kekuasaan itu dipergunakan.”

Kemudian Panembahan Ismaya meneruskan lagi, “Akhirnya, bahwa manusia yang mempunyai kekuasaan itulah, yang menentukan bentuk dari kekuasaan yang berada di dalam tangannya. Apakah ia mengabdikan kekuasaan itu untuk nilai-nilai kemanusiaan ataukah dengan kekuasaannya ia justru menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan itu.”

Setelah berhenti sejenak, Panembahan kembali berkata, “Mahesa Jenar, aku harap kau dapat memahaminya. Selanjutnya aku mengharap, bahwa Arya Salaka akan dapat mendengarnya pula darimu. Karena kau adalah gurunya, maka aku kira kaulah orang paling dekat di hatinya. Kaulah yang akan dapat memberitahukan kepadanya, bahwa kekuasaan yang berada kembali ditangannya nanti harus menemukan titik sasaran yang benar. Seperti tombak lambang kebesaran Banyubiru yang dibawanya itu.

Tombak itu dapat dipergunakannya untuk melindungi diri serta orang lain. Namun tombak itu di tangan orang yang tidak bertanggungjawab dapat dipergunakan untuk membunuh kawan seiring. Nah Mahesa Jenar, pergilah. Ingat, pengabdianmu harus kau tujukan kepada manusia. Tidak kepada kedudukan, harta benda dan nafsu. Dan pengabdianmu itu merupakan unsure terpenting dari kebaktianmu yang tertinggi. Bakti dengan tulus ikhlas kepada Tuhan Yang Maha Esa.”

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menundukkan wajahnya semakin dalam. Tak ada satu patah kata pun yang sisip dari hatinya, dari pendiriannya. Memang demikianlah tujuan pengabdian yang selama ditempuhnya. Karena itu, setiap kata yang diucapkan oleh Panembahan Ismaya itu telah mempertebal keyakinannya. Di dalam hati ia berjanji untuk menuangkan pengertiannya itu sejauh-jauhnya kepada Arya Salaka. Sebab di tangan Arya Salakalah letak kekuasaan Banyubiru di masa datang.

Rombongan itu mula-mula singgah di Gedangan untuk mendapat pinjaman kuda, disamping mereka memenuhi undangan Wiradapa untuk mengunjungi upacara bersih desa. Upacara yang diselenggarakan setiap para penduduk Gedangan selesai dengan musim menuai padi. Demikian pula kali ini. Mereka bersuka ria karena panenan mereka berhasil.

Pada malam itu, ketika rombongan Mahesa Jenar bermalam di Gedangan, suasana desa itu benar-benar meriah. Mereka menyelenggarakan peralatan bersama di sebuah tanah lapang kecil di tengah-tengah desa mereka. Setiap keluarga datang dengan membawa ancak berisi berbagai macam makanan. Nasi beserta lauk-pauknya dan bermacam-macam jenis masakan yang lain. Bahkan ada yang membawa jodhang penuh dengan masakan yang enak.

Makanan juadah, jenang alot, tasikan, sagon, lapis dan sebagainya.

Maka apabila upacara-upacara adat telah selesai, maka segera makanan mereka itu dibagi bersama-sama dan dimakan bersama-sama pula. Demikianlah, peralatan itu benar-benar merupakan peralatan yang meriah. Sedangkan hampir seluruh desa mereka dihiasi dengan janur-janur kuning yang mereka sangkutkan di setiap regol halaman. Dan di hadapan regol desa mereka letakkan hiasan yang termeriah, dengan janur-janur kuning, daun topengan dan daun-daun yang berwarna-warni. Merah, kuning, hijau dan berbelang-belang. Demikian pula dinding yang melingkari desa mereka serta sepanjang dinding halaman rumah-rumah, terpancang berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus oncor yang menjadikan desa mereka terang-benderang seolah-olah siang.

Anak-anak Gedangan pun mendapat bagian pula. Semalam suntuk mereka tidak tidur. Setelah mereka lelah berlari-larian kesana kemari, mereka dapat menikmati pertunjukan wayang beber. Pertunjukan yang mengisahkan kepahlawanan, yang dipetik dari ceritera Mahabarata.

Demikianlah rombongan kecil Mahesa Jenar dapat ikut pula menikmati kemeriahan malam bersih desa di Gedangan itu. Mereka ikut serta bergembira bersama-sama penduduk Gedangan dan kemudian ikut serta dengan mereka mengunjungi pertemuan di pendapa Kelurahan serta menikmati upacara tari-tarian sebagai pernyataan terima kasih pula atas panenan mereka yang berhasil.

Tetapi dalam pada itu, Arya Salaka menjadi semakin trenyuh di dalam hati. Teringatlah segala kemeriahan upacara di Tanah Perdikan Banyubiru pada masa kecilnya. Pada masa ayahnya masih memimpin tanah itu. Dan karena itulah tekadnya menjadi semakin bulat. Ia harus mendapatkan kembali tanah itu. Ia berjanji di dalam hatinya, apabila ia harus mewakili ayahnya dalam pemerintahan tanah perdikan itu, yang dilakukannya harus menguntungkan rakyatnya. Membina kembali Banyubiru dalam segala seginya. Dan ia harus dapat menjadikan Banyubiru sebagai idaman ayahnya. Menjadikan Banyubiru gemah ripah lohjinawi kertaraharja. Dimana setiap orang dapat menikmati kesuburan tanah kampung halamannya, dimana setiap orang dapat menikmati cerahnya matahari dan bulatnya bulan di malam hari. Menikmati ketenteraman hidup dan tanpa kegelisahan menjelang hari tuanya. Cukup sandang, cukup pangan. Sejahtera lahir dan batin.

Setelah mereka bermalam dua malam di Gedangan, rombongan kecil itu melanjutkan perjalanan. Mereka diantar oleh hampir segenap penduduk Gedangan sampai ke regol desa mereka. Dengan penuh kebanggaan mereka memandang debu yang mengepul dilemparkan oleh derap kaki-kaki kuda yang berlari seenaknya. Seolah-olah mereka melihat rombongan pasukan berkuda yang tak terkalahkan menuju ke medan pertempuran.

430

SETELAH Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan rombongannya bermalam satu malam, maka pada hari berikutnya ketika matahari telah condong ke barat, sampailah mereka di daerah pegunungan Sumawana. Suatu daerah pegunungan yang menurut dongeng rakyat, adalah pegunungan dimana Prabu Dasamuka ditimbun dengan tanah oleh Pahlawan Kera yang berbulu putih, Hanoman. Karena kepercayaan itulah maka di daerah pegunungan itu, tidak diperkenankan membawa tuak atau semacam minuman keras yang lain. Sebab apabila ada orang yang melanggar pantangan itu, Prabu Dasamuka, yang tidak dapat mati, akan menggeram dan mengguncang-guncang gunung yang menimbuninya, sebab tuak adalah jenis minuman yang sangat digemarinya.

Rakyat yang hidup di daerah itu, meskipun sangat jarang, tidak pernah takut seandainya Prabu Dasamuka itu dapat menjebol tanah yang menimbuninya. Sebab di dekatnya adalah bukit yang terkenal bernama Kendalisada. Di bukit itulah Hanoman bertapa dan sekaligus menunggui gunung yang dipakainya untuk menimbun tubuh Prabu Dasamuka.

Ketika rombongan kecil itu sampai di sekitar bukit Sumawana, mereka menghentikan perjalanan mereka. Daerah ini sudah dekat benar dengan daerah Candi Gedong Sanga. Karena itu mereka harus berhati-hati. Sebab apabila ada salah paham, mungkin akan menimbulkan hal-hal yang tidak mereka kehendaki. Karena itu mereka tidak maju lagi, tetapi mereka bermaksud bermalam di daerah itu.

Pada malam itulah Mahesa Jenar berhasrat memancing orang-orang Banyubiru yang bersembunyi di sekitar daerah itu dibawah pimpinan Bantaran dan Penjawi. Karena itu, maka ketika malam telah turun dengan kelamnya, segera Mahesa Jenar menyalakan api sebesar-besarnya. Ia yakin bahwa laskar Pamingit tidak akan sampai berkeliaran sedemikian jauhnya, apalagi mereka mengerti bahwa sebagian laskar Bantaran dan Penjawi ada di sekitar daerah Banyubiru.

Dan apa yang diharapkan terjadilah. Ketika mereka sedang menikmati jadah sisa bekal mereka dari Gedangan yang mereka panggang di atas api, tiba-tiba terdengarlah gemersik daun-daun di sekitarnya. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan hampir semua orang dalam rombongan itu mengetahuinya, namun mereka masih berpura-pura tidak mendengarnya.

Sebentar kemudian terdengarlah beberapa orang berloncatan dengan senjata di tangan.
Dengan lantangnya seorang yang memimpin laskar itu berkata, “Ki Sanak, aku harap Ki Sanak tidak melawan. Kami tidak ingin berbuat jahat, tetapi kami ingin mengetahui siapakah kalian.”

Mahesa Jenar mengangkat mukanya. Ia sama sekali tidak berkata apa-apa.
Sambil tersenyum ia mengangkat tangannya menunjuk Wanamerta yang duduk di sudut perapian sambil membenamkan dirinya di dalam kainnya.

Ketika orang itu melihat Wanamerta, tiba-tiba wajahnya jadi tegang.

Untuk beberapa saat ia bahkan berdiam diri seperti patung, tetapi tiba-tiba ia meloncat dan berjongkok di hadapannya sambil berteriak, “Kiai, adakah benar ini Kiai Wanamerta.”

Orang tua itu tersenyum. Tersenyum lucu sekali. Tetapi semua orang yang menyaksikannya menjadi ikut terharu ketika di sela-sela senyumnya tampak diantara pelupuk mata orang tua itu membayang butiran-butiran air mata.

Serta dengan suara parau ia menjawab, “Ya, inilah Wanamerta yang tua. Bukankah kau Jaladri?”

“Ya,” sahut pemimpin laskar itu. “Bagaimanakah Kiai dapat sampai di tempat ini?”

“Hemm….” desis Wanamerta, lalu katanya, “Kenalkah kau dengan Anakmas Mahesa Jenar?”

“Mahesa Jenar…?” ulang Jaladri, “Ya tentu aku mengenalnya. Lima tahun yang lalu, ia pernah tinggal di Banyubiru untuk beberapa lama.”

“Itulah dia,” potong Wanamerta sambil menunjuk Mahesa Jenar.

Jaladri menoleh kepada Mahesa Jenar. Memang ia pernah mengenalnya. Lima tahun yang lalu. Karena itu ia agak pangling. Baru ketika ia telah memperhatikan beberapa lama, ia menjadi jelas, bahwa memang orang itulah yang pernah dikenalnya bernama Mahesa Jenar. Karena itu segera ia menggeser diri duduk sambil membungkuk hormat kepada Mahesa Jenar, sambil berkata, “Maafkan kami, Tuan. Kami hampir tidak dapat mengenal Tuan setelah sekian lama berpisah. Apalagi sebelumnyapun aku tidak begitu dekat dengan Tuan.”

Mahesa Jenar menjawab dengan hormatnya pula. “Adalah hal yang wajar kalau kau tidak mengenal aku lagi. Waktu itu aku tidak mempunyai waktu banyak untuk tinggal lebih lama lagi di Banyubiru. Apalagi kita sudah terlalu lama tidak bertemu. Tetapi untunglah bahwa kau mengenal Paman Wanamerta.”
“Kepada Kiai Wanamerta, berapa puluh tahun aku terpisah, namun aku masih akan dapat mengenalnya. Dan bahkan semua orang Banyubirupun akan tetap mengenalnya,” jawab Jaladri.
“Bagus,” sahut Mahesa Jenar. “Sebab ia adalah tetua Banyubiru. Kalau kau lupa kepadanya, berarti kau telah lupa kepada kampung halaman itu”.
“Benar Tuan,” jawab Jaladri, kemudian dengan agak ragu-ragu ia bertanya,
“Tetapi, menurut Kakang Bantaran, bukankah Tuan berjanji untuk membawa Arya Salaka kepada kami?”

Mahesa Jenar tersenyum. Agaknya Bantaran telah mengumumkan kesanggupannya itu kepada anak buahnya. Kemudian dengan tertawa lirih ia berkata. “Cobalah Jaladri, carilah diantara kami, adakah Arya Salaka serta?”

Jaladri menjadi ragu. Ia memandang satu persatu kawan-kawan seperjalanan Mahesa jenar. Mahesa Jenar sendiri, lalu seorang yang berumur agak lebih tua sedikit dari Mahesa Jenar, disampingnya duduk bersimpuh seorang gadis kecil. Di dekatnya duduk bersila seorang gadis yang berpakaian laki-laki, dan di ujung duduk bersilah pula seorang pemuda yang gagah, kuat sentosa. Di pinggangnya terselip sehelai tombak yang bertangkai pendek.
JALADRI masih tetap ragu-ragu. Ia tidak berani menebak satu diantaranya. Meskipun apabila Arya Salaka ada diantaranya, yang paling mungkin adalah pemuda yang gagah itu. setelah beberapa lama ia menimbang-nimbang, akhirnya ia menjawab, “Aku tidak tahu Tuan Arya Salaka. Pada saat meninggalkan Banyubiru masih terlalu kecil bagi yang ada sekarang.”

Meskipun demikian mata Jaladri tidak lepas dari pemuda tegap yang duduk bersila sambil menundukkan mukanya.

Mahesa Jenar tertawa pendek, demikian pula Kebo Kanigara. Tetapi dengan demikian, Rara Wilis, Widuri, Wanamerta, dan bahkan Arya Salaka sendiri. Jaladri mempunyai dugaan yang benar. Meskipun demikian Mahesa Jenar tidak segera membenarkan dugaan itu.

Dengan tegak berdiri ia berkata, “Jaladri… antarkanlah kami sekarang kepada Bantaran.”
“Baik Tuan,” jawab Jaladri cepat, seperti demikian saja meloncat dari mulutnya.

Kemudian Mahesa Jenar berkata kepada Wanamerta, Kebo Kanigara dan kawan-kawan seperjalanannya. “Marilah, kita selesaikan perjalanan kita yang tinggal beberapa langkah saja.”

Semuanya segera mempersiapkan diri mereka pula. Dan sesaat kemudian mereka meneruskan perjalanan yang sudah tidak jauh lagi.

Jaladri lebih dahulu telah mengirimkan dua orangnya untuk mendahului dan memberitahukan kedatangan Mahesa Jenar, agar Bantaran dapat mempersiapkan sambutan sekadarnya.

Demikianlah, tidak terlalu lama, mereka telah sampai ke daerah Candi Gedong Sanga, di lereng Gunung Ungaran. Oleh Jaladri, mereka dibawa menyusup ke sebuah hutan yang tidak terlalu lebat. Di dalam hutan yang tipis itu terdapatlah sebuah barak besar dikelilingi beberapa barak kecil. Itulah perkemahan laskar Banyubiru yang dipimpin oleh Bantaran dan Penjawi.

Ketika Mahesa Jenar sampai ke tempat itu, sibuklah mereka mengadakan penyambutan. Berdesak-desakan mereka berebut muka, sehingga Mahesa Jenar dan kawan-kawan tidak dapat bergerak maju lagi.

Sampai Bantaran berdiri dan berteriak, “Berilah jalan supaya mereka dapat masuk ke dalam pondok ini.”

Demikianlah akhirnya Mahesa Jenar dan kawan-kawannya dipersilakan masuk ke dalam pondok yang terbesar itu. Di dalamnya terdapat sebuah ruangan yang cukup luas. Dan di sanalah pemimpin-pemimpin laskar itu telah siap menanti.

Mahesa jenar dan kawan-kawannya dipersilakan duduk di ujung pertemuan itu. Tetapi demikian ia mulai memperhatikan satu demi satu dari setiap wajah di dalam ruangan itu, tiba-tiba ia terkejut ketika melihat yang duduk berjajar di samping Penjawi.

Karena itu segera Bantaran memperkenalkan kedua orang itu kepada Mahesa Jenar. “Tuan, barangkali Tuan belum mengenalnya. Mereka adalah orang baru di sini. Tetapi mereka melihat kebenaran perjuangan kami. Karena itu mereka di pihak kami.”

Tiba-tiba meloncatlah dari mulut Mahesa Jenar sapaan yang akrab, “Kakang Mantingan dan Wirasaba, adakah kalian telah lama berada di tempat ini?”

Dalang Mantingan dan Wirasaba menganggukkan kepalanya. Terdengarlah Mantingan menjawab, “Sudah… Adi. Aku sudah beberapa bulan bergaul dengan anak-anak Banyubiru, meskipun kadang-kadang aku juga memerlukan kembali ke Wanakerta atau Prambanan bersama-sama dengan Adi Wirasaba.”

Teringatlah Mahesa Jenar pada saat mereka baru saja menyaksikan bahkan terlibat dalam suatu bentrokan melawan golongan hitam yang sedang mempersiapkan sebuah pertemuan di daerah Rawa Pening. Pada saat itu Mahesa Jenar dengan empat orang teman, yaitu Mantingan, Wirasaba, Gajah Alit dan Paningron, harus bertempur melawan seluruh kalangan hitam dari angkatan sebayanya, yang kemudian mendapat bantuan dari Sima Rodra tua dan Pasingsingan.

Untunglah pada saat itu muncul Radite dan Anggara yang menyelamatkan mereka berlima. Pada saat itu ia memang berpesan kepada Mantingan untuk berusaha melihat-lihat keadaan Banyubiru. Agaknya Mantingan benar-benar melaksanakan pesan Radite dan Anggara, bahkan akhirnya mengambil keputusan untuk tinggal bersama-sama dengan mereka.

Kemudian sibuklah pertemuan itu dengan pernyataan keselamatan masing-masing. Wanamerta yang menjadi semakin terharu melihat anak-anak Banyubiru yang masih setia kepada pimpinannya itu, malahan menjadi seperti patung. Ia hanya dapat mendengarkan percakapan-percakapan yang semakin ramai dan gembira, dan sesekali menoleh kesana kemari, tanpa tujuan.

Tiba-tiba dari sela-sela keriuhan percakapan itu terdengarlah Bantaran bertanya, “Tuan. bukankah Tuan telah menyanggupkan kepada kami untuk membawa Arya Salaka…?”

Mahesa Jenar tertawa. Memang, ia menanti pertanyaan itu, sehingga dengan sengaja tidak memperkenalkan kawan-kawan seperjalanannya. Karena itu baru kemudian ia menjawab untuk memperkenalkan mereka.

“Saudara-saudaraku dari Banyubiru…. Baiklah aku memperkenalkan kawan seperjalananku satu persatu.”

Kemudian sambil menunjuk, Mahesa Jenar meneruskan, “Ini, yang duduk di sebelahku adalah Rara Wilis, seorang gadis yang lebih senang menamakan dirinya Pudak Wangi, cucu seorang sakti bernama Pandan Alas. Di sampingnya adalah Endang Widuri, putri Kakang Kebo Kanigara yang duduk di sebelahnya. Dan yang seorang lagi adalah Bagus Handaka.”

Semua mata mengikuti jari Mahesa Jenar. Namun ketika sampai orang yang terakhir, ia tidak menyebut nama Arya Salaka, anak-anak Banyubiru menjadi bertanya-tanya dalam hati.

Bahkan kemudian terdengar suara Penjawi, “Lalu bagaimanakah dengan Arya Salaka…?”

Tetapi seperti juga Jaladri, Penjawi memandang Arya Salaka yang disebut bernama Bagus Handaka itu tanpa berkedip. Sebab pada masa kanak-kanaknya, dengan Penjawi-lah Arya Salaka paling banyak bergaul.

Karena itu sedikit banyak ia masih dapat mengenal wajah itu, meskipun sudah jauh berbeda.

432

MAHESA JENAR tidak menjawab, ia hanya tertawa kecil. Dan karena itulah maka Penjawi tidak menunggu lebih lama lagi. Dengan cepatnya ia berjalan jongkok ke arah Arya Salaka dan dengan suara parau ia berkata hampir berteriak sambil memukul-mukul lengan Arya yang sudah menjadi sekeras baja itu. “Arya, alangkah mengagumkan kau. Benar-benar kau telah menjadi seekor banteng muda yang luar biasa kuatnya. Ah, alangkah malunya aku, yang semakin lama menjadi semakin kering.”

Bersamaan dengan itu tiba-tiba, hampir meledaklah suara membahana, “Arya Salaka telah datang, Arya Salaka telah datang.”

Kemudian tampaklah laskar Banyubiru itu berdesak-desakan di pintu pondok sehingga pintu itu seolah-olah akan mereka tumbangkan karena menghalang-halangi mereka yang ingin melihat kehadiran Arya Salaka diantara mereka. Semua yang menyaksikan peristiwa itu menjadi sangat terharu. Bahkan Rara Wilis sampai menekan dadanya karena tiba-tiba terasa sesuatu menyumbat kerongkongannya. Sedang Endang Widuri tiba-tiba menjadi sangat bangga. Ia tidak tahu kenapa perasaan itu begitu saja tumbuh di dalam dadanya, seolah-olah dirinyalah yang mendapat sambutan sedemikian hangatnya.

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, meskipun tidak kalah terharu, namun mereka berdua telah dapat mengendalikan perasaan mereka, sehingga mereka tetap duduk dengan tenang.

Yang paling tidak dapat mengendalikan perasaannya adalah Wanamerta.
Dalam kesempatan itu, ia merasa bahwa seolah-olah ia telah sampai pada puncak kebahagiaan. Bahkan dengan serta merta terlontar kata-kata dari mulutnya, “Aku tidak keberatan seandainya sekarang juga aku mati, sebab aku telah menyaksikan angger Arya Salaka kembali kepada anak-anak Banyubiru yang setia kepada kebenaran atas hak pada tanah mereka.”

Sedang Arya Salaka sendiri malah menjadi bingung. Ia biasa hidup seperti seekor burung yang bebas lepas di udara, yang seolah-olah tidak mempunyai suatu ikatan apapun. Ia tidak biasa menerima pujian dan sanjungan. Apalagi sikap memanjakan diri. Dan sekarang tiba-tiba terdengarlah teriakan-teriakan nyaring di dalam maupun di luar ruangan itu menyebut namanya. Memuji-mujinya dan bahkan ada diantaranya yang mengaguminya, seolah-olah dirinya menjadi seorang pahlawan yang baru memenangkan perang.

Karena itulah maka tubuhnya menjadi gemetar. Wajahnya bertambah lama bertambah pucat, dan keringat dingin telah memenuhi seluruh tubuhnya. Mahesa Jenar yang bijaksana dapat merasakan keadaan itu. Karena itu segera ia berkata keras-keras, untuk mengatasi segenap keriuhan itu.

“Saudara-saudara rakyat Banyubiru yang setia…. Atas nama Arya Salaka, aku ucapkan terima kasih atas sambutan kalian. Tetapi aku minta janganlah kalian menyambut kedatangannya dengan berlebih-lebihan. Sebab sikap yang demikian akan besar pengaruhnya, meskipun aku yakin akan keteguhan hati Arya Salaka, namun bersikaplah sewajarnya. Dengan demikian, segala sesuatu akan berlangsung dengan wajar pula. Tanpa berlebih-lebihan, tanpa pengaburan atas nilai yang sebenarnya. Dengan demikian saudara-saudara tidak akan mudah menjadi kecewa apabila ada hal-hal yang tidak seperti saudara harapkan.”

Suara Mahesa Jenar itu ternyata dapat menenangkan suasana di dalam ruangan itu, namun di luar ruangan masih saja terjadi keributan dan teriakan-teriakan. Mereka agaknya tidak puas sebelum dapat memandang wajah anak kepala daerah mereka yang telah mereka anggap hilang itu.

Karena itu mereka masih saja berusaha untuk dapat berdiri di pintu. Dengan demikian akhirnya Mahesa Jenar merasa perlu untuk menenangkan mereka dengan membawa Arya Salaka keluar.

Maka berkatalah ia kepada Bantaran dan Penjawi, “Biarlah Arya Salaka berdiri di depan pintu sebentar, agar mereka menjadi puas.”

Bantaran dan Penjawi menyetujui, serta mempersilakan Arya Salaka untuk berdiri sebentar, menerima sambutan dari rakyat.

Maka berkatalah Mahesa Jenar kepada Arya Salaka, “Marilah kita berdiri di muka pintu itu sebentar Arya Salaka, dan berkatalah sepatah dua patah kata kepada rakyatmu.”

Arya Salaka menjadi semakin gelisah. Ia lebih tenang pada saat ia berhadapan dengan Uling Kuning dan Uling Putih daripada waktu itu. Dengan tergagap ia menjawab, “Paman sajalah yang berbicara kepada mereka, atau Kakang Penjawi.”

Mahesa Jenar tersenyum, katanya, “Mereka tidak akan mau mendengarkan siapa saja yang akan berbicara selain kau.”

Keringat Arya Salaka semakin banyak mengalir. Tetapi ia tidak dapat membantah lagi ketika Mahesa Jenar kemudian berdiri dan menarik tangannya. Dengan jantung yang berdegupan Arya Salaka digandeng oleh Mahesa Jenar berjalan ke arah pintu diikuti oleh Penjawi, Bantaran, Kebo Kanigara, Rara Wilis dan Widuri.

Ketika Arya muncul di muka pintu, meledaklah tepuk tangan riuh, dibarengi dengan teriakan-teriakan yang menyebut-nyebut nama anak kepala daerah perdikan Banyubiru itu. Sedang Arya Salaka sendiri berdiri terpaku tanpa bergerak.

Terdengarlah kemudian Mahesa Jenar berbisik di telinganya,
“Berbicaralah, Arya….”
Arya menjadi semakin bingung. Maka bisiknya pula, “Apakah yang harus aku
bicarakan?”
“Ucapkanlah pernyataan terima kasih kepada mereka dan katakan bahwa kau masih lelah sehingga kau perlu segera beristirahat. Karenanya pembicaraan yang agak panjang kau tunda sampai besok,” jawab Mahesa Jenar berbisik-bisik.

Mula-mula Arya Salaka masih tetap gelisah menghadapi keadaan yang tidak disangka-sangkanya itu. Tetapi tiba-tiba dari jantungnya meledaklah perasaan tanggungjawabnya, didorong pula oleh darah kepemimpinan yang mengalir dalam tubuhnya.

433

No. 433

ARYA SALAKA kemudian berhasil menguasai dirinya dan memperoleh keseimbangan. Sehingga dengan demikian ia menjadi agak tenang. Maka dicobanya untuk menyampaikan pernyataan terima kasih kepada rakyat yang menyambutnya itu.

Namun bagaimanapun juga, suaranya masih terdengar gemetar.

“Saudara-saudaraku dari Banyubiru. Yang pertama-tama akan aku sampaikan kepada kalian, adalah pernyataan terima kasih yang sebesar-besarnya atas sambutan kalian yang sama sekali tidak aku duga. Seterusnya, karena aku masih sangat lelah perkenankanlah aku beristirahat dahulu. Besok pembicaraanku akan aku perpanjang lagi.”

Mahesa jenar tersenyum mendengar uraian Arya Salaka yang masih terasa bongkah-bongkah itu. Meskipun demikian kata-kata itu cukup untuk dapat menenangkan rakyatnya. Namun masih juga terdengar teriakan-teriakan yang meminta Arya untuk berbicara lebih banyak lagi.

Kemudian tampillah Bantaran, yang meminta kepada rakyat Banyubiru yang tetap teguh pada pendiriannya itu, untuk memberi kesempatan kepada Arya Salaka beristirahat.

“Nah saudara-saudaraku…” katanya, “Sekarang berilah kesempatan tamu-tamu kita beristirahat. Juga kalian dapat beristirahat sekarang, kecuali mereka yang bertugas. Sebab di hadapan kalian terbentanglah lautan yang penuh dengan badai dan taufan yang harus kalian renangi.

Siapa tahu, besok atau bahkan nanti, kalian harus sudah menerjuninya.”

Dengan demikian maka anak-anak Banyubiru itu kemudian perlahan-lahan meninggalkan pintu barak dimana Arya Salaka masih berdiri bersama dengan kawan-kawan seperjalanannya. Namun kemudian Bantaran tidak mempersilakannya masuk kembali, tetapi mereka dipersilakan untuk pergi ke pondok yang lebih kecil, yang telah dipersiapkan untuk mereka.

Meskipun demikian, karena mereka sama sekali tidak menduga bahwa di dalam rombongan itu akan terdapat dua orang gadis, maka dengan tergesa-gesa mereka terpaksa menyiapkan tempat lain untuk keperluan itu. Demikianlah mereka kemudian dipersilakan beristirahat di tempat masing-masing.

Mantingan dan Wirasaba memerlukan mengunjungi Mahesa Jenar, meskipun hanya sebentar, untuk berkenalan lebih dekat lagi dengan Arya Salaka dan Kebo Kanigara. Setelah itu maka ditinggalkannya mereka bertiga, setelah dipersilakan mereka makan sekadarnya.

Sedang Wanamerta segera terjun ke dalam lingkungan anak-anak Banyubiru yang sudah lama terpisah dengannya, dan kemudian tidur bersama mereka. Malam itu rasanya berjalan demikian cepat. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Arya Salaka segera tenggelam ke dalam mimpi. Demikian juga di dalam pondok yang lain. Rara Wilis dan Endang Widuri yang dikawani oleh Nyi Penjawi, segera tertidur pula.

Di luar pondok itu, tampaklah beberapa orang berjaga-jaga dengan cermatnya. Sebab dalam tanggapan mereka, keselamatan gadis-gadis itu sangat tergantung kepada penjagaan yang mereka lakukan. Ketika mereka terbangun pada pagi harinya, dan kemudian keluar dari pondok masing-masing, tampaklah betapa cerahnya matahari pagi.

Sinar-sinarnya yang menembus daun-daun pepohonan terpercik di atas tanah lembab, membuat gambaran-gambaran yang menyenangkan. Seolah-olah gambaran anak-anak yang dengan lincahnya berloncat-loncatan dengan penuh kegembiraan menyambut hari yang bakal datang. Sedang angin pagi mengalir lambat membawa udara sejuk segar.

Pada hari itu Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Arya Salaka diantar oleh Bantaran, Penjawi, Mantingan, Wirasaba dan Wanamerta melihat-lihat keadaan di sekitar barak-barak itu. Melihat persiapan-persiapan yang mereka lakukan. Dari mereka itulah Mahesa Jenar mengetahui bahwa sebagian besar rakyat Banyubiru tetap menanti kedatangan kepala daerah perdikan mereka. ternyata dengan bantuan yang mengalir tak henti-hentinya. Meskipun dengan bersembunyi-sembunyi mereka dapat mengirimkan makanan, pakaian dan senjata. Bahkan anak-anak Banyubiru telah mendapat perkakas yang cukup untuk membuka hutan.

Karena itulah rombongan itu bukan saja rombongan orang-orang yang menyingkirkan diri, namun mereka termasuk perintis-perintis pula dalam perluasan daerah pertanian Banyubiru. Sebab disamping mempersiapkan diri mereka untuk datang kembali ke Banyubiru, mereka ternyata telah membuka hutan dan membuat tanah pertanian.

Pada hari-hari berikutnya, Mahesa Jenar, Arya Salaka dan kawan-kawannya sempat melihat kesiapsiagaan anak-anak Banyubiru itu. Mereka mendapat kesempatan untuk melihat anak-anak Banyubiru itu berlatih.

Mula-mula Mahesa Jenar menjadi heran melihat kemajuan yang pesat dibandingkan masa-masa Banyubiru beberapa tahun yang lalu. Justru setelah mereka didorong ke tengah-tengah hutan. Tetapi keheranan itu kemudian lenyap ketika ia melihat Mantingan dan Wirasaba berada diantara mereka. Agaknya kedua orang itu, disamping Penjawi dan Bantaran, yang telah bekerja mati-matian untuk melatih anak-anak Banyubiru itu.

Melihat tingkat pengetahuan laskar Banyubiru itu, Arya Salaka pun berbangga pula. Ternyata bahwa mereka lebih maju daripada laskar Gedangan. Sebaliknya, apa yang diduga Bantaran sebelumnya ternyata benar-benar terjadi. Dengan kehadiran Arya Salaka, laskar Banyubiru merasa mendapat suatu karunia yang tiada taranya. Mereka menjadi semakin teguh pada tekadnya. Kembali ke Banyubiru.

Tetapi meskipun demikian Bantaran, Penjawi dan beberapa orang pemimpin laskar Banyubiru itu masih tetap bimbang. Bukan karena meragukan kesetiaan laskarnya, yang menurut penilaiannya telah menyerahkan diri mereka bulat-bulat sampai tetes darah terakhir. Tetapi sebagai seorang pemimpin, mereka berkewajiban menilai kekuatan mereka sendiri untuk diperbandingkan dengan kekuatan lawan mereka.

434

MEREKA harus tidak menutup mata terhadap kenyataan yang ada. Mereka harus memperhitungkan bahwa laskar Pamingit yang bergabung dengan sebagian orang-orang Banyubiru yang tidak setia terdapatlah nama-nama besar seperti Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti. Disamping itu Bantaran dan kawan-kawannya selalu meragukan apakah kira-kira yang akan dilakukan Ki Ageng Sora Dipayana apabila benar-benar terjadi bentrokan antara dua kekuatan itu. Di pihaknya, ia yakin bahwa Kebo Kanigara dapat diketengahkan. Bantaran pernah melihat sendiri, paman guru Mahesa Jenar itu berhasil menyelamatkan diri setelah bertempur melawan sepuluh orang pengawal Lembu Sora. Tetapi bila Ki Ageng Sora Dipayana melibatkan diri dalam perselisihan itu, apakah Kebo Kanigara dapat mengimbanginya?

Kemudian Bantaran harus menilai Mahesa Jenar pula. Dahulu, sepengetahuannya, Mahesa Jenar memiliki ilmu setingkat dengan Gajah Sora. Ki Ageng Gajah Sora sendiri pernah mengatakan. Tetapi sekarang Ki Ageng lembu Sora pesat sekali maju. Ia mendapat tuntunan yang tiada henti-hentinya dari Ki Ageng Sora Dipayana, sehingga Lembu Sora sekarang telah melampaui kakaknya, Gajah Sora. Sedang Mahesa Jenar, apakah yang diperolehnya selama ini, meskipun berada di lingkungan paman gurunya?

Apalagi kemudian pimpinan laskar Banyubiru harus memperhitungkan pula Arya Salaka, yang mau tidak mau akan berhadapan kepentingan dengan Sawung Sariti. Apa yang mereka lihat sekarang, Sawung Sariti benar-benar telah menjadi seorang pemuda yang luar biasa.

Ia dengan beraninya menghadapi lawan-lawannya sebagai seekor ayam jantan di arena pertarungan. Selain itu ia dapat bergerak dengan sangat lincahnya seperti seekor burung sariti di udara. Apalagi ia pun telah mendapat tempaan dari kakeknya. sehingga anak muda itu benar-benar memiliki ilmu yang menakutkan.

Meskipun dari Wanamerta, Bantaran telah mendengar apa yang pernah terjadi antara Arya Salaka dan Sawung Sariti, namun ia menganggap bahwa Sawung Sariti kemudian telah lebih maju lagi dengan pesatnya, disamping dugaan-dugaan bahwa Wanamerta agak terlalu bangga terhadap Arya Salaka. Dalam pada itu pimpinan laskar Banyubiru itu tidak mengada-ada. Namun sebagai pemimpin ia harus bertindak hati-hati. Meskipun demikian ia tidak sampai hati untuk mengatakannya kepada Mahesa Jenar yang kemudian diharap akan dapat memimpin laskar Banyubiru.

Yang dapat mereka lakukan kemudian hanyalah sebuah pernyataan untuk meminta Mahesa Jenar memimpin laskar Banyubiru. Sebab mau tidak mau mereka harus mengakui bahwa Mahesa Jenar kecuali memiliki ilmu yang lebih tinggi daripada setiap orang yang ada, mereka juga mengetahui bahwa Mahesa Jenar adalah bekas seorang perwira prajurit Demak. Tentu saja Mahesa Jenar tidak menolak. Bahkan ia merasa mendapat jalan untuk menentukan cara laskar Banyubiru berbuat. Ia ingin membuat laskar Banyubiru laskar yang kecuali baik dalam tata cara bertempur, juga harus merupakan laskar yang baik dalam bertindak. Di dalam atau di luar lingkaran pertempuran.

Maka sejak saat itulah Mahesa Jenar mengambil pimpinan dari tangan Bantaran dan Penjawi. Dan sejak itu pula Mahesa Jenar menyelenggarakan latihan yang lebih teratur untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang terjadi.

Demikianlah, akhirnya Mahesa Jenar sampai pada suatu saat dimana ia menganggap bahwa waktunya telah tiba untuk berbuat sesuatu ke arah penyelesaian masalah Banyubiru. Karena itulah maka segera mengadakan persiapan-persiapan terakhir.

Dalam pada itu adalah diluar dugaan sama sekali, ketika tiba-tiba datanglah seorang yang ditugaskan untuk tinggal di Banyubiru, yang mengabarkan bahwa Banyubiru, sebuah desas-desus yang tersebar luas mengatakan bahwa keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten kini berada di Banyubiru.

Mahesa Jenar terkejut mendengar khabar itu. Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten jelas berada di tangan Panembahan Ismaya. Tetapi kenapa tiba-tiba orang mendesas-desuskan bahwa keris itu berada di Banyubiru…?

Mula-mula kepada orang yang membawa khabar itu Mahesa Jenar menanyakan, kira-kira dari manakah sumber berita itu. Tetapi orang itu pun sama sekali tidak mengetahui. Namun ia dapat mengatakan bahwa karena itulah maka di Banyubiru timbul kegelisahan. Sebab adanya desas-desus itu akan banyak akibat yang dapat terjadi. Karena itulah Mahesa Jenar merasa bahwa ia telah didesak oleh keadaan untuk bertindak lebih cepat. Ia masih teringat jelas bahwa golongan hitam pun sangat memerlukan keris-keris itu. Sebenarnya ia sama sekali tidak percaya, bahwa kedua keris itu dengan tiba-tiba saja berada di Banyubiru, sebab ia yakin bahwa tak seorang pun yang dikenalnya, dapat melampaui segala macam ilmu yang dimiliki

Panembahan Ismaya. Seandainya dua-tiga orang sakti sekalipun yang datang ke Bukit Karang Tumaritis, pasti orang-orang itu tidak akan berhasil mendapatkan Kyai Nagasasra dan Kyai sabuk Inten, apalagi orang-orang Banyubiru. Biarpun mereka datang bersama-sama. Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng lembu Sora dan Sawung Sariti beserta seluruh laskarnya. Karena itu ia akhirnya sampai suatu kesimpulan bahwa di belakang desas-desus itu pasti tersembunyi suatu maksud.

435

SETELAH Mahesa Jenar berunding dengan Kebo Kanigara, ia memutuskan untuk segera membawa Arya Salaka ke Banyubiru. Sudah barang tentu Mahesa Jenar bertindak menurut caranya, yang merupakan pancaran dari wataknya. Ia tidak segera membawa pasukannya ke Banyubiru sekaligus dalam persiapan tempur dengan mempergunakan gelar perang, tetapi ia mengharap bahwa segala sesuatu dapat diselesaikan menurut cara yang baik.

Mula-mula Bantaran, Penjawi, bahkan Wanamerta heran melihat kelunakan sikap Mahesa Jenar itu. Bahkan mereka menduga bahwa di dalam hati Mahesa Jenar meragukan kekuatan laskarnya. Karena itulah maka mereka mengajukan pertimbangan lain. Mereka mendesak agar Mahesa Jenar memaksa dengan kekuatan untuk mengusir Lembu Sora dari Banyubiru. Sebab mereka tidak melihat cara lain yang dapat dipergunakan selain cara itu.

Mahesa Jenar memahami sepenuhnya perasaan yang bergolak di dalam dada Bantaran, Penjawi dan anak-anak Banyubiru, yang terpaksa menyingkir dari kampung halaman mereka sendiri. Mereka telah mengalami tekanan lahir batin. Kepahitan yang selama ini harus mereka telan, telah menyebabkan mereka menjadi dendam. Apalagi mereka merasa bahwa mereka telah melakukan tindakan kebenaran. Mempertahankan hak atas tanah mereka.

Mereka dikejar-kejar, dimusuhi, ditangkap dan segala macam usaha yang lain untuk menakut-nakuti agar mereka melepaskan kesetiaan mereka kepada tanah mereka. Tetapi ternyata lebih baik bagi mereka menyingkirkan diri, meninggalkan kampung halaman, untuk tetap mempertahankan pendirian mereka.

Mempertahankan kesetiaan mereka terhadap tanah pusaka mereka, terhadap tanah tercinta.
Karena itu Mahesa Jenar harus bersikap hati-hati terhadap mereka. Ia tidak dapat demikian saja memaksa mereka untuk melepaskan dendam mereka. Tetapi ia harus berusaha menumbuhkan dari dalam diri mereka masing-masing, pengertian tentang apa yang akan mereka lakukan.

Dengan penuh kebijaksanaan berkatalah Mahesa Jenar kepada Bantaran, Penjawi beserta para pemimpin laskar Banyubiru, “Saudara-saudaraku… kalau kalian gagal untuk menginjakkan kaki kalian beserta Arya Salaka kembali ke Banyubiru, akulah orang yang pertama-tama akan menyatakan penyesalan yang sedalam-dalamnya. Dan akulah orangnya yang akan menerjunkan diri, mengorbankan segala yang ada padaku untuk kepentingan kalian. Sebab aku telah menerima penyerahan dari kakang Gajah Sora atas putranya, Arya Salaka, beserta segala kelengkapan atas dirinya. Diantaranya kedudukan kepala daerah perdikan Banyubiru. Karena itu percayalah bahwa aku akan bekerja keras untuk melaksanakan pekerjaan itu.”

Setelah menarik nafas sejenak, Mahesa Jenar meneruskan, “Tetapi berilah aku kesempatan menyelesaikan menurut cara yang akan aku tempuh. Pertama-tama aku akan berusaha untuk menempuh jalan yang sebaik-baiknya. Lembu Sora adalah adik Gajah Sora. Aku masih ingin melihat bahwa masih ada hubungan dari mereka berdua. Hubungan yang sangat dekat. Mereka dialiri darah dari sumber yang sama. Apabila cara ini tidak berhasil, barulah aku akan mempergunakan cara lain. Membawa kalian serta. Tetapi ingat, bahwa apa yang kalian lakukan bukanlah pembalasan dendam. Yang akan kalian lakukan adalah mengambil hak kalian kembali. Hak atas tanah kalian dan hak atas pimpinan daerah kalian. Karena itu maka yang harus kalian lakukan adalah sesuai dengan tujuan itu. Jangan ada diantara kalian yang mempergunakan kesempatan ini untuk kepentingan diri sendiri. Melepaskan dendam pribadi kepada orang-orang yang sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan perjuangan kalian mengambil kembali kampung halaman kalian. Kesetiaan kalian.”

Selanjutnya Mahesa Jenar mengatakan, “Aku percaya bahwa kalian akan dapat menunjukkan kebesaran jiwa kalian, yang dengan demikian akan menunjukkan pula perbedaan antara kalian dengan orang-orang yang berjiwa kerdil, yang hanya mengenal kepentingan diri daripada kepentingan bersama. Dengan demikian pekerjaan kalian hanya terbatas sampai hak atas tanah perdikan itu kembali. Seterusnya kalian tidak perlu berbuat apa-apa lagi, yang barangkali malah akan menyuramkan nama kalian. Yang harus kalian ingat pula, bahwa kecuali kalian dan orang-orang Pamingit itu masih ada orang-orang yang termasuk di dalam barisan golongan hitam.

Tidak mustahil kalau mereka akan mengambil setiap kesempatan, mengail di air keruh. Kalau kalian kemudian terlibat dalam permusuhan yang berlarut-larut, maka dengan senangnya mereka akan datang dan membangun istana kemenangan dia atas bangkai-bangkai kalian tanpa bersusah-payah lagi.”

Bantaran, Penjawi, Wanamerta beserta para pemimpin laskar Banyubiru menundukkan kepala mereka. Mereka mengerti sepenuhnya apa yang baru saja didengarnya. Di dalam hati mereka terbersitlah pengakuan atas kebenaran kata-kata itu.

Tiba-tiba mereka menjadi sadar bahwa orang-orang Pamingit, lebih-lebih orang Banyubiru itu sendiri, adalah saudara-saudara mereka. Ada diantara mereka yang berkakak, beradik, berkemenakan dan bersepupu dengan orang-orang Pamingit.

Kemudian terdengarlah Mahesa Jenar meneruskan, “Saudara-saudaraku… kalian harus dapat menempatkan diri kalian dalam tindakan kalian kali ini. Sekali lagi aku ingatkan, marilah kita ambil hak kita, milik kita sendiri. Selebihnya tidak. Apalagi apa yang dinamakan pembalasan dendam.”

Pemimpin-pemimpin Banyubiru itu masih tetap berdiam diri, namun tanpa mereka sadari, mereka telah mengangguk-anggukkan kepala mereka sebagai suatu pernyataan setuju atas segala uraian Mahesa Jenar. Sehingga kemudian Mahesa Jenar megakhiri pertemuan itu. Dengan minta doa restu kepada segenap laskar Banyubiru, ia minta diri untuk pergi ke Banyubiru. Beberapa orang dimintanya ikut serta untuk menyaksikan apa yang akan mereka bicarakan. Diantaranya adalah Wanamerta, Bantaran, Penjawi, dan Kebo Kanigara.

Kali ini Mahesa Jenar menganggap belum waktunya membawa serta Arya Salaka. Rombongan ini tidak lebih daripada sebuah rombongan utusan dari Arya Salaka selaku orang yang berhak atas daerah perdikan Banyubiru, mengadakan pembicaraan pendahuluan mengenai hari kemudian Banyubiru.83
MAHESA JENAR masih menyangsikan apakah keselamatan Arya Salaka tidak terancam bila ia dibawanya serta bersama-sama dengan rombongan itu. Sebab ia masih belum dapat menggambarkan bagaimanakah tanggapan Lembu Sora, terutama Ki Ageng Sora Dipayana atas kehadiran Arya Salaka.

Demikianlah rombongan utusan itu dilepas dengan debaran hati segenap laskar Banyubiru yang terpaksa menyingkir ke daerah Candi Gedong Sanga. Meskipun ada diantara mereka yang meragukan keberhasilan pembicaraan mereka, namun cara itu merupakan cara yang terhormat sebelum cara-cara yang lain harus ditempuh.

Arya Salaka sendiri sangat kecewa ketika Mahesa Jenar memintanya untuk tinggal di Candi Gedong Sanga. Sebenarnya ia ingin sekali untuk segera dapat melihat Banyubiru. Tanah tempat ia dilahirkan, tempat ia menerima kasih sayang ayah bunda.

Ketika rombongan Mahesa Jenar lenyap di balik batang-batang liar di daerah hutan itu, tiba-tiba terasalah hatinya seperti tergores oleh sembilu. Tiba-tiba ia teringat kepada ayah dan bundanya. Kepada ayahnya yang terpaksa terpisah darinya karena pokal pamannya. Demikian juga ibunya. Terbayanglah di dalam otaknya, apakah yang kira-kira terjadi atas ibunya selama ini.

Selama ia tidak pernah mencium pipinya seperti pada masa kanak-kanaknya.
Karena itulah tiba-tiba hatinya meronta. Kenapa ia tidak berlari menyusul rombongan itu.

Tetapi dalam pada itu terasalah tangan halus menyentuh pundaknya. Ketika ia menoleh, dilihatnya Rara Wilis berdiri di belakangnya. Arya Salaka mengetahui hubungan apakah yang terjalin antara gadis itu dengan gurunya. Karena itu ia menghormati Rara Wilis seperti ia menghormati gurunya. Dengan demikian ia tidak membantah ketika Rara Wilis mengajaknya dengan penuh pengertian untuk kembali ke dalam pondoknya.

Sebagai seorang gadis, hati Rara Wilis mulai tersentuh. Demikian juga ketika ia melihat betapa kecewa hati Arya Salaka, karena ia tidak diperkenankan ikut serta bersama gurunya. Hatinya menjadi iba.

“Jangan berduka, Arya…” nasihat Rara Wilis, “Besok atau lusa kau akan pergi juga ke sana. Kalau saat ini pamanmu tidak membawamu adalah semata-mata karena pertimbangan keselamatanmu.”

Arya menundukkan mukanya. Ia tahu benar alasan itu, tetapi perasaannya amatlah susah dikendalikan. Karena Rara Wilis bagi Arya tidak ubahnya dengan gurunya, dan orang tuanya sendiri.

Maka kepadanya Arya Salaka pun berkata terus terang, “Bibi, aku dapat mengerti sepenuhnya kenapa Paman tidak membawa aku serta. Tetapi tiba-tiba saja perasaan rinduku kepada tanah kelahiran itu tak dapat aku kendalikan lagi. Lebih dari itu, betapa rinduku kepada Bunda, yang sejak lima tahun lalu tak pernah aku dengar khabar beritanya.”

Dalam pada itu, betapa Arya Salaka berusaha sekeras-kerasnya, namun di kedua belah matanya mengembanglah air matanya yang bening, sebening hatinya.

Mendengar pernyataan Arya Salaka, Rara Wilis terdiam. Bahkan tiba-tiba iapun teringat kepada ibunya. Ibunya yang sudah tidak akan dapat dijumpainya lagi. Maka iapun menjadi berduka pula. Namun demikian ia masih mencoba untuk menghibur hati Arya.

“Arya… meskipun tertunda beberapa waktu namun kau akhirnya akan dapat bertemu dengan bunda tersayang. Tetapi tidaklah demikian dengan aku, Arya. Kau masih harus mengucapkan terimakasih, bahwa kau masih menyimpan harapan di dalam dadamu. Sedang aku, sama sekali harapan itu telah padam sejak lama. Aku tidak akan bertemu lagi, sekarang, besok, lusa atau kapanpun dengan ayah bundaku.”

Kemudian keduanya terdiam. Masing-masing hanyut ke dalam dunia angan-angan. Kepada kerinduan yang menyentuh-nyentuh perasaan masing-masing. Sehingga ruangan itu kemudian menjadi hening sepi.

Tetapi keheningan itu tiba-tiba dikejutkan oleh suara Endang Widuri yang berlari-lari masuk.

Katanya berderai dengan penuh kegembiraan. “Bibi… alangkah banyaknya bunga anggrek di hutan ini.”

Wilis tersadar dari angan-angannya. Dengan tersenyum kecil yang dipaksakan ia menjawab, “Adakah kau mendapatkannya, Widuri…?”

“Inilah, Bibi…” sahut Widuri sambil menyerahkan setangkai bunga anggrek yang berbentuk seekor kala.

“Dari manakah kau dapatkan bunga ini?” tanya Wilis.

“Di lembah sebelah itu, Bibi…” jawab Widuri.

Rara Wilis menarik nafas. Lembah di sebelah adalah lembah yang terjal dan berbahaya. Agaknya Widuri memang anak yang benar-benar nakal.

Katanya kemudian, “Jangan bermain-main di tempat yang berbahaya, Widuri. Di sana banyak ular-ular berbisa. Mungkin juga ada harimau yang buas.”

“Tidak Bibi,” sahut Widuri dengan nakalnya. “Tidak ada ular dan tidak ada harimau yang mengganggu. Tetapi tadi memang ada orang yang mencoba menangkap aku.”

Rara Wilis dan Arya Salaka terkejut seperti disengat kala.
Dengan penuh perhatian Rara Wilis bertanya, “Ada orang yang akan menangkap kau…?”

Widuri mengangguk seenaknya, seolah-olah peristiwa itu sama sekali tidak penting baginya.

“Tahukah kau sebabnya…?” tanya Rara Wilis.

“Entah,” jawab Widuri. “Mungkin orang itulah yang menanam anggrek ini.”

“Mustahil,” sahut Arya Salaka. “Anggrek yang tumbuh di lembah itu tak seorangpun yang menanamnya.”

Widuri kemudian menjadi heran. Katanya, “Lalu kenapa ia akan menangkap aku?”

“Itulah yang ingin kami ketahui,” sela Rara Wilis. “Apakah katanya padamu mula-mula…?”

Widuri mengingat-ingat sebentar, lalu jawabnya, “Ia bertanya, kenapa aku berada di lembah itu.”

“Bagaimana kau menjawab?” selidik Arya.

Naga 437

ENDANG WIDURI menjadi jengkel pada pertanyaan-pertanyaan itu. Tetapi ia menjawab pula, ”Aku katakan kepadanya, bahwa aku ingin bunga anggrek ini.”

”Tidakkah ia bertanya tentang kau…?” tanya Wilis pula. Karena pertanyaan-pertanyaan itu agaknya masih panjang, Widuri kemudian menjatuhkan dirinya di samping Rara Wilis. Dan dengan malasnya ia menjawab panjang, sebab ia tahu bahwa kemudian pertanyaan-pertanyaan masih akan mengalir seperti banjir. Katanya, ”Ya, ia bertanya tentang aku. Ia bertanya siapakah namaku dan dari manakah aku datang. Aku datang bersama siapa dan untuk apa.”

Ketika Arya akan mengajukan pertanyaan lagi, Widuri sudah mendahului, ”Aku jawab semuanya. Aku bernama Endang Widuri. Aku datang dari Karang Tumaritis. Aku datang bersama sahabatku yang bernama Arya Salaka putra kepala daerah perdikan Banyubiru, yang datang untuk mengambil haknya kembali dari tangan pamannya yang jahat.”
”Kau katakan itu semua?” sela Wilis dengan cemas.
”Ya, aku katakan semua itu. Aku katakan bahwa bersama-sama dengan kami datang pula ayah, Kebo Kanigara, Mahesa Jenar yang perkasa bersama Bibi Rara Wilis yang cantik.”
”Ssst…” potong Rara Wilis. ”Jangan nakal,” bisiknya.

Mau tidak mau ia harus tersenyum. Namun berita itu bagi Arya Salaka dan Rara Wilis merupakan berita yang cukup penting. Karena itu ia ingin kelanjutan cerita Widuri, meskipun ia tidak sabar mendengar cara Widuri berkisah.

”Lalu, apakah yang dilakukannya?” tanya Arya Salaka.

”Orang itu tiba-tiba menjadi sangat menakutkan. Matanya terbelalak dan dengan marah ia memaksa aku untuk ikut serta bersamanya,” jawab Widuri.

Wilis menarik nafas sekali lagi. Pasti ada hal-hal yang sama sekali tidak pada tempatnya.

”Apakah orang itu bukan orang diantara kita di sini?” tanya Wilis.

Mendengar pertanyaan Rara Wilis, Endang Widuri tertawa, lalu jawabnya, ”Pasti bukan, Bibi. Kalau orang itu salah seorang diantara kita pasti ia tidak akan bertanya tentang aku.”

Sekali lagi Rara Wilis terpaksa tersenyum. Katanya, ”Maksudku adalah untuk menguatkan dugaanku bahwa orang itu pasti mempunyai kepentingan yang rahasia terhadap kita di sini. Terhadap seluruh kekuatan anak-anak Banyubiru.”

Endang Widuri mengerutkan keningnya. Agaknya baru sekarang ia sadar bahwa apa yang dilakukan oleh orang itu adalah jauh lebih berbahaya daripada seorang pemilik anggrek yang kehilangan bunganya. Karena itu tiba-tiba ia bercerita dengan penuh minat.

”Bibi, memang agaknya orang itu sangat aneh. Ketika ia marah kepadaku, aku minta maaf bahwa aku memetik bunganya sebelum aku minta izin kepadanya. tetapi agaknya ia sama sekali tidak memperhatikan.”

Endang Widuri berhenti sejenak untuk mengingat apa yang baru saja terjadi. Kemudian ia meneruskan, ”Bahkan kemudian ia berusaha untuk menangkap aku. Tentu saja aku tidak mau. Maka ketika ia memaksa, aku terpaksa melawannya.”

Kemudian tiba-tiba Endang Widuri tegak berdiri. Sambil menirukan beberapa gerak yang lincah, ia bercerita tentang perkelahiannya. Widuri sebenarnya seorang gadis yang memiliki ilmu tata beladiri jauh lebih dewasa dari sifat-sifatnya yang kekanak-kanakan. Dalam persoalan tata beladiri, Widuri telah dapat disejajarkan dengan tokoh-tokoh yang cukup mempunyai nama cemerlang. Tetapi karena ia tidak pernah meninggalkan padepokan, maka hampir tak seorang pun yang mengenalnya. Ditambah lagi dengan sifatnya sebagai gadis tanggung yang selalu dimanja oleh ayahnya. Dengan demikian perkelahian yang baru saja terjadi itu pun baginya seolah-olah hanya permainan yang tidak menyenangkan.

”Tetapi ternyata orang itu hanya besar kepala saja. Tenaganya tidak lebih dari seekor kelinci. Meskipun demikian, karena aku tidak bersedia untuk berkelahi, maka aku mengenakan kain panjang ini. Dan ketika aku lupa, dan menyerangnya dengan kaki, kainku jadi sobek karenanya,” kata Endang Widuri mengakhiri ceritanya. Lalu dengan bersungut-sungut ia menunjukkan kain panjangnya yang sobek lebih dari dua cengkang di bagian belakang.
Endang Widuri kemudian duduk kembali di samping Rara Wilis. sedang Arya Salaka dan Rara Wilis terpaksa menggelengkan kepala. Kemudian bertanyalah Arya Salaka, ”Kau apakan kemudian orang itu…?”

”Ia kemudian melarikan diri, dan lenyap di dalam gerumbul-gerumbul liar di lembah itu,” jawab Endang Widuri.

Berita itu bagi Rara Wilis dan Arya Salaka sangat penting artinya. Karena itu kemudian Arya minta diri untuk menemui Mantingan, Wirasaba dan Jaladri, yang selama Mahesa Jenar bersama-sama beberapa orang pergi ke Banyubiru, merekalah yang diserahi pimpinan atas anak-anak Banyubiru.

”Berita itu sangat penting, Angger,” kata Mantingan setelah dengan seksama mendengarkan cerita Arya Salaka tentang Endang Widuri.

”Bagaimana mungkin penjagaan kita yang kuat dapat diterobos, kalau bukan oleh orang yang cukup tangguh. Meskipun demikian aku heran juga, bahwa Endang Widuri dapat mengalahkannya,” lanjut Mantingan.

Tiba-tiba Arya Salaka menjadi bangga atas pujian itu. Pujian untuk Endang Widuri. Karena itu tanpa dikehendakinya sendiri ia telah ikut serta memuji gadis tanggung itu.

Mantingan mengangguk-anggukkan kepalanya. ”Pantaslah kalau ia putri Kakang Kebo Kanigara. Apalagi selama ini Endang Widuri berada dalam lingkungan yang menguntungkan. Bersama-sama dengan Angger, gadis itu merupakan pasangan berlatih yang mengagumkan,” gumamnya kepada Arya Salaka.

Terasa wajah Arya Salaka menjadi panas. Maka berusahalah ia menjawab, ”Apakah Paman pernah melihat aku atau Widuri berlatih?”

438
MANTINGAN tertawa lirih. Umurnya yang telah menjangkau lebih dari setengah abad itu telah menjadikannya orang yang cukup mengenal perasaan seseorang. Apalagi berhubungan dengan pekerjaannya sebagai seorang dalang. Karena itu ia tidak melanjutkan gurauannya. Apalagi persoalan yang dihadapinya cukup penting. Sehingga segera ia kembali pada persoalan berita yang dibawa oleh Endang Widuri.

”Apakah yang sebaiknya kami lakukan?” Mantingan mencoba untuk mendapat pertimbangan dari Wirasaba, Arya Salaka dan Jaladri. Sesudah berpikir sejenak, berkatalah Wirasaba, ”Satu hal yang patut menjadi pertimbangan adalah, orang itu telah mengetahui bahwa di sini ada Adi Mahesa Jenar, Kakang Kebo Kanigara, Angger Arya Salaka, dan yang dikenalnya langsung adalah Angger Widuri sendiri. Orang itu pasti akan mengatakan bahwa di sini ada seorang gadis kecil yang sangat berbahaya. Kalau gadis itu telah dapat mengalahkannya, apalagi orang-orang yang bernama Kebo Kanigara, Mahesa Jenar dan Arya Salaka.”

Mantingan mengangguk membenarkan. Padahal Kebo Kanigara, Mahesa Jenar dan beberapa orang lain sedang berada di perjalanan ke Banyubiru.

”Kalau demikian…” sambung Jaladri, ”Tempat kita ini berada dalam bahaya. Kalau mereka mengetahui bahwa orang-orang yang bernama Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar sedang berada di perjalanan, mungkin sekali mereka akan mempergunakan kesempatan itu. Mencegat mereka atau menyerang tempat ini.”

”Baiklah adi Jaladri,” sahut Mantingan. ”Apakah jeleknya kalau kita berhati-hati. Siapkan orang-orangmu dan perkuatlah penjagaan di sekitar tempat ini. Mungkin ada sesuatu yang tidak kita harapkan bisa terjadi.”

Jaladri segera melaksanakan tugas itu. Dipanggilnya beberapa orang pemimpin laskar Banyubiru dan diberinya mereka petunjuk-petunjuk. Mereka sejak saat itu harus sudah siaga tempur. Setiap saat bahaya dapat datang.

Maka sibuklah daerah perkemahan itu dengan berbagai persiapan. Beberapa orang menyiapkan perlengkapan-perlengkapan, beberapa orang lagi mengasah senjata-senjata mereka. Dengan demikian maka perkemahan itu diliputi oleh suasana yang tegang.

Ketika kemudian malam turun perlahan-lahan, seolah-olah tersembul dari hutan di sekitar perkemahan itu, anak-anak Banyubiru menjadi semakin siaga. Penjagaan mereka menjadi semakin rapat. Apalagi penjagaan atas pondok Rara Wilis dan Widuri. Sebab mereka mengira bahwa kedua gadis itu sangat memerlukan penjagaan. Kecuali Mantingan, Wirasaba dan Jaladri, yang kecuali sudah mendengar berita perkelahian antara Widuri dan orang yang mengandung rahasia itu, sebenarnya dari gerak-gerik kedua gadis itu mereka sudah menduga bahwa mereka bukanlah gadis seperti kebanyakan gadis-gadis yang lain.

Sementara itu orang-orang Banyubiru telah dikejutkan oleh kedatangan sebuah rombongan kecil orang-orang berkuda. Dua orang yang di depan mempunyai perawakan yang sedang, tegap dan kuat. Seorang memakai baju hijau gadung, kain lurik hijau gadung pula. Di atas kuping kanannya terselip sekuntum bunga melati hutan. Sedang di sebelahnya, yang seorang lagi berbaju lurik bergaris-garis tebal berwarna coklat dan berkain lurik merah soga berikat kepala biru gelap.

Dengan wajah tengadah mereka memegangi kendali kuda-kuda mereka, yang dengan tegap berjalan ke arah pusat kota. Beberapa orang yang menyaksikan mereka berdua terpaksa menarik nafas dalam-dalam. Meskipun mereka belum pernah mengenalnya, namun mereka seolah-olah melihat dua ekor burung rajawali yang dengan megahnya terbang di udara. Sedang bagi mereka yang pernah mengenalnya lima tahun yang lalu, segera bergumam di dalam mulutnya, dengan mata terbelalak penuh keheranan. ”Bukankah yang menyelipkan bunga di telinga kanannya itu pernah tinggal di Banyubiru beberapa tahun yang lalu, dan bernama Mahesa Jenar…?”

Tetapi segera mereka menjadi semakin heran, ketika mereka kemudian memandang tiga orang berkuda di belakang sepasang rajawali itu. Dan mereka segera meneruskan gumam mereka, ”Dan bukankah mereka itu Ki Wanamerta, Penjawi dan Bantaran…?”

Mula-mula orang-orang Banyubiru itu hanya saling memandang diantara mereka. Tetapi ketika seorang diantara mereka tanpa disengaja menyebut nama Mahesa Jenar agak keras, terdengarlah mereka menjawab bersahutan, ”Ya, orang itulah Mahesa Jenar.”

”Tetapi kenapa tiba-tiba saja ia datang bersama Bantaran dan Penjawi, bahkan dengan Ki Wanamerta?” terdengar suara yang lain.

Tak seorangpun yang menyahut. Malahan mereka tiba-tiba menjadi bingung. Sebab Bantaran dan Penjawi bagi penduduk Banyubiru yang tetap tinggal di kampung halaman mereka serta tidak terlalu banyak mengerti tentang seluk-beluk tanah mereka sendiri, merupakan tokoh-tokoh yang membingungkan. Kadang-kadang penduduk Banyubiru itu mengharap-harap kedatangan mereka, namun kadang-kadang mereka tiba-tiba membencinya sebagai orang-orang yang selalu membawa bencana.

Daerah-daerah, desa-desa dan pedukuhan-pedukuhan yang disinggahi oleh Bantaran dan Penjawi dalam saat-saat terakhir ini, merupakan tanda tidak baik bagi penduduknya. Sebab sesaat kemudian akan datanglah pasukan-pasukan dari Pamingit dan Banyubiru sendiri untuk mengadu dan menangkapi beberapa orang untuk diperiksa.

Sekarang penduduk Banyubiru itu melihat Bantaran dan Penjawi datang bersama-sama dengan Mahesa Jenar. Seorang yang dapat disejajarkan dengan pepunden mereka, Ki Ageng Gajah Sora. Malahan bagi orang-orang Banyubiru itu tampaklah Mahesa Jenar seperti Ki Ageng Gajah Sora itu sendiri, yang datang kembali ke kampung halamannya.

Tetapi sedemikian jauh, mereka hanya dapat saling berbisik diantara mereka sendiri. Tak seorangpun diantara mereka yang berani maju ke depan dan bertanya tentang teka-teki yang berputar-putar didalam benaknya.

Cerita Bersambung 12 Mei 2000
NAGASASRA dan SABUK INTEN
Karya SH Mintarja
439

ROMBONGAN Mahesa Jenar itu pun merasakan, bahwa setiap orang yang melihat kedatangan mereka menjadi heran dan bertanya-tanya diantara mereka. Tetapi rombongan itu pun tetap berdiam diri seperti sama sekali tak ada orang yang melihat mereka.

Demikianlah rombongan itu dengan tenangnya terus berjalan, lewat jalan-jalan sempit diantara daerah-daerah persawahan, menembus jalan-jalan desa dan melintasi jembatan-jembatan bambu di atas parit-parit yang mengalirkan airnya yang jernih.

”Kakang Kanigara…” tiba-tiba terdengar Mahesa Jenar berbisik. ”Adakah Kakang melihat sesuatu yang tidak sewajarnya?”
”Ya” jawab Kanigara. ”Tetapi itu sudah agak jauh lewat.”

Mahesa Jenar mengangguk. Katanya, ”Kalau demikian apa yang Kakang lihat, aku lihat pula.”

Kemudian kembali mereka berdiam diri. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara masih sibuk menduga-duga orang aneh yang dijumpainya sesaat sebelum mereka memasuki tlatah Banyubiru. Seorang berkuda, yang seolah-olah membayangi perjalanan mereka dari punggung-punggung perbukitan. Tetapi ketika rombongan itu memasuki daerah Banyubiru, segera orang itu lenyap di seberang bukit.

Tiba-tiba Mahesa Jenar, Kebo Kanigara beserta segenap orang dalam rombongan itu terkejut, ketika mereka mendengar derap beberapa ekor kuda yang berlari kencang ke arah mereka. Dan belum lagi mereka mengucapkan kata-kata, dari balik tikungan di depan mereka muncullah sebuah rombongan orang berkuda pula. Lebih dari limabelas orang.

Mahesa Jenar mengendorkan lari kudanya, diikuti oleh kawan-kawannya. Mereka masih belum mengetahui, apakah tujuan orang-orang berkuda itu. Maka ketika rombongan itu menjadi semakin dekat, dan tidak mengurangi kecepatan mereka, Mahesa Jenar beserta keempat kawannya segera menepi. Agaknya orang-orang berkuda itu tergesa-gesa. Demikianlah rombongan itu dengan cepatnya berlari melintas. Beberapa orang menoleh kepada Mahesa Jear, tetapi beberapa orang yang lain agaknya tidak peduli. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara segera menutup hidung mereka, supaya tidak dimasuki debu yang berhambur-hamburan dibelakang rombongan itu. Tetapi ketika rombongan itu telah melampauinya, tiba-tiba terdengarlah sebuah aba-aba dari antara mereka. Dan dengan tiba-tiba pula rombongan itu berhenti bersama-sama, sehingga kuda-kuda mereka meringkik dan berputar-putar.

Kemudian beberapa orang diantara mereka tiba-tiba memutar kuda mereka, dan berlari ke arah rombongan Mahesa Jenar.

Ketika Mahesa Jenar memandang Kanigara, Kanigara pun sedang memandangnya. Dengan kedipan mata, Kanigara memberi isyarat kepada Mahesa Jenar dan ketiga kawannya yang lain. Sebab bagaimanapun juga, sesuatu yang tak diharapkan dapat terjadi karena orang-orang itu masih belum mereka kenal sama sekali.

Wanamerta, Bantaran dan Penjawi segera mempersiapkan diri. Sebagi utusan yang bermaksud menempuh penyelesaian yang baik, mereka tak bersenjata, kecuali di punggung mereka terselip sebilah keris sebagai suatu kelengkapan yang lazim. Karena itu, ketika mereka melihat keadaan yang tidak menentu, segera mereka memutar keris mereka di lambung kiri.

Beberapa orang itu menjadi semakin dekat, dan ternyata yang lainpun mengikuti mereka pula. Dan semakin dekat mereka itu, Mahesa Jenar dan kawan-kawannya menjadi semakin bersiap pula untuk menghadapi setiap kemungkinan yang dapat terjadi. Seorang yang bertubuh besar berkulit hitam mengkilap dan bermata tajam seperti mata serigala mengendarai kudanya paling depan dan langsung mengarah kepada Kebo Kanigara.

Melihat orang itu datang kepadanya, Kanigara pun segera menyambutnya. Mula-mula orang itu menghentikan kudanya beberapa langkah dari Kebo Kanigara, kemudian memandangnya dengan tajam. Baru beberapa saat kemudian ia bertanya, ”Ki Sanak, siapakah kalian ini, dan apakah keperluan kalian?”

Kanigara tidak segera menjawab. Tetapi dengan matanya ia minta pertimbangan kepada Mahesa Jenar yang sedikit banyak sudah mengenal daerah Banyubiru. Ketika Mahesa Jenar menggeleng kecil, tahulah Kebo kanigara, bahwa orang-orang itu bukanlah orang-orang Banyubiru. Karena itu segera ia menjawab, ”Apakah Ki Sanak bukan orang Banyubiru?”

Orang itu mengerenyitkan keningnya. Ia tidak senang pertanyaannya dijawab dengan pertanyaan pula. Karena itu dengan kasar ia mengulangi pertanyaannya, ”Aku bertanya kepadamu, siapakah kalian ini?”

Kebo Kanigara tidak ingin bertengkar. Karena itu ia menjawab, ”Kalau kalian belum mengenal kami, pastilah kalian bukan orang Banyubiru, sebab kami adalah penduduk daerah ini.”

Orang itu memandang Kebo Kanigara dengan penuh kecurigaan. Kemudian dipandanginya Mahesa Jenar, Wanamerta, Bantaran dan Penjawi berganti-ganti. ”Benarkah kalian penduduk Banyubiru…?” desaknya.

Cerita Bersambung 13 Mei 2000
NAGASASRA dan SABUK INTEN
Karya SH Mintarja
440

WANAMERTA mendesak maju. Kemudian ia menyahut, ”Sejak lahir aku tinggal di daerah ini. Kau curiga…?”
Tiba-tiba orang itu tertawa. Jawabnya, ”Tidak kakek tua. Aku percaya kalau kau orang Banyubiru. Sebab bentuk kalian mengingatkan aku kepada bentuk-bentuk batu padas yang berbongkah-bongkah keras dan kasar.”
Wanamerta tersinggung oleh jawaban itu. Tetapi ia didahului oleh Kebo Kanigara yang mengenal gelagat. Katanya, ”Sesudah kalian tahu bahwa kami adalah orang-orang Banyubiru, maka kamipun ingin mengetahui, siapakah kalian dan dari manakah kalian?”
Sekali lagi orang itu tertawa. Jawabnya, ”Aku baru saja menemui kepala daerah perdikan kalian. Tetapi orang itu ternyata keras kepala.”
”Kau benar,” sahut Mahesa Jenar. ”Orang itu memang keras kepala. Tetapi apakah keperluan kalian?”

Tiba-tiba orang itu terdiam. Lalu ia mendorong kudanya beberapa tapak maju mendekati Kebo Kanigara. Dengan perlahan-lahan hampir berbisik ia bertanya, ”Ki Sanak, aku lihat kalian bukanlah orang kebanyakan. Karena itu kalian pasti sudah tahu bahwa Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten berada di Banyubiru. Nah katakan kepadaku, siapakah yang menyimpan kedua keris itu.”

Mahesa Jenar, Kebo Kanigara beserta ketiga kawannya terkejut mendengar pertanyaan itu. Untunglah bahwa mereka segera dapat menguasai diri, sehingga perasaan itu tidak terlalu membekas di wajah mereka. Tetapi pertanyaan itu merupakan penegasan dari berita-berita yang mengatakan bahwa di Banyubiru tersebar desas-desus, yang menyatakan Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten berada di tempat itu.

Karena itu tiba-tiba Kanigara ingin mengetahui dengan pasti, siapakah orang-orang itu. Demikian juga agaknya Mahesa Jenar dan bahkan ketiga kawan-kawannya. Maka bertanyalah kemudian Kebo Kanigara, ”Dari manakah kalian mendengar berita tentang kedua keris itu?”

Orang berkulit hitam dan bermata serigala itu tertawa. ”Apakah untungmu mengetahui dari mana aku mendengarnya?”
Kanigara menyahut, ”Sayang, kau mimpi di siang hari. Tak ada keris di tanah perdikan Banyubiru, kecuali kerisku sendiri serta keris kawan-kawanku ini.”

”Jangan begitu, Ki Sanak,” potong orang itu. ”Kalau kau mau menunjukkan kepadaku, kau akan menerima hadiah cukup.”
”Apakah hadiah itu?” sela Mahesa Jenar.
”Apa saja yang kau kehendaki. Uang? Emas atau permata?” jawab orang itu.
”Sayang kami tidak mengetahuinya,” desis Mahesa Jenar. Pandangan orang bermata serigala itu menjadi semakin tajam. Sekali dua kali ia menengok kepada kawan-kawannya yang berada di belakangnya, seolah-olah ia ingin mengetahui kesiapsiagaan mereka.

”Memang orang-orang Banyubiru keras kepala,” gumam orang itu. ”Seperti kepala daerah perdikannya.”

”Ki Sanak…” kata Kebo Kanigara kemudian, ”Yang paling mengetahui segala sesuatu di Banyubiru ini adalah Ki Ageng Lembu Sora. Kalau kau tadi telah menemuinya, maka kenapa tidak kau tanyakan kepadanya? Atau barangkali kalau kau sudah menanyakannya dan dijawabnya kedua keris itu tidak berada di Banyubiru, maka jawaban itu pastilah benar.”

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Wajahnya semakin menunjukkan ketidakpuasannya. Meskipun demikian ia masih mencoba untuk menyabarkan diri dan berkata ditahan-tahan. ”Kalian tinggal memilih. Menunjukkan di mana keris itu berada dan menerima hadiah atau tidak mau menjawab, tetapi kalian binasa.

Kanigara masih tetap berkata dengan sabarnya, ”Ki Sanak. Apakah yang akan kami katakan tentang kedua keris itu, kalau kami benar-benar tidak mengetahuinya?”

Orang berkulit hitam itu sekali lagi menengok kepada kawan-kawannya dan seperti orang minta pertimbangan ia berkata, ”Apakah yang sebaiknya kami lakukan atas orang-orang ini?”
”Terserah Ki Lurah,” jawab salah seorang diantara mereka.

”Hem….” ia menarik nafas. ”Ki sanak, kami merasa perlu untuk memberi pelajaran kepada kalian, sekaligus memberi peringatan kepada Ki Ageng Lembu Sora. Kalau ia akan tetap berkeras kepala, nasib rakyatnya akan tidak menyenangkan. Sekali lagi aku memberi kesempatan kepada kalian untuk menunjukkan kepada kami di mana kedua keris itu disimpan. Menilik sikap, pakaian dan keadaan kalian, kalian adalah orang-orang penting di Banyubiru ini. Tetapi kalau kalian tetap tidak mau bicara, maka kalian akan menjadi orang pertama yang akan kami jadikan korban. Kalian akan kami bunuh dengan cara yang mengerikan. Mata kalian akan kami copot dari batok kepala kalian. Dada kalian akan kami silang dengan pisau dan isi perut kalian akan kami tumpahkan keluar. Nah, bukankah itu mengerikan? Setiap hari akan kami lakukan hal yang serupa sampai kepala daerahmu atau seseorang mau mengatakan kepada kami, baik karena ketakutan maupun karena ia ingin hadiah, di mana kedua keris itu berada.”

Semua yang mendengar kata-kata itu terkejut. Apalagi Wanamerta, Bantaran dan Penjawi sebagai orang-orang Banyubiru yang sebenarnya. Penjawi, yang paling muda diantara mereka, adalah orang yang berdarah paling panas. Ia segera mendesak maju. Sebenarnya ia dapat membiarkan saja hal itu berlaku di Banyubiru. Sebab itu adalah tanggungjawab Lembu Sora pada saat ini. Sedang mereka sendiri pada saat itu agaknya mungkin sekali untuk menyelamatkan diri. Tetapi sebagai seorang yang berangan-angan masa depan yang gemilang bagi rakyat Banyubiru, ia tidak dapat berpangku tangan.

441

TERBAYANGLAH di dalam otak Penjawi, masa yang mengerikan akan berlangsung di Banyubiru. Masa duka yang bersusun-susun. Beban yang berat, serta usaha-usaha penyingkiran yang dilakukan oleh Lembu Sora atas orang-orang yang setia kepada tanah tercinta, dengan berbagai macam cara. Bahkan kalau perlu dengan mengadakan pembunuhan. Akan ditambah lagi dengan pameran pembunuhan oleh pihak lain. Yang dapat dipastikan, orang-orang itu datang dari golongan hitam.

Maka berkatalah Penjawi dengan lantangnya, ”Ki Sanak. Dengan semua keteranganmu dan caramu menakut-nakuti kami, kami dapat memastikan bahwa kalian datang dari daerah yang kelam. Dari dunia yang penuh dengan noda-noda dan dosa-dosa. Kalian adalah orang-orang yang kami namakan golongan hitam. Sebab hati kalian adalah hati yang berwarna hitam. Sekarang kalian mencoba menakut-nakuti kami, dan rakyat kami. Tetapi kami sama sekali tidak takut. Sebab kami berdiri diatas kebenaran. Meskipun demikian kami ingin menjelaskan kepadamu sekali lagi, bahwa sebenarnyalah keris-keris itu tidak ada pada kami. Tidak ada di Banyubiru. Karena itulah, baik kami maupun Lembu Sora tak akan dapat mengatakan di mana keris itu disimpan.”

Kata-kata Penjawi terpotong oleh suara tertawa yang mengerikan. Orang yang bermata serigala itu tiba-tiba menjadi buas. Matanya semakin lama semakin liar dan berwarna merah. Dengan marahnya ia berteriak, ”Jangan mengigau. Aku tidak peduli apakah kau menganggap aku orang-orang hitam, merah, hijau atau apa saja. Tetapi kalau kau tetap berkeras kepala, kami akan melakukan rencana kami, dan mayat kalian akan kami sebarkan ke segenap sudut Banyubiru.”

Juga Penjawi menjadi marah. Wajahnya menjadi tegang dan berwarna darah. Bantaran dan Wanamerta kemudian segera mempersiapkan diri. Namun dalam ketegangan itu masih terdengar suara Kanigara tenang, ”Ki Sanak. Apa yang akan kalian lakukan kepada kami, adalah tanggungjawab kami dan kewajiban kami untuk melindungi diri. Tetapi agaknya kalian sama sekali belum mengenal kami. Orang-orang Banyubiru yang berjiwa jantan. Nyawa kami telah lama kami letakkan di ujung pengabdian kami. Karena itu sebaiknya kalian mempertimbangkannya sekali lagi.”

Kembali terdengar orang yang berkulit hitam dan bermata serigala itu tertawa keras-keras seperti hampir gila. Dengan buasnya ia menjawab, ”Apakah arti kejantanan orang Banyubiru bagi kami. Selama darah kalian masih merah, serta kalian masih belum dapat melenyapkan diri dalam satu kerdipan mata, maka kalian adalah korban-korban kami yang menyenangkan. Ketahuilah, bahwa kami datang dari Nusa Kambangan mengemban tugas dengan kekuasaan penuh.”

Meskipun orang-orang Banyubiru itu sudah menduga sebelumnya, bahwa gerombolan itu adalah gerombolan hitam, namun hati mereka tergetar pula. Bahkan kemudian terdengar Mahesa Jenar menyahut, ”Apakah kalian anak buah Ular Laut?”

”Nah…” sahut orang itu. ”Kau pasti pernah mendengar kebesaran namanya. Dengan tangannya ia akan dapat menyapu bersih segenap isi Banyubiru.

”Hem,” gumam Mahesa Jenar. ”Agaknya pengetahuanmu terlalu sempit. Kau belum tahu betapa dahsyatnya tangan Ki Ageng Lembu Sora. Apakah artinya Jaka Soka baginya. Barangkali kau juga belum mendengar tentang putranya yang bernama Sawung Sariti.”

Orang itu mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia menjawab dengan kasarnya, ”Omong kosong semuanya. Andaikata kau berkata benar, maka Kyai Nagapasa akan dapat menyelesaikan dengan sangat mudahnya.”

”Kyai Nagapasa…?” ulang Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara hampir bersamaan.
Orang itu tertawa kembali. Katanya, ”Kau menjadi pucat seperti mayat mendengar nama itu.”
”Bagaimana aku menjadi pucat mendengar nama yang tidak berarti itu. Bahkan mendengar pun aku belum pernah,” jawab Mahesa Jenar.

”Itu pertanda kepicikan pendengaranmu.” Orang itu menjelaskan dengan bangga. ”Kyai Nagapasa adalah nama ilmu pamungkas perguruan Nusa Kambangan. Dengan nama itu pula kami sebut orang yang memiliki dan mengembangkan. Ia adalah guru Jaka Soka.”

Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Agaknya benar-benar akan terjadi peristiwa-peristiwa yang menggemparkan. Kini yang berhadapan bukan saja tokoh-tokoh muda dari kalangan hitam, namun agaknya tokoh-tokoh tua, guru-guru merekalah yang mengambil alih persoalan.

Dalam sepintas, membayanglah di dalam angan-angan Mahesa Jenar akan nama-nama Pasingsingan, Umbaran, Sima Rodra dari Lodaya, Bugel Kaliki dari Lembah Gunung Cerme, Sura Sarunggi yang telah kehilangan kedua muridnya dari Rawa Pening, dan sekarang terdengar lagi sebuah nama Kyai Nagapasa. Namun disamping itu ia menjadi puas karena pancingannya berhasil untuk mengetahui asal orang-orang itu. Melihat Mahesa Jenar terdiam, orang itu mengangkat dadanya. Ia merasa bahwa orang-orang Banyubiru itu menjadi ketakutan. Karena itu sekali lagi ia menggertak, ”Nah, adakah kalian mau berkata tentang kedua keris itu, setelah kalian mendengar nama-nama yang berdiri di belakang kami?”

Orang yang berwajah buas, bermata serigala itu menjadi terkejut sekali ketika ia mendengar Mahesa Jenar menjawab, ”Sampaikan salamku kepada Jaka Soka, apabila kau sempat pulang kembali.”

Dengan mata terbelalak orang itu memandang Mahesa Jenar seperti ingin menelannya bulat-bulat. Sikapnya yang seolah-olah menganggap Jaka Soka tidak lebih dari dirinya, menyebabkan orang bermata serigala itu marah bukan kepalang. Ia menganggap Mahesa Jenar orang yang tak tahu diri. Dengan membentak-bentak ia berkata, ”Ayo, mintalah maaf atas kelancangan mulutmu itu. Kalau tidak, kau akan mati dengan menderita.”

”Penderitaan bagi laki-laki bukanlah hal yang sangat menakutkan,” jawab Mahesa Jenar.

Cerita Bersambung 15 Mei 2000
NAGASASRA dan SABUK INTEN
Karya SH Mintarja
442

JAWABAN itu kembali sangat mengagetkan anak buah Jaka Soka, sehingga dengan demikian ia sudah tidak merasa perlu untuk berbicara lebih banyak. Dengan lantangnya ia berkata kepada anak buahnya, ”Kepung kelinci-kelinci yang tak tahu diri ini.”

Agaknya orang-orang Nusa Kambangan itu telah benar-benar terlatih dan berpengalaman. Sebab demikian mereka mendengar aba itu, dalam waktu sekejap mereka telah bergerak dengan cepatnya membentuk sebuah gelang yangmelingkari Mahesa Jenar beserta ketempat kawan-kawannya.
Bersamaan dengan itu, ternyata Wanamerta, Bantaran dan Penjawipun telah siap pula dengan keris ditangan kanan dan kendali kuda ditangan kiri. Tetapi Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tampak masih tenang-tenang saja. Untuk beberapa saat mereka saling berpandangan seolah-olah mereka sedang mempertimbangan bersama apakah yang akan mereka lakukan. Tiba-tiba tampaklah Mahesa Jenar tersenyum. Dengan sangat tenangnya, seolah-olah tidak terjadi apapun pada saat itu ia berkata kepada orang yang berkulit hitam dan bermata serigala itu. ”Ki Sanak, apakah yang akan kalian lakukan?”

Melihat ketenangan Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, orang itu menjadi heran. Malahan kemudian ia merasakan betapa besarnya perbawa sanak kadangku. Betapa tangguhnya kalian semuanya ini. Namun apabila seorang diantara para petani di sawah atau anak-anak yang sedang bermain melihat perkelahian ini, maka dengan memukul kentongan mereka akan mengerahkan segenap penduduk Banyubiru yang berjumlah ribuan orang, untuk mengepung kalian, dan justru kalianlah yang akan ditangkap oleh mereka. Meskipun demikian kalian tak usah cemas, bahwa kalian akan mengalami siksaan, apalagi dicincang. Sebab kami, penduduk Banyubiru mendasarkan watak kami kepada ketaatan. Kami mengagungkan nama Tuhan Yang Maha Esa, yang akan kami ujudkan dalam pengalaman kami dalam hidup sehari-hari.”

Perkataan Mahesa Jenar itu ternyata berkesan di hati orang bermata serigala itu. Tampaklah wajahnya yang buas itu menjadi tegang. Alisnya seolah-olah bertemu satu sama lain di atas hidungnya yang besar. Dengan liarnya ia memandang jauh-jauh ke sawah di sekitarnya, ke desa yang terdekat, dan ke segenap sudut dan persimpangan jalan.

Pematang-pematang di sawah, pagar-pagar batu yang mengelilingi desa-desa terdekat, gunduk-gunduk padas di tepi jalan, tiba-tiba di mata orang itu berubah menjadi orang-orang yang dengan cermatnya mengawasi segala gerak-geriknya. Apalagi ketika jauh-jauh dilihatnya beberapa orang, ya… orang yang sebenarnya sedang menggarap sawahnya.

Hati orang itu tiba-tiba menjadi kecut. Apalagi kemudian Mahesa Jenar berkata, ”Ki Sanak… jangan ganggu kami di tanah sendiri. Kalian hanya dapat datang kemari dalam saat-saat tertentu dan dalam jumlah tertentu. Tetapi kami berada di tempat ini di segala waktu, dan jumlah kami tak akan terhitung olehmuu.”

Ternyata perkataan Mahesa Jenar itu merupakan sebuah pukulan terakhir yang benar-benar tak terlawan oleh orang bermata serigala itu. Apalagi ketika ia melihat kawan-kawannya menjadi gelisah. Gelisah oleh kata-kata Mahesa Jenar itu. Maka tiba-tiba terdengarlah ia berteriak nyaring dan bersamaan dengan itu, ia menarik kendali kudanya untuk kemudian lari secepat-cepatnya meninggalkan Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara beserta Wanamerta, Bantaran dan Penjawi yang menjadi terheran-heran melihat peristiwa itu. Melihat orang berwajah serigala itu dengan pucat berlari sejadi-jadinya diikuti oleh seluruh anak buahnya.

Meskipun demikian, untuk kepuasan perasaan mereka, orang-orang Nusa Kambangan itu masih menggemakan ancaman, ”Awaslah kalian orang-orang Banyubiru. Aku akan datang pada waktunya dengan seluruh orang-orang kami.” Gema ancaman itu memukul lereng-lereng bukit kecil yang banyak berserakan di sekitar daerah itu dan bergulung-gulung berulang beberapa kali. Namun Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara hanya tersenyum saja.

Beberapa saat kemudian terdengar suara Wanamerta bergumam, ”Angger, kenapa orang-orang itu dibiarkan saja pergi?”.

Mahesa Jenar menoleh. Dengan tenang ia menjawab, ”Kami berada di daerah yang tak kami kenal. Kami tidak yakin bahwa apabila kami bertempur melawan orang-orang itu, Lembu Sora akan membenarkan sikap kami. Kalau kejadian ini dianggapnya akan dapat membahayakan ketenteraman Banyubiru, maka ia dapat mempergunakan persoalan ini sebagai alasan untuk melakukan hal-hal yang tidak kami inginkan. Karena itu sebaiknya kami menghindarkan diri dari segala peristiwa yang dapat merugikan perjalanan kami, meskipun kami nyata-nyata tidak memulainya.”

Wanamerta mengangguk-anggukkan kepala penuh pengertian. Demikian juga Bantaran dan Penjawi. Perlahan-lahan mereka menyarungkan keris-keris mereka kembali.

Kemudian rombongan itu meneruskan perjalanannya perlahan-lahan. Tetapi dengan demikian mereka jadi tertunda untuk beberapa waktu. Namun demikian sesuatu yang penting telah mereka alami. Yaitu, mereka tidak lagi dapat mengabaikan desas-desus tentang beradanya kedua pusaka Demak di Tanah Perdikan Banyubiru.

Semakin dekat dengan pusat kota, semakin rapatlah penduduk tanah perdikan itu. Dan dengan demikian semakin banyak pulalah orang-orang yang melihat kedatangan Mahesa Jenar, didampingi oleh seorang yang belum mereka kenal, dan di belakang mereka berdua, tampaklah Bantaran, Penjawi dan tetua tanah perdikan itu, Wanamerta.

Cerita Bersambung 16 Mei 2000
NAGASASRA dan SABUK INTEN
Karya SH Mintarja
443

BEBERAPA orang menjadi terharu karenanya. Dengan dada sesak, mereka melambaikan tangan mereka. Namun diantara mereka ada pula yang mengumpat di dalam hati, dan yang kemudian membenahi pakaian dan kekayaan mereka sambil menggerutu, ”Kalau setan-setan itu lewat, akan celakalah daerah kami ini. Kenapa perampok-perampok itu tidak mati disambar petir atau tertangkap pada saat mereka merampok…?”
Tetapi ia tidak berani mengatakannya kepada seorangpun. Meskipun kepada anak atau adiknya. Sebab ia tahu benar, bahwa pemuda-pemuda Banyubiru memiliki kesetiaan yang tinggi terhadap tanah mereka, serta sedang berjuang memulihkan hak tanah itu kepada tempat yang sewajarnya. Laki-laki maupun wanita.
Demikianlah ketika mereka muncul di alun-alun Banyubiru, tampaklah dari rumah kepala daerah perdikan itu, beberapa orang berdiri berjajar di depan regol halaman. Mahesa Jenar tersenyumn melihat sambutan itu. Agaknya seseorang telah melaporkan kedatangannya, sehingga Ki Ageng Lembu Sora dapat menyiapkan diri, menyambut kedatangan mereka, meskipun ujud sambutan itu sendiri masih belum diketahuinya. Karena itulah, meskipun wajah-wajah mereka mengulum senyum segar, namun mereka tidak meninggalkan kewaspadaan sepenuh-penuhnya.
Semakin dekat mereka dengan rumah kepala daerah itu, senyum Mahesa Jenar menjadi semakin suram. Sebab ia menjadi semakin jelas bahwa di belakang orang-orang yang berdiri di regol halaman, tampaklah ujung-ujung tombak yang berjajar-jajar rapat. Dan ketika Mahesa Jenar melayangkan pandangannya ke sudut-sudut pagar halaman di ujung alun-alun sebelah-menyebelah, tahulah ia bahwa halaman rumah kepala daerah perdikan Banyubiru itu dijaga rapat sekali. Beberapa orang siap dengan senjata di tangan mereka.
Mahesa Jenar menoleh kepada Kebo Kanigara. Agaknya orang itupun sedang memperhatikan keadaan dengan seksama. Lebih seksama lagi daripada Mahesa Jenar. Sebab kecuali ia melihat ujung-ujung senjata yang gemerlapan karena cahaya matahari, juga karena ia sama sekali belum pernah datang ke tempat itu sebelumnya. Karena itu sebagai seorang yang sudah cukup makan garam, maka untuk menghadapi setiap kemungkinan, ia perlu mengetahui keadaan di mana ia sedang berada.
Wanamerta, Bantaran dan Penjawi pun melihat suasana itu. Hati mereka menjadi berdebar-debar. Mereka adalah orang-orang yang termasuk dalam catatan Lembu Sora untuk dilenyapkan. Bahkan mereka adalah orang-orang yang pertama-tama.
Dalam pada itu, mereka menjadi ragu. Apakah kedatangan mereka itu tidak hanya sekadar mengantarkan nyawa mereka. Dan bukankah mereka sudah mengusulkan kepada Mahesa Jenar, bahwa cara yang demikian itu sangatlah berbahaya.
Tetapi mereka sudah berada di depan hidung Lembu Sora. Apapun yang akan terjadi harus mereka hadapi sebagai seorang jantan. Apalagi ketika mereka melihat Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara yang masih tetap tenang, meskipun wajah-wajah mereka menjadi bersungguh-sungguh pula.
Rombongan itu semakin lama menjadi semakin dekat. Beberapa orang yang berdiri di regol halaman itupun telah mulai bergerak maju untuk menyambutnya. Dan yang paling depan dari mereka adalah Lembu Sora sendiri dan Sawung Sariti.
Ketika mereka sudah lebih dekat lagi, segera Mahesa Jenar menghentikan kudanya dan langsung meloncat turun diikuti oleh kawan-kawannya. Beberapa orang anak buah Lembu Sora segera berlari-larian menerima kuda-kuda mereka.
Berbeda dengan pada saat Mahesa Jenar berjumpa untuk pertama kalinya dengan Lembu Sora, kali ini kepala daerah perdikan Pamingit itu menyambutnya dengan tertawa-tawa, meskipun sikapnya yang sombong itu masih saja memancar dari wajahnya yang tengadah.
”Marilah, Adi Mahesa Jenar…” sambutnya. ”Aku merasa bergembira sekali mendapat kunjunganmu.”
Mahesa Jenar mengangguk hormat sambil menjawab, ”Sebagai seorang yang pernah menerima kebaikan hati dari penduduk Banyubiru, sekali-kali aku ingin menengoknya kembali.”
”Bagus-bagus…” sahut Lembu Sora. ”Marilah kami persilahkan kalian masuk dan naik ke pendapa yang memang telah kami persiapkan untuk menyambut kedatangan kalian.”
Maka berjalanlah mereka beriring-iring naik ke pendapa yang sudah direntangi tikar pandan yang putih bersih. Pendapa yang lima tahun lalu pernah dikenal pula oleh Mahesa Jenar sebagai tempat untuk duduk-duduk menghirup hawa sejuk yang mengalir di sepanjang lereng-lereng pegunungan Telamaya. Sebagai tempat untuk bermain-main Arya Salaka bersama-sama dengan ayahnya, Ki Ageng Gajah Sora. Juga sebagai tempat untuk memulai memberikan dasar-dasar ilmu tata berkelahi dan dasar-dasar tempaan jiwa oleh Gajah Sora kepada putra tunggalnya, Arya Salaka.
Sekarang ia kembali berada di pendapa itu sebagai tamu. Tamu yang membawa tugas berat dari anak Ki Ageng Gajah Sora untuk menyampaikan permintaan yang amat penting. Yaitu haknya kembali atas tanah perdikan ini.
Setelah mereka melingkar di atas tikar pandan itu, mulailah Lembu Sora mengucapkan selamat atas kedatangan tamu-tamunya itu. ”Adi Mahesa Jenar, kami keluarga Banyubiru dan Pamingit mengucapkan selamat datang kepada Adi bersama-sama dengan rombongan, kepada kawan Adi yang belum aku kenal, dan kepada Wanamerta, Bantaran dan Penjawi.”
Mahesa Jenar mengangguk. Jawabnya, ”Terimakasih Kakang. Mudah-mudahan segenap keluarga Pamingit dan keluarga Banyubiru selamat dan sejahtera. Kecuali itu perkenankanlah aku memperkenalkan kawanku ini. Ia adalah seorang Putut dari Karang Tumaritis, bernama Karang Jati.”
Lembu Sora mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia pernah mendengar nama tempat itu. Karang Tumaritis.

NAGASASRA dan SABUK INTEN
Karya SH Mintarja
444

SEBELUM Lembu Sora ingat nama Karang Tumaritis, tiba-tiba terdengar Sawung Sariti menyela, ”Aku sudah pernah datang ke tempat itu. Karang Tumaritis tempat tinggal Panembahan Ismaya. Orang yang mengaku dirinya waskita tetapi tak sesuatupun yang diketahuinya.”
”Ya, kepada Panembahan itulah aku menghambakan diri,” sela Kebo Kanigara.

Sawung Sariti memandang Kebo Kanigara dengan sikapnya yang khusus. Seperti juga ayahnya, ia mewarisi sikap sombong. Tetapi tiba-tiba sikapnya segera berubah. Ia melihat Kebo Kanigara justru tidak di Karang Tumaritis, tetapi di Gedangan ketika ia pada saat itu membawa laskarnya bersama-sama dengan Sima Rodra, Bugel Kaliki dan laskar sepasang Uling dari Rawa Pening.
Tetapi untuk sementara ia tidak berkata apa-apa dan berusaha untuk menghilangkan kesan perasaannya itu dari wajahnya. Sebab mau tidak mau, dan meskipun ia tidak sempat menyaksikan Kebo Kanigara bertempur pada saat itu, karena ia sendiri segera terlibat dalam perkelahian dengan Arya Salaka, namun bahwa Bugel Kaliki, Sima Rodra tua, dan Jaka Soka dapat diusir dan malahan Janda Sima Rodra terbunuh pula, maka mau tidak mau kekuatan orang itu harus diperhitungkan, disamping kesaktian Mahesa Jenar yang mengagumkan. Disusul kemudian berita kematian sepasang Uling dari Rawa Pening.

Kemudian, setelah mereka tenang sejenak, kembali terdengar Lembu Sora berkata kepada Wanamerta, Bantaran dan Penjawi, ”Paman Wanamerta, Bantaran dan Penjawi, sudah lama rakyat Banyubiru merindukan kalian. Kemanakah kalian? Kemanakah kalian pergi selama ini? Dan apakah keperluan kalian? Sebenarnya tenaga kalian sangat kami perlukan di sini untuk membantuku selama ini.”

Sambil mengangguk-angguk Wanamerta menjawab, ”Anakmas Lembu Sora, aku semakin lama semakin menjadi tua. Dan apakah arti hidupku ini bagi Banyubiru, kalau tidak dapat berbuat sesuatu untuknya. Karena itu aku mencoba untuk menemukan putra Anakmas Gajah Sora, Arya Salaka.”

Warna merah membersit di wajah Ki Ageng Lembu Sora. Namun segera ia berusaha untuk menenteramkan hatinya. Bahkan kemudian ia bertanya seolah-olah ia sendiri mengharap kehadiran anak itu. ”Lalu, adakah usaha Paman Wanamerta berhasil…?”
”Pangestu Angger, aku berhasil,” jawabnya.

Lembu Sora menarik nafas panjang untuk meredakan debar jantungnya. Kemudian ia berkata pula, ”Aku tidak dapat mengerti, bagaimana Paman Wanamerta dapat bertemu dengan anak itu.”
”Mudah saja, Anakmas,” jawab Wanamerta, ”Aku pergi ke tempat-tempat yang pernah dikunjungi oleh Cucu Sawung Sariti.”

Sawung Sariti menjadi gelisah. Namun ia adalah anak yang cerdik. Secerdik ayahnya. Maka dengan berpura-pura terkejut ia menjawab, ”Adakah Eyang Wanamerta pernah pergi ke tempat-tempat yang pernah aku kunjungi?”

”Benar Cucu Sawung Sariti,” jawab Wanamerta.

”Dan menemukan Kakang Arya Salaka…?”

Sambil mengangguk puas, Wanamerta menjawab, ”Benar Cucu.”

Tiba-tiba Sawung Sariti menjawab sambil tertawa keras-keras. Katanya di sela-sela derai tawanya, ”Sayang, Eyang…. Seperti aku juga mula-mula terjebak oleh suatu kecurangan yang hampir sempurna. Seorang anak muda yang sebaya dengan aku mengaku bernama Arya Salaka.”

Darah Wanamerta tersirat mendengar jawaban itu. Juga Bantaran dan Penjawi. Apalagi Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Wajah mereka segera berubah merah dan jantung mereka berdentam seperti guruh yang menggelegak di dalam dada mereka. Bagaimanapun mereka mencoba menahan diri, namun terasa juga tangan-tangan mereka menjadi gemetar karenanya.

Tetapi sebelum mereka dapat mengatur perasaan mereka, terdengarlah suara Lembu Sora, ”Adi Mahesa Jenar, aku memang pernah mendengar tentang seorang anak muda menamakan dirinya Arya Salaka. Tetapi aku belum pernah melihatnya. Sebagai seorang paman, aku pasti akan mengenalnya kembali meskipun sudah sejak kurang lebih lima tahun yang lalu tak melihatnya. Aku sejak kanak-kanak tidak akan melupakannya. Namun perlu Adi ketahui bahwa seorang anak muda yang bernama Arya Salaka itu pernah diketemukan mati terbunuh. Ia kehilangan pusakanya Kyai Bancak dan sebuah peniti yang barangkali dari emas, serta timangnya bertetes intan.”

Sekali lagi sebuah petir seolah-olah meledak di dalam pendapa itu. Bahkan jauh lebih dahsyat dari cerita Sawung Sariti. Penjawi yang paling tidak dapat menahan diri, dengan tergagap berteriak, ”Bohong, semuanya bohong…!”

Lalu suara Penjawi hilang tersumbat di kerongkongan. Seolah-olah berjejal-jejal berebut dahulu, sehingga dengan demikian malah tak sekata pun yang muncul seterusnya.

Mendengar kata-kata Penjawi yang terbata-bata itu, Lembu Sora tersenyum. Senyum yang sangat menyakitkan hati. Tetapi kemudian ia berkata dengan ramahnya, ”Jangan berprasangka yang bukan-bukan, Penjawi. Aku sama sekali tak bermaksud membohongi kalian. Tetapi sebaiknya kalian dapat mempertimbangkan kejadian-kejadian yang pernah berlaku. Kalian jangan membabi buta atas kesetiaan kalian kepada Arya Salaka, sebagai ungkapan kesetiaan atas tanah yang sama-sama kita cintai.”

Cerita Bersambung 19 Mei 2000
NAGASASRA dan SABUK INTEN
Karya SH Mintarja
445

PENJAWI bukanlah orang yang dapat banyak bicara. Karena itu semakin banyak yang akan diucapkan, semakin sulit kata-kata itu keluar dari mulutnya. Demikian juga Bantaran yang hanya dapat mengingsar-ingsar duduknya dan meraba-raba hulu kerisnya.
Wanamerta sendiri menjadi bingung. Ia sama sekali tidak menduga bahwa ia akan mendapat jawaban yang demikian. Sedangkan Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, meskipun menjadi gelisah, mereka masih tetap pada kesadaran yang penuh. Karena itu Mahesa Jenar masih dapat berkata las-lasan, ”Kakang Lembu Sora, apakah yang Kakang katakan itu merupakan pendapat Kakang Lembu Sora?”
Lembu Sora mengernyitkan keningnya. Terhadap Mahesa Jenar ia harus berhati-hati. Karena itu ia mempertimbangkan setiap kata-katanya dengan baik. Maka setelah berfikir sejenak ia menjawab. ”Adi, aku tidak mengatakan demikian. Tetapi aku wajib mempertimbangkan setiap keadaan, supaya aku tidak meletakkan keputusan yang salah”.

Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya beberapa kali. Lalu katanya meneruskan, ”Baik. Kalau demikian bagaimanakah kalau berita tentang kematian yang Kakang dengar itu salah…?”

Lembu Sora berpikir sekali lagi. Baru ia menjawab, ”Mudah-mudahan berita yang aku dengar itu salah. Tetapi bagaimana aku tahu kalau berita itu tidak benar?”

”Kakang akan tahu bahwa berita itu tidak benar setelah Kakang nanti dapat bertemu dengan Arya Salaka,” sahut Mahesa Jenar.

Lembu Sora tersenyum. Katanya, ”Bagaimanakah aku dapat percaya bahwa yang datang kemudian itu Arya Salaka?”

”Ia harus membawa tanda kebesaran Banyubiru,” jawab Mahesa Jenar. ”Dan bukankah Kakang akan dapat mengenal kembali kemenakan Kakang itu?”

”Permainan yang bagus,” potong Sawung Sariti. ”Aku pernah bertemu dengan Paman Mahesa Jenar di Gedangan bersama-sama dengan anak muda yang menamakan diri Arya Salaka, yang membawa tombak yang dinamainya Kyai Bancak.”

”Diam!” Tiba-tiba terdengar Bantaran membentak. Semua orang terkejut mendengar bentakan itu. Bahkan Bantaran sendiri terkejut.

Sawung Sariti sama sekali tidak senang mendengar Bantaran membentaknya. Karena itu ia menjawab tajam, ”Bantaran… kalau kau membentak aku sekali lagi, aku sobek mulutmu.”

Tetapi kata-kata bentakan itu sudah terucapkan. Sebagai laki-laki, Bantaran tidak mau dihinakan, meskipun ia tahu bahwa Sawung Sariti bukanlah lawannya. Tetapi mati atas landasan kesetiaan kepada Banyubiru adalah pengabdian yang didambanya selama ini. Dengan demikian tiba-tiba menengadahkan dadanya sambil berkata, ”Aku akan berbuat sekali, dua kali, sepuluh kali lagi, sesuka hatiku.”

Hampir saja Sawung Sariti meloncat, kalau ia tidak ditahan Lembu Sora, yang agaknya kepalanya masih cukup dingin. Namun kata-katanya sangat menyakitkan hati. ”Sawung Sariti, adakah cukup berharga bagimu untuk menyentuh tubuhnya?”

Sawung Sariti menarik nafas dalam-dalam, seolah-olah ia ingin memadamkan api yang berkobar-kobar di dalam dadanya. Namun dari matanya terpancarlah bara kemarahan yang tak terhingga.

Mahesa Jenar melihat keadaan berkembang ke arah yang tidak diharapkan, meskipun ia tidak dapat menyalahkan Bantaran, Wanamerta maupun Penjawi. Ia sebenarnya sama sekali tidak menduga bahwa sampai sedemikian jauh keingkaran Lembu Sora dan Sawung Sariti terhadap kemenakannya serta sepupunya sendiri. Terhadap kadang tuwa yang selalu bersikap baik kepada mereka, Gajah Sora.

Mahesa Jenar pernah mendengar cerita tentang hubungan mereka. Lembu Sura dengan Gajah Sora sebagai kakak-beradik. Ia pernah mendengar bagaimana Gajah Sora sebagai saudara tua selalu melindungi dan membimbing adiknya dalam berbagai soal, dan banyak mengalah dalam berbagai hal. Namun akibatnya, kemanjaan Lembu Sora itu menjadi berlebih-lebihan dan menelan Gajah Sora sendiri. Kalau sekali dua kali, Gajah Sora pernah marah kepadanya, adalah wajar. Sebagai seorang kakak yang ingin melihat adiknya tidak berbuat kesalahan-kesalahan.

Mahesa Jenar berusaha untuk tetap memelihara suasana pertemuan itu agar tidak bertambah kusut, meskipun dadanya sendiri seperti hendak meledak. Maka berkatalah ia dengan setenang-tenangnya, seolah-olah tidak terjadi ketegangan sama sekali di dalam pertemuan itu. ”Kakang Lembu Sora, baiklah kita berbicara mengenai beberapa soal yang penting. Biarlah kita singkirkan masalah-masalah kecil yang tidak berarti.”

Lembu Sora menelan ludahnya serta menggigit bibirnya. Ia kagum juga kepada Mahesa Jenar yang dapat menguasai perasaannya dengan baik. Tetapi ia sudah bertekad untuk menganggap bahwa Arya Salaka sudah tidak ada lagi di muka bumi ini. Karena itu Lembu Sora menjawab, ”Baiklah Adi, aku tidak pernah menolak berbicara dengan siapa saja, selama pembicaraan itu akan berguna. Berguna bagi Pamingit, bagi Banyubiru, dan berguna bagi kita semua.”

”Demikianlah harapan kami,” sahut Mahesa Jenar. ”Kedatangan kami ini pun pada kepentingan Banyubiru. Bukan kepentingan kami sendiri.”

Lembu Sora tersenyum. Dengan penuh kesadaran akan kebesaran dirinya, ia menjawab, ”Nah, katakanlah apa yang berguna bagi Banyubiru itu?”
”Aku membawa tugas dari Angger Arya Salaka, untuk menyampaikan baktinya kepada Kakang Lembu Sora,” sahut Mahesa Jenar.
Lembu Sora menggeleng-gelengkan kepalanya. Dengan mengerutkan keningnya ia menjawab, ”Adi Mahesa Jenar, jangan mengada-ada. Kau bagiku adalah seorang yang pantas dihormati seperti Kakang Gajah Sora dahulu menghormatimu. Namun demikian hormat kami pun mengenal batas. Sebagai kepala daerah perdikan yang besar, yang terbentang dari Pamingit sampai Banyubiru, aku harus bersikap baik, namun tegas dalam garis kepemimpinan. Karena itu aku minta kepada Adi untuk tidak menyebut-nyebut nama Arya Salaka, seorang yang telah tidak ada lagi.”85

MAHESA JENAR mengangkat dadanya seolah-olah ada sesuatu yang menyilang di dalamnya. Dengan sudut matanya ia melihat betapa wajah Wanamerta, Bantaran dan Penjawi sudah menjadi merah padam. Meskipun demikian Mahesa Jenar masih berkata, ”Bukankah Kakang Lembu Sora tidak melihat sendiri, seorang anak muda yang disebut bernama Arya Salaka itu terbujur di tanah tak bernafas lagi?”

Perasaan tidak senang yang tajam terpercik di wajah Lembu Sora. Kemudian terdengarlah ia menjawab, ”Aku tidak sempat untuk mengurusi masalah-masalah tetek bengek yang tidak berarti. Bukankah aku mempunyai petugas-petugas untuk keperluan itu…?”

”Kalau benar Kakang berbuat demikian, maka agaknya Kakang Lembu Sora telah berbuat suatu kesalahan. Persoalan Arya Salaka bukanlah persoalan tetek bengek yang tak berarti. Arya Salaka adalah putra kepala daerah perdikan Banyubiru, yang berhak untuk menggantikan kedudukan itu apabila ayahnya berhalangan melakukan tugasnya,” sahut Mahesa Jenar yang sudah mulai kehilangan kesabarannya.

”Hemmm…” dengus Lembu Sora. Wajahnya pun telah mulai semburat merah. ”Sebenarnya aku tidak ingin mengatakan kepada Adi, bahwa aku tidak dapat mempercayaimu sejak perjumpaan kita yang pertama-tama. Sejak hilangnya pusaka Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten dari Banyubiru.”

Dada Mahesa Jenar benar-benar seperti dihantam linggis, mendengar kata-kata itu. Sehingga tidak sesadarnya ia menggeretakkan giginya. Namun bagaimanapun juga dengan susah payah ia masih menahan diri, dan berkata, ”Kakang, aku tidak keberatan terhadap sikapmu kepadaku. Tetapi bagaimanakah seandainya anak muda yang aku namakan Arya Salaka itu mendapat kesaksian dari segenap penduduk daerah perdikan ini, dan mereka menerimanya sebagai Arya Salaka yang sebenarnya?”

Pertanyaan ini sekali lagi menggelisahkan Lembu Sora. Sawung Sariti pun tidak tahan lagi untuk membiarkan pembicaraan yang tak disukainya itu berlarut-larut. Maka ia pun kemudian menyela, ”Ayah, apakah gunanya pembicaraan ini kita layani? Sebaiknya biarlah tamu-tamu kita ini kita persilakan berdiam diri. Dengan rendah hati atau kalau perlu kita terpaksa memaksa mereka dengan cara kita.”

Mahesa Jenar memandang Sawung Sariti dengan sudut matanya. Sekali lagi ia merasa muak melihat wajah itu. Wajah yang tampan dan bersih namun di belakang wajah itu tersirat kelicikan hatinya. Tiba-tiba ia teringat kepada Jaka Soka dari Nusa Kambangan.

”Angger…” kata Mahesa Jenar kemudian, ”Biarlah kami berbicara secara orang tua. Sebaiknya Angger bermain-main saja di halaman, daripada mencampuri urusan ini.”

Bara yang mula-mula berkobar di dada Sawung Sariti masih belum padam, ditambah dengan kata-kata Mahesa Jenar yang cukup tajam itu. Maka semakin menyalalah hatinya. Tetapi sebelum ia menjawab, Lembu Sora telah mendahuluinya, ”Adi Mahesa Jenar, aku tidak mau membicarakannya lagi. Aku sudah memutuskan untuk menganggap Arya Salaka telah mati, dan Kakang Gajah Sora pun telah dihukum mati di Demak, sebagai akibat dari pengkhianatannya, meskipun aku telah berusaha untuk mencegahnya.”

”Maaf Kakang,” potong Mahesa Jenar, ”Aku datang untuk membicarakannya. Bukan untuk sekadar menghadap yang dipertuan di Banyubiru sekarang.”

”Cukup…!” potong Lembu Sora, ”Tidak ada yang aku bicarakan.”

Mahesa Jenar benar-benar tersinggung karenanya, ditambah dengan perasaan muaknya sejak bertemu dengan orang itu untuk pertama kalinya. Karena itu ia menjawab lantang, ”Kalau kau tidak mau berbicara, aku akan berbicara dengan rakyat Banyubiru, dan membuktikan kepada mereka bahwa Arya Salaka akan berada di tengah-tengah mereka.”

Mendengar ancaman Mahesa Jenar itu, Lembu Sora terperanjat. Tetapi kemudian ia pun menjadi marah dan menjawab, ”Adi Mahesa Jenar, akulah kepala daerah perdikan ini. Akulah yang berwenang atas rakyat dan daerah ini. Tak seorang pun aku perkenankan melanggar wewenangku. Apalagi kau. Ayah Sora Dipayana pun tidak.”

Wanamerta mendengar kata-kata itu dengan dada yang berdentam-dentam. Telinganya serasa tersentuh api. Maka katanya lantang, meskipun ia langsung berhadapan dengan bahaya yang dapat saja merenggut jiwanya, ”Anakmas Lembu Sora, akulah yang mula-mula minta kepada Anakmas untuk mengawasi daerah perdikan ini sepeninggal Anakmas Gajah Sora. Tetapi cerita tentang Anakmas Lembu Sora tak dapat ditutup-tutupi lagi. Cerita tentang hilangnya Anakmas Arya Salaka, yang untung dapat diselamatkan oleh Anakmas Mahesa Jenar. Cerita tentang laskar yang Anakmas namakan Laskar Pamingit dan Banyubiru yang ingin membebaskan Anakmas Gajah Sora dengan menyerang pasukan dari Demak. Seterusnya cerita tentang hilangnya Pandan Kuning dan Sawung Rana.”

”Cukup!” teriak Lembu Sora. ”Ternyata rambutmu yang telah memutih itu sama sekali tidak mencerminkan hatimu yang putih. Kau ingin melihat darah mengalir di Banyubiru. Kalau dengan demikian kau akan dapat mengambil keuntungan, maka kaulah orang yang pertama-tama aku lenyapkan sekarang ini.”

”Tak seorang pun yang dapat melenyapkan kenyataan yang telah terjadi. Betapapun orang berusaha menutupi kebenaran dan menghapuskan. Namun kebenaran itu tak akan lenyap,” sanggah Wanamerta dengan berani.

”Jangan menggurui aku,” bentak Lembu Sora. ”Aku tahu, kau sudah berusia lanjut. Tetapi jangan berlagak lebih pandai daripada orang-orang muda. Bagiku tidak ada tempat bagi kalian di Banyubiru.”

Mahesa Jenar sekali lagi mencoba untuk yang terakhir kalinya menempuh cara yang sebaik-baiknya bagi penyelesaian Banyubiru. Katanya, ”Ki Ageng Lembu Sora, mumpung segala sesuatu belum telanjur, marilah kita tenangkan hati kita. Berilah aku kesempatan untuk menunjukkan kemauan kami yang sebenarnya. Bahwa tak ada artinya pertentangan antara kita sama kita. Biarlah kita cari jalan yang sebaik-baiknya untuk menyelesaikan masalah kita.”

Cerita Bersambung 21 Mei 2000
NAGASASRA dan SABUK INTEN
Karya SH Mintarja
447

LEMBU SORA mendengus. Matanya benar-benar telah memancar merah bara. ”Agaknya kaulah sumber dari keributan ini. Kau telah membuat seorang anak muda menggantikan kesempatan Arya Salaka untuk kepentinganmu. Kau cari seorang anak muda yang mirip dengan anak itu. Kau ajari dia menyebut aku paman dan menyebut nama ayahnya Gajah Sora. Kau ajari dia menuntut hak atas Banyubiru.”

”Ki Ageng Lembu Sora…” potong Mahesa jenar, ”Demi kehormatan kita masing-masing, jangan katakan yang bukan-bukan.”

”Nah…” jawab Lembu Sora berapi-api, ”Bukankah kau takut melihat kenyataan itu? Kenyataan bahwa permainan kotormu telah aku ketahui.”

”Kau telah benar-benar tersesat. Kalau tanggapanmu itu jujur, maka kau benar-benar telah berdiri di atas alas yang gelap, yang sama sekali tak dipancari oleh kebijaksanaan.”

”Cukup!” teriak Lembu Sora dengan gemetar. ”Jangan membuat aku kehilangan kesabaran.”

Mahesa jenar adalah seorang jantan. Seorang perwira yang tak mengenal surut. Ketika ia mendengar teriakan-teriakan dan bentakan-bentakan itu, bagaimanapun sabarnya ia menjadi marah pula. Karena itu ia pun kemudian menjawab lantang, ”Kakang Lembu Sora, kalau kau berbicara atas hak maka akulah yang memegang hak sekarang ini atas Banyubiru. Aku telah menerima wewenang langsung dari Kakang Gajah Sora sejak Kakang Gajah Sora meninggalkan daerah ini. Akulah yang mendapat tugas darinya untuk mengamankan Banyubiru dan putranya, Arya Salaka. Akulah sekarang yang mempunyai kewajiban untuk mengatur Banyubiru berdasarkan dan bersumberkan wewenang yang diberikan oleh Kakang Gajah Sora. Karena itu jangan mencoba membatasi usahaku memulihkan pemerintahan di Banyubiru.”

Lembu Sora telah benar-benar kehilangan pengamatan diri. Tiba-tiba ia berkisar maju dekat-dekat di muka Mahesa Jenar. Sambil menuding wajahnya, Lembu Sora berkata, ”Kau adalah orang yang paling berbahaya bagi Banyubiru. Kau adalah sumber bencana sejak hilangnya Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Aku telah menasihatkan kepada kakang Gajah Sora untuk menangkapmu. Tetapi ia tidak mau. Dan sekarang ketika kau hadir kembali ke daerah ini, tersebarlah desas-desus bahwa keris itu berada di Banyubiru. Bukankah itu jelas? Jelas bahwa kau yang telah mencuri kedua pusaka itu.”

Mahesa Jenar tiba-tiba juga kehilangan pengamatan diri. Ketika tangan Lembu Sora masih berada di depan wajahnya, tiba-tiba dengan kerasnya ia memukulnya ke samping. Dan kemudian dengan cepatnya, secepat getaran cahaya, ia meloncat turun dari pendapa, dan berkata kepada Lembu Sora dengan marahnya, ”Lembu Sora… aku adalah laki-laki seperti kau.”

Lembu Sora pun kemudian meloncat tak kalah cepatnya. Dengan wajah yang bengis ia berdiri berhadapan dengan Mahesa Jenar. Sementara itu Wanamerta, Bantaran dan Penjawi pun segera berloncatan, dan tiba-tiba mereka sudah bersiap untuk bertempur.

Dalam pada itu, setiap laskar Banyubiru dan Pamingit yang berada di halaman itu segera mendesak maju. Dan dalam waktu yang singkat mereka telah mengepung pendapa itu. Apalagi ketika kemudian Lembu Sora berkata lantang kepada mereka, ”Hai laskar Banyubiru…. Selamatkan daerahmu dari orang-orang yang ingin merampas milikmu. Sebab mereka masih belum melupakan, beberapa tahun yang lalu, mereka hampir mencincang kau ketika mereka menyadari bahwa kau telah mencuri pusaka-pusaka yang dengan susah payah diusahakan oleh kakang Gajah Sora. Tetapi Kakang Gajah Sora terlalu baik hati kepadamu.”

Laskar Banyubiru dan Pamingit itu pun kemudian semakin mendesak maju. Dan tiba-tiba terdengar diantara mereka suatu teriakan, ”Bunuh…!”

Mahesa Jenar memutar tubuhnya seperempat lingkaran. Dengan kaki renggang ia menghadapi setiap kemungkinan. Ketika dilihatnya laskar di sekitarnya semakin mendesak maju, ia pun berteriak kepada Lembu Sora, ”Aku adalah orang terakhir yang mendapat kepercayaan Kakang Gajah Sora.”

Lembu Sora menyahut keras, ”Omong kosong!”

Tetapi Mahesa Jenar tidak memperhatikannya sama sekali. Dengan lantang ia meneruskan kata-katanya, ”Kalau ada diantara kalian laskar Banyubiru benar-benar laskar Banyubiru, dengarkanlah kata-kataku. Kalau kalian menyerang aku, adalah sama saja kalian menyerang Gajah Sora yang memberikan kepercayaan kepadaku untuk mengasuh dan mengamankan putranya, Arya Salaka. Dengan demikian kalian telah melupakan diri kalian sendiri sebagai pengawal-pengawal setia Banyubiru. Siapakah yang telah bekerja sepenuh hati untuk Banyubiru…? Siapakah yang telah membangun tempat-tempat ibadah yang tersebar di empat penjuru Banyubiru…? Siapakah yang telah menggali parit-parit untuk sawah-sawah kalian…? Dan siapakah yang paling bersedih hati pada saat Banyubiru dilanda oleh arus kejahatan dari gerombolan hitam dan menelan banyak korban, beberapa tahun yang lalu? Dan siapakah yang telah mempertaruhkan dirinya bagi ketenteraman rakyat Banyubiru ketika pasukan dari demak datang ke tempat ini karena desas-desus dan fitnah atas kebersihan hati rakyat Banyubiru, disamping kesetiaannya kepada panji-panji Gula Kelapa yang pernah dibelanya mati-matian. Siapa…? Dan siapakah diantara kalian yang pada saat itu ikut serta dengan Gajah Sora, dan hampir saja terjadi perlawanan tergadap Demak? Siapa? Dan apakah yang kalian lakukan sekarang? Kalian telah mengingkari diri kalian dan kesetiaan kalian atas tanah ini.”

Lembu Sora tidak mau mendengar Mahesa Jenar berkata terus. Dengan penuh kemarahan ia berteriak, ”Jangan dengarkan orang ini mengigau di tengah hari. Dan jangan dibiarkan ia mengelabuhi mata rakyat Banyubiru. Nah, karena orang itu tidak mau menutup mulutnya, adalah tugas kalian untuk menyumbatnya.”

Beberapa orang Pamingit semakin merapatkan kepungan mereka. Tetapi beberapa laskar Banyubiru menjadi ragu-ragu. Tiba-tiba mereka ingat jelas, seperti baru kemarin saja terjadi, Ki Ageng Gajah Sora segelar sepapan dengan gelar perang Gajah Meta menyongsong kedatangan pasukan Demak dalam gelar Cakra Byuha.

Cerita Bersambung 22 Mei 2000
NAGASASRA dan SABUK INTEN
Karya SH Mintarja
448

JELAS tergambar kembali dalam ingatan laskar Banyubiru, ketika pasukan Demak mengubah gelarnya menjadi gelar Garudha Nglayang. Diingat pula oleh mereka, bagaimana Gajah Sora menjadi gemetar ketika dilihatnya panji-panji yang berwarna gula kelapa melambai-lambai di atas ujung pasukan Demak. Pada saat itulah mereka melihat Gajah Sora menyerahkan putranya, Arya salaka, kepada orang itu. Orang yang bernama Mahesa Jenar, yang sekarang berdiri di hadapan mereka.

Karena itulah, ketika orang-orang Pamingit bergerak maju, mereka tetap berdiri di tempat, seolah-olah terpaku di atasnya. Dengan demikian, tanpa dibuat terjadilah dua lingkaran pasukan di halaman itu. Pasukan Pamingit yang semakin mendesak maju, dan di luar lingkaran itu berdirilah dengan bimbang pasukan lembu Sora yang semula berasal dari laskar banyubiru, yang tidak banyak mengerti tentang mereka sendiri, dan tentang tanah mereka.

Sedangkan orang-orang Pamingit yang menjadi semakin rapat itu pun kemudian ragu, ketika mereka melihat Mahesa Jenar siap dalam siaga tempur. Di sampingnya, berseberangan di tiga penjuru, terlihat Wanamerta yang tua, Bantaran yang kokoh kuat, dan penjawi dengan wajah yang tegang namun penuh keikhlasan. Mereka memegang keris masing-masing, siap untuk menghadapi setiap kemungkinan.

Tetapi kemudian mereka menjadi sadar akan tugas mereka, ketika mereka melihat Lembu Sora dengan wajah berapi-api berdiri bertolak pinggang di dalam lingkaran itu. Apalagi ketika kemudian Lembu Sora tidak sabar lagi, tiba-tiba dengan suara berdesing menakutkan mencabut pedangnya. Pedang yang tidak berukuran lumrah.

Melihat pedang itu, hati Mahesa Jenar benar-benar melonjak didesak oleh kemarahannya. Agaknya Lembu Sora telah benar-benar ingin membunuhnya. Karena itu tiba-tiba ia bersiap dalam sikap terakhir. Apabila pedang itu ternyata benar-benar terayun ke arahnya, maka ia harus dalam waktu sesingkat-singkatnya memukul kembali. Pukulan yang menentukan. Sebab kemudian ia harus bertempur melawan jumlah yang besar.

Dan, apa yang ditunggunya benar-benar terjadi. Dengan suara berdesing panjang, pedang itu terayun deras sekali menyambar lehernya. Tetapi Mahesa Jenar telah benar-benar siap. Siap menghadapi segala kemungkinan. Karena itu dengan lincahnya ia merendahkan diri dan meloncat ke samping. Dalam pada itu Wanamerta, Bantaran dan Penjawi segera berloncatan merenggang untuk menghadapi segala kemungkinan yang terjadi. Sedang ujung-ujung tombak yang rapat berjajar di sekitar mereka telah menunduk mengarah ke dada mereka.

Mahesa Jenar pada saat itu telah benar-benar kehilangan pengamatan diri. Ia merasa bahwa tidaklah mungkin baginya bersama-sama dengan kawan-kawannya yang hanya berjumlah lima orang itu bertempur melawan segenap laskar yang berada di halaman itu, yang diantaranya ada orang-orang seperti Lembu Sora, Sawung Sariti, bahkan mungkin akan ikut campur pula Ki Ageng Sora Dipayana.

Karena itu ketika pedang Lembu Sora dengan derasnya menyambar di atas kepala mahesa Jenar, segera ia tegak di atas satu kakinya, dan hampir saja ia menyalurkan segenap kekuatannya pada sisi telapak tangan kanannya dalam ujud ilmunya yang luar biasa, Sasra Birawa.

Beberapa orang berloncatan mundur, sedangkan Lembu Sora sendiri menjadi cemas. Ia tidak bisa berbuat lain daripada segera mempersiapkan dirinya atas lambaran ilmu saktinya, Lebur Sakethi.

Tetapi tiba-tiba melontarlah sesosok tubuh memasuki lingkaran itu. Dan dengan tenang berdiri di depan mahesa Jenar, menepuk kedua pundaknya dan berkata lirih, ”Tenangkan hatimu, Mahesa Jenar. Ilmumu sekarang adalah jauh lebih dahsyat daripada lima tahun yang lalu.”

Kata-kata itu bagi Mahesa Jenar seolah-olah setetes embun di atas relung-relung hatinya yang membara. Apalagi ketika ia melihat wajah orang itu, yang dengan senyum kecil memandangnya seperti seorang kakak dengan penuh kasih sayang. Maka tiba-tiba pandangan Mahesa Jenar jatuh di tanah di depannya.

Mahesa Jenar menjadi malu kepada diri sendiri, dan kepada Kebo Kanigara. Orang yang telah membawanya kembali ke alam kesadaran. Apalagi ketika Kebo Kanigara berbisik, ”Bukan demikian maksud kedatanganmu kali ini, Mahesa Jenar.”

Mahesa Jenar yang masih tertunduk itu berdesis perlahan-lahan, ”Maaf Kakang. Aku kehilangan kesadaranku ketika Lembu Sora menyerangku.”

”Angkatlah wajahmu…” Kebo Kanigara meneruskan, ”Dan lihatlah siapa yang berdiri di depan Lembu Sora itu.”

Ketika Mahesa Jenar mengangkat wajahnya, dan memandang ke arah Lembu Sora, ia menjadi terkejut. Di depan orang itu telah berdiri seorang tua, yang sudah berambut putih dan berjenggot putih, memandangnya dengan mata sayu suram.

Tanpa disengaja Mahesa Jenar segera membungkuk hormat, sambil berkata dengan takzimnya. ”Baktiku untuk Paman Sora Dipayana.”

Orang tua itu mengangguk pula. Jawabnya, “Salamku untukmu, Mahesa Jenar, dan untuk kalian yang datang bersamanya.”

Kebo Kanigara masih belum memutar tubuhnya. Ia masih menghadap kepada Mahesa Jenar. Dengan berbisik ia bertanya, ”Nah, bukankah kau sudah mengenalnya? Apakah orang itu ayah Lembu Sora?”
”Ya,” jawab Mahesa Jenar perlahan.

”Aku mengaguminya. Ia pasti seorang yang sakti, menilik geraknya yang luar biasa,” gumam Kebo Kanigara sambil membalikkan diri, dan kemudian membungkuk hormat pula.

Dengan wajah yang masih sesuram semula, Sora Dipayana berkata, ”Aku menyesal bahwa sesuatu yang sama-sama tak kita kehendaki telah terjadi.”

Dengan suara yang dalam, Kebo Kanigara menjawab, ”Demikian pula kami. Mudah-mudahan hal-hal yang tak dikehendaki itu tidak terulang kembali.”

Cerita Bersambung 23 Mei 2000
NAGASASRA dan SABUK INTEN
Karya SH Mintarja
449

SORA Dipayana mengangguk-anggukkan kepala. Kemudian pandangan matanya berkisar kepada Penjawi, Bantaran, dan kemudian Wanamerta. ”Adi Wanamerta… apakah kau sehat-sehat saja selama ini…?”
Wanamerta menjadi terharu mendengar sapaan Sora Dipayana itu. Sora Dipayana baginya adalah seorang pemimpin yang pada masa-masa menjalankan tugas menjadi kebanggaannya. Kebanggaan seluruh daerah perdikan yang dulu disebut Pangrantunan. Karena itu dengan hormat ia menjawab, ”Kakang, sebagaimana Kakang, agaknya akupun selamat. Demikian juga anak-anak Banyubiru yang pergi bersamaku.”

Sora Dipayana menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia melihat berkeliling, matanya menjadi bertambah suram. Ia melihat dua lingkaran di halaman itu. Laskar Pamingit di lingkaran pertama, dan laskar Banyubiru di lingkaran kedua. Masing-masing masih erat memegang senjata mereka. Bagi Sora Dipayana, yang hampir seluruh hidupnya diserahkan kepada tanah perdikan itu, melihat peristiwa itu dengan sedih. Apa yang dilihatnya di halaman itu adalah lambang perpecahan yang terjadi saat itu. Perpecahan antara Pamingit dan Banyubiru. Dua daerah yang seharusnya dapat saling mengisi dan saling memperkuat ketahanan diri dalam segala bidang.

Kemudian kepada lembu Sora ia berkata, ”Lembu Sora, bukankah lebih baik kalau kau persilakan tamumu ini duduk kembali? Dan bukankah lebih akrab kalau kau jamu tamu-tamumu ini dengan sekadar pelepas haus, daripada kau suguhkan kepada mereka pameran kekuatan yang tak berarti?”

Lembu Sora tidak begitu senang mendengar kata-kata ayahnya. Tetapi ia tidak berani membantah. Karena itu ia hanya dapat menggigit bibir, sehingga sekali lagi Sora Dipayana berkata, ”Lembu Sora, persilakan tamumu duduk kembali.”

”Baik ayah,” jawabnya singkat. Tetapi Lembu Sora masih belum mempersilakan tamu-tamunya. Malah kemudian ada sesuatu yang dicarinya. ”Sariti… Sariti….” panggilnya.
”Ya, ayah…” jawab Sawung Sariti, masih duduk di tangga pendapa.
”Kemarilah.”
Sawung Sariti tidak menjawab. Tetapi bibirnya masih menyeringai kesakitan. Sehingga ketika Lembu Sora melihatnya, ia menjadi terkejut. ”Kenapa kau?”
Sawung Sariti tidak menjawab. Hanya matanya saja yang membentur wajah kakeknya. Lembu Sora kemudian tergopoh-gopoh datang kepadanya, dan sekali lagi ia bertanya, ”Kenapa kau…?”
”Kakek…” jawab Sariti singkat.
Lembu Sora menoleh kepada ayahnya. Kemudian ia bertanya, ”Kenapa dengan Sariti, ayah…?”
”Ah,” jawab Sora Dipayana sambil mengerutkan keningnya. ”Aku hanya mencegahnya bermain-main dengan tombak.”

Semua mata segera tertuju kepada Sawung Sariti. Ia menjadi tidak senang, ketika seolah-olah dirinya menjadi tontonan. Tetapi ia tidak segera dapat berdiri dan pergi dari tempatnya. Kakinya terasa sakit bukan main, bahkan seolah-olah tidak dapat digerakkan sama sekali. Sedang tangannya menjadi semutan dan gemetar.

”Ayah…” kata lembu Sora dengan nada menyesal, ”Apakah Ayah akan membiarkannya demikian?”
Sora Dipayana perlahan-lahan berjalan mendekati cucunya. dengan sareh ia berkata, ”Sariti, lain kali janganlah kau berbuat hal-hal yang berbahaya.”

Sawung Sariti hanya dapat mengangguk-anggukkan kepala, meskipun hatinya mengumpat tidak habis-habisnya. Ia hanya dapat menyeringai dan berdesis-desis ketika kemudian Ki Ageng Sora Dipayana mengurut punggungnya.

”Nah, masuklah,” perintahnya kemudian. ”Jangan campuri perkara orang tua-tua.”

Sawung Sariti kemudian berdiri dan terhuyung-huyung berjalan masuk ke dalam pringgitan. Di depan pintu, sekali lagi ia menoleh dan memandang Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Wanamerta, Bantaran dan Penjawi, dengan penuh dendam.

Ketika anak itu sudah lenyap di balik pintu, terdengar Sora Dipayana berkata, ”Lembu Sora, apakah kau masih memerlukan laskar sebanyak itu untuk menyambut tamumu?”

”Ayah…” jawab Lembu Sora, ”Aku tidak menyiapkan laskar ini untuk menyambut kedatangan Adi Mahesa Jenar. Tetapi semula aku menyiapkan laskarku karena Banyubiru baru saja didatangi oleh orang-orang dari Nusa Kambangan untuk mencari kedua pusaka Demak yang hilang, yang katanya berada di Banyubiru ini.”

Sora Dipayana mengerutkan keningnya kembali. Jawabnya, ”Baiklah, kalau demikian kau dapat membubarkannya.”

”Baiklah, Ayah,” jawab Lembu Sora singkat, dan kemudian dengan tangannya ia memberi isyarat kepada pemimpin laskar yang berada di halaman itu. Kemudian segera membubarkan laskar Pamingit dan Banyubiru. Sebentar kemudian halaman itu menjadi kosong, kecuali beberapa orang yang khusus bertugas sebagai pengawal-pengawal pribadi Lembu Sora.

Cerita Bersambung 24 Mei 2000
NAGASASRA dan SABUK INTEN
Karya SH Mintarja
450

SEKALI lagi Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Wanamerta, Bantaran dan Penjawi dipersilahkan naik ke pendapa. Tetapi kali ini Lembu Sora sudah tidak tenang lagi duduk bersama. Karena itu ia berkata, ”Ayah, biarlah untuk sementara ayah menemani tamu-tamu kita. Aku ingin menyelesaikan persoalan kecil dibelakang sebentar.”

Ki Ageng Sora Dipayana menganggukkan kepalanya, jawabnya, ”Baiklah Lembu Sora, tetapi sesudah pekerjaanmu itu selesai datanglah dan duduklah di sini bersama-sama.”

Lembu Sora tidak menjawab. Dengan langkah gontai ia berjalan meninggalkan tamu-tamunya yang duduk bersama dengan Ki Ageng Sora Dipayana.

Sepeninggal Lembu Sora, berkatalah Ki Ageng Sora Dipayana, ”Angger berdua. Sebenarnyalah kedatangan kalian sangat mengejutkan kami dan rakyat Banyubiru. Sudah sejak bertahun-tahun mereka melupakan nama Mahesa Jenar bersama dengan lenyapnya nama Gajah Sora dan Arya Salaka.”

Mahesa Jenar mengangguk-angguk. Perlahan-lahan ia menyahut, ”Adakah nama itu lenyap pula dari hati Tuan? Bukan Mahesa Jenar, tetapi Gajah Sora dan Arya Salaka.”

Ki Ageng Sora Dipayana menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali. Dan ketika Mahesa Jenar memandang wajahnya yang suram, ia menjadi terkejut. Membayanglah di dalam sepasang matanya yang sayu, seolah-olah mendung menyelimuti langit. Dengan tertahan-tahan ia menjawab, ”Gajah Sora adalah harapan bagi masa kini, sedang Arya Salaka adalah harapan masa depan. Bagaimana aku dapat melupakan mereka?”

”Tetapi masa kini telah hilang dari tangannya,” sahut Mahesa Jenar meneruskan. Perlahan-lahan namun jelas.

Sora Dipayana memandangi mata Mahesa Jenar dengan cermat. Ia melihat pertanyaan yang bergulat di dalamnya. Karena itu ia berkata, ”Anakmas Mahesa Jenar, aku tidak pernah menolak kalau ada orang meletakkan tanggungjawab di dalam tanganku. Aku tidak pernah mengelakkan tuduhan bahwa aku seolah-olah membiarkan keadaan berkembang seperti apa yang terjadi kini. Tetapi aku ingin juga mengatakan, alasan-alasan apakah yang telah menyudutkan aku ke dalam keadaan ini.”

Ki Ageng Sora Dipayana berhenti sejenak. Dengan seksama ia mengawasi Kebo Kanigara. Dan tiba-tiba saja terlontar dari mulutnya, ”Siapakah Angger ini?”

”Aku adalah seorang Putut, Tuan. Yang menghambakan diri pada Panembahan yang tinggal di bukit Karang Tumaritis dan bernama Panembahan Ismaya,” jawab Kebo Kanigara.

”Sebagai seorang Putut, aku bernama Putut Karang Jati,” lanjut Kanigara.

Sora Dipayana mengangguk-angguk kecil. Tetapi ia bertanya pula, ”Adakah Anakmas bergelar lain selain nama Angger sebagai seorang Putut?”

Kebo Kanigara ragu sejenak. Ketika ia menoleh kepada Mahesa Jenar, Mahesa Jenar pun agaknya bimbang hati.

Akhirnya kepada orang tua itu Kebo Kanigara tidak merasa perlu untuk menyembunyikan diri.

Karena itu ia menjawab, ”Tuan, aku memang memiliki nama lain. Nama yang diberikan oleh ayah bunda pada saat aku dilahirkan nama itu adalah Kebo Kanigara.”

Mendengar nama itu Ki Ageng Sora Dipayana menegakkan kepalanya. Ia lupa-lupa ingat akan nama itu. Namun bagaimanapun juga orang yang bernama Kebo Kanigara itu sangat menganggumkannya. Ia melihat ketika orang yang bernama Kebo Kanigara itu menepuk pundak Mahesa Jenar untuk menenangkannya. Ia melihat betapa Mahesa Jenar tidak berani memandang wajah orang itu. Karena itu, orang yang bernama Kebo Kanigara itu pasti mempunyai pengaruh yang kuat atas Mahesa Jenar. Apalagi menilik sikapnya yang tenang penuh kepercayaan kepada diri sendiri, telah menyatakan betapa ia memiliki ilmu yang kuat dan meyakinkan pula.

Kalau Kebo Kanigara itu seorang Putut yang bernama Karang Jati, dan memiliki ilmu yang cukup meyakinkan, bagaimanakah agaknya Panembahan yang bernama Ismaya itu? Dan apakah hubungannya dengan Mahesa Jenar, sehingga ia datang bersamanya? Tetapi Sora Dipayana merasa kurang pada tempatnya untuk menanyakannya.

Sementara itu Kebo Kanigara pun sedang memperhatikan Ki Ageng Sora Dipayana dengan seksama. Ia pernah mendengar nama itu dari ayahnya, Ki Ageng Pengging Sepuh. Dan ia pernah mendengar pula bahwa Ki Ageng Sora Dipayana itu adalah sahabat ayahnya dan memiliki ilmu yang setingkat.

Agaknya apa yang dikatakan oleh ayahnya itu tidak berlebih-lebihan. Ia melihat dengan mata kepala sendiri apa yang baru saja terjadi. Ketika Sawung Sariti dengan diam-diam bersiap untuk melontarkan tombak ke punggung Mahesa Jenar, Kebo Kanigara telah bersiap untuk mencegahnya.

Tetapi tiba-tiba ia melihat Sora Dipayana itu seperti melayang terbang ke arah anak muda itu. Dengan satu sentuhan di punggungnya, Sawung Sariti tiba-tiba gemetar dan jatuh terduduk di tangga tanpa dapat berdiri lagi.

Kemudian seperti berjanji, mereka masing-masing meloncat masuk kedalam lingkaran laskar Pamingit untuk mencegah terjadinya pertumpahan darah. Kebo Kanigara berusaha untuk menenangkan Mahesa Jenar, sedang Sora Dipayana mencegah Lembu Sora untuk berbuat lebih banyak lagi.

Setelah mereka berdiam diri sejenak, mulailah Sora Dipayana melanjutkan kata-katanya, ”Angger berdua, Wanamerta, Bantaran dan Penjawi. Anggaplah bahwa sebuah dongeng yang akan saya utarakan nanti sebagai suatu usaha untuk meringankan perasaanku dari himpitan tanggungjawab yang hampir tak dapat aku laksanakan. Atau barangkali dapat kalian artikan sebagai suatu usaha untuk meringankan kesalahan-kesalahan yang pernah aku lakukan.”86
Ki Ageng Sora Dipayana berhenti sejenak, kemudian ia melanjutkan, “Pada saat itu, aku baru saja datang kembali dari perjalananku mencari jejak kedua pusaka Demak yang hilang kembali, setelah diketemukan oleh Gajah Sora dan Mahesa Jenar bersama-sama. Aku datang kembali ke Banyubiru tanpa membawa kedua keris itu. Apalagi membawanya kembali, jejaknya pun tak dapat aku ketahui.”

Setelah berhenti sejenak, Ki Ageng Sora Dipayana meneruskan ceritanya. “Yang aku ketemukan di Banyubiru pada saat itu, adalah pemerintahan tanah perdikan ini telah beralih ke tangan Lembu Sora. Dari dia aku mendengar cerita tentang apa saja yang telah terjadi di tanah perdikan ini.
Dari Lembu Sora aku mendengar bahwa Gajah Sora dihukum mati oleh Sultan Demak karena pengkhianatannya. Dan darinya pula aku mendengar bahwa Arya Salaka telah diketemukan terbunuh dan kehilangan tombak pusakanya, Kyai Bancak.”

“Tidak benar,” potong Mahesa Jenar.

Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk-angguk. Katanya,”Aku tidak percaya cerita itu sejak aku mendengarnya. Tetapi apakah yang aku hadapi seterusnya di sini ? Di tanah perdikan ini ? Lembu Sora adalah anakku pula. Anak terkasih dari ibunya. Sedang kepada ibunya aku tidak dapat melupakan duka derita yang disandangnya pada saat itu. Duka derita sebagai ungkapan kesetiaan seorang istri yang baik, pada saat aku sedang bekerja mati-matian membangun tanah perdikan ini, yang semula bernama Pangrantunan. Dan pada saat itulah Lembu Sora dilahirkan.

Dengan Lembu Sora didalam embanan, ibunya membanting tulang untuk mencukupi kebutuhan kami. Kadang-kadang Lembu Sora itu dibawanya menuai padi diterik panas matahari, menumbuk dan kemudian menanaknya sekali. Sedang Gajah Sora pada saat itu telah dapat berjalan mengikutinya kemana ia pergi, menggandengnya disepanjang pematang dan di jalan-jalan yang sama sekali belum berujud jalan seperti sekarang ini.”

Sora Dipayana berhenti sesaat. Pandangan matanya terlempar jauh, seolah-olah menerawang kembali kepada masa-masa silam. Masa-masa pahit yang pernah dialami.

Setelah orang tua itu menelan ludahnya, maka mulailah ia meneruskan ceritanya, “Rupa-rupanya Tuhan berkenan kepada usahaku itu, sehingga beberapa tahun kemudian terwujudlah padepokan yang kemudian berkembang menjadi semakin ramai dan subur. Aku menjadi bangga ketika kemudian tanah ini dikuatkan dengan suatu piagam menjadi tanah perdikan. Tanah perdikan yang semakin lama menjadi semakin berkembang. Bersamaan dengan itu semakin berkembang pulalah perasaan iba dan kasih istriku kepada Lembu Sora. Ia selalu ingat kepada saat-saat bayi itu mengalami masa-masa pahit. Namun akibatnya adalah sifat-sifat manja pada anak itu. Bahkan kemudian sifat itu semakin menjadi-jadi.. Dan kesalahan itu barangkali yang telah menjerumuskannya kedalam keadaannya sekarang ini. Keadaan yang sama sekali tidak dapat dibenarkan.”

Sekali lagi Ki Ageng Sora Dipayana berhenti, seolah-olah ia menjadi sangat lelah. Beberapa kaliia menarik napas dalam-dalam. Kedua tangannya ditekankan ke lantai yang dilambari tikar pandan,seolah-olah dengan demikian ia ingin mencari kekuatan untuk menahan berat badannya yang tidakseberapa besar itu.

Beberapa saat kemudian ia mulai lagi dengan ceritanya, “Meskipun kemudian aku sadar bahwa akuharus berdiri diatas kebenaran dan keadilan, namun aku bermaksud untuk berlaku bijaksana. Aku ingin menyelesaikan masalahnya tanpa mengorbankan salah satu diantaranya. Karena itulah maka diam-diam aku pergi ke Demak untuk membuktikan ketidak benaran cerita Lembu Sora. Tetapi aku terbentur pada suatu kenyataan, bahwa Gajah Sora ternyata terlibat dalam suatu keadaan yang sulit. Ia dapat dilepaskan apabila kesalahannya nyata-nyata tidak terbukti, apabila Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten telah dapat diketemukan, dan ternyata benar-benar tidak disembunyikannya.”

Kemudian dengan nada yang rendah dan sedih, Ki Ageng Sora Dipayana bergumam, “Lalu berapa tahunkah kedua keris itu dapat ditemukan ?”

Mata orang tua itu menjadi sayu. Dan nada kata-katanya menjadi sangat rendah. “Apalagi umurku menjadi semakin tua. Berapa tahun lagi aku masih diperkenankan oleh Yang Maha Esa untuk dapat menikmati segarnya angin pegunungan Telamaya ini ? Apakah yang terjadi seandainya aku harus meninggalkan tanah ini menghadap Tuhan Yang Maha Esa, sedang Gajah Sora masih belum kembali ? Sedang Arya Salaka kemudian lenyap tanpa bekas, seolah-olah ia telah benar-benar mati terbunuh ? Itulah sebabnya kenapa aku tidak mempunyai pilihan lain daripada untuk sementara mempergunakan tenaga yang ada untuk kepentingan tanah ini. Aku sadar bahwa dari berbagai penjuru dapat datang bahaya. Gerombolan kalangan hitam yang liar dari Gunung Tidar, Rawa Pening dan Alas Mentaok. Bahkan ternyata dari Nusa Kambangan pun bahaya itu dapat datang setiap saat.”

Ki Ageng Sora Dipayana mengakhiri ceritanya dengan suatu tarikan napas kecewa. Ia melihat masa depan yang suram bagi tanah perdikannya yang dibangunnya dengan cucuran keringat.

Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Wanamerta, Bantaran dan Penjawi pun merasakan apa yang bergetar di dalam orang tua itu. Mereka ikut serta dihadapkan pada persimpangan jalan yang tidak dikenalnya.
Jalan manakah yang harus dipilihnya.

Ki Ageng Sora Dipayana tidak dapat membiarkan tanah perdikannya ditelan oleh kekuatan hitam yang ada disekitarnya. Sedang yang ada padanya pada saat itu tidak ada lain, kecuali Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti. Maka orang tua itu tidak dapat berbuat lain daripada membentengi Pamingit dan Banyubiru dengan menempa Lembu Sora dan Sawung Sariti.

Untuk sesaat pendapa Banyubiru itu menjadi sepi. Masing-masing berdiam diri dan membiarkan angan angan mereka merayapi daerah yang tak mereka kenal.

NAGASASRA DAN SABUK INTEN
Karya SH. Mintarja
No. 452

KI AGENG Sora Dipayana masih saja memandangi titik-titik di kejauhan.

Menembus alam kasatmata dan hinggap ke dalam alam yang hanya dapat dicitakan. Banyubiru yang gemah ripah loh jinawi. Jauh dari sifat cecengilan dan fitnah. Jauh dari keirihatian dan ketamakan.

”Adakah kita akan sampai ke sana…?” Tiba-tiba terdengar Sora Dipayana bergumam.

Kebo Kanigara, Mahesa Jenar dan orang-orang lain yang mendengarnya menjadi terkejut. Bahkan Sora Dipayana sendiri seolah-olah menjadi tersadar oleh kata-katanya sendiri.

”Sampai ke mana Ki Ageng?” tanya Wanamerta.

Ki Ageng Sora Dipayana menarik nafas panjang. Lalu ia melipat tangannya di dadanya. Tetapi ia harus menjawab pertanyaan Wanamerta itu. Maka katanya, ”Wanamerta… kau adalah orang tertua yang pernah ikut serta membanting tulang, membina tanah ini. Bahkan sejak tanah ini masih bernama Pangrantunan. Seperti aku, agaknya kau mencita-citakan tanah ini menjadi tanah yang subur. Wadah dari masyarakat yang sejahtera lahir dan batin. Tetapi kau agaknya lebih beruntung daripadaku. Pada saat saat seperti sekarang ini kau berhasil menarik garis tegas.”

Wanamerta merasa, seolah-olah Ki Ageng Sora Dipayana sedang menyesali dirinya. Menyesali keadaan yang menghadapkannya kepada persoalan yang serba salah. Maju tatu, mundur ajur. Karena itu maka ia berusaha untuk memperingan beban orang tua itu. Katanya. ”Ki Ageng, kalau dalam wawasan Ki Ageng aku dapat menarik garis tegas pada keadaan seperti sekarang ini, adalah karena aku mempunyai kesempatan yang lebih banyak. Aku dapat menilai Anakmas Gajah Sora dan Anakmas Lembu Sora dalam keadaan yang wajar, karena aku tidak tersangkut pada persoalan-persoalan yang
tali-temali seperti Kakang Sora Dipayana.”

”Kau benar Wanamerta,” jawab Ki Ageng Sora Dipayana. ”Kau lebih beruntung lagi, karena kau berhasil menemukan Arya Salaka.”

”Itu adalah karena doa dan pangestu Kakang,” sahut Wanamerta.

Kemudian Ki Ageng Sora Dipayana menoleh kepada Mahesa Jenar dan berkata
kepadanya, ”Mahesa Jenar, adakah Arya Salaka itu sehat-sehat saja?”

Mahesa Jenar mengangguk-angguk sambil menjawab, ”Baik Ki Ageng. Arya Salaka sekarang dalam keadaan segar bugar. Ia menyampaikan baktinya kepada Ki Ageng Sora Dipayana.”

”Hem…” Sora Dipayana bergumam. ”Ia pasti segagah ayahnya. Lima tahun yang lalu ia telah jauh lebih gagah dari kawan-kawan sebayanya. Apalagi sekarang.”

”Ia mirip benar dengan ayahnya, Paman.” Mahesa Jenar menyambung.

Ki Ageng Sora Dipayana tersenyum puas. Tetapi hanya sesaat, sebab kemudian ia teringat kembali pada keadaan yang dihadapi kini. Di dalam rumah itu ada Sawung Sariti yang mewarisi sifat-sifat ayahnya. Meskipun demikian ia tidak mau membiarkan keadaan berkembang berlarut-larut kearah yang tak dikehendaki. Karena itu ia harus berbuat sesuatu.

Menempatkan kembali segala sesuatunya pada tempat masing-masing. Karena itu ia berkata, ”Mahesa Jenar, bawalah Arya Salaka kemari.”

Mendengar kata-kata Ki Ageng Sora Dipayana itu, Mahesa Jenar beserta segenap kawan-kawannya menjadi bergembira. Wajah-wajah mereka menjadi cerah dan bercahaya. Tetapi ketika mereka sadar bahwa kekuasaan Banyubiru pada saat itu seolah-olah berada sepenuhnya di tangan Lembu Sora, mereka menjadi ragu. Dan tanpa mereka sadari mereka segera memandang kearah pintu dimana Lembu Sora tadi masuk.

Sora Dipayana ternyata menangkap perasaan mereka. Perasaan yang sebenarnya berkecamuk juga di dalam rongga dadanya. Tetapi ia berpendapat bahwa keadaan di Banyubiru harus segera mendapat bentuk yang tegas. Apabila keadaan dibiarkan seperti saat itu maka kehidupan rakyatnya pun jadi mengambang tanpa pegangan. Mereka menjadi ragu-ragu untuk berbuat banyak, sebab mereka selalu dibebani oleh perasaan takut dan was-was. Mereka selalu dihadapkan pada keadaan yang tidak tetap,
yang setiap waktu dapat berubah-ubah tanpa ketentuan.

Karena pendapat itulah maka kemudian Ki Ageng Sora Dipayana berkata, ”Mahesa Jenar, aku kira kau sedang mempertimbangkan apakah yang akan terjadi apabila Arya Salaka kau bawa kemari?”

Mahesa Jenar mengangguk sambil menjawab, ”Benar Paman. Memang aku menjadi bimbang akan nasib anak itu kelak.”

”Sebenarnya aku pun bimbang. Tetapi aku menghendaki agar keadaan seperti sekarang ini segera berakhir. Karena itu aku akan mencoba agar segala sesuatu akan menjadi jelas dalam waktu yang dekat. Mudah-mudahan aku masih mempunyai pengaruh yang cukup atas anakku sendiri.”

Jelas terasa dalam nada kata-katanya. Ki Ageng Sora Dipayana benar-benar sedang dihadapkan pada suatu persoalan yang sulit.

Mahesa Jenar akhirnya merasa bahwa pertemuan itu sudah cukup baginya. Ia sudah mendapat gambaran yang cukup jelas tentang keadaan di Banyubiru, yang sudah cukup pula dipergunakannya sebagai bekal untuk menentukan langkah-langkah seterusnya. Karena itu segera ia mohon diri untuk kembali ke daerah Candi Gedong Sanga.

Tetapi Ki Ageng Sora Dipayana menahannya untuk beberapa saat karena ia masih ingin menjamu tamu-tamunya dengan sekadar minuman dan makanan. ”Sebentar lagi hari akan malam, Paman, sebaiknya kami berangkat sekarang.” Mahesa Jenar mencoba untuk memaksa kembali.

Tetapi Ki Ageng Sora Dipayana menjawab, ”Apakah bedanya siang dan malam bagimu Anakmas Mahesa Jenar? Apalagi kau berjalan bersama dengan Angger Kebo Kanigara, selain masih ada Wanamerta, Bantaran dan Penjawi. Tak ada sesuatu yang akan dapat menghalangi perjalananmu.”

Cerita Bersambung 27 Mei 2000
NAGASASRA dan SABUK INTEN
Karya SH Mintarja
453

MAHESA JENAR tersenyum mendengar pujian itu. Sambil mengangguk ia menjawab, ”Itu terlalu berlebihan, Paman. Kecuali apabila Paman Sora Dipayana mengantarkan kami.”
”Tetapi kemudian kau harus mengantar aku kembali Mahesa Jenar,” sahut Sora Dipayana, ”Dengan demikian semalam suntuk kita akan saling mengantar”.

Mahesa Jenar dan Ki Ageng Sora Dipayana tersenyum mendengar kelakar itu, bahkan juga orang-orang lain yang mendengarnya, meskipun di dalam dada mereka masih tersimpan beberapa soal yang sukar dipecahkan.

Demikianlah, akhirnya mereka terpaksa menunggu sampai hidangan disajikan. Minum dan makan. Meskipun mereka duduk bersama menikmati hidangan itu dengan Lembu Sora dan Sawung Sariti, namun tidak banyak yang mereka percakapkan. Mereka menjadi kaku dan tegang, sehingga tidak banyak makanan yang dapat mereka makan, serta minuman yang dapat mereka minum.

Setelah selesai mereka menikmati jamuan itu, serta setelah mereka beristirahat sejenak, maka sekali lagi Mahesa Jenar memohon diri untuk kembali ke perkemahan anak-anak Banyubiru. Kali ini Ki Ageng Sora Dipayana tidak menahannya lagi. Dilepaskannya Mahesa Jenar beserta rombongannya sampai ke halaman untuk seterusnya meninggalkan rumah kepala daerah perdikan Banyubiru itu.

Ketika rombongan kecil itu telah lenyap dibalik regol, serta derap langkah kudanya tidak terdengar lagi, berkatalah Lembu Sora menyesali ayahnya, ”Ayah, kenapa ayah menyuruh orang itu membawa anak yang menamakan diri Arya Salaka itu kemari?”
”Apakah keberatanmu Lembu Sora?” tanya ayahnya pula.
”Apakah ayah dapat menerimanya sebagai Arya Salaka yang sebenarnya? Dan apakah ayah masih mau memberi kepercayaan kepada orang yang bernama Mahesa Jenar itu?” desak Lembu Sora beruntun.

”Lembu Sora,” jawab ayahnya. ”Biarlah kita buktikan bersama. Dengan demikian kita akan dapat mengetahui dan membuktikan bahwa orang yang bernama Mahesa Jenar ini memiliki sifat-sifat pengecut dan jahat, apabila anak muda yang dinamakan Arya Salaka itu benar-benar bukan cucuku. Tetapi sebaliknya, apabila anak muda itu benar-benar Arya Salaka, maka orang yang mengabarkan kepadamu bahwa Arya Salaka telah terbunuh, ternyata ia keliru, atau orang itu memang belum mengenal cucuku dengan baik.”

Mendengar kata-kata ayahnya, yang kedengarannya tegak di tengah-tengah itu, Lembu Sora mengatupkan giginya. Ia sama sekali tidak senang mendengar keputusan ayahnya mengundang Arya Salaka datang ke Banyubiru. Karena itu, ia harus berusaha untuk mencegahnya. Tetapi ia tidak berani mengemukakan keberatannya itu kepada ayahnya.

Ketika Lembu Sora kemudian pergi meninggalkan ayahnya, dan menengok ke alun-alun di hadapan rumah itu, ia masih melihat debu berserakan yang dilemparkan oleh kaki-kaki kuda Mahesa Jenar beserta rombongannya. Tetapi kuda-kuda itu sendiri sudah tidak begitu jelas kelihatan.

Dari kejauhan, bayangan yang kelam seolah-olah datang menerkam daerah perdikan itu dengan perlahan-lahan. Sedang di ufuk barat, matahari yang kelelahan telah membenamkan dirinya dibalik punggung-punggung bukit. Sinarnya yang lamat-lamat untuk sesaat masih tersangkut di awan-awan yang mengalir lambat-lambat menyapu wajah langit yang berwarna biru tua.

Tiba-tiba sesaat kemudian bermunculanlah bintang-bintang yang gemerlapan menggantung di awang-awang.

Sekali dua kali Mahesa Jenar memandang ke arah langit. Bintang-bintang yang semakin padat sangat mengagumkannya. Ia kagum kepada kebesaran alam, kepada benda-benda yang bertebaran di angkasa, kepada tata alam yang sempurna. Tetapi kekagumannya kepada alam, kepada benda-benda yang berkilat-kilat di angkasa itu akhirnya terdampar pada sumbernya. Yaitu kekagumannya kepada Yang Maha Sempurna, yang telah menjadikan semuanya ini. Tuhan Yang Maha Esa.

Demikianlah setiap kali hatinya tergetar oleh kekagumannya itu, setiap kali pula ia merasa semakin dekat pada-Nya. Dan setiap kali ia merasa bahwa ia harus meningkatkan kebaktian kepada-Nya, serta pengabdian kepada titah terkasihnya, yaitu manusia. Pengabdian yang bukan sekadar damba kasih dalam kidung-kidung atau kakawin-kakawin, tetapi pengabdian yang benar-benar diamalkan, dicerminkan dalam tindak-tanduk dan cara hidup sehari-hari.
Demikianlah di dalam perjalanan itu hampir tak terdengar mereka bercakap-cakap. Masing-masing berdiam diri, kecuali memperhatikan jalan-jalan di hadapan mereka, agaknya mereka masih juga sibuk menilai peristiwa yang baru saja terjadi dan yang kira-kira akan terjadi.
Seperti juga ketika mereka datang di Banyubiru, pada saat itu yang berjalan di depan adalah Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, sedang di belakangnya Wanamerta dan seterusnya Bantaran dan Penjawi.
Dalam keheningan malam yang menjadi semakin dalam, hanya derak-derak batu-batu padas yang tersentuh kaki-kaki kuda itu sajalah yang terdengar disamping suara-suara belalang di kejauhan.
Di langit, kelelawar menari-nari dengan lincahnya, seolah-olah tak ada mahluk lain yang berani mengganggunya, sebab malam hari itu adalah milik mereka.
Ketika Mahesa Jenar beserta rombongannya sedang menempuh perjalanan itu di perkemahan anak-anak Banyubiru, di sekitar Candi Gedong Sanga tampaklah persiapan-persiapan dan penjagaan-penjagaan yang lebih ketat daripada biasanya. Apa yang diceriterakan Endang Widuri merupakan pertanda bahaya yang mengancam. Meskipun mereka belum yakin dari manakah bahaya itu datang.
Mantingan, Wirasaba dan Jaladri sama sekali tidak berani meninggalkan gardu pimpinan. Sebab mereka menduga bahwa setiap saat mereka akan dikejutkan oleh peristiwa yang tak mereka kehendaki.

Cerita Bersambung 28 Mei 2000
NAGASASRA dan SABUK INTEN
Karya SH Mintarja
454

KETIKA itu Arya Salaka pun merasa tidak tenang berbaring di dalam pondoknya. Perasaannya selalu saja mengganggu. Karena itu kemudian ia bangkit berdiri dan berjalan keluar. Di luar, ia berpapasan dengan beberapa orang penjaga yang menyapanya dengan hormat. ”Angger, kemanakah Angger akan pergi?”

”Aku hanya ingin berjalan-jalan saja, Paman. Udara terlalu panas, dan aku masih belum berhasrat untuk tidur,” jawab Arya.
”Tetapi hati-hatilah Angger.” Orang itu melanjutkan, ”Jangan meninggalkan lingkaran perkemahan ini.”
”Baik Paman,” jawab Arya Salaka.
Setelah orang itu menjauhinya, terdengar ia bergumam, ”Agaknya orang itupun mendapat firasat yang kurang baik.”

Sejalan dengan itu, tiba-tiba ia teringat kepada Widuri yang tinggal bersama Rara Wilis dan Nyi Penjawi. Mula-mula ia menjadi cemas bahwa orang yang dikalahkan oleh gadis itu mendendamnya dan berusaha untuk membalasnya. Namun kemudian hatinya menjadi tenteram ketika ia sadar bahwa Widuri bukan anak-anak yang masih perlu mendapat perlindungan khusus. Tingkat ilmunya adalah jauh lebih tinggi dari setiap orang yang berada di luar pondok yang mencoba melindunginya. Apalagi dalam pondok itu berada pula Rara Wilis.

Meskipun demikian Arya Salaka berhenti sejenak untuk mengawasi pondok itu. Pondok dimana tinggal di dalamnya Endang Widuri. Tetapi pondok itu nampaknya sepi saja, seolah-olah ikut tertidur dengan para penghuninya. Sedang di sekitar pondok itu ia melihat tiga orang berjaga-jaga. Ia menjadi lega.
Kemudian Arya melangkah kembali menikmati udara malam yang sejuk. Sekali dua kali ia memandang ke arah langit. Bintang-bintang yang semakin padat sangat mengagumkannya. Ia, seperti juga gurunya, pada saat yang bersamaan itu, kagum kepada kebesaran alam, kepada benda-benda yang bertebaran di angkasa, kepada tata alam yang sempurna. Juga seperti gurunya yang sedang menuju ke perkemahan itu, kekagumannya kepada alam, kepada benda-benda yang berkilat-kilat di angkasa itu akhirnya terdampar kepada sumbernya, yaitu kekagumannya kepada Yang Maha Sempurna, yang telah menjadikan semuanya ini.

Dalam keadaan yang demikian, seolah-olah terngiang kembali segala nasehat dan petuah-petuah dari gurunya. Seakan-akan mendengung di dalam rongga telinganya kata-kata Mahesa Jenar. ”Arya, yang penting dari setiap usahamu, adalah usaha-usaha dan perbuatan-perbuatan yang dapat banyak berarti bagi rakyatmu kelak, untuk mendatangkan kebahagiaan lahir dan batin. Tetapi yang lebih penting lagi adalah pertanggungjawabanmu sebagai seorang pemimpin yang akan dituntut kelak, apabila kau menghadap kembali kepada Yang Maha Esa. Karena itulah maka perbuatan-perbuatanmu sekarang harus dapat dinilai dari dua segi. Pengabdianmu pada sesama dan kebaktianmu kepada Tuhan.”

Sambil berangan-angan, tanpa disadari Arya Salaka telah berjalan sampai ke batas perkemahan. Ia masih melihat seorang penjaga berdiri tegak di tengah jalan, sedang di pinggir jalan itu duduk tiga orang yang lain. Tiba-tiba timbullah keinginannya untuk ikut serta duduk bersama mereka. Karenaitu perlahan-lahan ia mendatanginya.

Ketiga orang-orang itu melihat seseorang menghampirinya, hampir serentak mereka menyapa lirih, ”Siapa?”
”Arya,” jawab Arya Salaka.
”O…” terdengar salah seorang dari mereka itu. ”Akan kemanakah Angger?”
”Aku ingin duduk bersama-sama dengan Paman di sini,” jawab Arya.
”Ah,” sahut orang itu. ”Di sini banyak nyamuk. Tidakkah Angger perlu beristirahat?”
”Aku belum ingin tidur, Paman,” jawab Arya pula, dan yang kemudian duduk di samping ketiga orang itu.

Ketika orang itu mengingsar duduknya, sedang orang yang tegak di tengah jalan itu menoleh pula kepadanya.

”Tidakkah Angger lebih enak duduk di gardu pimpinan bersama-sama Adi Mantingan?” tanya yang berdiri itu.

”Nanti aku akan ke sana juga,” jawab Arya.

Orang-orang itu tidak bertanya lagi. Tetapi mereka merasa bertambah beban. Karena mereka belum kenal kepada anak itu setelah beberapa tahun terpisah. Mereka merasa bahwa Arya Salaka itu masih saja seperti dahulu. Masih harus mendapat perlindungan dan perawatan. Karena itu maka seorang dari ketiga orang yang duduk itu kemudian tegak pula dan berjalan-jalan hilir-mudik. Sedang kedua orang yang lain, meskipun tidak berkata apa-apa, tetapi mereka mengingsar duduknya, sehingga seorang di sebelah kiri dan seorang lagi di sebelah kanan Arya.

Arya tersenyum di dalam hati, tetapi ia juga bangga atas anak buahnya yang sangat hati-hati itu. Disamping itu, ia merasa bahwa agaknya Mantingan menganggap bahwa keadaan perkemahan itu benar-benar dalam bahaya.

Ketika Arya telah duduk diantara kedua orang itu, mulailah ia bertanya-tanya tentang beberapa hal.

Tentang Banyubiru sepeninggalnya. Tentang pamannya Lembu Sora. Bahkan tentang pohon jambu di halaman yang dahulu ditanamnya.

”Pohon jambu itu luar biasa lebatnya,” jawab orang yang duduk di sebelah kirinya.

Cerita Bersambung 29 Mei 2000
NAGASASRA dan SABUK INTEN
Karya SH Mintarja
455

ARYA SALAKA kemudian mencoba membayangkan pohon itu. Alangkah rindangnya duduk di bawahnya apabila matahari yang terik sedang membakar seluruh halaman rumanya. Tetapi yang terakhir terbayang di dalam otaknya adalah orang yang paling dikasihinya. Orang yang telah melahirkannya dan mengasuhnya dengan penuh cinta kasih. Orang itu adalah ibunya. Nyai Ageng Gajah Sora.

Terbayanglah wajah ibunya yang sayu pucat berdiri di regol halaman rumahnya. Dengan penuh harapan ia menanti kedatangan ayahnya. Gajah Sora dari Demak. Dan dengan penuh harapan pula ia menanti kedatangannya, satu-satunya anak yang dimilikinya.

Tetapi kemudian dibayangkannya, bahwa ibunya akan menjadi putus asa kalau yang ditunggunya sekian lama tidak kunjung tiba. Maka yang dapat dilakukannya hanyalah menangis di ruang tidurnya dengan membenamkan wajahnya di bawah bantalnya yang telah basah oleh air mata.

Arya menarik nafas dalam-dalam. Sekali-kali ia memejamkan matanya sambil menggelengkan kepalanya untuk mengusir bayang-bayang yang mengganggu otaknya. Tetapi bayangan-bayangan itu menjadi semakin jelas dan seolah-olah ibunya itu melambai-lambai kepadanya dengan wajah sedih dan berkata, ”Arya, aku sudah sedemikian rindunya kepadamu.”

Arya terkejut ketika terasa tetesan cairan yang hangat di pipinya. Cepat ia mengusapnya dengan lengan bajunya. Tetapi mau tidak mau, dadanya menjadi sesak oleh sesuatu yang seakan-akan menyumbat kerongkongannya.

”Hem….” Beberapa kali Arya menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali, untuk mengurangi himpitan perasaan yang menekan dadanya.

Semula ia ingin menanyakan kepada orang-orang Banyubiru itu tentang keadaan ibunya. Tetapi kemudian ia menjadi ketakutan. Ketakutan pada jawaban yang akan didengarnya. Jangan-jangan jawaban mereka atas pertanyaan itu akan dapat menambah sedih hatinya. Karena itu, maksudnya untuk bertanya tentang ibunya dibatalkan.

Sementara itu malam menjadi semakin jauh. Bintang-bintang telah berkisar dari tempatnya semula ke arah barat. Di ujung selatan, bintang Gubug Penceng telah melampaui garis tegak lurus.

Dalam pada itu tiba-tiba terasa sesuatu yang aneh. Angin yang silir bertiup perlahan-lahan. Begitu nyamannya sehingga tiba-tiba pula perasaan kantuk seolah-olah menyengat perasaannya.

Dua orang yang berada di kedua sisinya itu telah beberapa kali menguap. Sedang orang yang berjalan hilir mudik itu pun merasakan pula serangan kantuk yang dalam. Demikian pula orang yang tegak berjaga-jaga di tengah jalan. Dengan tanpa mereka sadari, mereka jatuh terduduk.

Arya Salaka pun merasakan juga serangan kantuk itu. Tetapi karena pengalamannya selama ini, telah mempertajam nalurinya. Ia merasa bahwa ada sesuatu yang tidak pada tempatnya. Tiba-tiba ia teringat ceritera gurunya tentang semacam ilmu yang dapat mempengaruhi kesadaran seseorang. Yaitu ilmu sirep.

Dengan ilmu itu orang dapat memperlemah kesadaran orang lain yang tampaknya menjadi kantuk dan tertidur. Karena itu, pada saat itupun Arya segera memperkuat ketahanan diri. Dikerahkannya segala kekuatan batinnya untuk melawan pengaruh sirep yang dalam itu.

Arya Salaka, meskipun masih sangat muda, tetapi karena masa-masa pembajaan diri yang selama ini dialami, maka iapun telah menjadi anak muda yang perkasa lahir dan batin.

Karena itulah maka ia berhasil menyelamatkan dirinya dari pengaruh sirep yang tajam itu.

Beberapa kali ia mencoba membangunkan orang-orang jaga yang kemudian jatuh tertidur. Tetapi demikian mereka terbangun, menguap dan kembali jatuh tertidur. Arya Salaka menjadi heran. Demikian kuatnya pengaruh sirep terhadap kesadaran seseorang. Namun meskipun demikian, ia yakin, apabila ada sesuatu yang mengejut dan cukup kuat memberi mereka rangsang, maka orang-orang yang kena pengaruh sirep itupun akan dapat terlepas dengan sendirinya. Sebab apabila ia memukul paha salah seorang dari penjaga yang tertidur, orang itupun menjadi terkejut pula dan terbangun untuk kemudian jatuh tertidur kembali.

Bagi Arya Salaka, pengaruh sirep itu merupakan tanda bahaya. Ia tidak tahu siapakah yang menyebarkannya. Tetapi ia menjadi cemas, kalau kemudian sepasukan laskar akan diam-diam menyerbu perkemahan yang seolah-olah menjadi tertidur seluruhnya. Ia tidak tahu apakah semua orang mengalami nasib seperti kelima penjaga itu. Apakah orang yang berjaga-jaga di sekitar pondok Endang Widuri pun menjadi tertidur. Dan apakah Ki Dalang Mantingan, Wirasaba dan Jaladri tidak dapat membebaskan diri dari pengaruhnya.

Arya Salaka menjadi kebingungan. Ia tidak sampai hati meninggalkan para penjaga yang tertidur itu. Kalau penyebar sirep ini menghendaki, maka dengan mudahnya mereka membunuh penjaga-penjaga itu.

Tetapi belum lagi ia mendapat keputusan, telinganya yang tajam mendengar kemersik daun tersentuh kaki. Cepat Arya Salaka menyiagakan diri untuk menghadapi segala kemungkinan. Tetapi suara itu tidak berhenti ketika sudah menjadi semakin dekat dari tempat duduknya. Bahkan kemudian terdengar suara berbisik lirih, ”Siapa yang bertugas di sini?”

Arya sudah mengenal suara itu. Suara Wirasaba. Karena itu ia menjadi gembira karena setidak-tidaknya, ia sendiri dan Wirasaba dapat membebaskan diri dari pengaruh sirep ini. Maka dengan perlahan-lahan pula ia menjawab, ”Aku, Paman, Arya.”

”Arya Salaka?” ulang Wirasaba agak terkejut.

”Ya,” jawab Arya pula.

WIRASABA beringsut mendekati Arya Salaka.
”Kenapa Angger berada di sini?” tanya Wirasaba.
”Aku hanya berjalan-jalan saja ketika aku tidak dapat tidur. Tetapi para penjaga inilah yang kemudian jatuh tertidur,” sahut Arya.
”Mereka terkena pengaruh sirep,” jelas Wirasaba. ”Untunglah Angger terbebas dari pengaruhnya.”
”Akupun merasakan pengaruhnya, Paman. Lalu bagaimanakah dengan yang lain-lain?” tanya Arya Salaka.
”Adi Mantingan sedang mengamati mereka,” jawab Wirasaba.

Hati Arya Salaka menjadi bertambah besar ketika ternyata Mantingan pun terbebas dari pengaruh sirep itu. Bahkan kemudian ia bertanya, ”Siapa pulakah yang dapat menyelamatkan diri?”

”Adi Mantingan baru menyelidiki mereka. Tetapi Jaladri juga terbebas dari pengaruh sirep ini atas bantuan Adi Mantingan,” jawab Wirasaba.

Kemudian Arya Salaka tidak cemas lagi. Ada empat orang yang pasti terbebas dari pengaruh sirep itu. Namun ia bertanya pula, ”Jadi dapatkah Paman Mantingan menolong orang lain membebaskan diri dari pengaruh sirep ini?”
”Demikianlah,” jawab Wirasaba. ”Tetapi tidak kepada semua orang. Ia hanya dapat membantu seperlunya apabila orang itu sendiri cukup mempunyai daya tahan.”
”Syukurlah,” gumam Arya.
”Ia adalah seorang dalang. Sebagai seorang dalang ia perlu memiliki berbagai macam ilmu. Sebab kadang-kadang ia memang berhadapan dengan gangguan-gangguan dari para penontonnya yang jahil.” Wirasaba menegaskan.
Tetapi kemudian Arya Salaka kembali membayangkan bagaimanakah kalau sepasukan laskar menyerbu perkemahan ini. Sedang sebagian besar dari laskar Banyubiru itu jatuh tertidur. Karena itu ia bertanya kembali, ”Paman Wirasaba, bagaimanakah seandainya malam ini perkemahan kita ini diserbu oleh sepasukan laskar?”

Meskipun Arya Salaka mempunyai daya tahan lahir batin yang cukup kuat, namun ternyata pengetahuannya belumlah seluas Wirasaba, yang menjawab pertanyaannya itu. ”Tidak Angger, pasukan penyerbu itupun akan terkena pengaruh sirep ini pula. Sebab daya kekuatan sirep ini tidak dapat ditujukan kepada seorang atau serombongan orang. Tetapi dayanya seolah-olah memenuhi udara di sekitar penyebarnya. Sehingga apabila pada malam ini ada orang yang ingin memasuki perkembahan ini, pasti merekapun jumlahnya terbatas. Terbatas pada mereka yang atas kemampuan sendiri, atau atas bantuan orang lain membebaskan diri dari pengaruh sirep ini.”

Arya Salaka mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekarang ia sama sekali tidak perlu khawatir. Di dalam perkemahan itu ia cukup mempunyai kawan yang mempunyai ilmu cukup tinggi. Meskipun demikian ia masih ingin mengetahui bagaimanakah keadaan Endang Widuri dan Rara Wilis. Sebab tanpa setahunya, ia merasa bahwa nasib gadis kecil itu adalah sama dengan nasibnya sendiri. Maka kemudian setelah Wirasaba berada di tempat itu, ia tidak keberatan lagi meninggalkan para penjaga itu. Kepada Wirasaba ia berkata, ”Paman, apabila Paman bersedia untuk tinggal di sini, aku minta ijin untuk menengok pondok Bibi Wilis dan Widuri.”

”Jangan Angger,” cegah Wirasaba. ”Jangan pergi sendiri. Marilah aku antar Angger ke sana.”

”Lalu bagaimana dengan para penjaga ini?” tanya Arya Salaka.

”Biarlah mereka kita sisihkan. Aku kira orang-orang yang menyebar sirep itu tidak akan berkesempatan mengurusi para penjaga itu. Mereka pasti berhasrat untuk langsung menemukan kekuatan-kekuatan pokok dari perkemahan ini.”

Arya Salaka dapat mengerti keterangan Wirasaba itu. Karena itu iapun segera membantunya, mengangkat para penjaga yang tertidur itu ke tepi, ke atas rerumputan yang sudah mulai basah karena embun malam yang perlahan-lahan turun ke bumi.

Dingin malam musim bediding rasa-rasanya sampai menggigit tulang. Namun oleh ketegangan yang mengetuk-ngetuk dada, rasa itu sama sekali tak mempengaruhi mereka yang sedang berusaha menyelamatkan perkemahan itu.

Dengan mengendap-endap penuh kewaspadaan, Arya Salaka diantar oleh Wirasaba yang menggenggam sebuah kapak yang besar sekali menuju ke barak kecil tempat Rara Wilis dan Endang Widuri beristirahat selama mereka berada di perkemahan itu.

Meskipun sebenarnya Arya Salaka sama sekali tidak merasa perlu pengawalan, namun ia tidak mau menyakitkan hati orang lain. Karena itu ia tidak menolak. Ketika mereka lewat dekat gardu pimpinan, mereka melihat bahwa gardu itu kosong. Tetapi mata Arya Salaka yang tajam dapat melihat sebuah bayangan yang berdiri di belakang gardu itu. Agaknya Jaladri merasa perlu sekadar melindungkan dirinya untuk dapat mengadakan pengawasan di sekitar tempat itu dengan lebih seksama. Di tangannya tergenggam sebuat canggah, tombak bermata dua.

Arya dan Wirasaba berjalan terus. Dengan gerak tangan Wirasaba memberi isyarat kepada Jaladri, yang membalas dengan isyarat tangan pula. Beberapa langkah kemudian mereka sudah melihat pondok tempat tinggal Rara Wilis dan Endang Widuri. Ternyata para penjaga pondok itupun telah tertidur pula. Karena itu Arya Salaka menjadi cemas, jangan-jangan telah terjadi sesuatu atas penghuninya.
Perlahan-lahan ia menyusuri tempat-tempat yang gelap mendekati pondok itu.

”Marilah,” jawab Wirasaba.

Dengan sangat hati-hati mereka mendekati pintu pondok yang memang tidak pernah terkancing. Perlahan-lahan Arya menyingkapkan pintu itu. Meskipun demikian terdengar suatu gerit perlahan. Hanya perlahan. Tiba-tiba ketika pintu itu terbuka, terjulurlah ujung sehelai pedang yang tipis mengarah ke dada Arya Salaka.

Cerita Bersambung 31 Mei 2000
NAGASASRA dan SABUK INTEN
Karya SH Mintarja
457

ARYA SALAKA terkejut. Untunglah ia memiliki ketangkasan yang cukup. Meskipun pedang itu tidak membawa serangan maut, namun agaknya perlu juga ia menjaga dirinya dan menghindari. Melihat senjata itu Wirasaba pun terkejut. Ia segera meloncat maju untuk menangkis serangan itu. Tetapi ujung pedang itu sangat lincahnya di dalam kegelapan malam, bahkan dengan sekali putar hampir saja lengan Wirasaba tergores.

Karena itu Wirasaba terkejut sekali dan meloncat mundur. Ketika ia kemudian mengangkat kapaknya untuk menyerang kembali terdengarlah Arya Salaka berdesis. ”Paman, itu adalah pedang Bibi Wilis.”

Wirasaba terhenti. Dan bersamaan dengan itu, tampaklah sebuah bayangan meloncat keluar dengan lincahnya, bahkan seperti terbang. Demikian bayangan itu menginjak tanah, demikian ia telah siap menghadapi setiap kemungkinan. Tetapi juga bayangan itu terkejut ketika ia melihat Wirasaba dan Arya Salaka berdiri di dalam gelap. Karena itu terlontarlah dari mulutnya.

”Kau, Arya…?”

”Ya, Bibi…” jawab Arya. ”Kami minta maaf kalau kami mengejutkan Bibi.”

Rara Wilis menarik nafas. Katanya, ”Suasana malam ini memaksa aku untuk sangat berhati-hati.”

”Aku sebenarnya ingin melihat keadaan Bibi dan Widuri tanpa mengganggu,” sambung Arya.

”Tak apalah,” jawab Rara Wilis. ”Dan syukurlah kalau kalian juga berhasil membebaskan diri dari pengaruh sirep yang tajam ini.”

Wirasaba berdiri tegak dan bersandar pada tangkai kapaknya. Meskipun ia telah menduga bahwa Rara Wilis tidaklah sama dengan kebanyakan wanita, namun ia sama sekali tidak menduga bahwa sampai sekian gadis itu telah mencapai ilmunya.

Sementara itu tiba-tiba terdengar suara dari clundak pintu. ”Untunglah dadamu tidak terlubang Kakang Arya.”

Arya menoleh. Dilihatnya Endang Widuri duduk dengan enaknya di atas clundak pintu itu.

Arya Salaka dan Wirasaba lebih terkejut melihat Endang Widuri duduk di situ daripada mendengar suaranya. Mereka sama sekali tidak mengira bahwa gadis itupun berhasil membebaskan diri dari pengaruh sirep. Karena itu terdengar Arya bertanya perlahan, ”Kau tidak tertidur…?”

”Aku belum ngantuk.” jawab Widuri seenaknya.

”Aneh,” tiba-tiba terdengar Wirasaba bergumam.

Rara Wilis mendengar gumam itu. Dengan tersenyum ia menjawab, ”Anak itu memang luar biasa.
Akupun harus berjuang untuk melawan pengaruh sirep ini sekuat tenaga. Tetapi Widuri memang seakan-akan sama sekali tidak disentuh oleh kekuatan sirep ini.”

Widuri merasa bahwa dirinyalah yang sedang dipercakapkan itu. Maka iapun segera menyahut, ”Apakah kalian heran karena aku belum ngantuk? Bukankah ini masih belum terlampau malam?”.

Tak seorangpun menjawab. Mereka tahu sifat gadis itu. Nakal dan kadang-kadang suka menuruti perasaan sendiri.

Dalam pada itu, tiba-tiba di kejauhan terdengar suara siulan nyaring. Suara itu menggetar di seluruh perkemahan anak-anak Banyubiru itu, seolah-olah melingkar-lingkar menyusup ke setiap pondok.
Rara Wilis dan kawan-kawannya terkejut mendengar suara itu. Suara yang belum pernah mereka dengar. Apalagi kemudian suara itu disusul dengan bunyi yang sama di arah yang berlawanan.

Tidak itu saja, suara siulan itu masih terdengar berturut-turut dari dua arah yang berbeda. Dengan demikian maka dapat diketahui bahwa orang yang bersiul, dan yang pasti, mereka pulalah yang menyebarkan sirep ini, berada di empat arah mata angin. Karena itulah, Rara Wilis dan kawan-kawannya itu mengetahui bahwa orang-orang itu telah berusaha mengepung perkembahan ini.

Dengan demikian mereka harusmenjadi lebih berhati-hati lagi.

Sementara itu mereka melihat Ki Dalang Mantingan dan Jaladri datang pula ke pondok itu. Dengan nafas yang terengah-engah ia berkata perlahan, ”Aku cari Angger Arya Salaka setengah mati. Ketika aku menengok ke pondok Angger, aku menjadi gugup, karena Angger tidak ada di tempat. Aku coba mencari berkeliling, tetapi juga tidak aku jumpai. Akhirnya dari Jaladri aku mendengar bahwa Angger pergi kemari bersama-sama Kakang Wirasaba.”

”Angger Arya Salaka berada di mulut perkemahan ini, Adi,” jawab Wirasaba.

”Syukurlah kalau tidak terjadi sesuatu. Dan bukankah di sini juga tidak terjadi sesuatu?” tanya Mantingan pula.

”Tidak Kakang,” jawab Rara Wilis singkat.

”Kakang Wirasaba, menilik suara yang mereka perdengarkan, mereka berada di empat arah mata angin di sekeliling perkemahan ini. Juga menilik tanda-tanda suara yang mereka berikan, mereka pasti mengira bahwa perkemahan ini telah terbenam seluruhnya dalam pengaruh sirepnya. Karena itu mereka pasti akan memasuki perkemahan ini dengan seenaknya.”

Mantingan mulai memberi penjelasan.

”Karena itu, maka adalah menjadi kewajiban kami untuk menyelamatkan perkemahan ini. Waktu kita agaknya tinggal sedikit. Sebab apabila mereka merasa bahwa jarak waktu yang mereka berikan untuk meresapkan sirepnya telah mereka anggap cukup, mereka pasti akan segera bertindak,” lanjut Mantingan.

Wirasaba sependapat dengan keterangan Mantingan. Maka ia pun membenarkannya, ”Lalu apakah yang harus kita lakukan Adi?” tanya Wirasaba.

Mantingan berpikir sejenak. Kemudian ia menjawab, ”Kita yang telah berhasil membebaskan diri dari pengaruh jahat ini, harus memberikan perlindungan-perlindungan terhadap anak-anak Banyubiru yang lain. Aku kira mereka akan mencari orang-orang yang mereka anggap penting. Aku tidak tahu apakah mereka telah mengetahui keadaan perkemahan ini dengan baik. Tetapi disamping itu…” Mantingan berhenti sejenak. Matanya berkisar kepada Rara Wilis, Endang Widuri dan Arya Salaka.

Cerita Bersambung 02 Juni 2000
NAGASASRA dan SABUK INTEN
Karya SH Mintarja
458

RARA WILIS segera menangkap perasaan Ki Dalang Mantingan. Karena itu ia menjawab, ”Kakang, biarlah kami coba untuk melindungi diri kami masing-masing. Adalah sudah menjadi kewajiban Kakang Mantingan, Kakang Wirasaba dan Jaladri untuk mencoba melindungi anak-anak Banyubiru yang merupakan tenaga-tenaga inti dari laskar ini.”

Mantingan menjadi agak malu karena perasaannya dapat ditebak dengan tepat. Tetapi ia tidak akan sampai hati untuk membiarkan gadis-gadis itu dan anak semuda Arya Salaka untuk menjaga diri mereka sendiri terhadap penyerang-penyerang yang bersembunyi seperti ini. Apalagi jelas bahwa para penyerang itu memiliki ilmu yang cukup tinggi. Terbukti dengan sirepnya yang cukup tajam ini. Sedangkan Arya Salaka bagi laskar Banyubiru ternyata telah menjadi penguat tekad perjuangan mereka. Sehingga daripada yang lain-lain, Arya Salaka-lah yang pertama-tama wajib diselamatkan.
”Maaf Adi Wilis…” kata Mantingan pula, ”Aku wajib untuk berusaha menyelamatkan kalian. Karena itu, aku harap Kakang Wirasaba tetap berada di tempat ini, aku akan berada di pondok sebelah untuk mencoba melindungi anak-anak yang tertidur dengan nyenyaknya.”
”Baiklah Adi,” jawab Wirasaba.
”Kau ikut dengan aku Jaladri,” sambung Mantingan. ”Kita kosongkan gardu pimpinan.”

Seterusnya kepada Rara Wilis ia berkata, ”Keadaan menjadi semakin gawat. Kami silahkan kalian masuk. Sebaiknya Kakang Wirasaba pun berada di dalam pula. Kami masing-masing akan memberi tanda apabila keadaan kami sulit. Pukullah kentongan atau berteriaklah memanggil. Jarak kami tidak terlalu jauh.”

Selesai dengan kata-katanya, Mantingan pun segera bergerak meninggalkan tempat itu. Ia terpaksa membagi kekuatan mereka. Wirasaba untuk melindungi pondok Wilis, sedang ia sendiri dan Jaladri berusaha untuk melindungi kekuatan-kekuatan pokok laskar Banyubiru. Tetapi meskipun demikian, namun otaknya diganggu juga oleh teka-teki, bagaimana mungkin Arya Salaka dan Rara Wilis dapat membebaskan diri dari pengaruh sirep yang tajam ini. Apalagi ia sama sekali tidak tidak tampak kantuk. Sedangkan orang seperti Jaladri itupun masih memerlukan bantuannya untuk membebaskan diri dari pengaruh sirep ini. Meskipun ia telah menduga bahwa kedua gadis itu pasti memiliki kelebihan dari gadis-gadis lain, tetapi ia sama sekali belum dapat membayangkan sampai di mana ketinggian ilmu mereka itu.

Dalam pada itu Rara Wilis seperti juga Arya Salaka, tidak mau mengecewakan Dalang Mantingan. Karena itu ia menerima Wirasaba untuk menjadi pelindung pondok itu, meskipun ia sadar bahwa sebenarnya tenaganya sangat diperlukan.

Sesaat kemudian, setelah mereka masuk kembali ke dalam pondok masing-masing, suasana perkemahan itu diliputi oleh kesunyian yang tegang.

Wirasaba duduk dengan gelisah di dalam pondok Rara Wilis. Sedang Rara Wilis sendiri selalu siap untuk setiap saat bertindak. Pedangnya yang tipis tersandang di pinggangnya. Ia duduk di bale-bale bambu menghadap pintu. Disampingnya duduk Arya Salaka. Kyai Banyak sudah tidak lagi bertangkai sependek tangkai belati. Tetapi ia telah memberinya tangkai hampir sedepa. Sedangkan Widuri dengan enaknya berbaring di bale-bale itu, seolah-olah tidak menghiraukan sama sekali kegelisahan orang-orang di sekitarnya.

Namun demikian ternyata gadis tanggung itupun telah bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan. Ternyata bahwa ia tidak mengenakan kain panjangnya, tetapi ia berpakaian seperti seorang laki-laki. Pakaian yang selalu dipakainya apabila ia sedang berlatih tata bela diri maupun latihan-latihan untuk ketahanan diri.

Pertanda yang lain dari kesiap-siagaannya adalah sebuah karset perak berbentuk rantai sebesar itu jari yang melingkar di leher Widuri, yang ujungnya terjuntai tersangkut di ikat pinggangnya. Rantai perak itu tidak saja merupakan senjata yang berbahaya, tetapi di leher gadis itu, rantai itu dapat menjadi perhiasan yang menambah kecerahan wajahnya.

Di pondok sebelah, Jaladri menunggu setiap kemungkinan dengan cemas pula. Ia tidak duduk atau berdiri bersiaga, tetapi ia berpura-pura tidur dalam jajaran para laskar Banyubiru yang benar-benar sedang tertidur dengan nyenyaknya. Seperti Arya Salaka, ia mencoba-coba untuk membangunkan beberapa orang. Namun demikian ia menggeliat, demikian ia kembali kehilangan kesadaran. Bahkan sesaat kemudian terdengarlah dengkurnya mengusik sepi malam. Tetapi meskipun ia berbaring, disampignya terletak senjata andalannya. Sebuah canggah bermata dua, yang tidak terlepas dari tangannya.

Mantingan, yang merasa bertanggungjawab atas keseluruhannya, tidak ikut serta masuk ke dalam pondok-pondok itu. Ketika semuanya telah menjadi sepi kembali, karena Wirasaba dan Jaladri telah lenyap di balik pintu-pintu pondok. Mantingan segera meloncat ke sebuah batang pohon yang daunnya cukup memberinya perlindungan. Di lambungnya terselip sebilah keris, sedang tangannya menggenggam senjatanya erat-erat. Trisula yang bertangkai kayu berlian, sebagai lambang kekuatannya yang dilambari ilmu gerak yang luar biasa lincahnya, Pacar Wutah.

Cerita Bersambung 03 Juni 2000
NAGASASRA dan SABUK INTEN
Karya SH Mintarja
459

MALAM yang semakin larut itu benar-benar merupakan malam yang tegang dan gelisah. Ketika di kejauhan terdengar salak anjing-anjing liar, maka kembali terdengar siulan yang melengking merobek suara angin yang berdesir lembut. Seperti semula, suara itu pun kemudian disusul dengan siulan dari tiga penjuru yang lain berturut-turut. Namun suara ini terdengar jauh lebih dekat daripada suara yang pertama. Agaknya orang-orang yang menyebar sirep itu sudah berjalan maju beberapa puluh langkah.
Sesaat kemudian telinga Mantingan menangkap suara langkah perlahan mendekati gardu pimpinan yang masih benderang disinari lampu minyak jarak. Samar-samar ia melihat tiga orang kemudian muncul dengan hati-hati. Seorang diantaranya mengendap-endap mendekati pintu yang masih ternganga lebar. Hati-hati sekali ia mengintip ke dalam.

Tetapi ketika dilihatnya gardu pimpinan itu kosong, ia memberi isyarat dengan tangannya. Kedua orang yang lain pun kemudian mendekati pintu itu. Kemudian terdengarlah suara mereka tertawa. Sebentar kemudian terdengar pula salah seorang dari ketiga orang itu bersiul pula. Dan bermunculan pula dari berbagai arah beberapa orang mendekati gardu pimpinan itu. Ketika semuanya sudah berkumpul, menurut hitungan Mantingan, berjumlah sepuluh orang.

Mantingan menarik nafas. Jari-jarinya semakin erat melekat pada tangkai trisulanya. Sampai sedemikian jauh ia masih belum tahu siapa-siapakah yang mendekati perkemahan itu. Baru kemudian ketika salah seorang dari mereka dengan sombong mempermainkan pisau belati panjang, dada Mantingan berdesir.
”Rombongan Lawa Ijo,” desis Mantingan. Ia pernah melihat jenis pisau belati panjang semacam itu. Bahkan ia hampir saja terlubang dadanya oleh pisau semacam itu. Mau tidak mau Mantingan harus berpikir keras memperhitungkan kekuatannya sendiri. Kekuatan perkemahan itu dibandingkan dengan sepuluh anggota gerombolan Lawa Ijo yang terkenal sejak beberapa puluh tahun yang lalu.
Dalam cahaya lampu minyak jarak yang menusuk lewat pintu gardu pimpinan, Mantingan dapat melihat salah seorang dari mereka bertubuh kekar kuat. Sepasang kumis yang tebal melintang di bawah hidungnya. Mantingan pernah melihat orang itu beberapa tahun yang lalu di Pucangan, dan pernah bertempur bersama-sama dengan Mahesa Jenar, Wiraraga, Paningron, dan Gajah Alit. Melawan orang-orang itu bersama rombongannya. Sekarang, agaknya orang itu pula yang memimpin rombongannya mendatangi perkemahan anak-anak Banyubiru. Orang itu tidak lain adalah Lawa Ijo itu sendiri.

Sekali lagi dada Mantingan berdesir. Meskipun ia sendiri sama sekali tidak takut melawan Lawa Ijo, apalagi setelah ilmu geraknya yang lincah, Pacar Wutah, ditekuni semakin dalam, namun ia merasa harus memperhitungkan orang-orang itu.

Orang-orang lain dalam rombongan itu adalah seorang yang bertubuh gagah tegap. Ketika seleret sinar menyambar wajah orang itu, Mantingan seolah-olah hampir tidak percaya pada penglihatannya. Ia pernah melihat sendiri bagaimana orang yang bernama Watu Gunung itu terbunuh oleh Mahesa Jenar.
Sekarang, tiba-tiba orang itu muncul lagi di hadapannya. Tetapi dalam keheranan itu tiba-tiba ia teringat pada masa kanak-kanaknya. Meskipun lamat-lamat ia teringat bahwa yang kemudian Watu Gunung mempunyai saudara kembar, Wadas Gunung. Orang itulah pasti saudara kembar itu. Sedang orang-orang yang lain, Mantingan belum pernah melihatnya. Seorang yang tinggi kekurus-kurusan, seorang yang pendek bulat yang juga berkumis lebat, dan orang-orang lain yang gagah dan garang.
Mereka itulah anak buah Lawa Ijo yang terpilih untuk mengikutinya menyerbu ke perkemahan anak-anak Banyubiru. Mereka itulah Carang Lampit, Bagolan, Seco Ireng, Cemara Aking, Tembini dan sebagainya, yang berada langsung di bawah pimpinan Lawa Ijo sendiri.

Beberapa saat kemudian terdengarlah Lawa Ijo berkata perlahan-lahan namun jelas. Kata demi kata terdengar oleh Mantingan yang bertengger di atas cabang pohon tidak jauh dari gardu itu.

”Dengarlah baik-baik… agaknya sirep kita benar-benar dapat membius perkemahan ini. Tidak seorang pun yang masih terbangun. Dan gardu ini pun telah kosong. Aku kira gardu ini adalah gardu pimpinan. Sekarang, untuk meyakinkan kita sendiri, lihatlah berkeliling. Apakah masih ada seorang yang bangun. Kalau ada, aku beri wewenang kepada kalian untuk menyelesaikannya. Kemudian kalian harus berkumpul kembali di sini. Dan bersama-sama memasuki setiap perkemahan. Jangan sampai seorang pemimpin pun yang dapat membebaskan dirinya.”

Sesaat kemudian berpencarlah mereka ke segenap penjuru. Lawa Ijo dan Bagolan-lah yang masih tetap berada di gardu pimpinan itu. Dalam pada itu Mantingan menjadi semakin gelisah. Tetapi menilik perintah Lawa Ijo, orang-orangnya masih belum akan bertindak. Mereka hanya diperbolehkan menyelesaikan para penjaga yang ternyata tidak tertidur karena pengaruh sirepnya.

Ternyata Lawa Ijo tidak perlu menunggu terlalu lama. Beberapa saat kemudian anak buahnya telah berkumpul kembali dan memberikan laporan kepadanya. Orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu berkata, ”Ki Lurah, tak seorang penjaga pun yang masih terbangun. Semuanya tertidur di tempat mereka bertugas.”
”Bagus…” dengus Lawa Ijo, ”Lalu apa lagi yang kalian lihat?”
”Semua perkemahan telah sepi. Agaknya kita akan aman melakukan pekerjaan kita,” sambung orang yang tinggi kekurus-kurusan, yang bernama Carang Lampit.

Lawa Ijo tertawa pendek. ”Aku kira Mahesa Jenar tidak akan kembali ke perkemahan ini. Lembu Sora bukan orang yang dapat diajaknya berunding. Alangkah bodohnya orang itu. Dengan keempat kawannya, mereka mengantarkan nyawa. Seandainya ia berhasil melarikan diri, nasibnya akan kita tentukan di sini, apabila ia kembali.” Kata-kata itu diakhiri dengan bunyi tertawanya yang khusus, yang menggelegar memenuhi rimba. Mengerikan.

Cerita Bersambung 04 Juni 2000
NAGASASRA dan SABUK INTEN
Karya SH Mintarja
460

SETELAH suara tertawa itu mereda, dan kemudian terhenti, Carang Lampit meneruskan laporannya, ”Ki Lurah, menurut penilikan kami, diantara kemah-kemah yang ada ternyata ada satu kemah yang mendapat penjagaan kuat. Aku kira ada sesuatu yang penting di dalamnya. Atau barangkali di dalam pondok itulah berada gadis kecil yang dikatakan Jadipa siang tadi.”

”Kalau begitu kewajibankulah untuk memasuki pondok itu,” dengus orang bertubuh sedang tetapi berkaki pendek. Terlalu pendek dibandingkan dengan keseluruhan tubuhnya. Orang itulah yang bernama Jadipa, yang siang tadi dapat dikalahkan oleh Endang Widuri.

Mendengar Jadipa menyela kata-katanya, Carang Lampit tertawa. ”Aku ingin melihat kau sekali lagi berlari menghindarinya apabila perutmu dikenai kaki gadis kecil itu.”

”Ia bukan gadis kecil,” jawab Jadipa. ”Di desaku dahulu gadis-gadis sebayanya telah dikawinkan oleh orang tuanya. Dan memang sudah sepantasnyalah kalau gadis itu segera kawin. Mempelai laki-lakinya telah siap menjemputnya malam ini.”

”Tunjukkan kepada kami, siapakah mempelai laki-laki itu,” jawab Bagolan.

”Akulah orangnya,” jawab Jadipa.

Hampir serentak mereka tertawa. Terdengarlah salah seorang dari mereka yang bertubuh kekar kuat dan berwajah gelap berkata, ”Kalau kau berselisih dengan istrimu kelak, kau harus lari kepada Ki Lurah untuk minta tolong melerainya.”

Jadipa diam saja. Memang ia kalah ketika berkelahi melawan gadis itu. Meskipun demikian, kemudian ia membela diri, ”Aku sebenarnya tidak kalah. Tetapi aku tidak mau menyakitinya. Karena itu aku biarkan ia sampai malam ini.”

Kembali kawan-kawannya tertawa sampai terdengar Lawa Ijo berkata, ”Carang Lampit… apakah sebabnya kau dapat mengatakan bahwa kemah itu adalah kemah yang kau anggap terpenting?”

”Di luar kemah itu terdapat beberapa orang penjaga yang sudah tertidur. Sedang di kemah-kemah lain tidak ada penjaga-penjaga itu. Bahkan di gardu pimpinan ini pun tidak ada seorang penjagapun,” jawab Carang Lampit.

Lawa Ijo mengangguk-angguk. Katanya kemudian, ”Menurut laporan yang aku terima, Mahesa Jenar pergi ke Banyubiru bersama seorang yang belum dikenal, Wanamerta, Bantaran, dan Penjawi. Jadi, pemimpin-pemimpin Banyubiru yang tinggal di perkemahan ini adalah Jaladri, Sanepa, Sanjaya, Jagakerti, kakak-beradik Sendangpapat dan Sendangparapat, dan dua orang yang menurut pendengaranku bernama Mantingan dan Wirasaba. Ditambah dengan gadis kecil yang disebut-sebut oleh Jadipa bernama Widuri. Tetapi disamping itu masih ada lagi, menurut Jadipa, bibinya yang cantik, bernama Wilis dan Arya Salaka sendiri.”

”Benar Ki Lurah,” sahut Jadipa, ”Gadis itu berkata demikian.”

Kemudian Lawa Ijo meneruskan, ”Kalau demikian pekerjaan kita adalah membunuh segenap pimpinan Banyubiru itu. Kecuali menangkap hidup Wilis, Widuri dan yang terpenting Arya Salaka. Ketahuilah bahwa laskar Banyubiru yang berada di perkemahan ini jauh lebih berbahaya daripada laskar Banyubiru yang masih tetap berada di Banyubiru, dan laskar Pamingit. Laskar yang berada di tempat ini, dengan penuh keyakinan berusaha untuk mempertahankan Banyubiru. Mereka rela mati untuk keyakinannya itu. Sedangkan laskar yang lain terdiri orang-orang yang bekerja untuk hidup mereka dan kekayaan mereka tanpa memperhitungkan apa yang terjadi di tanah mereka. Deengan demikian maka apabila laskar Banyubiru yang lain, apalagi laskar Pamingit. Dengan demikian maka kalangan hitam akan merajai Banyubiru dan Pamingit. Mengaduk isinya dan menemukan keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.”

Sekali lagi Lawa Ijo tertawa menggelegar memenuhi rimba itu. Ia menjadi bergembira sekali, seolah – olah Banyubiru telah jatuh ke tangannya, dan demikian pula Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.

Mendengar semua kata-kata Lawa Ijo itu, tubuh Mantingan bergetaran. Berbagai perasaan berkecamuk di dalam dadanya. Ia mula-mula heran juga, kenapa Lawa ijo mempunyai banyak sekali pengetahuan tentang perkemahan itu. Tentang nama-nama para pemimpin laskar Banyubiru, bahkan tentang dirinya dan Wirasaba. Bahkan kemudian tentang Mahesa Jenar dan kawan-kawannya. Tetapi kemudian ia dapat mengerti bahwa hal yang demikian itu sangat mungkin. Orang-orang Lawa Ijo dapat mendengar nama-nama itu dari orang-orang Banyubiru yang acuh tak acuh pada keadaan kampung halamannya. Sedang tentang Mahesa Jenar, Widuri sendirilah yang telah bercerita.

Dalam pada itu kembali terdengar suara Lawa Ijo, ”Nah, sekarang marilah kita mulai. Yang terpenting adalah para pemimpin itu. Sebab tanpa pimpinan, laskar Banyubiru akan kehilangan garis perjuangannya. Manakah menurut pertimbanganmu yang pertama-tama kita masuki Carang Lampit…?”

”Perkemahan yang aku katakan tadi Ki Lurah,” jawab Carang Lampit. Bersamaan dengan bunyi jawaban itu, berdesirlah hati Mantingan. Dengan demikian rombongan Lawa Ijo itu pertama-tama akan memasuki pondok Rara Wilis.

Gerombolan itu pun segera bergerak lewat beberapa langkah dari batang pohon tempat Mantingan bersembunyi. Sekali lagi Mantingan menghitung urut-urutan itu. Sepuluh, ya sepuluh. Tanpa disengaja, ia mengamat-amati trisulanya, seakan-akan bertanya kepada senjatanya itu, apakah yang harus dilakukan segera. Ia menjadi sedikit lega ketika diingatnya bahwa Wirasaba ada di dalam kemah itu.

Sementara itu, di dalam pondok kecil itu Wirasaba semakin lama menjadi semakin tidak sabar. Waktu yang hanya beberapa saat itu seolah-olah telah berjalan bermalam-malam. Ketika mereka mendengar suara Lawa Ijo tertawa menggelegar, Wirasaba tiba-tiba bangkit berdiri dan berjalan mondar-mandir beberapa kali. Tetapi sesaat kemudian ia sudah terbanting duduk kembali. Demikian pula ketika untuk kedua kalinya Lawa Ijo tertawa gemuruh. Dengan gigi gemeretak, Wirasaba semakin marah. Kalau saat itu tidak sedang melindungi pondok kecil itu, baginya lebih baik meloncat keluar dan segera menyerang mereka. Tetapi ia tidak dapat meninggalkan pondok kecil itu.88

WIDURI sudah tidak berbaring lagi. Ia duduk di belakang Rara Wilis sambil memeluk kedua lututnya. Ia menjadi jemu mendengar suara tertawa yang memuakkan itu. Wilis dan Arya Salaka masih duduk di tempatnya semula tanpa berkisar. Mereka pun menjadi gelisah karena ketidaksabaran mereka.

Ketika mereka mendengar derap kaki beberapa orang mendekati pondok itu, serentak mereka mengangkat kepala untuk mengetahui dari manakah suara langkah itu datang. Dada mereka kemudian menjadi berdebar-debar, dan tanpa sengaja menggenggam senjata mereka semakin berat.
Suara langkah itu segera berhenti beberapa depa dari perkemahan itu. Di luar, terdengarlah suara, ”Inikah pondok itu, Carang Lampit?”
”Ya, Ki Lurah,” jawab yang lain, ”Itulah mereka, para penjaga yang jatuh tertidur.”

Terdengarlah kemudian suara tertawa pendek. ”Bagus. Mungkin di dalam pondok inilah mereka tinggal. Sekarang masuklah dan tangkaplah mereka hidup-hidup. Barangkali mereka kita perlukan. Bukankah gadis yang bernama Rara Wilis itulah yang dahulu digilai oleh Jaka Soka? Nah, barangkali gadis itu dapat kita pergunakan sebagai alat untuk menundukkan hati Ular Laut yang gila itu.”

Mendengar percakapan itu hati Rara Wilis berdesir. Ia menyesal bahwa Ular Laut itu pernah melihat wajahnya, sehingga sampai sekarang masih saja persoalan itu terbawa-bawa. Meskipun ia sama sekali sudah tidak perlu lagi setakut dahulu, namun ia lebih ngeri merasakan kegilaan Jaka Soka itu daripada harus bertempur melawannya.

Tetapi ia tidak sempat terlalu banyak mengenang pertemuannya yang tidak menyenangkan dengan Jaka Soka itu, karena di luar kembali terdengar suara. ”Carang Lampit, bawalah Bagolan, Tembini dan beberapa orang lagi. Ingat, tangkap mereka hidup-hidup, dan ikat mereka itu. Kecuali kalau Arya Salaka melawan, ia dapat mengatasi pengaruh sirepku, kalau ia ada di dalam pondok itu pula.”
”Baik Ki Lurah,” jawab suara yang lain.

Bersamaan dengan itu bersiaplah semua orang yang berada di dalam pondok itu untuk menghadapi segala kemungkinan. Menilik langkah mereka, dan suara-suara yang bergumam, mereka pasti terdiri beberapa orang yang lebih banyak dari jumlah mereka yang ada di dalam.

Tetapi sebelum mereka membuka pintu, tiba-tiba terdengarlah suara tertawa agak jauh dari pondok itu.

Suara tertawa itu tidak begitu keras dan sama sekali tidak mengerikan. Orang-orang yang berada di dalam pondok itu terkejut. Apalagi yang berada di luarnya dengan suara lantang terdengarlah salah seorang di luar pondok itu berkata, ”Hai Carang Lampit, siapakah itu?”
”Entahlah Ki Lurah,” jawab yang lain.
”Gila,” dengus suara yang pertama, yang ternyata adalah suara Lawa Ijo sendiri. ”Masih ada orang yang dapat membebaskan diri dari pengaruh sirepku ini.”
Kemudian terdengarlah suara di kejauhan, ”Lawa Ijo, sebagai penghuni perkemahan ini aku mengucapkan selamat datang.”
”Siapakah kau…?” teriak Lawa ijo.
”Bagi mereka yang sudi menyebut namaku, akulah yang bernama Mantingan,” jawab suara itu.
”Hemm, jadi kaukah yang terkenal dengan nama Dalang Mantingan yang sakti?”
”Tak ada orang yang menambah dengan kata sakti itu, Lawa Ijo,” jawab Mantingan. ”Tetapi sebenarnyalah bahwa aku seorang dalang.”

”Bagus…” jawab Lawa Ijo. ”Bahwa kau dapat membebaskan dirimu dari pengaruh sirepku itu sudah merupakan pertanda bahwa kau memiliki kesaktian yang cukup. Tetapi kau terlalu berani menampakkan dirimu di hadapanku dan kawan-kawanku. Apakah kau sudah bosan hidup?”

”Belum, Lawa Ijo,” jawab Mantingan selanjutnya, ”Aku sama sekali masih belum bosan hidup.”

”Kenapa kau mengganggu kami?” bentak Lawa Ijo.

”Aku sama sekali tidak mengganggu kau. Bukankah aku sekadar mengucapkan selamat datang?” sahut Mantingan.

”Diam!” teriak Lawa Ijo marah. ”Kemarilah dan katakan cara apa yang kau senangi untuk membunuh orang yang telah menghina aku.”

”Aku tidak akan membunuh orang itu,” jawab Mantingan.
”Pengecut…!” teriak Lawa ijo semakin keras. ”Kalau begitu, pilihlah cara yang kau katakan bahwa aku senangi untuk membunuhmu.”

Kembali terdengar suara Mantingan tertawa. Segar dan renyah. Katanya kemudian, ”Sudah aku katakan bahwa aku masih senang menunggu terbitnya matahari esok pagi, Eh, apakah keperluanmu datang kemari tanpa memberitahukan lebih dulu?”

”Setan!” umpat Lawa Ijo. ”Kalau begitu, aku akan memaksamu, menyeret kemari dan membunuhmu dengan cara yang aku senangi.”

”Jangan marah Lawa Ijo. Tak ada orang yang akan mengucapkan terimakasih kepadamu, apabila demikian itu caramu memperkenalkan diri,” jawab Mantingan.

Lawa Ijo rupanya sudah tidak sabar lagi. Dengan marahnya ia berteriak kepada Wadas Gunung, ”Wadas Gunung, tangkap orang itu. Bawa dia kemari. Aku ingin mengetahui betapa keras tulang kepalanya.”

Mendengar perintah itu, dada Wirasaba berdentang keras. Ia tidak dapat membiarkan Mantingan bertempur sendiri. Tetapi rupanya Jaladri sudah tidak sabar lagi menunggu saja sambil tiduran. Maka kemudian terdengar juga suaranya, ”Ki Dalang Mantingan, bolehkah aku turut dalam permainan ini?”

Jaladri tidak menunggu jawaban Mantingan. Demikian ia selesai berkata, demikian ia meloncat ke pintu.
Mendengar suara seorang lagi yang ternyata dapat membebaskan diri dari pengaruh sirepnya, Lawa Ijo semakin terkejut. Wadas Gunung yang sudah melangkahkan kakinya ke arah Mantingan, jadi tersentak. Dengan garangnya ia berkata, ”Carang Lampit, ternyata masih ada orang-orang yang terbebas dari pengaruh sirep ini.”

Cerita Bersambung 06 Juni 2000
NAGASASRA dan SABUK INTEN
Karya SH Mintarja
462

CARANG LAMPIT tidak menjawab, tetapi terdengar giginya gemeretak karena marah. Bahkan kemudian ia meloncat maju dan seterusnya ia berlari ke arah Mantingan dengan senjatanya di tangan, yaitu carang ori di tangan kanan dan sebuah pisau belati panjang di tangan kiri.

Tetapi sebelum ia mencapai Dalang Mantingan, yang berdiri di bawah pohon, dimana ia mula-mula memanjatnya, Jaladri telah berlari pula mencegatnya. Carang Lampit menjadi semakin marah. Tanpa mengucapkan sepatah katapun langsung ia menyerang Jaladri dengan senjatanya. Ternyata Jaladri pun cukup tangkas menghadapinya. Segera ia meloncat kesamping, dan kemudian berputarlah canggah bermata dua di tangannya, untuk kemudian dengan garangnya menyerang Carang Lampit. Carang Lampit menggeram dengan penuh kemarahan. Matanya yang bengis menjadi semakin buas. Tandangnya pun menjadi semakin buas pula. Kedua senjatanya menyambar-nyambar mengerikan.

Mantingan melihat pertarungan itu dengan seksama. Mula-mula ia menjadi cemas, apakah Jaladri dapat mengimbangi kekuatan Carang Lampit. Tetapi ketika selangkah dua langkah pertempuran itu berlangsung, Mantingan segera mengetahui bahwa Jaladri pun cukup memiliki kemampuan untuk melawan salah seorang anak buah Gerombolan Alas Mentaok yang terkenal itu.

Di seberang yang lain, Lawa Idjo, Wadas Gunung dan kawan-kawannyapun mengikuti pertempuran itu dengan tanpa berkedip. Mereka menjadi tidak senang ketika mereka melihat ketangkasan Jaladri. Dengan penuh kemarahan, Lawa Ijo bertanya, ”Siapakah orang itu?”.
”Orang itulah yang bernama Jaladri,” jawab salah seorang anak buahnya.
”Awasi dia,” katanya kepada Wadas Gunung. ”Aku ingin menyelesaikan orang sombong yang bernama Mantingan itu.”
”Baik Ki Lurah,” jawab Wadas Gunung.
”Yang lain jangan menunggu seperti orang nonton adu jago. Masukilah perkemahan ini. Tangkap Wilis dan Widuri hidup-hidup. Bunuh saja Arya Salaka kalau ia berada di sana. Kalau tidak, cari sampai bertemu, supaya bukan kepalamu yang aku ceraikan dari tubuhmu,” sambung Lawa Ijo dengan marahnya.
”Baik Ki Lurah,” jawab anak buahnya pula.

Sementara itu Lawa Ijo telah melangkah, setapak demi setapak, ke arah Mantingan yang masih saja berdiri di bawah pohon sambil menyaksikan Jaladri bertempur. Tetapi ketika ia melihat Lawa Ijo mendekatinya, segera ia pun mempersiapkan diri. Sebab melawan pemimpin gerombolan alas Mentaok ini bukanlah pekerjaan yang ringan. Maka segera ia pun melangkah dua langkah maju, menyongsong kedatangan Lawa Ijo.

Lawa Ijo yang terlalu percaya kepada kesaktiannya, menganggap pekerjaan itu bukanlah pekerjaan yang berat. Ia seolah-olah demikian yakin bahwa untuk membunuh Mantingan, tidak akan banyak membuang tenaga.

Mantingan masih tetap berdiri di tempatnya. Sepintas ia melihat orang-orang Lawa Ijo yang lain telah siap untuk memasuki pondok Rara Wilis. Karena itu ia menjadi berdebar-debar. Tetapi Lawa Ijo telah meninggalkan pintu pondok itu dan memerlukan untuk melawannya, ia menjadi sedikit berlega hati. Ia mengharap bahwa orang-orang lain dari gerombolan Lawa Ijo itu tidak terlalu berbahaya.

Karena Mantingan tidak segera menjawab perkataannya, Lawa Ijo merasa sekali lagi dihinakan. Maka dengan membentak keras ia mengulangi, ”Mantingan. Tidakkah kau dengar kata-kataku? Menyerahlah dan jangan mencoba melawan. Sebab dengan demikian kau akan menyesal bahwa kau akan mengalami penderitaan pada saat akhirmu.”

Mantingan tertawa pendek. Tetapi matanya masih saja menatap pintu pondok Rara Wilis. Sebuah tangan yang kasar dengan tiba-tiba merenggut pintu itu. Tetapi demikian pintu terbuka, sebuah kapak yang berat dengan ganasnya melayang ke arah kepala orang itu. Untunglah bahwa orang itu cukup tangkas. Dengan cepat ia meloncat mundur. Tetapi agaknya Wirasaba tidak memberinya kesempatan.

Dengan cepat pula ia meloncat keluar dan kapaknya yang besar itu terayun-ayun mengerikan sekali.
Orang-orang yang berdiri di muka pintu itu segera meloncat berpencaran. Cemara Aking, Bagolan, Tembini, Jadipa dan yang lain-lain. Mereka terkejut bukan kepalang, sebab mereka sama sekali tidak mengira bahwa di dalam pondok itu bersembunyi Wirasaba yang pernah mereka kenal beberapa tahun yang lampau di Pliridan. Tetapi mereka adalah orang-orang yang sudah cukup terlatih menghadapi setiap kemungkinan. Karena itu dalam waktu yang pendek mereka telah siap dengan senjata-senjata mereka untuk melawan Wirasaba.

Namun yang sama sekali diluar perhitungan mereka adalah, tiba-tiba saja dimuka pintu itupun telah berdiri berjajar Rara Wilis dengan pedang tipisnya, Arya Salaka dengan tombak pusakanya, dan yang seorang lagi adalah gadis dengan wajah berseri-seri bermain-main dengan sebuah rantai perak sebesar ibu jari.

Untuk beberapa saat mereka menjadi heran bahwa orang-orang itupun dapat membebaskan dirinya dari pengaruh sirep Lawa Ijo, dan mereka menjadi heran pula bahwa mereka itu agaknya akan ikut serta dalam pertempuran. Tetapi mereka tidak mempunyai banyak kesempatan untuk menimbang, sebab tiba-tiba saja mereka bertiga itu dengan lincahnya berloncatan, bahkan mirip dengan api yang memercik ke segenap penjuru.

Demikianlah kemudian mau tidak mau, gerombolan Lawa Ijo itu dihadapkan pada suatu kenyataan, bahwa Rara Wilis dan Endang Widuri itupun bukanlah gadis yang hanya dapat menangis dan beriba-iba. Tetapi mereka bahkan memiliki ketangkasan dan ketangguhan yang mengagumkan. Apalagi anak muda yang harus mereka bunuh, dan bernama Arya Salaka itu. Seperti seekor burung rajawali, ia menyambar nyambar dengan dahsyatnya.

Lawa Ijo, yang mendengar hiruk-pikuk itupun kemudian menghentikan langkahnya. Ketika ia menoleh, ia hampir-hampir tidak percaya pada penglihatannya. Samar-samar dalam kegelapan malam ia melihat perkelahian yang dahsyat itu.

Cerita Bersambung 07 Juni 2000
NAGASASRA dan SABUK INTEN
Karya SH Mintarja
463

PERKELAHIAN antara anak buahnya dengan beberapa orang yang muncul dari dalam pondok yang telah hampir saja dimasukinya. Apalagi kemudian ketajaman matanya dapat menangkap bahwa yang bertempur itu adalah dua orang gadis, seorang anak muda disamping orang yang gagah dan bersenjatakan kapak. Bahkan kemudian tanpa disengaja ia bergumam, “Siapakah mereka itu?”

Dan tanpa disengaja pula Mantingan menjawab, “Mereka itulah yang telah kau sebut-sebut namanya.”

Lawa Ijo tidak berkata-kata lagi. Tetapi ia menjadi semakin terpaku pada pertempuran itu. Ternyata Rara Wilis, Endang Widuri, Arya Salaka berempat dengan Wirasaba dapat melawan delapan orang anggota gerombolan terkenal dari Alas Mentaok dengan baiknya. Pedang Rara Wilis bergetaran dengan cepatnya, menyambar-nyambar dengan lincahnya. Sinarnya yang gemerlapan merupakan gumpalan-gumpalan sinar maut yang bergulung-gulung menyerang lawannya.

Disamping itu masih ada lagi cahaya yang berkilat-kilat dari rantai perak Endang Widuri. Ia jarang-jarang sekali mempergunakan senjata itu, sebagaimana pesan ayahnya. Bahkan ia lebih senang memakainya sebagai perhiasan di lehernya. Kalau pada saat itu ia terpaksa mempergunakannya, maka sudah tentu bahwa ia menganggap pertempuran kali ini cukup berbahaya baginya. Rantai itu di tangan Endang Widuri yang kecil dapat mematuk-matuk dengan ganasnya, yang kadang-kadang dengan kecepatan luar biasa menyambar lawannya untuk kemudian membelitnya.

Meskipun demikian, meskipun Endang Widuri sendiri telah dapat bertempur dengan lincahnya, namun sekali-kali Rara Wilis selalu berkisar mendekatinya. Bagaimanapun anak nakal itu kadang-kadang perlu diperingatkan, bahwa pertempuran kali ini bukanlah permainan anak-anak.

Di sebelah lain, Arya Salaka dengan tangkasnya memainkan tombak pusakanya. Tombak itu berputar seperti baling-baling, namun kemudian meluncur seperti petir menyambar lawannya. Demikian membingungkan, sehingga tak seorang pun berani mendekatinya. Lawan-lawannya bertempur dalam jarak yang cukup dan mencoba menyerangnya dari arah yang berlawanan.

Adapun Wirasaba yang mula-mula merasa berkewajiban melindungi kedua gadis beserta Arya Salaka, tidak kalah herannya dari Lawa Ijo. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Rara Wilis adalah seorang gadis yang perkasa, sedang Endang Widuri dengan kelincahannya merupakan seorang yang cukup berbahaya bagi lawan-lawannya. Apalagi anak muda yang bernama Arya Salaka itu. Bahkan akhirnya ia merasa bahwa ketiganya yang semula harus dilindungi itu memiliki ilmu yang lebih tinggi daripada dirinya sendiri.

Disamping perasaan malu, Wirasaba kemudian merasa bersyukur. Sebab ternyata lawan mereka adalah anggota gerombolan Lawa Ijo yang menggemparkan. Kalau kedua gadis dan Arya Salaka benar-benar memerlukan perlindungannya, maka sudah pasti bahwa ia tidak akan mampu melakukan kewajibannya. Sebab ia sadar bahwa Jaladri telah terikat dalam perkelahian yang seimbang. Ki Dalang Mantingan masih harus membayangi Lawa Ijo. Karena itu ketika ia merasa bahwa pekerjaannya telah bertambah ringan, maka ia pun dapat bertempur dengan tenang.

Lawa Ijo masih saja berdiri seperti patung. Dengan dada yang bergelora ia mengikuti pertempuran itu. Ia menjadi marah sekali ketika ia melihat Wadas Gunung sama sekali tidak berdaya menghadapi Rara Wilis, sehingga Tembini masih harus membantunya. Jadipa yang terlanjur ketakutan berhadapan dengan Widuri, mencoba mencari lawan lain. Bersama dengan dua orang lain, ia bertempur melawan Arya Salaka. Ternyata Arya Salaka memiliki ketangkasan luar biasa, sehingga untuk melawannya bertiga, sama sekali tidak menyulitkan anak muda itu.

Sedang Bagolan dengan kedua bola besinya bertempur melawan Endang Widuri. Mula-mula Bagolan agak merasa segan dan malu. Ia merasa bahwa gadis kecil itu sama sekali bukanlah pekerjaan yang sesuai dengan dirinya. Tetapi ketika sekali dua kali hampir saja kelit kepalanya terkelupas oleh sambaran rantai Widuri, barulah ia sadar bahwa gadis itu benar-benar luar biasa. Karena itu ia tidak dapat lagi menganggap bahwa ia hanya sekadar melayani saja. Akhirnya keringat dingin membasahi hampir seluruh permukaan tubuh Bagolan, ketika ternyata perlahan-lahan namun pasti Endang Widuri berhasil menguasainya.

Wirasaba sendiri masih harus melayani dua orang yang mengeroyoknya. Tetapi beberapa tahun yang lampau bersama dengan Mahesa Jenar, ia pernah mengalami pengeroyokan anak buah Lawa Ijo itu. Bahkan hampir duapuluh orang. Apalagi sekarang kakinya telah benar-benar sembuh dan pulih kembali sehingga untuk melawan kedua orang itu, Wirasaba tidak harus bekerja terlalu keras.

Ketika Lawa Ijo tidak sabar lagi melihat pertempuran itu, dengan garangnya ia berteriak, “Hei Wadas Gunung, Tembini dan Bagolan… tidak malukah kamu…? Lihatlah lawanmu itu baik-baik. Ia tidak lebih dari seorang perempuan. Apalagi gadis kecil yang banyak tingkah itu.”

Kemudian kepada Rara Wilis dan Widuri, Lawa Ijo berkata, “Jangan melawan. Kalian tidak akan dibunuh.”

Terdengarlah Endang Widuri tertawa dengan suara kekanak-kanakan. Kemudian terdengarlah jawabannya, “Kalau kami tidak akan dibunuh, akan kalian apakan kami…?”

Pertanyaan itu sungguh tidak terduga. Meskipun Lawa Ijo sedang dipenuhi oleh kemarahan, namun ia berpikir juga untuk mencari jawabnya. “Kalian akan kami bawa ke rumah kami.”

Sekali lagi Endang Widuri tertawa. Tetapi matanya tidak terlepas dari lawannya. Bahkan masih saja berhasil mendesak maju. Mendengar jawaban Lawa Ijo, Widuri meneruskan, Kami akan merepotkan kalian nanti. Karena itu kami kira usulmu tidak dapat kami terima. Adapun pendapat kami, barangkali baik juga seandainya kalian tidak bermaksud membunuh kami, sebaiknya kami saja yang membunuh kalian.”

Cerita Bersambung 08 Juni 2000
NAGASASRA dan SABUK INTEN
Karya SH Mintarja
464

KATA-KATA Endang Widuri itu sama sekali juga tidak terduga. Tetapi kali ini Lawa Ijo menjadi bertambah marah. Selama ini agaknya ia merasa bahwa Wadas Gunung, Tembini dan Bagolan masih berpegang pada perintahnya untuk menangkap hidup-hidup kedua gadis itu, sehingga mereka bertempur dengan sangat hati-hati supaya tidak melukai mereka.

Karena kemarahan Lawa Ijo sudah memuncak, ia berteriak keras-keras, ”He, Wadas Gunung, Tembini dan Bagolan… jangan ragu-ragu lagi. Terserahlah gadis-gadis itu menurut kehendak kalian. Apakah mereka akan kalian bunuh ataukah akan kalian hidupi untuk kepentingan kalian.”

Mendengar kata-kata Lawa Ijo itu, Rara Wilis benar-benar tersinggung. Berbeda dengan Widuri yang menganggap setiap perkataan Lawa Ijo itu tidak lebih dari perkataan yang mengungkapkan kemarahannya. Tetapi bagi Rara Wilis yang telah meningkat dewasa, bahkan telah melampaui dunia keremajaan, sangat sakit hati atas anggapan seolah-olah dirinya tidak lebih dari barang taruhan. Karena itu tiba-tiba dadanya terguncang dahsyat. Dari matanya memancarlah perasaan sakit hati serta kemarahannya. Sejalan dengan itu pedangnya pun menjadi bertambah garang dan berputar-putra mengerikan.

Dalam pada itu Wadas Gunung pun menjadi sangat malu mendengar teguran kakak seperguruannya. Sebagai seorang murid Pasingsingan, Wadas Gunung memiliki ilmu yang cukup tinggi. Tetapi karena perhatian Pasingsingan sebagian besar dicurahkan kepada Lawa Ijo, maka agak kuranglah waktunya yang diberikan kepada murid mudanya itu.

Meskipun demikian karena pembawaan tubuhnya yang kokoh kuat, Wadas Gunung adalah orang yang cukup berbahaya. Karena itu kemudian terdengarlah ia menggeram keras. Dan dengan sepenuh tenaga ia menyerang lawannya, meskipun di dalam hati kecilnya terselip juga perasaan sayang apabila kembang yang indah itu rontok karena tersentuh tangannya.

Apalagi kali ini ia bertempur bersama dengan Tembini, seorang yang memiliki ketangkasan cukup. Sayang bahwa kelincahan Tembini tidak mendapat saluran yang cukup baik, sehingga seolah-olah ia bertempur tanpa pegangan selain dari apa yang selalu diperbuatnya selama ia berada di dalam gerombolan itu dengan sedikit bimbingan dari Lawa Ijo dan Wadas Gunung.

Tetapi lawan mereka kali ini adalah murid Ki Ageng Pandan Alas, dan sekaligus cucunya pula. Selama beberapa tahun terakhir Pandan Alas tidak mempunyai pekerjaan lain selain menanam jagung, kecuali mendidik cucunya ini untuk dapat merebut ayahnya kembali dari tangan anak Sima Rodra dari Lodaya.

Hampir setiap saat Rara Wilis yang kemudian dinamainya Pudak Wangi itu benar-benar selalu bermain-main dengan pedang tipisnya. Apalagi kemudian karena kedatangan kakak seperguruannya dari Gunungkidul yang bernama Sarayuda, kesempatan Pudak Wangi itu untuk membajakan diri menjadi semakin padat.

Karena itulah kemudian Pudak Wangi dapat menyusul tokoh-tokoh yang sudah terkenal jauh sebelum dirinya sendiri mengenal tangkai senjata. Demikianlah ketekunan kakeknya itu, sama sekali tidak sia-sia. Karena ternyata ia pun berhasil menemukan ayahnya kembali, meskipun beberapa saat sebelum tarikan nafasnya yang terakhir, yang kemudian disusul dengan pertempuran yang terjadi di Gedangan, yang memberinya kesempatan untuk membuat perhitungan dengan janda ayahnya itu.

Dengan demikian, meskipun kali ini ia harus bertempur melawan Wadas Gunung dan Tembini bersama-sama, namun ia sama sekali tidak berkecil hati. Apalagi perasaan kegadisannya telah tersinggung. Karena itulah ia pun segera mengerahkan tenaganya untuk menekan lawannya.

Ternyata usahanya berhasil. Lambat laun Wadas Gunung dan Tembini merasa bahwa dirinyalah yang akan ditentukan nasibnya. Bukan sebaliknya. Meskipun demikian sebagai orang yang telah bertahun-tahun di dalam lingkungan yang penuh dengan pertempuran, perkelahian dan pembunuhan, mereka sama sekali tidak putus asa.

Lawa Ijo kemudian menyadari kesulitan Wadas Gunung. Ia tahu benar bahwa Rara Wilis ternyata telah mewarisi sebagian ilmu kakeknya. Karena itu tanpa setahunya sendiri ia melangkah mendekati lingkaran pertempuran.

Sedangkan Mantingan menjadi seolah-olah terbius melihat Rara Wilis, Endang Widuri dan Arya Salaka yang sedang bertempur. Ketika Lawa Ijo melangkah maju, ia pun mengikuti di belakangnya. Dengan penuh keheranan ia melihat mereka itu seperti melihat Dewa Yama yang sedang menarikan tarian maut dengan penuh gairah. Apalagi ketika ia melihat bahwa anak-anak Lawa Ijo itu semakin lama menjadi semakin terdesak.

Sebaliknya, Lawa Ijo menjadi semakin marah. Akhirnya ia menjadi sedemikian marahnya sehingga hampir saja ia melompat menyerbu. Tetapi demikian ia mulai bergerak, segera Mantingan pun tersadar dari kekaguman yang telah mencekam dirinya. Karena itu segera ia berkata, ”Lawa Ijo, apa yang akan kau lakukan?”

Lawa Ijo pun seperti terbangun dari mimpinya yang buruk, menjadi terkejut. Namun demikian ia menjawab, ”Aku akan membunuh mereka itu satu demi satu.”

”Siapakah yang pertama-tama…?” tanya Ki Dalang Mantingan.

Cerita Bersambung 09 Juni 2000
NAGASASRA dan SABUK INTEN
Karya SH Mintarja
465

LAWA IJO yang hatinya sedang menyala-nyala itu menjadi seperti disiram minyak mendengar pertanyaan Mantingan itu. Karena itu ia menjawab sambil berteriak, ”Kau…!”

Bersamaan dengan kata-kata yang meluncur dari mulutnya itu, Lawa Ijo tidak menunggu lebih lama lagi. Segera ia memutar tubuhnya, meloncat menyerang Mantingan dengan dua pisau belati panjang di kedua belah tangannya, sambil menggeram, ”Aku bunuh kau secepatnya supaya tidak selalu membuat telingaku merah. Setelah itu, baru yang lain.”

Tetapi Mantingan sudah bersiaga sepenuhnya. Karena itu ketika Lawa Ijo meloncatinya, Mantingan tidak gugup. Dengan cepat ia mengelakkan diri dan sekaligus trisulanya bergerak memukul pisau lawannya. Namun Lawa Ijo pun cukup tangkas. Ketika serangannya gagal, cepat-cepat ia menarik senjatanya, kemudian menyerang kembali dengan ganasnya.

Maka segera terjadi pula satu lingkaran pertempuran yang tidak kalah serunya. Lawa Ijo dengan dua pisau belati panjang, menyerang dengan garangnya seperti badai melanda-landa tak henti-hentinya. Namun Mantingan dapat menyesuaikan dirinya dengan baiknya, mirip seperti sepucuk cemara yang berputar-putar ke arah badai bertiup.

Dengan demikian Mantingan selalu dapat membebaskan dirinya sendiri serangan lawannya. Tetapi yang sewaktu-waktu dengan penuh kelincahannya ia menyusup diantara serangan-serangan Lawa Ijo, mempermainkan trisulanya dengan cepatnya mematuk-matuk seperti serangan dari beribu-ribu mata tombak yang datang dari segenap penjuru. Itulah daya keasktian ilmu Ki Dalang Mantingan, yakni Pacar Wutah, sehingga sasarannya seolah-olah sama sekali tidak mendapat tempat untuk mengelak.

Tetapi lawan Mantingan kali ini adalah Lawa Ijo, murid Pasingsingan terkasih. Hantu berjubah abu-abu dan bertopeng menakutkan itu benar-benar telah membekali muridnya dengan berbagai macam ilmu. Ilmu lahiriah dan ilmu-ilmu batin, meskipun berlandaskan pada kekuatan hitam. Namun dalam bentuk penerapannya sungguh mengagumkan. Lawa Ijo mempunyai ketangguhan, ketangkasan dan kecepatan bergerak yang luar biasa.

Ilmu Pacar Wutah yang diwarisi oleh Ki Dalang Mantingan dari gurunya, Ki Ageng Supit, ternyata tidak berhasil mengurung Lawa Ijo. Bahkan kemudian semakin lama terasalah bahwa ilmu warisan Pasingsingan lebih ganas daripada ilmu yang diwarisi oleh Mantingan dari gurunya.

Oleh karena itu Mantingan harus berjuang sekuat tenaga. Beberapa tahun yang lalu, dalam pertempuran bersama-sama di dekat Rawa Pening, ia telah dapat menyejajarkan diri dengan tokoh-tokoh golongan hitam itu. Namun dalam perkembangan selanjutnya, agaknya Lawa Ijo telah bekerja lebih tekun lagi.

Apalagi Lawa Ijo telah bertempur dengan cara yang buas sekali. Baginya tidak ada pantangan apapun untuk mencapai tujuannya. Kekejaman, kekasaran dan kelicikan, semuanya adalah cara yang dapat saja dipakainya. Sedangkan Mantingan bertempur dengan penuh kejantanan dan kejujuran. Meskipun sekali dua kali ia mengalami tekanan-tekanan yang kasar dan gila, namun tak terpikir olehnya untuk ikut serta melayani Lawa Ijo dengan cara-cara yang kasar dan curang.

Dalam pada itu, semakin lama semakin jelas bahwa Mantingan tidak berhasil menempatkan dirinya pada keadaan yang menguntungkan. Beberapa kali ia terdesak mundur. Untunglah bahwa ia pun memiliki pengalaman yang luar biasa. Sebagai seorang dalang yang selalu mengembara dari satu tempat ke tempat yang lain untuk menyebarkan kisah-kisah kepahlawanan yang tertera dalam kitab-kitab Mahabarata dan Ramayana, dan sekaligus menyelenggarakan hiburan untuk rakyat, Mantingan pernah menjumpai seribu satu macam peristiwa dan gangguan-gangguan lahir batin. Berdasarkan pada segenap pengalaman itulah Mantingan menempa dirinya di perguruan Wanakerta.

Namun kali ini ia tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa ilmu Lawa Ijo berada segaris di atasnya. karena itu ia harus berjuang dengan penuh kebulatan tekad. Kalau saja otaknya tidak ikut serta bertempur saat itu, mungkin ia sudah tergilas hancur. Tetapi karena kecerdasannya, ia dapat mempergunakan setiap saat dan keadaan untuk membantu dirinya.

Meskipun demikian hati Mantingan mengeluh juga. ”Luar biasa, Lawa Ijo ini,” pikirnya. ”Tetapi aku harus bertahan sedikit-dikitnya untuk waktu yang sama dengan waktu yang diperlukan oleh Wadas Gunung dan Carang Lampit.”

Sekali-kali Mantingan sempat melirik ke arah lingkaran pertempuran Rara Wilis. Melihat hasil itu, ia menjadi berbesar hati. Seandainya ia harus binasa melawan Lawa Ijo, namun Rara Wilis harus sudah berhasil menyelesaikan pertempurannya. Dengan demikian ia mengharap gadis itu dapat membebaskan dirinya dari serangan bersama yang dibarengi oleh kekuatan Lawa Ijo yang dahsyat.

Untuk melawan Lawa Ijo sendiri, Mantingan masih belum dapat menilai apakah Rara Wilis akan mampu. Tetapi ia masih mempunyai harapan lain. Sebab Wirasaba pun dapat mendesak musuhnya. Dalam kesibukan berpikir, Mantingan sempat merasakan kegelian juga melihat Endang Widuri. Kalau saja ia tidak sibuk mempermainkan trisulanya, mau ia menggaruk-garuk kepalanya. Gadis itu bertempur sama sekali seenaknya saja, meskipun ia berhadapan dengan Bagolan. Seorang yang bertubuh pendek gemuk seperti babi hutan dengan dua bola besi bertangkai di kedua tangannya.

Tetapi Mantingan tidak mempunyai waktu banyak karena terus-menerus terdesak dan harus bertahan. Akhirnya kesempatan untuk menyerang menjadi semakin tipis. Bahkan kemudian trisulanya benar-benar harus diputar seperti baling-baling untuk melindungi seluruh bagian tubuhnya dari patukan pisau-pisau belati panjang Lawa Ijo.
LAWA IJO yang ganas itu hampir tak sabar pula. Ia ingin melumpuhkan lawannya segera. Ia menjadi marah dan mengumpat tak habis-habisnya melihat kenyataan bahwa Mantingan sedemikian mahirnya mempermainkan trisulanya, sehingga selubang jarum pun tak berhasil ditemukan untuk menyusupkan pisau belatinya. Meskipun ia sadar bahwa Mantingan kini tinggal mampu mempertahankan diri.

Demikianlah Mantingan bertahan mati-matian untuk memperpanjang waktu. Kalau ia kemudian binasa, ia mengharap Rara Wilis bersama-sama dengan Wirasaba dapat mengganti kedudukannya.

Di bagian lain, Widuri bertempur seperti seekor kijang. Meloncat dengan lincahnya kian kemari. Kadang-kadang ia berlari-lari berputar-putar seolah-olah sudah tidak berani lagi menghadapi lawannya. Namun kemudian ketika Bagolan mengejarnya dengan dada terkembang, tiba-tiba ia berhenti, Widuri menyerang dengan dahsyatnya. Rantai peraknya berputar-putar seperti lesus yang seolah-olah menghisap Bagolan untuk masuk ke dalam pusaran anginnya.

Dalam keadaan demikian maka seluruh bagian tubuh Bagolan dialiri keringat dingin. Mati-matian ia harus menyelamatkan dirinya dari hisapan itu. Gumpalan bayangan rantai Widuri yang gemerlapan itu membuatnya pening.

Segera Bagolan mengumpulkan tenaga lahir batin, sambil menggerutu tak habis-habisnya. Untunglah bahwa ia memiliki tenaga raksasa melampaui tenaga Widuri.

Sadar akan kelebihannya maka sekali-kali ia tidak menghindari serangan-serangan lawan kecilnya. dengan sepenuh tenaga ia mencoba untuk melawan setiap serangan dengan serangan. Widuri pun sadar akan keadaan ini. Untunglah bahwa ia bersenjata rantai yang lemas, yang tidak menggoncangkan tangannya dalam benturan-benturan yang terjadi. Namun ia selalu menjaga bahwa ia harus menghindarkan rantainya untuk tidak melilit senjata Bagolan, kecuali dalam kecepatan yang tinggi menurut perhitungan yang tepat. Dan memang ia sedang menunggu kesempatan itu. Kalau mungkin ia akan merampas bola-bola besi lawannya.

Tetapi Bagolan bukan anak-anak seperti dirinya yang senang pada permainan aneh-aneh. Bagolan adalah salah seorang dari gerombolan Lawa Ijo yang menilai jiwa seseorang tidak lebih dari jiwa seekor katak. Dengan uang beberapa keping ia sudah bersedia memotong leher seseorang. Karena itu kali ini pun tidak ada soal lain dalam benaknya kecuali melumatkan gadis kecil yang banyak tingkah ini.

Meskipun kadang timbul pula ingatan Bagolan bahwa seorang kawannya memerlukan lawannya itu. Namun seandainya ia berhasil menangkap hidup pun ia pasti akan membuat perhitungan dengan Jadipa. Gadis kecil harus ditukar sedikitnya dengan sebuah timang bermata berlian tiga rantai seperti yang dirampoknya di daerah Mangir beberapa bulan yang lalu.

Tetapi ketika Widuri itu bertempur semakin cepat, ingatannya tentang timang bermata berlian tiga rangkai itu pun kabur. Yang ada kemudian adalah ingatan tentang kepalanya sendiri yang setiap saat terancam akan terlepas dari lehernya.

Wirasaba pun ternyata melihat kesulitan Mantingan. Tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu. Ia tidak dapat meninggalkan lawannya yang pasti akan menyulitkan kawan-kawannya yang lain. Meskipun ia telah berusaha secepat-cepatnya menyelesaikan pertempuran, tetapi kedua lawannya yang bernama Cemara Aking dan Ketapang itu dapat memberikan perlawanan dengan gigih. Ternyata kedua orang itu pun sekadar dapat memberikan perlawanan dan mengikat Wirasaba dalam suatu pertempuran. Sebab mereka berdua pun yakin bahwa mereka tidak akan dapat mengalahkan Wirasaba.

Demikianlah ketika malam bertambah malam, pertempuran itu pun menjadi semakin sengit. Ketika tubuh mereka telah dibasahi peluh yang mengalir dari setiap lubang kulit, tandang mereka pun menjadi semakin keras. Masing-masing kemudian bermaksud untuk segera mengakhiri pertempuran dan membinasakan lawan-lawan mereka. Demikian juga Lawa Ijo yang semakin keras menekan Ki Dalang Mantingan ke dalam keadaan yang semakin berbahaya.

Mantingan pun kemudian harus bekerja lebih keras lagi untuk mempertahankan dirinya. Tetapi perasaannya kini benar-benar telah bulat, bahwa ia harus menegakkan kesetiakawanannya terhadap Mahesa Jenar, Arya Salaka dan anak-anak Banyubiru. Apapun yang akan terjadi atas dirinya. Karena itu ia sama sekali tidak gelisah, bingung dan berkecil hati ketika tekanan-tekanan Lawa Ijo menjadi semakin sengit. Namun justru karena itulah maka ia tetap tenang dan menguasai dirinya sehingga ia tidak kehilangan akal. Dengan demikian maka setidak-tidaknya ia akan dapat memperpanjang waktu perlawanannya. Sebab dalam keadaan-keadaan yang sangat sulit sekalipun, otaknya masih cukup cerah untuk mencari jalan keluar dari bahaya itu.

Lawa Ijo lah yang justru menjadi gelisah dan marah. Ia ingin segera membunuh lawannya. Namun sampai beberapa lama usahanya selalu tidak berhasil. Karena itu, dibakar oleh kemarahannya yang memuncak, tiba-tiba ia berteriak nyaring. Kedua pisaunya disilangkan di atas kepalanya, sedang dari matanya seolah-olah memancar api yang menyala-nyala.

Mantingan terkejut melihat sikap itu. Ia masih belum tahu apa maksud dari gerakan-gerakan yang aneh itu. Namun ia yakin bahwa Lawa Ijo sedang membuka ilmunya yang diandalkan. Dengan demikian Mantingan semakin menyiagakan diri. Ia masih melihat Rara Wilis dan Wirasaba melayani lawannya. Karena itu bagaimanapun ia harus berusaha untuk menyelamatkan mereka itu sampai mereka berhasil membunuh lawan-lawan mereka, supaya mereka tidak ditelan oleh Lawa Ijo.

Ketika Lawa Ijo sudah siap untuk meloncat dan menyerangnya kembali, Mantingan membelai trisulanya sekali lagi, seolah-olah untuk yang terakhir kalinya. Ilmu Pacar Wutah-nya sudah dikerahkan sejak lama sebelum Lawa Ijo mempergunakan ilmu terakhirnya. Meskipun demikian ia tak dapat mendesaknya. Apalagi sekarang, pada saat Lawa Ijo sudah sampai pada puncak keganasannya.

Cerita Bersambung 11 Juni 2000

NAGASASRA dan SABUK INTEN
Karya SH Mintarja
467

WAKTU yang diperlukan Lawa Ijo untuk memusatkan tenaganya tidaklah lama. Beberapa kejap kemudian ia sudah meloncat kembali dan menyerang Mantingan dengan sangat dahsyat. Mantingan pun dengan mati-matian menggerakkan trisulanya dalam puncak ilmu pacar wutah. Namun hanya sesaat saja ia mampu bertahan, sebab kemudian terasa bahwa gerakan-gerakan Lawa Ijo memancarkan udara yang amat panas. Mantingan sadar bahwa udara yang panas itu adalah akibat dari ilmu Lawa Ijo yang dipancarkan oleh kekuatan batinnya yang tinggi dan bersumber pada ilmu hitam.

Beberapa kali Mantingan terdesak. Bahkan kemudian dengan garang Lawa Ijo meloncat memburu, didahului oleh udara yang sangat panas. Kali ini Mantingan benar-benar tidak melihat kemungkinan untuk mengelakkan diri. Udara panas yang membakar dirinya, seolah-olah membuat darahnya mendidih dan tak berdaya. Kakinya tiba-tiba terasa lumpuh. Dalam keadaan demikian, ia hanya mampu mengacungkan trisulanya lurus ke depan, ke arah Lawa ijo yang seperti akan menerkamnya dengan dua pisau belati di tangan.

Namun dalam keadaan yang sangat berbahaya itu tiba-tiba terdengarlah jerit ngeri. Yang kemudian disusul tubuh yang jatuh terbanting. Lawa Ijo yang sudah yakin akan dapat menembus dada Mantingan menjadi terkejut, sehingga langkahnya terhenti. Ketika ia menoleh, dan juga Mantingan sempat pula menoleh, dilihatnya Tembini berguling-guling di tanah. Dari dadanya memancar darah merah segar. Seleret pandang Rara Wilis menyambar wajah Mantingan yang kosong. Sebenarnyalah bahwa Rara Wilis melihat keadaan Mantingan yang berbahaya. Karena itu sengaja ia berusaha sekuat tenaga untuk mempengaruhi Lawa Ijo.

Karena untuk melukai Wadas Gunung masih agak sulit dan waktu yang terlalu sempit, akhirnya pedang Rara Wilis terpusat ke arah dada Tembini. Untunglah bahwa ketangkasannya mampu mendahului gerak Lawa Ijo yang hampir saja menentukan batas umur Mantingan dengan ilmu yang dinamai oleh Pasingsingan, Alas Kobar, sehingga benar-benar jeritan Tembini dapat menghentikan langkah terakhir Lawa Ijo.

Melihat Tembini terbanting dan berguling-guling di tanah, Lawa Ijo sama sekali tidak menaruh perhatian. Ia bahkan menjadi semakin marah karena geraknya terganggu. Karena itu dari mulutnya terdengar umpatan, Persetan kau Tembini. Matilah kau kelinci, dan kulitmu akan aku rentang di depan regol sarang kita sebagai peringatan dari salah seorang anggota Lawa Ijo yang memalukan.

Semua yang mendengar umpatan itu mau tak mau meremang bulu kuduknya. Terhadap anggotanya sendiri, Lawa Ijo dapat berbuat demikian, apalagi kepada lawan-lawannya. Dalam pada itu Bagolan pun menjadi ngeri. Ia tidak mau diperlakukan seperti Tembini. Apalagi lawannya tidak lebih dari seorang gadis kecil.

Tetapi bagaimanapun Bagolan mengerahkan tenaganya, ternyata ia tidak dapat mengatasi keadaan. Sebab rantai perak itu seperti selalu meraung-raung di telinganya, menyambar-nyambar seperti lalat yang dapat saja hinggap di mana-mana di bagian tubuhnya dengan sesukanya.

Memang, beberapa kali Bagolan telah merasakan ujung rantai itu menyengat tubuhnya. Sakit dan nyeri. Semakin lama semakin sering. Dan ia tahu benar bahwa gadis kecil itu seperti sedang bermain-main saja. Kalau akhirnya gadis itu bertempur sebenarnya, maka benar-benar seluruh kulitnya akan terkelupas habis.

Dalam pada itu, kembali mata Lawa ijo yang memancar merah menyambar wajah Mantingan. Dan kembali kemarahan yang membakar dadanya terpancar dari mata itu seperti terpancarnya api. Kali ini Lawa Ijo tidak mau melepaskan korbannya lagi. Apapun yang terjadi. Meskipun semua anggotanya akan berteriak bersama-sama dan mati bersama-sama sekalipun. Ia akan membunuh Mantingan untuk kemudian membunuh Wirasaba dan Arya Salaka.

Tetapi ketika ia sudah siap, tiba-tiba dilihatnya seorang anak muda muncul dari kegelapan malam berjalan seenaknya ke arahnya. Wajahnya yang cerah selalu dihiasi oleh senyumnya yang manis. Dengan ramah kemudian terdengar ia berkata, Paman Mantingan, sebaiknya Paman beristirahat untuk sementara. Meskipun aku harap Paman untuk selalu mengawasi aku di sini. Beberaoa tahun yang lampau aku mendengar guruku bertempur mati-matian melawan Lawa Ijo di tengah-tengah hutan Tambakbaya. Sekarang kurang lebih lima tahun kemudian, biarlah aku, muridnya, mencoba kesaktiannya. Apakah benar aku telah dapat memenuhi harapan guruku, mewarisi ilmunya untuk sedikitnya seperti ilmu guru lima tahun lalu.

Melihat kedatangan anak muda dan mendengar kata-katanya untuk mencoba melawannya, Lawa Ijo seperti dihantam batu hitam sebesar kepalanya. Ia menjadi marah sekali, sedemikian marahnya sehingga untuk beberapa saat ia terpaku gemetar di tempatnya. Mantingan pun terheran-heran mendengar permintaan Arya Salaka itu. Apakah benar-benar ia akan melakukannya?

Dalam pada itu Mantingan pun kemudian menengok ke segenap arah untuk mencari di manakah orang-orang yang baru saja bertempur melawan Arya Salaka. Tetapi yang tampak hanyalah kegelapan malam. Di sana-sini tampak beberapa orang yang terikat dalam pertempuran berpasang-pasang. Jaladri melawan Carang lampit, Rara Wilis melawan Wadas Gunung, Wirasaba melawan Cemara Aking dan Ketapang, sedangkan Widuri melawan Bagolan.

Karena keheranannya maka tanpa sengaja Mantingan bertanya, Di manakah lawan Angger tadi…?
Arya Salaka masih saja tersenyum. Aku terpaksa membunuh mereka, paman. Karena ternyata sudah tidak mau mendengar peringatanku. Bahkan mereka dengan ganasnya mencoba membunuh aku pula.
Kau bunuh mereka bertiga…? Tiba-tiba terdengar Lawa Ijo berteriak.
Maaf Lawa Ijo. Anak buahmu itu terlalu keras kepala, jawab Arya Salaka.

Cerita Bersambung 12 Juni 2000

NAGASASRA dan SABUK INTEN
Karya SH Mintarja
468

SEKALI lagi dada Lawa Ijo terguncang. Ketika ia memandang berkeliling ia masih melihat Wadas Gunung, Cemara Aking, Ketapang, Bagolan, Carang Lampit dan Tembini yang terluka. Kalau demikian maka orang-orang yang terbunuh itu adalah Bandotan, Jadipa dan seorang kebanggaannya yang bernama Kyai Sada Gebang. Dengan hampir tidak percaya Lawa Ijo sekali lagi berteriak, Benar kau lakukan pembunuhan itu?

Aku tidak bermaksud demikian Lawa Ijo. Aku sekadar membela diri. Dan aku tidak melihat cara lain daripada membinasakan mereka. Lebih-lebih orang setengah tua berjanggut panjang dan bersenjata sepasang nenggala. Ganasnya bukan main.

Tidak atas kehendaknya, Lawa Ijo berkata, Ialah Kyai Sada Gebang. Kau bunuh juga orang itu?
Terpaksa, gumam Arya Salaka.

Mau tidak mau Lawa Ijo berpikir keras. Apakah ada orang lain yang membantu anak muda itu sehingga ia berhasil membunuh ketiga orangnya yang sama sekali bukan orang-orang kebanyakan, Dan sekarang anak itu datang menantangnya.

Tiba-tiba timbullah dendam di dalam hati Lawa Ijo. Dendam itu semakin lama semakin membara dan menyala-nyala. Memang sejak semula ia ingin membunuh anak muda itu untuk memadamkan semangat perlawanan anak-anak Banyubiru. Sebab anak-anak Banyubiru yang menyingkir ke daerah Gedong Sanga inilah sebenarnya yang berbahaya bagi jalan yang dirintisnya untuk menguasai seluruh daerah perdikan bekas perdikan Pangrantun.

Dan, sekarang anak itu telah datang kepadanya untuk menyerahkan dirinya. Maka adalah suatu kebetulan bahwa tanpa bersusah payah ia akan dapat mencapai maksudnya. Karena itu dengan menggeram ia berkata, Arya Salaka, kalau kau benar-benar dapat membunuh ketiga orang-orangku tanpa bantuan orang lain, maka wajarlah kalau kau berani menantang aku. Tetapi kalau dalam perkelahian ini kau akan terbunuh dengan sia-sia, maka jangan salahkan aku. Bersama-sama dengan Mantingan, kepalamu akan aku penggal dan akan aku pasang kelak di tengah-tengah alun-alun Banyubiru. Dengan demikian apakah kira-kira rakyat Banyubiru itu akan tetap setia kepadamu?

Arya Salaka tidak menjadi marah mendengar perkataan kasar itu. Ia tahu dari gurunya, bahwa orang-orang semacam Lawa Ijo itu memang selalu berkata kasar. Maka dengan tenangnya ia menjawab, Jangan kau menakut-nakuti aku Lawa Ijo. Kepalaku jangan sekali-kali kau penggal, sebab alangkah sulitnya hidup tanpa kepala.

Gila! geramnya.

Mendengar ejekan-ejekan Mantingan, telinga Lawa Ijo telah terbakar hangus, apalagi sekarang anak yang baru dapat tegak berdiri itu telah berani menghinanya pula, menjawab pertanyaan-pertanyaannya dengan cara yang sama.

Karena itu Lawa Ijo sudah tidak mau berkata lagi. Sebagai seorang maharaja di daerah alas Mentaok, yang dilindungi oleh gurunya yang maha sakti dan bernama Pasingsingan, Lawa Ijo tidak biasa membiarkan dirinya dihina dan tidak biasa pula mencoba menahan-nahan kemarahannya. Kalau ia ingin membunuh, membunuhlah ia. Kalau ia ingin menyiksa, menyiksalah ia. Kalau ia hanya sekadar ingin merampok, merampoklah ia.

Demikianlah kali ini, timbullah keinginannya untuk membunuh dengan cara yang paling mengerikan. Ia menganggap bahwa orang-orang itu sama sekali tidak menghargainya, tidak merasa ketakutan kepadanya. Karena itu mereka harus mendapat hukuman.

Sambil menggeram dahsyat Lawa Ijo menerkam Arya Salaka, sekaligus dengan ilmunya Alas Kobar. Udara yang panas seolah-olah memancar dari tubuhnya, melingkar ke segenap penjuru di sekitarnya. Mantingan yang tidak mengalami serangan Lawa Ijo itu pun merasakan betapa udara panas itu telah membakar kulitnya. Bersama dengan itu, hatinya pun terguncang keras. Apakah yang akan terjadi dengan Arya Salaka?

Mantingan sendiri mengalami kesulitan untuk mempertahankan diri melawan Lawa Ijo. Tetapi hatinya terlonjak ketika ia melihat Arya Salaka dengan tenangnya dapat menghindarkan dirinya dari terkaman pisau Lawa Ijo. Dengan tangkasnya ia berkisar ke samping, dan dengan gerakan yang cepat dan lincah ia meloncat memutar tombak pusakanya, langsung mengarah ke ulu hati lawannya.

Lawa Ijo pun terkejut melihat serangan itu. Anak ini benar-benar seperti anak setan. Serangannya yang dibarengi dengan ajinya Alas Kobar, masih sempat dihindari oleh Arya Salaka.

Sebenarnyalah bahwa Arya Salaka pun mula-mula terkejut merasakan serangan udara panas itu.

Namun tanpa sesadarnya, udara yang panas itu lambat laun menjadi sejuk dengan sendirinya. Setelah peluhnya mengalir dari segenap lubang kulitnya, maka tubuhnya semakin merasa segar. Ia tidak lagi terpengaruh oleh udara panas yang secara bergelombang melibat dirinya. Ia sendiri tak menyadari bahwa berkat pertolongan orang berjubah abu-abulah, ia dapat membebaskan diri dari serangan aji Alas Kobar yang ganas.

Kekuatan-kekuatan yang ada di dalam tubuh Arya Salaka, yang semula merupakan tenaga cadangan untuk menembus urat-urat darahnya di permukaan kulit untuk melawan rangsang dari luar, kini telah bebas. Kekuatan-kekuatan itu dapat dipergunakan untuk keperluan-keperluan khusus. Adalah suatu kurnia baginya, bahwa ia telah berhasil mengatur jalan pernafasannya serta jalur-jalur urat-urat di tubuhnya dengan baik menurut petunjuk Kebo Kanigara, yang disangkanya untuk mendasari ilmunya Sasra Birawa, disusul dengan usaha orang berjubah abu-abu yang telah membuka segenap simpanan kekuatan di dalam tubuhnya.

Demikianlah, maka Arya Salaka seolah-olah telah dapat membebaskan dirinya dari gangguan simpul-simpul perasa dari seluruh permukaan kulitnya. Meskipun ia tidak menjadi kebal dari serangan senjata, namun dalam saat-saat tertentu dengan sendirinya ia berhasil mengurangi segenap perasaan yang ditimbulkan oleh simpul-simpul perasa itu.

Cerita Bersambung 13 Juni 2000 NAGASASRA dan SABUK INTEN
Karya SH Mintarja
469

SEBENARNYALAH, bahwa seseorang dengan mengatur pernafasannya dengan baik, pemusatan pikiran dan kehendak, percaya kepada kebenaran atas tindakannya, dan pasrah setulus-tulusnya kepada Tuhan Yang Maha Besar, dapatlah kiranya orang menyingkirkan diri dari kesadaran perasaan yang ditimbulkan oleh wujud jasmaniahnya. Sehingga akhirnya orang dapat menguasai ujud jasmaniahnya sendiri.

Dalam keadaan yang demikianlah Arya Salaka bertempur dengan gigihnya melawan Lawa Ijo. Sebagai seorang pemuda yang sedang berkembang, ia memiliki semangat yang luar biasa. Otot-ototnya yang mulai tampak berjalur-jalur di bawah kulitnya telah membentuk tubuhnya menjadi bertambah serasi dengan wajahnya yang keras penuh daya juang dan penuh harapan bagi masa depan.

Mantingan melihat pertempuran itu seperti terpaku di tempatnya. Mimpi pun tidak, bahwa ia akan berkesempatan menyaksikan Arya Salaka bertempur melawan Lawa Ijo dalam keadaan sedemikian baiknya. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Arya Salaka telah berhasil menempa dirinya menjadi seorang anak muda perkasa. Yang mau tidak mau harus diakuinya bahwa anak itu telah melampauinya, dan menempatkan dirinya sejajar dengan tokoh hitam yang terkenal itu. Bahkan ternyata bahwa Arya Salaka sama sekali tidak mengalami kesulitan dalam pertempuran itu, meskipun ia harus melawan ilmu Lawa Ijo yang memancarkan panas, sepanas api.

Mantingan tersadar ketika beberapa kali udara panas melanda dirinya. Karena itu segera ia melangkah surut menjauhi titik pertempuran itu dengan pertanyaan di dalam dirinya. Apakah sebabnya maka Arya Salaka seolah-olah sama sekali tidak merasakan sentuhan-sentuhan udara panas itu.

Meskipun demikian Mantingan belum berani meninggalkan Arya Salaka bertempur di luar pengawasannya. Kalau terjadi sesuatu atas anak itu, maka Mantingan-lah yang bertanggungjawab sepenuhnya. Sedangkan untuk ikut serta di dalam pertempuran itu, Mantingan tidak sampai hati. Ia tidak melihat keharusan untuk bertempur berpasangan melawan Lawa ijo, meskipun ia yakin bahwa seandainya ia ikut serta maka pasti ia berdua dengan Arya Salaka akan segera dapat memenangkan pertempuran itu, meskipun barangkali tubuhnya akan hangus oleh pancaran panas dari tubuh Lawa Ijo.

Karena itu Mantingan hanya dapat melihat saja pertempuran itu dengan penuh minat, meskipun trisulanya tetap tergenggam erat di tangan. Ia kemudian menjadi bangga ketika melihat Arya Salaka bertempur dengan gagahnya, menyambar-nyambar seperti burung rajawali raksasa.

Tetapi Lawa Ijo pun lincah. Ia benar-benar dapat bergerak seperti kelelawar di dalam gelap. Matanya menjadi bercahaya seperti mata serigala. Dengan menggeram dahsyat sekali ia bertempur semakin ganas. Namun demikian di dalam hatinya terseliplah pertanyaan yang membelit-belit dirinya. Seperti juga Mantingan, Lawa Ijo menjadi heran, kenapa anak muda itu dapat membebaskan dirinya dari pengaruh ilmu Alas Kobar.

Ketika Lawa Ijo tidak dapat menemukan jawab atas pertanyaan itu, justru ia menjadi semakin marah. Geraknya menjadi semakin ganas. Mirip seperti serigala kelaparan, ia merangsang lawannya dengan rakusnya. Kedua pisau belatinya berkilat-kilat menyambar-nyambar seperti sepasang halilintar, yang dipakai Dewa Pencabut Nyawa seperti dalam ceritera pewayangan.

Tetapi Arya Salaka pun tangguh bukan kepalang. Tombaknya dapat melindungi tubuhnya rapat sekali. Sedang gumpalan bayangan tombaknya itu bergulung-gulung seperti awan gelap yang siap menelan apa saja yang menghalangi dirinya.

Demikianlah, pertempuran itu berlangsung dengan dahsyatnya. Lawa Ijo, murid terkasih hantu bertopeng, melawan Arya Salaka. Dalam dunia pengembaraannya, Lawa Ijo telah banyak memiliki pengalaman yang dahsyat dan mengerikan. Telah beberapa puluh orang yang cukup terkenal dilawan dan dibunuhnya. Telah beberapa daerah perdikan yang didatanginya dan bertekuk lutut menyerahkan segala harta kekayaannya. Tetal beberapa kali ia berhasil meloloskan diri dari jaring-jaring yang dipasang oleh para pejabat keamanan dari Kerajaan Demak. Namun ia masih tetap pada pekerjaannya. Merampok. Membunuh.

Dan yang terakhir, terbersitlah kemauan Lawa Ijo untuk menundukkan perdikan Banyubiru. Apalagi ketika tersiar berita untuk kedua kalinya, bahwa Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten tersimpan di daerah itu. Ketika itu ia bersepakat dengan kawan-kawan segolongannya untuk bersama-sama menghancurkan Banyubiru. Meskipun mereka yakin, bahwa setelah itu akan terjadi saling mendesak dan saling membunuh diantara golongan hitam itu sendiri.

Namun tiba-tiba rintisan usahanya itu terbentur hanya karena Arya Salaka datang kembali ke tanah perdikannya. Apakah sebenarnya arti dari anak ini? Tetapi ia sekarang menghadapi suatu kenyataan bahwa Arya Salaka yang masih muda itu memiliki kekuatan yang harus diperhitungkan. Dengan demikian maka dada Lawa Ijo menjadi semakin bergolak. Dengan darah yang mendidih ia mengerahkan segenap kekuatannya dengan dilambari oleh ilmunya Alas Kobar untuk membinasakan anak itu.

Cerita Bersambung 14 Juni 2000
NAGASASRA dan SABUK INTEN
Karya SH Mintarja
470

ARYA SALAKA bukanlah seekor cacing yang hanya mampu melingkarkan diri. Lebih dari lima tahun ia telah membajakan dirinya, dipadu dengan tubuhnya yang sedang mekar dalam umurnya yang muda itu. Maka ia adalah seorang anak muda yang luar biasa. Ia memiliki ketangkasan, ketangguhan dan kelincahan yang dapat menyamai Lawa Ijo. Bahkan apapun yang dapat dilakukan oleh Lawa Ijo, dapat disejajari oleh lawannya yang muda itu.

Dengan demikian Lawa Ijo menjadi bertambah marah, bahkan akhirnya ia kehilangan kesabaran dan perhitungan. Apalagi ketika sekali-kali ia sempat melihat lingkaran-lingkaran pertempuran yang lain.
Tak ada tanda-tanda sama sekali bahwa anak buahnya dapat mengatasi keadaan. Wadas Gunung, adik seperguruannya ternyata semakin sulit keadaannya. Ia hanya dapat berkisar mundur dan mundur. Tanpa Tembini, bagi Wilis, Wadas Gunung sama sekali tidak berarti, meskipun untuk membunuhnya tidak pula terlalu mudah.

Sedang Wirasaba masih bertempur pula dengan garangnya. Kapaknya terayun-ayun menakutkan.
Di kejauhan tampak Widuri berdiri tegak dengan rantai berputar di tangan kanannya. Bagolan yang berdiri beberapa langkah di mukanya hanya berkisar-kisar saja. Dengan tertawa-tawa Widuri membiarkan Bagolan menyerangnya. Tetapi untuk beberapa lama Bagolan sama sekali tak berani mendekati gadis kecil dengan rantai berputar itu. Seperti seekor ayam jantan yang takut menghadapi lawannya, ia berkisar berputar-putar. Namun kemana ia pergi, Widuri selalu menghadapinya.

Akhirnya Bagolan menjadi marah juga. Marah, malu dan segala macam perasaan bercampur baur. Kedua bola besi bertangkai ditangannya telah basah karena peluhnya. Dengan gemetar ia menggigit bibirnya. Sekali-sekali ia ingin meloncat dan memukul hancur gadis itu. Tetapi setelah sekian lama ia bertempur, ia mengetahui benar bahwa gadis kecil itu telah memiliki kesempurnaan dalam bermain-main dengan rantainya. Sehingga yang dapat diperbuatnya hanyalah mengumpat-umpat di dalam hati tak habis-habisnya. Kalau saja Widuri menyerangnya, Bagolan akan mendapat kesempatan pada perubahan-perubahan gerak gadis itu. Tetapi ternyata Widuri masih berdiri saja di tempatnya.
Tetapi justru karena itu Bagolan merasa malam itu tegang sekali. Keningnya berkerut-kerut dan nafasnya terdengar berkejaran. Ia ingin berbuat sesuatu, tetapi tidak dapat. Karena itulah maka ia menjadi seperti cacing kepanasan.

Lawa Ijo sendiri akhirnya merasa, bahwa Arya Salaka ternyata jauh meleset dari anggapannya. Anak muda itu bertempur dengan tangkasnya. Apa yang dilakukan oleh anak muda itu benar-benar seperti apa yang dilakukan oleh Mahesa Jenar beberapa tahun yang lalu di hutan Tambak Baya.

Ketangkasan, ketangguhan dan ketrampilan. Bahkan sekarang, ketika ia telah dapat melengkapi ilmunya dengan ilmu pamungkasnya Alas Kobar, anak itu sama sekali tidak menemui kesulitan apa-apa, sehingga menurut penilaian Lawa Ijo, Arya Salaka sekarang telah lebih jauh maju dari Mahesa Jenar lima tahun yang lalu.

Disamping perasaan marah, timbul pula sepercik pertanyaan di dalam dada hantu Mentaok itu. Kalau muridnya telah berhasil menguasai ilmu sedemikian tingginya, lalu bagaimana dengan Mahesa Jenar sendiri.

Sementara itu Arya Salaka bertempur terus dengan cepatnya. Karena ia pernah mendengar, bahwa Lawa Ijo memiliki ilmu yang tinggi, maka ia tidak berani berjuang dengan separoh hati. Dan sekarang ternyata apa yang pernah didengarnya itu adalah benar. Ia pernah bertempur dan bahkan membunuh sepasang Uling dari Rawa Pening.

Namun ternyata Lawa Ijo mempunyai kelebihan dari mereka. Tetapi Arya Salaka tidak tahu bahwa ilmu Alas Kobar-lah yang agak mengganggu dirinya, karena sebagian kekuatan cadangannya tersalur untuk melawan kekuatan pancaran panas sehingga kulitnya tidak hangus karenanya, disamping tata pernafasannya yang sempurna serta kebulatan pikiran dan tekadnya, serta pasrah diri setulus-tulusnya kepada Yang Maha Besar. Maka hal yang demikian itulah yang telah mengurangi gangguan-gangguan perasaan pada bentuk jasmaniahnya.

Lawa Ijo semakin lama menjadi semakin ganas. Ia sama sekali tidak peduli ketika didengarnya sekali lagi sebuah teriakan nyaring dari mulut orang yang bernama Ketapang, karena goresan kapak Wirasaba. Bahkan ia kemudian tidak sadar ketika di sekeliling titik pertempuran itu telah berdiri berjajar-jajar Wirasaba, Rara Wilis dan Endang Widuri disamping Mantingan.

Mereka telah kehilangan lawan-lawan mereka, karena melarikan diri. Tetapi sebenarnya Lawa Ijo sendirilah yang telah mengeluarkan perintah itu. Perintah untuk meninggalkan gelanggang, sebab ia yakin kalau anak buahnya bertempur semakin lama, mereka pasti akan binasa. Dengan sebuah suitan yang tak dimengerti oleh orang lain, Lawa Ijo membenarkan anak buahnya untuk menyingkir.
Tetapi ia sendiri sama sekali belum bermaksud meninggalkan pertempuran itu. Ia benar-benar ingin membunuh Arya Salaka. Ia mengenal sifat-sifat kesatria dari lawan-lawannya itu. Karena sifat-sifat itu maka mereka pasti tidak akan menyerangnya bersama-sama. Perhitungan-perhitungan yang licik ini pun bagi Lawa Ijo tidak ada halangan apapun. Ia dapat berbuat apa saja untuk mencapai maksudnya. Dan ternyata perhitungannya kali ini pun benar.

Rara Wilis, Widuri, Mantingan dan Wirasaba bahkan kemudian juga Jaladri, hanya berdiri dengan tegang mengamati pertempuran itu dengan seksama, meskipun di tangan mereka tetap tergenggam senjata masing-masing. Bahkan ujung pedang Rara Wilis itupun meskipun menunduk ke tanah, namun tetap bergetaran, siap untuk menembus dada hantu dari Mentaok itu.

Namun mereka seakan-akan terpesona melihat pertempuran itu. Meskipun mereka tidak merasa curang, apabila mereka bersama-sama menangkap Lawa Ijo itu, namun tiba-tiba di dalam hati mereka timbullah keinginan mereka untuk membiarkan Arya Salaka bertempur sendiri.90

LAWA IJO yang ingin meyakinkan dirinya, bahwa ia mengharap untuk dibiarkan bertempur sendiri, kemudian berkata, ”Hai betina-betina dari Banyubiru… kenapa kalian tidak maju bersama-sama? Jangan berpura-pura bersikap jantan dengan membiarkan anak kecil ini menjadi korban kesombongan kalian.”

Dari jajaran para penonton itu terdengar Mantingan menjawab, ”Lawa Ijo, jangan pergunakan cara yang berpura-pura untuk menyelamatan diri. Jangan pula berbicara tentang kejantanan. Dan apakah salahnya kalau kami bersama-sama dan beramai-ramai menangkapmu? Bukankah kau telah dengan sembunyi-sembunyi memasuki perkemahan kami? Tetapi biarlah untuk sementara kami ingin melihat kau bertempur.”

Hati Lawa Ijo menjadi bertambah panas. Tetapi ia tidak dapat berbuat banyak. Meskipun orang-orang lain tidak ikut membantu Arya bertempur, namun senjata-senjata mereka yang telah siap itu pun sangat mempengaruhinya. Apalagi memang sebenarnyalah bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan anak muda ini, meskipun anak muda ini pun mempunyai harapan yang kecil saja untuk mengalahkannya.

Namun sebagai seorang tokoh yang namanya telah bersemayam di dalam hati rakyat di sekitar hutan Mentaok, maka ia pun menjadi malu atas dirinya sendiri.

Mula-mula Mantingan dan kawan-kawannya menjadi heran, apakah maksud Lawa Ijo dengan memperpanjang pertempuran itu. Sebab mereka sudah pasti dan Lawa Ijo sendiri juga sudah pasti bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan Arya Salaka. Tetapi kenapa ia tidak saja melarikan diri seperti kawan-kawannya?

Pertanyaan itu akhirnya memenuhi rongga dada Mantingan. Karena itu ia pun menjadi bertambah waspada. Apakah kawan-kawan Lawa Ijo pergi untuk memanggil kawan-kawannya. Kemudian dengan berbisik-bisik disampaikanlah kecurigaannya itu kepada Wirasaba, yang ternyata sependapat pula. Apalagi kemudian di kejauhan terdengarlah suatu suitan nyaring. Nyaring sekali seperti suara hantu kehilangan anaknya. Suara suitan itu kemudian disahut pula dengan suara lain yang lebih jauh tetapi dengan nada yang lebih tinggi.

Mantingan melihat sesuatu tidak pada tempatnya. Karena itu, ia tidak dapat membiarkan pertempuran itu lebih lama lagi. Dengan lantang terdengarlah ia memerintah, ”Tangkap iblis dari Mentaok ini.”

Rara Wilis, Widuri, Jaladri dan Wirasaba segera berloncatan mengepung Lawa Ijo yang tinggal bertempur seorang diri. Untuk beberapa saat Lawa Ijo meloncat surut dan berhenti bertempur. Dengan mata yang liar ia memandang berkeliling, seolah-olah ia sedang mencari kelemahan dari kepungan itu. Ketika matanya menyambar wajah Jaladri, ia berharap untuk dapat menembus di sisi itu.

Tetapi tiba-tiba Lawa Ijo melihat Wirasaba merapatkan dirinya. Kemudian matanya berkisar pada Widuri. Ah, anak ini bukan main. Wajahnya yang mungil itu tampak cerah, secerah bintang. Diam-diam Lawa Ijo mengaguminya. Tetapi ia tidak mempunyai kesempatan untuk mengagumi kecantikan gadis kecil itu.

Dalam kegelisahan, tiba-tiba wajah Lawa Ijo menjadi terang kembali. Tampaklah kemudian sebuah senyuman menghias bibirnya.

Sebaliknya, orang-orang yang mengepungnya menjadi terkejut karenanya. Mereka sadar bahwa suara itu mempunyai arti yang penting sekali bagi Lawa Ijo dan bahkan bagi perkemahan anak-anak Banyubiru itu. Karena itu, tanpa bersepakat, mereka bersama-sama menyiagakan diri untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang lebih berbahaya.

Dan apa yang mereka cemaskan itu terjadi. Dalam keremangan cahaya bintang yang lemah, tampaklah sebuah bayangan seperti bayangan hantu yang melayang-layang memasuki gelanggang dan kemudian berdiri tegak disamping Lawa Ijo. Bayangan dari seorang yang berjubah abu-abu serta menyembunyikan wajahnya dibalik sebuah topeng yang kasar dan jelek.

”Pasingsingan…!” Hampir setiap mulut berdesis mengucapkan nama yang mengerikan itu.

Terdengar Pasingsingan tertawa pendek. Kemudian seperti bergulung-gulung di dalam perutnya ia berkata, ”Apakah yang telah kalian lakukan terhadap Lawa Ijo?”

Pertanyaan itu sederhana sekali, namun di dalamnya terkandung suatu tuntutan yang dalam. Dalam kalimat yang sederhana itu Pasingsingan telah menyatakan maksud kedatangannya. Menuntut bela terhadap murid serta anak buahnya. Apalagi kemudian terdengar ia bergumam, ”Kalian telah melakukan beberapa kesalahan.”

Setiap dada menjadi terguncang karenanya. Mereka semua telah mengenal, setidak-tidaknya mendengar nama Pasingsingan. Karena itu, mau tidak mau meremanglah tengkuk mereka melihat orang yang bernama Pasingsingan itu berdiri di hadapan mereka dengan sebuah tuntutan yang mengerikan.

Tetapi mereka tidak akan dapat berbuat lain daripada mengangkat dada mereka sebagai jantan sejati. Sebab mereka yakin bahwa mereka berbuat diatas kebenaran, diatas suatu pengabdian yang tulus.

Karena itu kemudian terdengar Mantingan menjawab, ”Tidak ada sesuatu yang kami lakukan terhadap murid Tuan, selain mengucapkan selamat datang di perkemahan kami, dengan cara yang disenangi oleh murid Tuan sendiri.”

”Hem…” terdengar Pasingsingan mendengus. ”Kau tahu dengan siapakah kau sekarang berhadapan…?”

”Bukankah Tuan yang bergelar Pasingsingan?” jawab Mantingan.

”Bagus!” sahut Pasingsingan dengan suara yang dalam. “Kalau demikian kalian harus bersikap baik. Jawab semua pertanyaanku dengan baik pula.”

Mantingan mengangguk.

”Nah,” dengus Pasingsingan dari belakang topengnya. ”Kenapa kalian melakukan pembunuhan terhadap anak buah Lawa Ijo?”

Serial Bersambung 17 Juni 2000
Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta

NAGASASRA DAN SABUK INTEN
Karya SH. Mintarja
No. 472

MANTINGAN menarik nafas panjang. Ia tahu bahwa Pasingsingan sedang mencari sebab untuk melakukan pembalasan. Namun demikian ia menjawab. “Kami sama sekali tidak melakukan pembunuhan tuan. Yang kami lakukan adalah suatu cara untuk menyelamatkan diri kami.”

“Omong kosong” bentak Pasingsingan. “Apapun alasanmu tetapi beberapa orang anak buah Lawa Ijo itu terbunuh.”
“Lalu apakah yang sebaiknya tuan lakukan seandainya seseorang ingin membunuh tuan?” sahut Mantingan.

Untuk beberapa lama Pasingsingan tidak berkata sesuatu. Namun nampaklah dadanya bergelombang oleh nafasnya yang memburu.

Kemudian dengan lantang ia berkata. “Kaukah yang bernama Mantingan, dalang Mantingan.”

“Ya” jawab Mantingan pendek.

“Mulutmu terlalu tajam. Karena itu mulutmu itulah yang pertama-tama akan aku hancurkan” berkata Pasingsingan perlahan-lahan tetapi mengandung suatu tekanan yang dahsyat.

Mantingan menarik nafas sekali lagi. “Apaboleh buat” pikirnya. Tetapi dalam pada itu, yang lainpun tidak tinggal diam.

Meskipun Rara Wilis adalah seorang gadis, namun darah Pandan Alas yang mengalir ditubuhnya telah menjadikannya seorang gadis yang tabah dan berani. Meskipun ia menyadari, betapa tinggi ilmu Pasingsingan itu, namun tidaklah sepantasnya bahwa tetesan darah Gunung Kidul itu akan bertekuk lutut untuk dipenggal lehernya. Karena itu ujung pedangnya nampak semakin bergetar sejalan dengan debar jantungnya yang bertambah cepat.

Bahkan kemudian terdengar suaranya gemetar. “Tuan, adakah tuan ingin ikut dalam permainan anak-anak ini?.

Juga pertanyaan Rara Wilis itu sederhana, sama sederhananya dengan pertanyaan Pasingsingan yang pertama. Tetapi juga didalam kata-kata itu terkandung suatu tantangan yang dalam. Tantangan bagi kejantanan Lawa Ijo dan Pasingsingan sendiri. Tetapi ternyata Lawa Ijo bukan seorang jantan. Ia adalah seorang yang licik, yang dapat menganggap suatu cara apapun dapat dibenarkan untuk mencapai maksudnya.

Karena itu ialah yang menjawab pertanyaan Rara Wilis. “Adakah pertanyaan itu sebagai suatu permintaan ampun dari guru, Rara Wilis?” Dada Rara Wilis tergoncang. Ia merasa tersinggung oleh jawaban itu. Namun Wirasaba yang tinggi hati telah mendahuluinya menjawab.

“Dibelakang sayap indukmu kau masih mampu tertawa Lawa Ijo. Tetapi kami sama sekali tidak seperti orang yang terkenal dengan sebutan iblis alas Mentaok, yang ternyata tidak lebih dari seekor anak ayam yang ketakutan melihat bilalang terbang.”

“Diam” bentak Lawa Ijo marah. Tetapi suaranya tiba-tiba tenggelam dalam derai tawa Endang Widuri. Semua yang mendengar suara tertawa itu terkejut. Bahkan Pasingsingan tertarik sekali pada suara itu. Baginya adalah aneh sekali, kalau dalam keadaan yang demikian, masih ada orang yang berani memperdengarkan tertawanya.

“Aneh” kata Widuri dalam nada kekanak-kanakan. “Seorang yang bertubuh gagah kekar, berkumis sebesar lenganku ini, tiba-tiba tanpa malu-malu bersembunyi dibelakang punggung gurunya. Bukankah itu suatu tontonan yang lucu.”

Dada Lawa Ijo yang sudah mendidih sejak semula itu terasa seperti diaduk. Tetapi ketika dipandangnya wajah gadis kecil yang cerah itu, terasa sesuatu yang aneh meraba-raba dadanya. Tiba-tiba saja seperti bintang yang jatuh dari langit, terbesitlah jauh disudut relung hatinya, yang selama ini seolah-olah tak pernah tampak olehnya, suatu perasaan yang menyenangkan, apabila iamempunyai anak seperti Widuri itu. Seorang anak yang manis, berani dan tangkas. Tetapi berbedalah tanggapan Pasingsingan. Ia merasa seolah-olah gadis kecil yang menghinanya pula.

Dengan menggeram ia berkata. “Siapakah kau?”

“Seorang yang bergelar Pasingsingan pasti sudah tahu, siapakah yang sedang berdiri dihadapannya” jawab Widuri tanpa takut-takut.

Sekali lagi Pasingsingan menggeram karena kemarahan yang sudah hampir memuncak.
Mendengar Pasingsingan menggeram sedemikian dahsyatnya, tegaklah bulu roma mereka yang mendengarnya kecuali Widuri. Ia masih saja tersenyum seperti tidak terjadi sesuatu. Meskipun sebenarnya didalam hatinya memercik juga kecemasannya atas sikap Pasingsingan itu, namun sebenarnyalah ia memiliki sikap tenang seperti ayahnya. Karena sikap Widuri itulah maka Pasingsingan menjadi bertambah marah lagi. Ia merasa terhina oleh seorang anak kecil yang sengaja merendahkannya. Karena itu ia tidak bersabar lagi.

Sebagai seorang penjahat yang telah berpuluh bahkan ratusan kali membunuh, maka ia sama sekali tidak lagi punya hati terhadap calon korbannya. Demikian juga terhadap Widuri. Meskipun ia melihat betapa gadis itu masih sedang tumbuh, namun ia telah dibakar oleh kemarahannya.

Maka dengan suara yang bergetar ia berkata. “Gadis kecil yang tak tahu diri. Apakah kau telah mempunyai nyawa yang rangkap, sehingga berani menghina Pasingsingan? Karena itu kaulah yang pertama-tama akan menerima hukuman”.

Sehabis kalimat itu, mulailah Pasingsingan bergerak kearah Endang Widuri. Kembali semua orang yang menyaksikan, hatinya berdesir. Tetapi mereka tidak mau membiarkan peristiwa yang mengerikan itu terjadi.

Serentak tanpa berjanji lebih dahulu, berloncatanlah semua orang menghadang dihadapan Endang Widuri. Mantingan dengan trisulanya yang sudah mengarah kedada Pasingsingan, Rara Wilis dengan pedang tipisnya yang dipegangnya lurus-lurus kedepan.

Disampingnya berdiri Arya Salaka dengan wajah yang tegang dan dengan tangan yang gemetar menggenggam Kiai Bancak. Disebelahnya Wirasaba dengan kapak raksasanya yang sudah tersandang dipundaknya siap untuk diayunkan sedang diujung berdiri Jaladri erat-erat memegang canggah andalannya.

Serial Bersambung 18 Juni 2000
Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta

NAGASASRA DAN SABUK INTEN
Karya SH. Mintarja
No. 473

MELIHAT sikap orang-orang itu, Pasingsingan berhenti. Tetapi sebagai seorang yang berilmu tinggi, ia sama sekali tidak takut menghadapi barisan kelinci-kelinci itu. Bahkan terdengarlah suara tertawanya bergumam di belakang topengnya.

Kemudian terdengar Pasingsingan berkata, “Bagus…. Aku puji kesetiakawanan kalian. Tetapi kalian tidak akan dapat menghalangi aku untuk membunuh gadis gila itu.”

Ternyata Pasingsingan siap untuk melakukan kata-katanya. Tetapi terjadilah sesuatu diluar dugaan.

Dalam ketegangan itu terdengar Lawa Ijo berkata, “Guru… ampunilah gadis kecil itu.”

Pasingsingan terkejut mendengar kata-kata muridnya. Ketika ia menoleh, dilihatnya Lawa Ijo rapat berdiri di belakangnya. Bahkan tidak saja Pasingsingan, tetapi semua orang terkejut dan heran mendengar kata-kata itu.

Sehingga terdengarlah Pasingsingan bertanya, “Apa yang kau katakan itu Lawa Ijo?”
“Ampunilah gadis kecil itu,” ulang Lawa Ijo.
“Apa kepentinganmu?” tanya Pasingsingan pula.

Lawa Ijo diam. Tetapi ia menundukkan wajahnya. Wajahnya yang buas dan liar itu. Namun anehlah bahwa matanya yang menyala-nyala seperti mata serigala itu tiba-tiba menjadi suram. Beberapa kali ia memandang wajah Widuri, hanya untuk seleret pandang. Tetapi ia tidak berani memandang wajah gurunya.

Pasingsingan menjadi semakin heran. Selama hidupnya, sejak istri dan anaknya meninggal, Lawa Ijo tidak pernah menaruh perhatian kepada perempuan. Tiba-tiba sekarang ia merasa sayang kepada gadis kecil itu. Suasana kemudian dicekam oleh keheningan. Namun setiap dada dipenuhi oleh ketegangan yang memuncak. Di kejauhan terdengar gonggongan anjing-anjing liar, berebut makan, disusul oleh teriakan serigala lapar.

Beberapa kali terdengar pula gema raung harimau memecah malam. Angin pegunungan mengusap tubuh mereka, meresapkan udara dingin.

Kata-kata Lawa Ijo itu ternyata menyebabkan Pasingsingan ragu-ragu untuk bertindak. Ia masih berdiri saja seperti patung. Patung iblis yang menakutkan.

Dalam keheningan itu terdengarlah suara Lawa Ijo memecah sepi. “Tetapi kalau guru akan bertindak terhadap yang lain, aku tidak berkeberatan.”

Terdengar nafas berat berdesis lewat hidung Pasingsingan. Sekali lagi ia menoleh kepada muridnya.

Dan sekali lagi ia bertanya, “Apa kepentinganmu atas gadis itu?”

Lawa Ijo menggeleng. “Tak ada,” jawabnya.

Sekali lagi jawaban Lawa Ijo itu mengherankan mereka yang mendengarnya.

Bahkan Widuri sendiri menjadi heran. Sementara itu, keragu-raguan Pasingsingan itu telah mengubah segala keadaan. Kalau semula semua penghuni perkemahan itu sudah tidak mempunyai harapan untuk membebaskan diri dari tangan hantu itu, tiba-tiba terperciklah setitik cahaya terang di dalam dada mereka.

Lamat-lamat di kejauhan, dibawa desir angin malam, terdengarlah derap beberapa ekor kuda. Mereka berharap, mudah-mudahan mereka itulah Mahesa Jenar bersama Kebo Kanigara dan kawan-kawannya. Dengan orang-orang itu, mereka tidak lagi merupakan umpan-umpan yang sama sekali tak berarti bagi Pasingsingan. Ditambah dengan Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan beberapa orang lagi, mereka mengharap untuk setidak-tidaknya dapat mengimbangi hantu bertopeng itu.

Pasingsingan pun mendengar derap kuda itu. Namun ia tahu pula, bahwa suara itu masih jauh sekali. Dalam malam yang sepi, suara yang lambat dan jauh pun akan dapat dikumandangkan oleh tebing-tebing jurang dan kemudian dapat mencapai daerah-daerah ketinggian seperti daerah di sekitar candi Gedong Sanga ini.

Dengan telinganya yang tajam, Pasingsingan memperhatikan suara itu dengan seksama. Wajahnya yang terangkat, seolah-olah dapat membuat perhitungan yang tepat, kira-kira sejauh berapa tonggak sumber suara telapak kuda itu.

Ketika ia kemudian yakin akan pendengarannya, berkatalah ia, “Masih jauh. Waktu masih cukup banyak untuk memusnahkan kalian. Nah, bersiaplah untuk menghadapi saat terakhir. Melawan atau tidak melawan, akan sama saja akibatnya bagi kalian.”

Kemudian kepada Lawa Ijo ia berkata, “Usahakan supaya orang-orang berkuda itu agak lambat datang. Pergilah dengan orang-orangmu yang masih ada.”

“Baik guru,” jawab Lawa Ijo. Tetapi sekali lagi matanya menatap wajah Endang Widuri.

“Aku sisakan gadis kecil itu. Atau akan kau bawa dia?” Tanya Pasingsingan.

Lawa Ijo menggeleng. “Aku tidak mempunyai kepentingan apa-apa. Aku hanya ingin Guru mengampuninya.”

“Pergilah,” dengus Pasingsingan.

Dalam sekejap meloncatlah Lawa Ijo hilang ditelan tabir hitamnya malam.

Yang tinggal kemudian hanyalah orang berjubah abu-abu dan bertopeng seperti iblis itu.
Harapan yang semula timbul di dalam dada mereka untuk dapat bertempur bersama-sama dengan Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan yang lain-lain, kini telah pudar kembali.

Meskipun mereka masih belum dapat menjajagi, sampai di mana tingkat ilmu Mahesa Jenar kini, namun semakin banyak jumlah mereka, semakin kuat pula perlawanan yang dapat mereka berikan.

Sementara itu suara kuda di kejauhan masih saja melingkar-lingkar di dalam lembah, seolah-olah tidak menjadi bertambah dekat. Kemudian mereka pun sadar bahwa jalan yang harus ditempuh oleh orang-orang berkuda itu pun melingkar-lingkar seperti ular. Karena itu akhirnya mereka kembali kepada kepercayaan diri. Kepada senjata-senjata mereka yang tergenggam di tangan mereka. Lebih daripada itu, mereka percaya kepada kekuasaan Yang Maha Tinggi.

Demikianlah mereka dengan dada yang berdebar-debar melihat Pasingsingan itu bergerak perlahan-lahan.

Serial Bersambung 19 Juni 2000
Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta

NAGASASRA DAN SABUK INTEN
Karya SH. Mintarja
No. 474

TANGAN Pasingsingan mulai dikembangkan seperti hendak menerkam. Kemudian dengan cepat sekali ia meloncat ke samping, untuk kemudian menyerang dengan cepatnya ke arah Dalang Mantingan. Tetapi orang-orang itupun bukanlah orang-orang yang tak berdaya sama sekali. Segera mereka berloncatan untuk memencar diri dan menyerang bersama-sama dari segenap penjuru. Terhadap mereka itupun ternyata Pasingsingan tidak dapat menganggap remeh. Ia menggeram sekali lagi dengan kerasnya.

Seperti kilat ia dengan sangat lincah menghindari setiap senjata yang tertuju kepadanya. Untuk kemudian menggeliat dengan cepatnya dan melenting seperti terlempar dari tempatnya berdiri untuk mencapai daerah diluar lingkaran kepungan lawan-lawannya.

Mantingan dan kawan-kawan berdesir melihat cara Pasingsingan bergerak.

Benar-benar seperti singgat, namun kadang-kadang seperti ular, dan sekali-sekali seperti asap yang dapat melayang-layang di udara. Mereka diam-diam mengeluh di dalam hati. Dan terasalah di dalam hati kecil mereka bahwa mereka tak akan mampu untuk memberi perlawanan yang cukup lama sampai Mahesa Jenar tiba. Apalagi mereka tahu bahwa Lawa Ijo dan kawan-kawannya telah ditugaskan oleh gurunya untuk menghadang dan memperlambat perjalanan rombongan berkuda itu.

Tetapi bagaimanapun juga, mereka akan memberikan perlawanan sekuat tenaga mereka sampai orang yang terakhir. Sebab lebih baik mati dengan tangan terentang, daripada mati dengan tangan bersilang di dada. Karena itu seperti angin pusaran mereka menyerang Pasingsingan berputar. Meskipun mereka tidak pernah mengadakan persiapan untuk melakukan pertempuran bersama, namun karena pengalaman mereka masing-masing, segera mereka dapat menyesuaikan diri. Ternyata gerak mereka dapat
sedikit menolong memperpanjang waktu.

Mula-mula Pasingsingan pun agak sulit untuk dapat mengadakan serangan terhadap rombongan yang berputar sambil menyerang berganti-ganti dari segenap arah itu. Namun akhirnya Pasingsingan dapat pula menyesuaikan diri. Ia pun kemudian ikut berputar pula mengikuti putaran lawan-lawannya dan menyerang pada tempat yang tepat. Dalang Mantingan.

Untunglah bahwa Rara Wilis yang berdiri di belakang Dalang Mantingan itu, sehingga pedangnya dapat membantu melawan iblis yang mengerikan itu, disamping serangan-serangan yang lincah dilancarkan Arya Salaka dari arah yang lain.

Dalam pada itu sekali lagi Pasingsingan melenting sambil menyerang Jaladri. Dengan cepat Jaladri menjatuhkan dirinya untuk menghindari sambaran tangan Pasingsingan sambil mengacungkan senjatanya.

Tetapi dengan demikian pertahanannya terbuka, sehingga sekali lagi Pasingsingan berhasil meloloskan diri dari kepungan, meskipun Wirasaba telah mencoba menyerangnya ketika Pasingsingan sedang terapung di udara. Tetapi kapak raksasanya itu terayun menebas angin. Dengan menggeliat Pasingsingan berhasil menghindari sambaran kapak itu.

Namun sayang bahwa demikian kakinya menjejak tanah, terasalah angin menyentuh kulitnya. Belum lagi ia berhasil menghindar, terasalah sebuah benda menyambarnya. Cepat ia berusaha memutar tubuhnya di atas satu kakinya. Sehingga sambaran senjata itu hanya menyentuh jubahnya. Ketika ia sudah siap untuk menyerang kembali, dilihatnya rantai perak berputar seperti baling-baling. Rantai itu pulalah yang telah menyentuh jubahnya. Sekali lagi Pasingsingan berdesis marah.

Tetapi demikian ia siap untuk menyerang dari bawah ke arah tubuh Endang Widuri, teringatlah ia akan pesan muridnya, sehingga maksudnya terpaksa diurungkan. Namun ia menjadi semakin marah. Terasa sesuatu menyumbat dadanya, sehingga terdengarlah giginya gemeretak. Dengan demikian ia mencari saluran untuk memuntahkan kemarahannya itu. Ia merasa tersinggung sekali, bahwa rombongan kelinci itu berhasil mengenainya, meskipun hanya jubahnya.

Dalam kemarahan yang memuncak itu, tiba-tiba dengan cepatnya tangan Pasingsingan bergerak seperti orang menabur benih. Dan bersamaan dengan itu memancarlah cahaya kekuning-kuningan ke segenap penjuru. Ternyata di tangan iblis itu tergenggam sebuah pisau belati panjang yang berwarna kuning keemasan. Itulah pusaka Pasingsingan yang bernama Kyai Suluh.

Dengan senjata itu di tangan, terdengarlah Pasingsingan bergumam, “Aku masih berbaik hati kepada kalian. Kalau aku ingin membunuh kalian, dengan senjata ini. Aku dapat membakar tubuh kalian seperti membakar jangkrik dengan ilmu Alas Kobar.”

Mau tidak mau hati mereka tergetar melihat cahaya gemerlapan yang memancar dari senjata Pasingsingan itu. Meskipun di malam yang gelap, namun pantulan cahaya bintang-bintang di langit telah mampu untuk menyilaukan mata. Tetapi meskipun demikian, sekali lagi, mereka bertekad untuk bertempur sampai tenaga terakhir, sampai tetes darah terakhir pula. Pasingsingan kini tidak mau memperpanjang waktu lagi. Ia sudah tidak mendengar derap kuda yang melingkar-lingkar di lembah. Pasti orang-orang berkuda itu telah terlibat dalam pertempuran melawan Lawa Ijo.

Cerita Bersambung 20 Juni 2000
NAGASASRA dan SABUK INTEN
Karya SH Mintarja
475

PASINGSINGAN mengharap Lawa Ijo dan kawan-kawannya dapat memberinya waktu. Karena itu, waktu yang sempit ini harus dipergunakan sebaik-baiknya. Demikianlah akhirnya terdengar dari mulut Pasingsingan itu suitan nyaring, dan bersamaan dengan itu melontarlah tubuhnya seperti bayangan hantu di malam yang kelam menyerang dengan dahsyatnya.

Tak seorang pun yang mengharap dapat keluar dari pertempuran itu. Karena itu, malahan mereka menjadi tenang dan bertempur mati-matian. Kalau mungkin mereka akan membawa iblis itu hancur bersama dengan mereka. Tetapi ketika senjata-senjata mereka sekali saja bersentuhan dengan pusaka Pasingsingan, terasa tangan mereka bergetaran keras, dan perasaan sakit menjalar kesegenap tubuh mereka.

Tetapi ketika saat yang memuncak itu hampir sampai pada titik tertinggi, mereka mendengar derap orang berlari. Disusul dengan sebuah sapa yang tergesa-gesa, ”Selamat malam Pasingsingan muda, yang pernah bergelar Umbaran.”

Pasingsingan terkejut mendengar sapa itu. Apalagi ketika ia mendengar orang itu menyebut nama Umbaran. Karena itu, sedemikian terkejutnya hantu berjubah abu-abu itu terloncat mundur beberapa langkah dan dengan sikap yang menakutkan ia memutar tubuhnya ke arah suara sapa yang telah mengganggunya itu.

Kemudian tampaklah dalam kegelapan malam, seseorang tersembul dengan cepat dari balik pepohonan. Dengan langkah yang tergesa-gesa pula ia berjalan mendekat lingkaran pertempuran itu. Bersamaan dengan itu hampir setiap mulut menyebut nama orang itu dengan penuh harapan dan kegembiraan yang membersit di dalam dada mereka. Bahkan terdengar Pasingsingan bergumam di belakang topeng jeleknya, ”Mahesa Jenar.”

”Ya,” jawab orang itu. ”Hampir aku terlambat datang.”

Pasingsingan memandang Mahesa Jenar dengan seksama. Ia heran bahwa Mahesa Jenar berhasil muncul dalam waktu jauh lebih cepat dari perhitungannya. Ia mengharap Lawa Ijo setidak-tidaknya dapat menahannya, untuk waktu yang cukup baginya membunuh orang-orang yang telah menyakitkan hatinya itu. Namun agaknya Pasingsingan salah hitung.

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara bukanlah anak-anak yang dapat diberinya sekadar permainan untuk melupakan ibunya yang sedang pergi. Demikianlah, dalam perjalanan pulang, Kebo Kanigara, Mahesa Jenar dan kawannya seolah-olah telah mendapat suatu firasat yang kurang baik. Dengan kencangnya mereka memacu kuda mereka seperti anak panah. Mereka menjadi tidak tenang, serasa meninggalkan anak-anak bermain di tepi sungai. Karena itu maka yang tergores di dalam angan-angan mereka, adalah secepatnya sampai ke Candi Gedong Sanga.

Apalagi ketika mereka sampai ke lembah di hadapan daerah perkemahan mereka. Kebo Kanigara ternyata mempunyai perasaan yang tajam sekali. Ketika angin yang aneh menyentuh kulitnya, berkatalah ia bergumam seperti kepada diri sendiri, ”Alangkah sejuknya malam.”

Mahesa Jenar masih belum merasakan sesuatu yang tidak pada tempatnya, karena itu ia menjawab, ”Sejuk, bahkan terlalu sejuk. Aku kira malam musim kemarau ini dinginnya benar-benar sampai menggigit tulang.”

Kebo Kanigara menoleh kepada Mahesa Jenar. Dari wajah kawan seperjalanannya itu Kebo Kanigara dapat mengetahuinya bahwa Mahesa Jenar belum merasakan sesuatu. Namun waktu itu tidak terlalu lama. Sebab kemudian tampaklah alis Mahesa Jenar berkerut. Dan tiba-tiba dengan nanar ia memandang ke arah perkemahan anak-anak Banyubiru, meskipun yang tampak hanyalah kehitaman melulu. Namun seolah-olah ia ingin menembus hitamnya malam, dan langsung ingin mengetahui apa yang telah terjadi dibalik tabir malam yang kelam itu.

Tiba-tiba terdengar Mahesa Jenar berkata, ”Ya, alangkah sejuknya malam.”

Kebo Kanigara tersenyum. Tetapi kendali kudanya dipegangnya semakin erat. Tumitnya beberapa kali menyentuh perut kudanya, untuk mempercepat perjalanan. Mahesa Jenar pun berbuat serupa, diikuti oleh Wanamerta, Bantaran dan Penjawi yang telah menggigil kedinginan.

Bahkan terdengar Wanamerta yang tua berdesis, ”Alangkah anehnya alam. Kalau siang panasnya seperti memecahkan kepala. Kalau malam dinginnya sampai membekukan darah. Tetapi agaknya Anakmas berdua di muka itu tidak merasakan betapa tubuhku hampir membeku. Bahkan mereka mempercepat lari kuda mereka.”

”Bukankah lebih cepat lebih baik Paman?” jawab Bantaran. ”Dengan demikian kita lebih cepat sampai untuk kemudian menyalakan api sebesar-besarnya. Membakar jagung dan ketela. Alangkah nikmatnya. Meskipun aku tadi sudah mendapat suguhan makan, namun laparnya bukan main.”

Terdengar Penjawi tertawa saja. Kemudian terdengar di sela-sela suara tertawanya. ”Kakang Bantaran. Untunglah bahwa tempat nasimu tadi tidak dilubangi oleh orang-orang Pamingit, sehingga kau masih akan dapat menikmati perasaan kenyang.”

Terdengar mereka bertiga tertawa. Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar menoleh sambil tersenyum pula. Tetapi mereka sudah tidak mampunyai minat untuk turut serta berkelakar. Sebab sudah terasa oleh mereka itu, bahwa di Gedong Sanga telah terjadi sesuatu. Bahkan kemudian terdengar Mahesa Jenar berbisik, untuk tidak menggelisahkan pengikutnya. ”Apakah yang telah mempengaruhi udara malam ini Kakang?”
”Aku takut bahwa Bantaran dan Penjawi akan tertidur di atas kudanya,” jawab Kebo Kanigara.
”Sirep,” desis Mahesa Jenar.
”Ya,” jawab Kanigara singkat.

Kemudian untuk sesaat mereka terdiam. Tetapi kuda mereka berpacu lebih cepat lagi. Semakin dekat, semakin terasa pengaruh yang aneh mengalir menurut angin lembah menyentuh-nyentuh tubuh mereka. Kemudian terdengarlah sekali lagi Penjawi menguap sambil menggerutu, ”Ah, ada-ada saja. Dalam berpacu begini dapat juga aku menjadi ngantuk.”

”Kami terlalu letih,” jawab Bantaran yang mulai ngantuk pula.91

MENDENGAR pembicaraan mereka, Kebo Kanigara menjadi cemas. Maka katanya kepada Mahesa Jenar, ”Kita beritahu mereka, supaya mereka berjuang mempertahankan kesadaran mereka. Sedang Paman Wanamerta, aku kira mempunyai kemampuan yang cukup dalam tubuhnya yang telah tua dan penuh pengalaman itu.”

”Baiklah Kakang,” jawab Mahesa Jenar.

Kemudian Kebo Kanigara melambaikan tangannya dan sedikit memperlambat jalan kudanya, sehingga dalam waktu yang hanya sekejap, Bantaran, Penjawi dan Wanamerta telah menyusulnya. ”Apakah kalian ngantuk…?” tanya Kebo Kanigara.

”Ya,” jawab mereka hampir bersamaan.

”Bagus,” sahut Kebo Kanigara, ”Itu pertanda bahwa perasaan kalian cukup tajam. Sayang bahwa kalian kurang memperhatikan perasaan kalian. Apakah perasaan yang demikian itu wajar atau tidak.”

Mereka menggeleng bersama-sama. ”Nah, kalau demikian kalian berada dalam keadaan yang khusus. Kantuk sambil berkuda. Hal yang tidak pernah kalian alami selama kalian menjadi anggota laskar Banyubiru. Karena itu ketahuilah, bahwa kalian telah terkena pengaruh ilmu yang tajam.”

”Sirep,” potong mereka hampir bersamaan.

Kebo Kanigara mengangguk, katanya meneruskan, ”Ya, kalian merasakan betapa nyamannya udara malam ini. Karena itu kalian harus berusaha untuk tetap pada kesadaran kalian, bahwa kalian sedang mendapat serangan. Pertahankanlah diri kalian. Pusatkan segenap kekuatan kalian untuk melawan serangan ini. Karena itu kalian harus tetap menjaga dan meyakini keadaan ini.”

”Baiklah Tuan,” jawab Bantaran dan Penjawi bersamaan. Dengan demikian mereka mulai dengan perjuangan mereka untuk menguasai kesadaran mereka. Namun pengetahuan mereka tentang keadaan mereka pada saat itu, yaitu adanya libatan pengaruh sirep pada diri mereka, ternyata merupakan bekal yang baik di dalam usaha mereka mempertahankan diri mereka masing-masing. Wanamerta yang tua itupun tampak merenung. Agaknya iapun sedang merasakan dengan seksama keadaan dirinya.

Kemudian terdengarlah ia bergumam, ”Hem…. Untunglah Angger Kebo Kanigara cukup waskita. Memang kantukku kali ini agaknya bukan sembarang kantuk.”

Kemudian terdengar Kebo Kanigara berkata pula, ”Nah, kalau demikian akan selamatlah kalian. Sebab kalau kalian tidur sambil berkuda di jalan-jalan yang terjal dan berkelok-kelok ini, sangatlah berbahaya. Lebih berbahaya lagi kalau tiba-tiba muncul beberapa orang menghadang perjalanan ini dan melubangi tempat nasi kalian yang nyaris dilubangi oleh orang-orang Pamingit.”

Bantaran, Penjawi dan Wanamerta tertawa perlahan. Namun mereka tidak lagi mempunyai kesempatan untuk berkelakar. Mereka segera memusatkan kesadaran mereka dalam perlawanan mereka terhadap pengaruh sirep yang terasa semakin tajam. Kembali mereka berdiam diri. Udara malam terasa menjadi semakin dingin. Dari dinding bukit-bukit kecil di sekitar lembah itu terdengar gema pantulan derap kaki kuda mereka seperti ratusan kuda yang berlari-lari mengitari lembah itu. Semakin dekat mereka dengan daerah perkemahan anak-anak Banyubiru, perasaan mereka menjadi semakin tidak tenteram.

Ketika mereka sampai pada tanjakan terakhir, tiba-tiba di dalam kegelapan malam, mata Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara yang tajam itu melihat beberapa orang berdiri bertolak pinggang di tengah jalan.

Dengan demikian hati mereka berdesir. Mereka pasti bukan pasukan anak-anak Banyubiru. Karena itu segera mereka memperlambat jalan kuda mereka. Kemudian terdengarlah Kebo Kanigara berbisik, ”Mereka benar-benar menghadang perjalanan kita.”

”Aku menjadi semakin gelisah atas keselamatan anak-anak kita, Kakang,” jawab Mahesa Jenar.

”Lalu apakah yang akan kita lakukan?” tanya Kebo Kanigara. ”Aku harus secepatnya sampai di perkemahan,” sahut Mahesa Jenar. Kebo Kanigara merasakan, apa yang tersirat di dalam dada Mahesa Jenar. Ia meninggalkan dua orang yang sangat penting di dalam perbendaharaan hatinya. Yang pertama adalah Arya Salaka, sebagai beban pertanggungjawaban yang sepenuhnya berada di tangannya. Kedua adalah orang yang telah merampas hatinya. Yang bagaimanapun juga dikesampingkan, namun dalam saat-saat yang berbahaya, perasaan itu akan menjadi bertambah nyata.

Karena itu tidak ada alasan baginya untuk menahan maksud Mahesa Jenar, meskipun ia sendiri digelisahkan pula oleh satu-satunya putri yang ditinggalkan di perkemahan itu pula. Namun apabila salah seorang dari mereka berdua dapat mencapai tempat itu secepatnya, maka keadaan pasti akan dapat dikuasai, siapapun yang sedang berada di sana.

”Kalau begitu…” akhirnya Kebo Kanigara mengambil keputusan, ”Biarkan aku berjalan terus menghadapi orang-orang itu. Kau cari jalan lain untuk segera sampai ke perkemahan itu. Kita masih belum tahu siapakah yang menghadang perjalanan kita. Apakah kita memerlukan waktu sedikit atau banyak.”

”Baik Kakang,” jawab Mahesa Jenar. Kemudian dengan tidak menunggu kata-kata Kebo Kanigara lagi, Mahesa Jenar meloncat dari kudanya. Kemudian menyelinap hilang dibalik gerumbul-gerumbul di tepi jalan lembah itu, untuk kemudian dengan tergesa-gesa lewat jalan memintas langsung menuju ke perkemahan di Gedong Sanga yang sudah tidak seberapa jauh lagi. Apalagi Mahesa Jenar mengambil jalan lurus, meskipun sekali-kali harus mendaki tebing dan meloncati lubang-lubang yang banyak berserakan di sana-sini. Ia tidak mempunyai angan-angan lain pada saat itu daripada secepatnya sampai di daerah perkemahan. Meskipun demikian, ia sempat mendengarkan saat derap kuda-kuda rombongannya itu berhenti. Namun ia sama sekali tidak mempedulikan. Ia percaya bahwa Kebo Kanigara pasti akan dapat mengatasi keadaan.

Serial Bersambung 22 Juni 2000
Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta
NAGASASRA DAN SABUK INTEN
Karya SH. Mintarja No. 477

WANAMERTA, Bantaran dan Penjawi pun terkejut melihat Mahesa Jenar meloncat turun dari kudanya dan kemudian menghilang. Tetapi mereka tidak sempat bertanya ketika kemudian terdengar Kebo Kanigara berkata, ”Bawalah kudanya. Ia perlu secepatnya sampai di perkemahan kita. Bersiaplah menghadapi kemungkinan di depan kita.”

Sebelum mereka menjawab, jarak mereka dengan orang-orang yang berdiri di tengah jalan itu sudah demikian dekatnya sehingga mereka terpaksa menghentikan kuda-kuda mereka. Namun mereka masih tetap berada di atasnya. Sesaat kemudian salah seorang yang berdiri di tengah, bertubuh kekar dan berkumis tebal melangkah maju sambil berkata dengan suara yang menakutkan, ”Siapa kalian?”

”Aku Karangdjati,” jawab Kanigara perlahan-lahan.

”Hem…” dengus orang yang bertanya, yang tidak lain adalah Lawa Ijo.

”Kalian mau ke mana?”

”Kami ingin kembali ke perkemahan kami,” jawab Kanigara.

”Hem….” Sekali lagi Lawa Ijo mendengus.

”Dari manakah kalian?” Sampai pertanyaan itu, Kebo Kanigara merasa bahwa orang yang berdiri menghadangnya itu ingin memperpanjang waktu dengan mengajukan berbagai pertanyaan. Karena itu ia segera mencoba mempersingkat pembicaraan. ”Aku datang dari Banyubiru. Kau tidak usah menanyakan keperluanku. Dan kau tidak usah mengurus hal-hal di luar kepentinganmu. Nah sekarang katakan kepadaku siapa kau ini?”

Lawa Ijo tertawa, jawabnya, ”Jarang-jarang aku menemui pertanyaan serupa itu, sebab hampir setiap orang mengenal aku. Akulah yang dinamai Lawa Ijo dari Alas Mentaok.”

”Ooo….” sahut Kanigara. Sekarang ia dapat mengukur kekuatan lawannya, sebab ia telah mendengar kekuatan hantu Alas Mentaok ini.

Tetapi agaknya Lawa Ijo masih saja ingin bertanya-tanya. Apalagi ketika ia tidak melihat Mahesa Jenar diantara orang-orang rombongan berkuda itu. ”Berapa orang kalian semuanya?”

”Empat,” jawab Kanigara mulai jengkel.

”Tetapi jumlah kuda kalian adalah lima. Di mana yang seorang?” tanya Lawa Ijo pula.

Kanigara sudah tidak mau melayani pertanyaan-pertanyaan yang menjemukan itu lagi. Ia ingin cepat-cepat lewat dan menemui putrinya. Kalau-kalau ia mengalami sesuatu. Karena itu Kanigara berkata lantang, ”Minggirlah Lawa Ijo, supaya aku bisa lewat, atau supaya kamu tidak terinjak oleh kaki kuda-kuda kami.”

Lawa Ijo adalah seorang kepala gerombolan yang ditakuti oleh penduduk di sekitar Alas Mentaok. Bahkan namanya tersiar sampai ke daerah-daerah yang jauh. Karena itu ketika ia mendengar seorang yang takut terinjak seakan-akan menganggapnya tidak lebih dari seorang yang takut oleh kaki-kaki kuda, ia menjadi marah. Apalagi orang yang duduk di atas punggung kuda dan memandangnya dengan berani itu bukanlah orang yang pernah menggemparkan karena kesaktiannya. Kalau semula ia agak cemas terhadap Mahesa Jenar setelah mengetahui tingkat ilmu Arya Salaka, muridnya, maka kemudian ia menjadi berlega hati ketika Mahesa Jenar tidak ada di dalam rombongan itu. Meskipun ia mulai bertanya, ketika diketahuinya bahwa seekor kuda dari rombongan itu ternyata tidak berpenumpang.

Maka dengan marah ia menjawab dengan kasarnya, ”Karangjati, kau harus belajar menilai seseorang. Aku minta kau turun dari kudamu untuk menghormati kehadiranku di sini. Kemudian kau harus berkata sejujur-jujurnya, di mana Mahesa Jenar sekarang berada. Sesudah itu baru aku dapat memberi keputusan apakah kau akan diijinkan meneruskan perjalanan ke perkemahan orang-orang Banyubiru, atau kau terpaksa kembali ke Banyubiru.”

Kanigara semakin tidak senang melihat sikap itu. Sebenarnya ia tidak perlu marah kepada Lawa Ijo, sebab ia tahu benar bahwa demikianlah sifat-sifat yang pada umumnya dimiliki oleh orang-orang dari kalangan hitam.

Tetapi kali ini Kanigara tergesa-gesa benar. Karena itu ia merasa terganggu. Sehingga dengan tajamnya ia menjawab, ”Lawa Ijo, aku sedang tergesa-gesa. Kau pasti tahu apa sebabnya. Dan kau tidak usah menyembunyikan diri, bahwa kau sengaja menghalangi perjalananku dan menurut dugaanmu Mahesa Jenar akan lambat datang ke perkemahan. Tetapi dengan demikian aku menjadi semakin yakin, bahwa kau pasti telah berbuat kejahatan terhadap anak-anak Banyubiru. Udara yang mengandung pengaruh sirep ini telah mengabarkan kepadaku sejak tadi bahwa ada sesuatu yang kurang pada tempatnya.”

Dada Lawa Ijo berdesir mendengar kata Kebo Kanigara yang menebak dengan tepat apa yang sedang terjadi. Karena itu ia merasa tidak perlu untuk memutar-mutar pembicaraan lagi, bahkan ia mengharap agar orang yang menamakan diri Karangjati itu menjadi gelisah dan kecemasan. Katanya, ”Kau benar. Ternyata otakmu terang seperti bintang-bintang di langit itu. Karena itu seharusnya kau juga mengerti bahwa orang-orang Banyubiru dan orang-orang yang datang bersama Mahesa Jenar telah habis terbunuh. Karena itu maka sekarang datang giliran padamu dan orang-orang yang datang bersertamu itu.”

Kanigara mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak yakin bahwa kata-kata Lawa Ijo itu benar-benar telah terjadi. Sebab dengan demikian tidak perlu agaknya bagi Lawa Ijo untuk mencegatnya di perjalanan, meskipun tinggal beberapa langkah dari perkemahan. Kalau apa yang dikatakan Lawa Ijo itu benar-benar telah terjadi, maka pasti Lawa Ijo akan membiarkan mereka itu sampai di perkemahan dan membunuhnya di sana pula, atau sama sekali membiarkan hidup apabila mereka merasa tidak mampu untuk melawan.

Serial Bersambung 23 Juni 2000
Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta
NAGASASRA DAN SABUK INTEN
Karya SH. Mintarja No. 478

KANIGARA menjawab, ”Jangan membual Lawa Ijo. Apa gunanya kau mempersulit dirimu menghadang kami di tengah jalan…? Kenapa tidak kau tunggu saja kami di perkemahan? Tetapi dengan kehadiranmu di sini, aku menduga bahwa ada orang lain yang sedang melakukan tugasnya di perkemahan. Katakan siapakah dia. Gurumu yang bergelar Pasingsingan barangkali…?”

Sekali lagi dada Lawa Ijo berdesir cepat. Orang itu benar-benar berotak cerah seperti apa yang dikatakan. Namun demikian ia merasa bahwa dirinya adalah orang yang sukar dicari bandingannya.

Dengan demikian sambil membusungkan dada ia berkata, ”Sekali lagi aku membenarkan kata-katamu. Guruku berada di sana dan saat ini sedang membinasakan semua orang yang ditemuinya.”

Kanigara tidak membuang waktu lagi. Tanpa diduga oleh Lawa Ijo, Kanigara menarik kekang kudanya dan memukul perut kuda itu dengan tumitnya. Dengan terkejut kudanya meloncat maju. Melihat kuda itu seperti akan menerkamnya, Lawa Ijo pun terkejut. Namun ia benar-benar tidak mau terinjak oleh kaki kuda itu. Dengan cepatnya ia memutar tubuhnya sambil meloncat ke samping. Dengan mengumpat sejadi-jadinya ia menerjang Kebo Kanigara.

Ternyata Kebo Kanigara memiliki kelincahan jauh di luar dugaan Lawa Ijo. Ketika ia menerjang dengan garangnya, tiba-tiba terasa pergelangan tangannya tertangkap dengan kuatnya. Bahkan beberapa saat ia tergantung-gantung dibawa oleh derap kuda Kebo Kanigara untuk kemudian terbanting dengan kerasnya di padas tepi jalan itu. Untunglah bahwa tubuh Lawa Ijo benar-benar keras seperti batu.

Meskipun sakitnya bukan main, namun ia masih dapat meloncat untuk kemudian berdiri. Ketika ia sudah tegak berdiri, ia melihat anak buahnya mencoba untuk menyerang Kebo Kanigara dan kawan-kawannya. Tetapi apakah yang dapat mereka lakukan, hanyalah seperti sebuah permainan anak-anak yang sama sekali tidak menarik. Lawa Ijo melihat, kuda Kebo Kanigara membalik sekali, dan menyambar beberapa orang sekaligus. Sedang Bantaran, Penjawi dan Wanamertapun telah melawan penyerang-penyerangnya dari atas kuda mereka. Tetapi yang paling mengerikan adalah gerak kuda Kebo Kanigara. Seperti seekor elang yang gagah melayang-layang dengan derasnya menyambar mangsanya.

Lawa Ijo benar-benar ngeri melihatnya. ”Gila,” gumamnya, ”Siapakah orang ini?”

Tetapi ia tidak mau berdiam diri. Dengan sebuah teriakan nyaring melontarlah dari kedua belah tangannya, dua benda yang berkilat-kilat seperti tatit melayang ke arah Kebo Kanigara. Demikian cepatnya kedua pisau belati panjang itu, sehingga kecepatan mata hampir tak mampu mengikutinya.

Demikianlah Lawa Ijo memang memiliki keahlian untuk menyerang dengan pisau dari jarak jauh. Tetapi sasaran Lawa Ijo kali ini adalah Kebo Kanigara. Karena itu meskipun pisau Lawa Ijo itu dengan cepatnya menyambar satu kearah kepalanya, sedang yang lain ke arah perutnya, namun Kanigara masih juga mampu menghindari. Mula-mula ia membungkuk lekat dengan punggung kudanya, kemudian untuk menghindari sambaran pisau yang mengarah keperutnya, ia memutar tubuhnya melekat ke bagian sisi punggung kuda itu, sehingga dengan demikian pisau Lawa Ijo berlari tidak lebih dari secengkang di atasnya.

Kali ini dada Lawa Ijo benar-benar seperti diguncang-guncang melihat keterampilan Kebo Kanigara.

Tidak saja kekuatannya yang maha besar, yang telah dirasakannya pada saat pergelangannya ditangkap. Namun ternyata orang itu ahli pula mengendarakan kuda. Karena itu, ia merasa bahwa usahanya menghalang-halangi orang itu pasti akan sia-sia. Tetapi dengan demikian setidak-tidaknya ia sudah berhasil memperpanjang waktu, meskipun hanya sebentar. Karena itu ketika ia melihat kuda Kebo Kanigara itu sekali lagi berputar ke arahnya, cepat-cepat ia meloncat ke dalam gerumbul di tepi jalan dengan suatu suitan nyaring. Bersamaan dengan itu anak buahnya pun segera berloncatan meninggalkan gelanggang seperti anak ayam yang bersembunyi melihat di udara ada seekor elang.

Kebo Kanigara tidak mau membuang waktu lagi. Cepat-cepat ia memutar kudanya, dan dengan cepat pula ia mengajak kawan-kawannya menuju ke perkemahan. ”Ayolah kita tinggalkan tempat celaka ini. Tidak ada waktu untuk mengurusi Lawa Ijo. Mudah-mudahan Mahesa Jenar tidak terlambat sampai.”

Setelah itu, maka kembali mereka berpacu. Meskipun jarak lurus ke perkemahan itu tidak jauh lagi, namun mereka terpaksa melingkar-lingkar menuruti jalan yang dapat mereka tempuh dengan kuda-kuda mereka. Kembali terdengar deru kaki kuda memenuhi lembah, memukul-mukul lambung bukit untuk kemudian dilontarkan kembali seakan-akan beratus-ratus ekor kuda berderap bersama di sekitar lembah itu.

Sementara itu, di perkemahan, Mahesa Jenar telah berdiri diantara mereka yang sedang berjuang melawan Pasingsingan. Pada saat itu, meskipun mata Pasingsingan tidak jelas tampak karena terbalut oleh topeng kasarnya, namun terasa betapa tajamnya ia memandang Mahesa Jenar dari ujung kakinya sampai ke ujung ikat kepalanya. Sebenarnya bagi Pasingsingan, yang menilai Mahesa Jenar seperti beberapa tahun yang lalu, tidak demikian terpengaruh atas kehadirannya. Pasingsingan merasa bahwa sekalipun dengan Mahesa Jenar, pekerjaannya tidak akan bertambah berat, meskipun ia mempertimbangkan juga kemungkinan lain, karena anak muda, murid Mahesa Jenar itu.

Tetapi bagaimanapun juga, Pasingsingan masih menganggap orang itu termasuk dalam gerombolan kelinci-kelinci yang tak tahu diri. Tetapi yang mengejutkan Pasingsingan, adalah sapa yang telah diucapkan oleh Mahesa Jenar itu. Dari mana dia mendengar bahwa yang ada sekarang adalah Pasingsingan muda, yang pernah bernama Umbaran. Karena itu dengan kemarahan yang masih menyala-nyala di dalam dadanya terdengar suaranya yang berat, ”Mahesa Jenar, kalau aku tidak salah dengar, adakah kau tadi menyebut Pasingsingan muda yang pernah bernama Umbaran?”

”Ya,” jawab Mahesa Jenar singkat. ”Hem…” geram Pasingsingan, kemudian ia bertanya, ”Siapakah yang kau maksud dengan nama itu?”

Serial Bersambung 23 Juni 2000
Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta
NAGASASRA DAN SABUK INTEN
Karya SH. Mintarja No. 479

MENDENGAR pertanyaan itu Mahesa Jenar tertawa. Sekarang ia sudah tidak lagi gelisah, justru setelah ia berdiri berhadapan dengan Pasingsingan, diantara orang-orang yang namanya tergores hatinya. Ia tidak tergesa-gesa menjawab pertanyaan Pasingsingan itu, tetapi sekali lagi ia meyakinkan, apakah orang orang di perkemahan itu masih lengkap. Ketika sekali lagi matanya menyambar Arja Salaka, Wilis, kemudian Endang Widuri dan seterusnya Mantingan, Wirasaba dan Jaladri, hatinya menjadi semakin tenang. Ia merasa bahwa kehadirannya tidak terlambat. Kalau orang-orang itu masih lengkap, maka pasti Pasingsingan belum berhasil berbuat sesuatu atas orang-orang Banyubiru.

Melihat sikap Mahesa Jenar itu Pasingsingan menjadi semakin marah. Dengan membentak ia mengulangi pertanyaan sekali lagi, ”Mahesa Jenar, siapakah yang kau maksud dengan nama-nama itu?”

Sekali lagi Mahesa Jenar tertawa, jawabnya, ”Tuan, aku pernah berdiri di hadapan Tuan beberapa tahun yang lalu di alun-alun Banyubiru bersama-sama dengan Kakang Gajah Sora dan bersama-sama dengan seorang sebaya dengan Tuan, yaitu Ki Ageng Pandan Alas. Pada saat itu aku mendengar betapa orang tua itu meragukan sahabat lamanya yang bernama Pasingsingan. Pernahkah Tuan mendengar ceritanya itu?”

”Hem…” Sekali lagi Pasingsingan menggeram. Tetapi ia masih mencoba menahan diri. Ia ingin mendengar dari mana Mahesa Jenar mengetahui dan kemudian membuat sebutan Pasingsingan muda. Karena keinginannya untuk mengetahui itulah kemudian ia bertanya lebih lanjut, ”Adakah ceritanya itu menarik?”

”Entahlah,” jawab Mahesa Jenar. ”Tetapi ceritanya itu ada sangkut pautnya dengan nama yang Tuan tanyakan itu.”

”Ceritanya harus dimulai dari ujungnya,” jawab Mahesa Jenar.

”Pasingsingan sehabat Pandan Alas itu ternyata pelupa. ia tidak ingat lagi, kapan dan bagaimana ia mula-mula bertemu dengan Ki Ageng Pandan Alas.”

”Aku peringatkan sekali lagi Mahesa Jenar. Jangan mengigau. Dan ingatlah dengan siapa kau berhadapan,” potong Pasingsingan semakin marah.

”Jangan marah Tuan,” sahut Mahesa Jenar, ”Bukankah Tuan ingin mengetahui siapakah yang aku maksud dengan Pasingsingan muda yang bernama Umbaran itu? Nah, dengarkan kelanjutan cerita itu. Setelah aku bertemu dengan Tuan beberapa tahun lalu di alun-alun Banyubiru itu, aku bertemu pula, yang aku sangka adalah Tuan. Tetapi aku keliru. Orang yang aku sangka Tuan itu, belum pernah bertemu dengan aku sebelumnya. Bahkan ia sama sekali tidak bersikap memusuhi aku seperti Tuan. Dan orang itu juga bernama Pasingsingan.”

”Bohong!” teriak Pasingsingan tiba-tiba.

”Dengar dahulu Tuan…” Mahesa Jenar melanjutkan tanpa memperdulikan teriakan Pasingsingan.

”Aku benar bertemu dengan Pasingsingan satu lagi.” Pasingsingan masih berusaha menahan dirinya. Ia ingin mendengar di manakah Mahesa Jenar bertemu dengan Pasingsingan yang satu itu.

Kemudian terdengarlah Mahesa Jenar meneruskan, ”Apakah Tuan tidak percaya?- ”

“Hem….” Pasingsingan tidak menjawab, tetapi yang mendengar hanyalah dengusnya yang bernada rendah.

”Pasingsingan itu aku temui di Pudak Pungkuran,” sambung Mahesa Jenar. Pasingsingan masih berdiam diri.

”Bahkan di sana ada tidak hanya satu Pasingsingan. Tetapi tiga,” Mahesa Jenar meneruskan.

”Tiga…?” ulang Pasingsingan hampir berteriak. Tetapi kemarahannya sudah menggelegak sampai di kepalanya. Ia merasa seolah-olah Mahesa Jenar hanya mau mempermainkan dirinya, atau memperpanjang waktu untuk menanti kawan-kawannya yang masih berada di perjalanan. Sebab Pasingsingan yang cerdik itupun segera mengetahui, bahwa Mahesa Jenar pasti pergi mendahului rombongan yang dicegat Lawa Ijo di perjalanan.

Karena itu dengan marahnya ia menggeram, ”Nah, sekarang aku tidak mau mendengar lagi. Bersiaplah dan bertempurlah bersama-sama. Umur kalian tidak akan lebih daripada saat bintang waluku mencapai ujung cemara itu.”

Tetapi Mahesa Jenar seperti tidak mendengar kata-kata Pasingsingan itu dan berkata terus, ”Dua orang Pasingsingan sebaya dengan Tuan, sedang yang seorang lagi agaknya telah lebih tua, meskipun masih tampak segar. Dari mereka aku mendengar bahwa selain dari tiga Pasingsingan itu masih ada satu lagi yang memisahkan diri dari pergaulan antar Pasingsingan itu. Orang yang memisahkan diri itulah Pasingsingan yang paling muda dan bernama Umbaran.”

Pasingsingan yang sudah siap untuk meloncat menyerang mereka dengan pisau belatinya yang bernama Kyai Suluh itu menjadi urung. Dadanya yang terbakar oleh kemarahannya itu menjadi berdebar-debar. Dengan penuh kecurigaan ia bertanya menyelidiki, ”Siapa itu…?” Suara itu cukup garang, namun terasa betapa ia menjadi cemas oleh kata-kata itu. ”Adakah mereka hanya mengaku diri?” sahut Mahesa Jenar pura-pura.

”Tentu,” Pasingsingan menegaskan, ”Tak ada duanya di dunia ini. Pasingsingan hanyalah seorang. Dan akulah satu-satunya Pasingsingan itu.”

Serial Bersambung 25 Juni 2000
Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta
NAGASASRA DAN SABUK INTEN
Karya SH. Mintarja No. 480

MAHESA JENAR tertawa pendek. Katanya, ”Ternyata Tuan yang menamakan diri Pasingsingan itu, tidak mempunyai banyak pengertian tentang nama Tuan. Agaknya pengertianku tentang Pasingsingan justru lebih banyak dari Tuan. Aku pernah mendengar seorang jujur setia, yang mengantar perjalanan Prabu Brawijaya Pamungkas, ya Pasingsingan. Aku kenal seorang sakti yang bertapa mengasingkan diri, yang juga bernama Pasingsingan. Aku kenal ketiga-tiga muridnya, yang kemudian berebut gelar itu. Namanya Radite, Anggara dan yang satu Umbaran.”

Terdengar Pasingsingan menggeretakkan giginya. Namun Mahesa Jenar berkata terus, ”Sayang bahwa Pasingsingan yang sekarang memiliki tanda-tanda kekhususannya adalah Pasingsingan yang sebenarnya tidak berhak atasnya.”

Pasingsingan sudah tidak dapat menguasai dirinya lagi. Dengan penuh kemarahan sekali lagi ia berteriak, ”Tutup mulutmu, dan matilah bersama-sama dengan orang-orangmu yang tak tahu diri.”

Ketika Pasingsingan sudah melangkah setapak maju, Mahesa Jenar pun melangkah maju. Mantingan, Wirasaba, Wilis, Arya Salaka, Endang Widuri dan Jaladri ternyata telah bergerak pula. Tetapi dengan isyarat Mahesa Jenar mencegah mereka. Kemudian terdengar ia berkata, ”Apakah untung kami untuk bertempur bersama-sama, Pasingsingan…? Aku kira lebih baik apabila kita menunjukkan kejantanan diri. Biarlah siapa diantara kita yang sudah puas mengenyam pahit asin penghidupan ini mencoba mempertaruhkan diri. Kalau kau menang atasku, biarlah kau dapat menikmati kemenanganmu, dan kalau sebaliknya, biarlah aku dapat menikmati kemenanganku sebagai hasil dari sikap jantan.”

Mantingan menjadi cemas mendengar kata Mahesa Jenar itu, sehingga tanpa sesadarnya terloncatlah dari mulutnya, ”Adi Mahesa Jenar, bukankah yang berdiri di hadapan kita ini Pasingsingan, guru Lawa Ijo?”

Mahesa Jenar tahu sepenuhnya, apa yang bergolak di dalam dada Mantingan. Mantingan masih menilai dirinya seperti masa terakhir mereka bertemu, pada saat mereka berlima bertempur melawan tokoh tokoh gerombolan hitam di Rawa Pening. Tetapi ia tidak sempat memberinya penjelasan, karena kemudian Pasingsingan juga menganggap kesombongan Mahesa Jenar. ”Mula-mula aku ingin membunuh kalian dengan senjataku ini, supaya kalian tidak tersiksa pada saat terakhir, tetapi karena kesombonganmu, aku ingin melihat kau menderita pada saat terakhir itu. Aku akan membunuhmu dengan tanganku. Akan aku patahkan anggota badanmu satu demi satu. Aku ingin melihat kau kesakitan dan berteriak-tariak minta ampun.”

Semua yang mendengar ancaman itu, tegaklah bulu roma mereka. Cara paling keji telah dirancangnya oleh Pasingsingan. Tetapi mereka tidak berani melanggar larangan Mahesa Jenar, sebab dengan demikian, mereka akan dapat menyinggung perasaannya. Tetapi bagaimanapun juga, mereka tetap siap dengan senjata mereka, sebab kalau benar-benar Pasingsingan akan melakukan ancamannya itu, tidak mungkin bagi mereka, untuk membiarkan hal itu terjadi.

Sesaat kemudian Pasingsingan, yang ingin membunuh Mahesa Jenar dengan tangannya itu menyarungkan pisau belatinya. Dan kemudian dengan sikap yang mengerikan ia perlahan-lahan mendekati Mahesa Jenar yang berdiri tegak seperti sebuah batu karang yang kokoh kuat, tak tergoyahkan oleh badai dan arus oleh deru gelombang. Pasingsingan heran juga melihat sikap dan ketenangan Mahesa Jenar. Tetapi di matanya, Mahesa Jenar tidak lebih dari seorang anak-anak yang besar kepala. Karena itu, ketika ia sudah berdiri selangkah di hadapan Mahesa Jenar yang belum beranjak dari tempatnya, menyerangnya dengan acuh tak acuh saja. Sebuah pukulan diarahkan ke wajah Mehasa Jenar.

Tetapi meskipun dalam sikap acuh tak acuh, namun gerakan Pasingsingan itu cukup menggoncangkan dada mereka yang melihatnya. Mahesa Jenar pun mengetahui, bahwa Pasingsingan memukulnya dengan acuh tak acuh. Tetapi ia tahu pula bahwa tangan Pasingsingan itu seolah-olah mengandung bisa yang sangat berbahaya. Karena itu, ia tidak mau dikenai oleh pukulan itu. Bahkan kemudian ia mengharap agar Pasingsingan menjadi marah, dan bertempur sepenuh tenaganya. Ia mengharap, bahwa dengan ilmu yang telah didalami sampai ke intinya itu, ia akan dapat setidak-tidaknya mengimbangi kekuatan Pasingsingan.

Karena itu, ketika Pasingsingan memukulnya dengan sikap acuh tak acuh, maka dengan sikap acuh tak acuh pula Mahesa Jenar menghindari pukulan itu. Bahkan seperti orang yang menggeliat sehabis bangun tidur, tanpa mengubah letak kakinya. Namun karena demikian, sambaran tangan Pasingsingan itu hampir hampir saja menyentuh kulitnya, bahkan sambaran anginnya serasa betapa kerasnya pukulan yang demikian saja dilontarkan.

Semua yang menyaksikan peristiwa itu, hatinya berdesir copot. Mula-mula dada mereka menjadi tegang, seolah-olah tak sempat untuk menarik nafas. Tetapi kemudian mereka heran melihat sikap Mahesa Jenar. Kenapa ia sedemikian beraninya bersikap acuh tak acuh saja. Namun yang mereka saksikan, adalah pukulan Pasingsingan itu benar-benar tidak mengenainya.

Yang paling heran dari semuanya adalah Pasingsingan sendiri. Seolah-olah ia tidak percaya pada penglihatan matanya, bahwa Mahesa Jenar dapat menghindari pukulannya hanya dengan menggeliat saja. Namun ternyata hal itu benar-benar telah terjadi. Karena itu marahnya sampai ke ujung ubun-ubunnya. Sekali lagi, ia merasa direndahkan oleh orang yang baginya sama sekali tak berarti.

Namun, Pasingsingan tidak segera mengulangi serangannya. Bahkan kemudian ia berdiri saja tertolak pinggang. Untuk kemudian memperdengarkan suara tertawanya. Suara tertawa yang mengerikan, dilontarkan dengan lembaran ilmu Gelap Ngampar. Suaranya menggetarkan seolah-olah menggoncangkan dunia, menggetarkan setiap dada orang yang mendengarkannya. Suara itu terdengar nyaring bahkan merontokkan daun-daun yang tidak sanggup lagi berpegangan lebih erat lagi pada dahannya.

SEMUA orang yang mendengar suara tertawa itu terkejut. Segera mereka berloncatan mundur, untuk mengurangi tekanan udara yang seperti akan membelah dada mereka. Dengan penuh tenaga dan pemusatan kekuatan batin segera mereka berjuang melawan ilmu Gelap Ngampar itu.

Demikian dahsyatnya ilmu itu, sehingga mereka yang mendengarnya menjadi mengigil seluruh tubuhnya.

Perlahan-lahan terasa darahnya seolah-olah membeku, dan segenap tulang-tulangnya terlepas dari sendi-sendinya. Yang mula-mula sekali tidak kuat melawan pengaruh tertawa itu adalah Jaladri. Seperti orang kehilangan segenap tenaganya ia jatuh tertunduk. Canggahnya terlepas dari tangannya, yang kemudian dengan sekuat-kuat sisa tenaganya ditekankannya tangan itu ke dadanya, seolah-olah untuk menjaga agar isi dadanya itu tidak rontok.

Wirasaba pun telah menggigil dengan kerasnya. Ia masih mencoba bertahan pada tangkai kapaknya.

Demikian pula yang lain, semakin lama menjadi semakin kehilangan tenaga.

Mahesa Jenar pun merasakan akibat dari Gelap Ngampar itu. Ia pernah mengalami serangan serupa, beberapa tahun lalu di alun-alun Banyubiru. Untunglah bahwa pada saat itu hadir Ki Ageng Pandan Alas yang dapat melawan Gelap Ngampar itu dengan suara tembangnya, yang sebenarnya berlandaskan pada ilmu yang dinamai Sapu Angin.

Tetapi bagi Mahesa Jenar, akibat dari serangan Gelap Ngampar itu kini terasa berbeda sekali dengan serangan yang dialaminya lima tahun yang lampau. Suara tertawa itu kini tidak demikian berpengaruh pada dirinya, seolah-olah dadanya sudah berlapis baja, akibat dari perjuangannya, menguasai diri, bahkan ia telah berhasil meragakan sukma di dalam gua di Karang Tumaritis.

Akibat daripadanya ternyata dahsyat sekali. Kecuali ia telah berhasil menemukan inti dari ilmu perguruan Pengging, lahir-batinnya juga sudah tertempa kuat sekali. Bahkan Mahesa Jenar telah menemukan kekuatan-kekuatan yang tak pernah dikenalnya di dalam tubuhnya. Kekuatan yang melampaui kekuatan manusia biasa. Yang tak dapat diketemukan dalam pengamatan wajar dari seorang ahli sekalipun, karena kekuatan kekuatan itu langsung diterima dari sumbernya.

Inilah ciri adanya kekuasaan yang tak kasatmata. Kekuasaan dari Yang Mahasa Kuasa. Sehingga karena itu pulalah maka peristiwa-peristiwa di dunia ini betapapun dirancang oleh manusia dengan cermatnya, sebagaimana kewajiban manusia adalah berusaha, namun akhirnya penentuannya adalah di tangan Yang Maha Kuasa. Dengan demikian, maka Mahesa Jenar sama sekali tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh ilmu Gelap Ngampar itu.

Tetapi ketika ia menoleh kepada kawan-kawannya ia menjadi terkejut sekail. Dadanya berguncang cepat. Sebab ia melihat hampir tak seorangpun dapat bertahan. Mereka telah hampir kehilangan kekuatan masing-masing sebagai akibat dari tekanan ilmu Gelap Ngampar yang langsung mempengaruhi urat syaraf mereka.

Karena itu Mahesa Jenar menjadi bingung. Ia tidak memiliki ilmu seperti yang dimiliki oleh Pandan Alas.

Meskipun daya tahannya sendiri barangkali tidak kalah dengan daya tahan Pandan Alas, namun untuk membantu orang lain, melenyapkan pengaruh Gelap Ngampar itu adalah sulit baginya. Dalam pada itu teringat pula olehnya, pengasuh yang serupa di Pulau Hantu di Laut Kuning. Menurut pendengaran Mahesa Jenar, di Pulau Hantu itu sering juga terdengar suara yang tertawa demikian mengerikan sehingga kadang-kadang para pelaut yang membawa kapalnya lewat di dekat pulau itu dapat menjadi gila. Kehilangan tenaga dan akal. Ada yang bahkan menjadi lemas dan mati.

Yang lebih mengerikan lagi ada diantara mereka menjadi saling berkelahi dan saling membunuh. Untuk sementara Mahesa Jenar tidak tahu bagaimana dapat menolong kawan-kawannya dari serangan yang aneh itu. Tetapi kemudian ia menemukan suatu cara yang mungkin dapat dilakukan. Kalau sumber suara tertawa itu dapat dihentikan, ia mengharap pengaruhnya pun akan lenyap sebelum sampai ke puncaknya.

Dengan demikian maka segera ia berdiri, dan dengan sigapnya ia melontarkan dirinya langsung menerjang dada Pasingsingan yang terbuka. Pasingsingan terkejut melihat serangan itu. Sejak semula ia sudah heran melihat Mahesa Jenar dapat mempertahankan dirinya dari serangan Gelap Ngampar, meskipun ia telah memperketat serangan itu. Bahkan kemudian Mahesa Jenar dengan derasnya menyerang dadanya. Meskipun demikian, serangan Mahesa Jenar itu bagi Pasingsingan hanya dapat menambah kemerahannya saja. Ia menganggap bahwa perbuatan itu adalah perbuatan bunuh diri.

Karena itu dengan tetap melancarkan serangan Gelap Ngampar, Pasingsingan menyilangkan tangannya di muka dadanya untuk menangkis serangan Mehasa Jenar. Tetapi ketika kemudian terjadi benturan antara serangan Mahesa Jenar dengan pertahanan Pasingsingan, terbukalah mata hantu berjubah abu-abu itu, bahwa lawannya bukanlah termasuk dalam gerombolan kelinci yang tidak tahu diri. Kerena Pasingsingan tidak mempergunakan segenap kekuatannya, maka dalam benturan itu ia telah terdorong surut beberapa langkah. Sedang Mahesa Jenar sendiri, terpental selangkah mundur.

Peristiwa yang tak terduga-duga itu telah menggoncangkan dada Pasingsingan. Heran, marah, dendam, bercampur baur melingkar-lingkar di dalam dadanya. Dalam pada itu, karena benturan yang tak terduga-duga itu, terputuslah suara tertawanya. Ia terpaksa mengerahkan segenap tenaganya untuk menjaga keseimbangan tubuhnya yang hampir-hampir saja terdorong jatuh. Tetapi kemudian dengan sigapnya Pasingsingan pun telah berhasil menguasai keseimbangannya kembali. Seperti sebatang pohon raksasa ia kemudian berdiri tegak. Giginya gemeretak, dadanya mengombak seperti akan meledak.

Sekali lagi matanya yang tersembunyi di belakang lubang topengnya itu memandang Mahesa Jenar dengan tajamnya. Kekuatan apakah yang telah membantunya, sehingga ia mampu melawan aji Gelap Ngampar dan sekaligus memberinya tenaga yang luar biasa besarnya..?

Serial Bersambung 27 Juni 2000
Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta
NAGASASRA DAN SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 482

HANYA dalam waktu kira-kira lima tahun saja, sejak pertemuan mereka di Rawa Pening, kemampuan Mahesa Jenar telah sedemikian jauh menanjak. Pada saat itu, Mahesa Jenar berlima, melawan Pasingsingan dan Sima Rodra tua berdua, seolah-olah merupakan lima ekor tikus sakit-sakitan melawan dua ekor kuncing yang garang. Sekarang tiba-tiba salah seekor tikus itu telah berubah menjadi serigala, yang sedang menerkam salah seekor kucing yang garang itu.

Tetapi Pasingsingan adalah seorang yang telah kenyang makan garam sehingga segera dapat mengendalikan dirinya. Kini ia benar-benar menghadapi keadaan yang cukup berbahaya. Dengan benturan yang terjadi, Pasingsingan segera dapat mengetahui, bahwa Mahesa Jenar benar-benar memiliki bekal yang cukup untuk merasa dapat melawannya. Tetapi yang masih perlu diuji, apakah Mahesa Jenar dapat mempergunakan kekuatannya itu untuk melawan ketangkasan, ketangguhan dan kelincahan hantu bertopeng itu.

Karena itu, setelah beberapa lama Pasingsingan berdiri tegak mengawasi Mahesa Jenar, terdengarlah suaranya menggeram, “Mahesa Jenar, agaknya kau telah mendapat tenaga dari hantu penjaga Rawa Pening itu. Dan karena itulah kau merasa mampu untuk bertempur seorang lawan seorang dengan Pasingsingan. Setelah kau membual dengan ceritera tentang Pasingsingan yang berbelit-belit itu, sekarang kau benar-benar ingin mengadu tenaga. Mengadu liatnya kulit, kerasnya tulang. Tetapi kau jangan merasa gembira, karena kau berhasil mendorong aku mundur beberapa langkah. Tetapi kini aku akan maju lagi, dan tak seorangpun dapat mencegahnya.”

Mahesa Jenar kini melihat, bahwa Pasingsingan telah memutuskan untuk bertempur dengan sepenuh tenaganya. Karena itu iapun segera bersiap. Dengan penuh kewaspadaan Mahesa Jenar mengikuti setiap gerakan Pasingsingan, meskipun sepintas lalu ia masih sempat untuk mengerling kepada kawan-kawannya. Ternyata, ketika serangan Gelap Ngampar itu terputus sebelum sampai ke puncaknya, pengaruhnyapun terputus pula. Dengan demikian, meskipun perlahan-lahan, namun mereka yang dikenai oleh aji itupun terbebas pula. Mantingan, Wilis, Arya, Widuri, Wirasaba dan bahkan Jaladri, perlahan-lahan dapat menemukan kesadaran serta kekuatan mereka kembali. Mereka kini sudah tidak menggigil lagi, meskipun terasa dada mereka masih bergetar dan jantung mereka masih berdegupan.

Mantingan, Wilis Arya, Widuri dan Wirasaba telah mulai dapat melihat apa yang telah terjadi di hadapan mereka. Mereka mulai bertanya-tanya, apakah yang akan terjadi seterusnya. Yang paling cemas diantara mereka adalah Mantingan. Meskipun tangannya masih gemetar, namun ia telah mencoba menggenggam trisulanya erat-erat.

Sementara itu Pasingsinganpun telah bersiap sepenuhnya. Dengan menggeram ia melompat menyerang Mahesa Jenar. Tidak dengan sikap acuh tak acuh, tetapi kini ia benar-benar bertempur untuk segera dapat membinasakan lawannya. Namun Mahesa Jenar pun telah bersiap. Ia telah mengalami, meskipun mulanya tidak bersungguh-sungguh, namun akhirnya ia harus berjuang sekuat-kuatnya, pada saat ia harus bertempur melawan Anggara. Meskipun perkembangan ilmunya kemudian berbeda, namun Anggara dan Umbaran telah menghisap ilmunya dari sumber yang sama. Sehingga dengan demikian, masih nampak juga persamaannya, apabila salah seorang dari mereka itu tidak sengaja untuk menyembunyikan diri dalam gerak-gerak lain yang diciptakannya kemudian.

Demikianlah maka sesaat kemudian berkobarlah perang tanding yang maha dahsyat. Pasingsingan yang telah menggemparkan tlatah Demak dengan perbuatan-perbuatannya yang mengerikan, baik yang dilakukannya sendiri maupun yang dilakukan oleh muridnya, melawan seorang yang telah berhasil menekuni ilmunya sampai ke intinya. Meskipun Pasingsingan jauh lebih dahulu dari Mahesa Jenar, namun ternyata dengan satu loncatan, Mahesa Jenar telah berhasil menjusulnya. Serangan-serangan Mahesa Jenar ternyata sama sekali tidak kalah berbahayanya dari serangan-serangan hantu berjubah itu. Sekali-kali terjadilah benturan-benturan yang keras. Dan dalam keadaan yang demikian itulah, Mahesa Jenar menjadi semakin yakin pada dirinya, bahwa Pasingsingan bukanlah hantu yang menakutkan dan tak dapat dikalahkan. Pasingsingan semakin lama menjadi semakin terbakar hatinya.

Kalau semula ia baru dapat mengukur kekuatan Mahesa Jenar, namun kemudian ia terpaksa melihat kenyataan, bahwa Mahesa Jenar tidak saja bertambah kuat lahir dan batin, namun iapun mampu pula mempergunakan kekuatannya itu sebaik-baiknya.

Sebagai seorang murid Pasingsingan tua, Pasingsingan itu telah mendengar dan mendapat petunjuk-petunjuk tentang bermacam-macam perguruan. Juga perguruan Pengging yang terkenal. Kini ia harus mengalami betapa salah seorang murid dari Pengging itu telah mampu melawannya. Pertempuran itu semakin lama menjadi semakin sengit. Pasingsingan menjadi semakin heran melihat keterampilan lawannya. Tetapi karena itu pula ia merasa seakan-akan dirinya dihadapkan pada suatu ujian, apakah ia masih berhak memakai gelar Pasingsingan untuk seterusnya. Disamping kenyataan itu, di dalam dadanya bergolak pula berbagai pertanyaan tentang Mahesa Jenar. Dari manakah ia pernah mendengar cerita tentang Pasingsingan tua, tentang Radite, Anggara dan Umbaran…? Darimana pula ia mengetahui bahwa yang berdiri di hadapannya kini adalah Pasingsingan yang sebenarnya tidak berhak memakai tanda-tanda kekhususannya…?

Pasingsingan itupun kemudian menjadi cemas bahwa sebenarnya rahasia tentang dirinya telah terbuka. Bahkan kemudian ia menduga bahwa Radite atau Anggara-lah yang sengaja mengabarkan tentang rahasia itu. Tetapi apakah Mahesa Jenar pernah bertemu dengan mereka berdua?

Tiba-tiba kemarahan Pasingsingan menjadi semakin berkobar-kobar di dalam dadanya. Orang yang dapat berceritera tentang Pasingsingan ini harus dimusnahkan, supaya rahasia itu dibawanya mati.

Serial Bersambung 28 Juni 2000
Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta
NAGASASRA DAN SABUK INTEN
Karya SH. Mintarja No. 483

PASINGSINGAN bertempur semakin dahsyat. Jubahnya berkibar-kibar di belakang punggungnya seperti sayap. Di dalam kelam, tampaklah Pasingsingan seperti kelelawar raksasa yang terbang menyambar-nyambar dengan jarinya yang berkembang mengerikan.

Tetapi lawannya adalah seekor banteng yang tangguh. Semakin banyak peluh mengalir dari tubuh Mahesa Jenar, semakin segarlah tubuhnya. Bahkan kemudian ia pun bertempur semakin tangguh.

Ketika Pasingsingan menyerangnya semakin dahsyat, Mahesa Jenar pun bertempur benar-benar seperti banteng ketaton. Dalam keadaan yang berbahaya sedemikian itu, Pasingsingan tidak sempat untuk meneliti gerakannya sendiri satu demi satu, seperti pada saat Anggara bertempur melawannya. Karena itu semakin lama, gerak-gerak mereka berdua, Umbaran yang berjubah Pasingsingan dan Anggara, menjadi semakin rapat persamaannya. Dengan demikian Mahesa Jenar dapat mengenal gerak-gerak itu kembali, yang khusus dapat dilihatnya dalam gerakan-gerakan pertahanan yang rapat, meskipun apa yang dilakukan oleh Pasingsingan ini tampak lebih kasar. Bahkan sekali-kali Mahesa Jenar ingin mempengaruhi pikiran lawannya. Meskipun tidak sempurna, namun dalam saat-saat yang sedemikian bersahaja, Mahesa Jenar mencoba-coba menirukan gerak-gerak itu. Bahkan gerak-gerak yang belum dilakukan oleh Pasingsingan.

Melihat gerak-gerak khusus Pasingsingan itu dapat pula dilakukan oleh Mahesa Jenar, meskipun tidak sempurna, Pasingsingan menjadi semakin heran dan gelisah. Karena itu Pasingsingan memastikan bahwa Mahesa Jenar pernah bertemu dengan Radite atau Anggara. Dengan demikian ia yakin pula bahwa rahasianya benar-benar telah diketahui oleh lawannya itu. Dalam pada itu, Pasingsingan mengumpat pula di dalam hati. Bahwa dengan demikian Radite tidak memegang janjinya. Orang itu telah berjanji pada saat tukar-menukar antara tanda kekhususan serta pusaka-pusaka Pasingsingan dengan gadis yang memintanya, terjadi beberapa puluh tahun yang lalu.

Tetapi apapun yang dilakukan, Pasingsingan tidak berhasil untuk menguasai lawannya. Jangankan membunuhnya, menyentuhnya pun semakin lama menjadi semakin sulit. Dalam tingkatan ilmu yang seimbang, Mahesa Jenar masih memiliki kelebihan. Umurnya yang jauh lebih muda, sehingga pembawaan kodrat alamiah telah menolongnya. Kalau semula Mahesa Jenar sama sekali tidak berdaya melawan orang-orang tua adalah karena tingkat ilmu jaya kawijayan guna kasantikan orang-orang tua itu jauh lebih melampaui ilmunya. Tetapi sekarang apa yang telah dicapainya tidak kurang dari apa yang dimiliki oleh Umbaran. Dengan demikian, pada umurnya itu, ia memiliki kemenangan-kemenangan. Hal ini pun dirasakan oleh Pasingsingan. Nafas Mahesa Jenar yang dapat diaturnya dengan baik itu semakin lama tampak semakin mapan dan teratur. Ketenangannya mengamati setiap persoalan dan kesulitan, kecerahan otaknya dalam mengurai setiap masalah, telah menuntunnya sedikit demi sedikit pada keadaan yang lebih baik dari lawannya.

Sekali lagi Pasingsingan mengumpat di dalam hati. Ia pun merasakan betapa Mahesa Jenar berhasil mendesaknya perlahan-lahan. Sebagai seorang yang merasa dirinya tak terlawan, hatinya menjadi panas bukan main. Apalagi mengingat gelar yang harus dipertahankan mati-matian. Pusaka-pusaka serta ciri-ciri kekhususan Pasingsingan. Kalau oleh Mahesa Jenar ia sudah dapat dikalahkan, lalu apakah haknya untuk tetap menjadi orang yang ditakuti…? Lebih-lebih lagi apabila orang-orang seperti Pandan Alas, Sora Dipajana, Titis Anganten sampai mengenalnya, bahwa bukan dirinyalah Pasingsingan yang pernah bersahabat dengan mereka itu. Maka ia akan semakin banyak menemui kesulitan dalam usahanya untuk menguasai Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten. Sebab dengan nama Pasingsingan, orang tua itu merasa segan-segan pula bertindak terhadapnya, yang disangkanya Pasingsingan sahabat mereka puluhan tahun yang lampau. Seperti apa yang dilakukan oleh Pandan Alas di alun-alun Banyubiru, yang masih memperlakukannya sebagai sahabatnya. Tetapi tiba-tiba ia teringat, apa yang pernah dialaminya di Rawa Pening.

Ketika ia sudah siap membunuh Mahesa Jenar dengan keempat kawannya, muncullah dua orang yang berpakaian mirip dengan Mahesa Jenar dan memberinya pertolongan. Beberapa bulan ia mencoba memecahkan teka teki itu. Namun akhirnya, ketika orang-orang itu sudah tidak pernah dijumpainya lagi, ia menjadi lupa kepada mereka. Tetapi sekarang tiba-tiba bayangan kedua orang itu muncul kembali.

Kalau demikian, kedua orang itu pasti telah menemui Mahesa Jenar dan berceritera tentang dirinya. Ya. Ia pasti sekarang. Orang yang dapat mengalahkannya dengan begitu mudah, orang dapat membebaskan diri dari pengaruh ilmunya Alas Kobar. Orang itu tidak dapat lain daripada Radite dan Anggara.

”Gila!” teriak Pasingsingan tiba-tiba. Mahesa Jenar terkejut mendengar teriakan itu. Tetapi ia bertempur terus. Serangan-serangannya semakin lama semakin deras seperti hujan yang tercurah dari langit disertai prahara yang bergulung-gulung mengerikan. Pasingsingan akhirnya tidak mau lagi membiarkan dirinya digilas oleh anak-anak yang baru tumbuh. Tiba-tiba ia tidak ragu lagi mengendalikan kemarahannya sehingga ia tidak segan-segan untuk membakar lawannya dengan ilmunya yang dahsyat, Alas Kobar. Sementara itu, Mantingan, Rara Wilis, Arya Salaka, Endang Widuri, Wirasaba dan Jaladri telah hampir sembuh kembali dari akibat serangan Gelap Ngampar, meskipun dada mereka seakan-akan masih terasa berderak-derak. Namun mereka telah dapat berdiri tegak dan dengan penuh kesadaran telah dapat mengikuti pertempuran yang terjadi antara Pasingsingan melawan Mahesa Jenar.

Cerita Bersambung 29 Juni 2000
NAGASASRA dan SABUK INTEN
Karya SH Mintarja
484

MANTINGAN yang sama sekali tidak menduga bahwa Mahesa Jenar telah dapat mencapai tingkatan yang sedemikian tinggi dalam waktu singkat, mula-mula tidak percaya pada penglihatannya, tetapi ketika kemudian ia melihat betapa orang berjubah abu-abu itu telah berjuang sedemikian lama dan sungguh-sungguh, tahulah ia bahwa Mahesa Jenar benar-benar tidak sedang bunuh diri. Karena itulah ia menjadi berbangga hati.

Kalau semula pada saat Mantingan melihat Rara Wilis, Arya Salaka dan Endang Widuri turut serta melawan anak buah Lawa Ijo, ia telah berbangga hati, lebih-lebih ketika ia terpaku pada suatu kenyataan bahwa Arya Salaka mampu melawan Lawa Ijo dan membebaskan dirinya dari pengaruh serangan panas yang luar biasa dari kelelawar Alas Mentaok itu, kini ia tidak tahu lagi perasaan apa yang berkobar didalam dadanya. Sebagai seorang sahabat yang sejak semula telah mengagumi Mahesa Jenar, ia kini benar-benar bersyukur bahwa sahabatnya itu telah berhasil menempa dirinya menjadi orang yang luar biasa.

Mantingan bersyukur bahwa Mahesa Jenar telah berhasil dalam pembajaan diri itu. Sebab ia tahu pasti, bahwa hasil dari pembajaan diri itu ia akan dilimpahkan di dalam suatu pengalaman kemanusiaan, pengalaman pada tumpah darah. Ia tahu pasti bahwa Yang Maha Kuasa telah merestui sahabatnya itu dalam perjuangannya menegakkan kebenaran dan keadilan.

Sedang Wirasaba seperti orang yang terpesona. Ia berdiri dengan mulut ternganga. Beberapa tahun yang lalu, hatinya telah digemparkan oleh suatu kenyataan, bahwa Mahesa Jenar mempu menghancurkan sebuah batu hitam dengan tangannya, sedang kapak raksasanya hanya mampu melukai batu itu tidak lebih dari sejengkal. Sekarang ia melihat Mahesa Jenar itu bertempur, yang menurut penglihatannya sangat ruwet.

Wirasaba tidak tahu bagaimana orang dapat bertempur sampai sedemikian. Gerak mereka kadang-kadang seperti singgat. Melenting berloncatan. Kadang-kadang seperti dua ekor burung yang menggelepar dengan kerasnya untuk kemudian seperti seekor harimau menerkam. Tetapi kemudian Pasingsingan itu terlontar kembali karena yang diterkamnya benar-benar mirip seekor banteng jarig melemparkan lawannya dengan tanduk-tanduknya yang kokoh kuat.

Arya Salaka pun terpaku di tempatnya. Sekarang ia benar-benar yakin bahwa gurunya benar-benar orang luar biasa. Namun dalam pada itu menjalar pula hatinya hasrat yang semakin kuat untuk menghisap ilmu sekuat-kuat tenaganya. Ia tahu benar bahwa gurunya itu telah bekerja keras untuknya, melampaui yang seharusnya dilakukan oleh seorang guru. Gurunya itu telah mengasihinya seperti anak sendiri. Bahkan bersedia mati pula untuknya.

Karena itu Arya Salaka berjanji di dalam dirinya sendiri, bahwa ia tidak akan mengecewakan orang itu, dan sekaligus ia akan dapat berbangga diri kepada ayahnya kelak. Berbangga tentang dirinya sendiri, dan berbangga tentang gurunya. Sebab ia tahu bahwa ayahnya telah menyerahkan kedalam asuhan Mahesa Jenar.

Dalam pada itu Endang Widuri sudah mulai tertawa-tawa pula setelah pengaruh Gelap Ngampar lenyap dari dadanya, meskipun ia masih agak pucat. Ia melihat Mahesa Jenar itu seperti melihat ayahnya. Ia menjadi heran, kenapa Mahesa Jenar itu dalam hampir setiap geraknya mirip benar seperti ayahnya. Kalau ayahnya dapat bertempur seperti batu karang yang tak bergerak oleh badai yang bagaimanapun dahsyat, Mahesa Jenar pun kadang-kadang berlaku demikian.

Tetapi kadang-kadang melihat lawannya seperti banjir bandang tanpa dapat dihalangi oleh kekuatan apapun. Pada saat yang lain seperti juga ayahnya Mahesa Jenar mengurung lawannya seperti angin prahara. Meskipun ia hanya melihat ayahnya bertempur dalam latihan-latihan dengan dirinya, dengan Putut Karang Tunggal yang sebenarnya bernama Karebet, namun ia melihat betapa Mahesa Jenar itu memiliki kemampuan yang mirip benar dalam setiap gerak-geriknya.

Tetapi gadis kecil ini tidak tahu bahwa Mahesa Jenar dan ayahnya, Kebo Kanigara, meneguk air dari sumber yang sama. Dan bahwa kedua-duanya telah menguasai ilmunya dengan sempurna, meskipun Kebo Kanigara sedikit lebih mengendap daripada Mahesa Jenar.

Orang yang sama sekali tidak tahu bagaimana menilai pertempuran itu adalah Jaladri. Bahkan ia menjadi pening, dan karena itu ia lebih senang menenangkan dirinya daripada bersusah payah mengikuti perang tanding yang tak kenal ujung pangkalnya itu.

Berbeda dengan perasaan mereka adalah Rara Wilis. Ia mempunyai kesan tersendiri dari pertempuran itu. Ketika pertempuran itu menjadi semakin seru, iapun menjadi semakin cemas. Meskipun kemudian ia merasa, bahwa Mahesa Jenar memiliki kemampuan yang cukup untuk mengimbangi kekuatan iblis berjubah abu-abu itu, namun setiap serangan Pasingsingan dirasanya seperti serangan pada dirinya sendiri. Setiap sentuhan yang mengenai tubuh Mahesa Jenar, seolah-olah kulitnyalah yang terluka.

Serial Bersambung 30 Juni 2000
Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta
NAGASASRA DAN SABUK INTEN
Karya SH. Mintarja No. 485

RARA WILIS tiba-tiba menjadi cemas, jauh lebih cemas daripada ia sendiri yang bertempur. Ia sama sekali tidak rela kalau laki-laki itu sampai dapat disinggung oleh lawannya. Ia tidak rela kalau laki-laki itu sampai terluka.

Ketika Wilis sadar akan perasaannya itu, tiba-tiba warna merah membersit ke pipinya. Ia merasa malu sendiri, meskipun ia yakin bahwa tak seorangpun yang memperhatikannya. Tetapi seolah-olah setiap ujung daun-daun pepohonan di sekitarnya itu tersenyum melihat warna hatinya. Seolah-olah desir angin yang lewat di belakangnya berbisik di telinganya, ”Jangan cemas Rara Wilis, kau tidak akan kehilangan laki-laki itu.”

Tiba-tiba Rara Wilis menundukkan wajahnya dengan tersipu-sipu. Tetapi dalam pada itu, tiba-tiba arena itu dikejutkan oleh sebuah teriakan nyaring yang terlontar dari belakang topeng kasar Pasingsingan.

Bersamaan dengan itu memancarlah udara panas ke segenap penjuru. Ke arah mereka yang sedang terpesona menyaksikan pertempuran itu, sehingga tanpa mereka sengaja, segera mereka berloncatan mundur beberapa langkah. Bahkan Jaladri segera berlindung ke balik sebuah pohon untuk menghindarkan diri dari serangan panas yang luar biasa.

Itulah pengaruh dari ilmu Alas Kobar yang dahsyat, yang tidak saja dilontarkan oleh Lawa Ijo, tetapi kini oleh gurunya, Pasingsingan. Alangkah dahsyatnya ilmu itu. Tetapi yang paling dahsyat mengalami serangan itu adalah orang yang dituju. Dalam penerapan ilmu itu tubuh Pasingsingan sendiri seolah-olah telah berubah menjadi bara baja yang panasnya tak terhingga. Mahesa Jenar terkejut mengalami serangan panas itu. Setiap sentuhan dengan tubuh Pasingsingan, terasa panas yang luar biasa menyengat kulitnya, disamping libatan udara panas di seluruh tubuhnya.

Dalam keadaan yang demikian, sadarlah Mahesa Jenar bahwa lawannya telah matek aji yang pernah didengarnya bernama Alas Kobar. Untuk sementara Mahesa Jenar terpaksa terdesak mundur. Ia mencoba menghindari setiap sentuhan tubuh Pasingsingan. Tetapi dalam keadaan yang demikian, Mahesa Jenar sama sekali tak berniat melarikan diri. Sebagai seorang laki-laki, ia akan menghadapi setiap kemungkinan. Ia merasa menjadi pelindung dari seluruh perkemahan itu. Kalau ia terpaksa melarikan diri, maka ia tak ada artinya sama sekali. Apa saja yang pernah dilakukan dan apa saja yang pernah dipercayakan orang kepadanya. Dalam perjuangan melawan kejahatan tak ada niatnya untuk sekadar menyelamatkan dirinya sendiri, dan membiarkan orang lain binasa karenanya. Karena itulah maka Mahesa Jenar membulatkan tekadnya. Mengumpulkan segenap kekuatan lahir batinnya, dengan tekad bulat untuk melawan Pasingsingan, betapapun pengaruh panas itu menyengatnya di segenap bagian tubuhnya.

Anehnya, bahwa yang terjadi kemudian adalah di luar dugaan. Di luar dugaan Mahesa Jenar sendiri. Ketika ia telah membulatkan tekad, memusatkan segenap kekuatan yang ada padanya, lahir batin, serta pasrah diri setulus-tulusnya kepada Yang Maha Kuasa, maka tiba-tiba terasa, bersama-sama dengan nafasnya yang semakin teratur, sejalan dengan peredaran darahnya, mengalirlah udara segar di dalam tubuhnya. Mahesa Jenar telah mengenal perasaan itu. Ia merasakan seperti aliran kekuatan yang luar biasa, yang dalam keadaan khusus, seperti yang pernah dilakukan apabila ia sedang menerapkan ilmunya Sastra Birawa, merambat dari pusat jantungnya mengalir ke sisi telapak tangannya. Tetapi kini, dalam pemusatan tekad, untuk melawan libatan udara panas yang mematuk-matuk seluruh permukaan tubuhnya itu, terasa kekuatan dari pusat jantungnya itu mengalir menurut peredaran darah ke segenap bagian, menurut jalur-jalur darah yang paling kecil sekalipun.

Terasalah untuk beberapa saat darahnya seperti mendidih. Terjadilah seolah-olah benturan yang sengit di seluruh permukaan kulitnya. Dalam keadaan yang demikian, terganggulah gerak tempur Mahesa Jenar, karena perasaannya dipengaruhi oleh pemusatan kehendak untuk melawan udara panas itu.

Maka tanpa setahunya, tiba-tiba serangan Pasingsingan yang dahsyat telah berhasil menyusup diantara jaring-jaring pertahanan Mahesa Jenar, langsung mengenai pundaknya. Serangan itu bukanlah sekadar serangan Alas Kobar, tetapi benar-benar tangan Pasingsingan mengenai pundak itu. Mahesa Jenar yang sedang berjuang melawan Aji Alas Kobar itu terdorong beberapa langkah surut. Tetapi ia adalah seorang yang masak dalam pemusatan kehendak. Meskipun ia terdorong dan bahkan kemudian ia terjatuh, namun ia sama sekali tidak melepaskan diri dari usahanya, membulatkan diri, dalam perlawanannya. Dalam saat yang demikian itulah, sebenarnya Mahesa Jenar telah menerapkan ilmunya Sasra Birawa pula. Namun dalam bentuk yang berbeda. Tanpa setahunya sendiri sebelumnya, bahwa sebenarnya ilmunya Sasra Birawa dalam bentuk perlawanan dan pertahanan dapat disalurkan ke segenap bagian tubuhnya. Ke segenap bagian-bagian yang terkecil sekalipun untuk kemudian melawan rangsangan yang betapapun dahsyatnya, yang mencoba mempengaruhi tubuh itu.

Tetapi meskipun demikian, ilmu itu tidak dapat menahan dorongan kekuatan yang luar biasa, yang dilontarkan Pasingsingan dengan penuh kemarahan, sehingga Mahesa Jenar jatuh terbanting di tanah setelah terdorong beberapa langkah surut. Mereka yang menyaksikan peristiwa itu, dadanya serasa akan pecah, Mahesa Jenar bagi mereka adalah satu-satunya orang yang dapat diharapkan untuk menyelamatkan perkemahan ini. Ketika mereka melihat betapa Pasingsingan semakin lama semakin terdesak yakinlah mereka bahwa Mahesa Jenar akan dapat melakukan tugasnya dengan baik. Namun tiba-tiba, dalam kabut ilmu Alas Kobar, Mahesa Jenar ternyata dapat dikuasai oleh lawannya, bahkan kemudian dengan suatu serangan jasmaniah, Mahesa Jenar dapat didorongnya jatuh.93

PASINGSINGAN tertawa sambil bertolak pinggang, dan dari sela-sela lubang topengnya terdengarlah ia bergumam, ”Hem… aku terpaksa melakukan apa yang telah aku katakan. Mematahkan tulangmu satu demi satu. Aku ingin melihat kau kesakitan dan ingin mendengar kau berteriak minta ampun.”

Mendengar ancaman itu, teganglah semua orang yang berdiri agak jauh dari lingkaran pertempuran itu. Tetapi pastilah bahwa mereka tidak akan tinggal diam. Karena mereka sama sekali tidak mampu untuk mendekati iblis itu, maka mereka menjadi agak bingung, bagaimana cara mereka untuk berjuang bersama-sama, dan kalau perlu mati bersama-sama dengan Mahesa Jenar.

Dalam keadaan yang demikian, tiba-tiba Pasingsingan dikejutkan oleh seleret sinar yang tebal menyambarnya. Karena itu mendadak suara tertawanya terhenti. Dengan lincahnya ia merendahkan dirinya sambil berputar setapak ke samping. Namun belum lagi ia berhenti bergerak, disusullah sinar tebal itu dengan sambaran sinar yang lain.

Sekali lagi Pasingsingan terpaksa menghindar. Ketika itu ia kemudian melihat bahwa kedua sambaran sinar itu tidak lain tombak pendek yang melontar dari tangan Arya Salaka, disusul oleh sebatang trisula dari tangan Mantingan, terdengarlah hantu itu menggeram marah. Sekali lagi terdengar ia bergumam, ”Tikus-tikus yang malang. Jangan banyak tingkah. Supaya kau nanti dapat mati dengan tenang.”

Dalam pada itu dada Rara Wilis pun terasa menjadi pepat. Sesaat ia memejamkan matanya. Ia tidak sampai hati melihat Mahesa Jenar terbanting. Tetapi ia tidak mau membiarkan laki-laki itu mengalami cidera. Tetapi tidak sesadarnya, ia berusaha untuk meloncat mendekati.

Namun langkah Wilis pun terhenti ketika tubuhnya serasa hangus terbakar. Tetapi hatinyalah yang lebih dahulu hangus daripada tubuhnya, sebab bagaimanapun juga Mahesa Jenar adalah tempat ia meyangkutkan harapan bagi masa depan.

Terdorong oleh perasaan yang tak disadarinya sendiri, yang jauh lebih tebal dari perasaan setiakawan, telah memaksa Rara Wilis untuk tidak mempedulikan diri sendiri. Meskipun tubuhnya serasa terbakar oleh panas yang melampaui panasnya api, ia mencoba juga berjalan setapak demi setapak ke arah Mahesa Jenar, sedang matanya sama sekali tidak mau melepaskan setiap gerak gerik hantu berjubah abu-abu itu. Kalau-kalau tiba-tiba ia meloncat dan menyerangnya.

Tetapi sebalum ia berhasil mencapai laki-laki yang dicemaskan itu, terasa seluruh kulit dagingnya menjadi luluh. Ketika ia maju setapak lagi, ia menjadi kehilangan segenap daya tahannya. Bagaimanapun ia berusaha, akhirnya ia terhuyung-huyung jatuh. Tetapi betapa terkejutnya ketika terasa sepasang tangan menyambarnya. Dan dengan suatu loncatan panjang ia telah dibebaskan dari daerah pengaruh yang berbahaya dari aji Alas Kobar itu.

Dengan cemas ia mencoba mengamat-amati, siapakah yang telah menolongnya itu. Sekali lagi ia terkejut kepadanya. Ternyata yang menyelamatkannya dari lingkaran yang berbahaya itu adalah Mahesa Jenar sendiri. Semula ia hampir tidak percaya pada dirinya. Bahkan ia mengira, apakah ia tidak bermimpi atau pingsan atau mati, dan bertemu dengan laki-laki itu di alam lain.

Tetapi perasaan itu segera lenyap ketika terdengar suara Pasingsingan menggeram, ”Setan. Ternyata nyawamu rangkap, Mahesa Jenar.”

Mahesa Jenar kemudian meletakkan Rara Wilis dari tangannya. Ternyata daya tahan gadis itu luar biasa pula, sehingga demikian ia menyentuh tanah, demikian ia telah dapat berdiri di atas kedua kakinya sendiri. Ketika ia memandang berkeliling, dilihatnya segenap mata yang memandangnya memancarkan keheranan dan kekaguman. Bahkan seperti sorot mata yang bimbang akan kebenaran penglihatan mereka.

Tiba-tiba dari antara mereka Arya Salaka meloncat berlari ke arah gurunya, kemudian meraba-raba tubuh itu sambil berkata lirih, ”Adakah guru selamat…?”

Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Bagaimana mereka tidak heran, kalau dirinya sendiripun hampir-hampir tidak mengerti atas peristiwa-peristiwa yang dialami. Namun pengenalannya pada getaran-getaran yang memancar dan pepat jantungnya telah memberinya sedikit keterangan, bahwa kekuatan Sasra Birawa-nya telah mengalir dan membendung segenap rangsangan yang menyentuh tubuhnya.

Memang mula-mula Mahesa Jenar merasakan betapa udara panas melibat seluruh tubuhnya. Bagaimana kulitnya serasa terkelupas karena sentuhan-sentuhan tubuh Pasingsingan. Namun sejak ia mulai mengatur diri, memusatkan tekad pada perlawanan atas serangan panas di segenap permukaan tubuhnya, pernafasan yang diaturnya baik-baik seperti apabila ia siap untuk melontarkan ilmunya Sasra Birawa, terasa betapa di dalam tubuhnya terjadi pergolakan-pergolakan yang cepat.

Terasa betapa getaran-getaran dari pusat jantungnya mulai bergerak. Tidak ke sisi telapak tangannya, namun menjalar ke segenap bagian tubuhnya. Dengan demikian, kekuatan di dalam dirinya telah langsung mengadakan perlawanan. Pada saat yang demikian itulah ia merasa sebuah dorongan yang kuat pada pundaknya, disertai suatu gigitan nyeri yang bukan main, sehingga ia terdorong dan terbanting jatuh.

Untuk sesaat memang seolah-olah ia kehilangan daya perlawanannya. Tetapi dalam pada itu, getaran-getaran di dalam tubuhnya itu menjadi semakin deras mengalir. Apalagi Mahesa Jenar membiarkan dirinya seperti sebuah batu yang menggelinding karena sebuah dorongan yang kuat tanpa daya perlawanan. Dengan demikian ia dapat tetap pada pemusatan pikiran, mempercepat aliran getaran-getaran dari pusat jantungnya itu, sehingga batu itu sendiri sama sekali tidak mengalami cidera sama sekali.

Serial Bersambung 02 Juli 2000
Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta
NAGASASRA DAN SABUK INTEN
Karya SH. Mintarja No. 487

AKHIRNYA segenap perasaan sakit, nyeri, panas dan segala macam perasaan yang merangsang dari luar tubuhnya, perlahan-lahan menjadi berkurang, bahkan akhirnya menjadi punah sama sekali.

Meskipun ia masih berada dalam jarak capai aji Alas Kobar, namun ia tidak lagi merasakan betapa panasnya aji itu, yang semula dirasanya melampaui panasnya bara.

Mahesa Jenar tidak segera bangkit. Ia masih mencoba meyakin keadaannya. Karena itulah maka seolah-olah Mahesa Jenar setelah terbanting jatuh tidak mampu lagi untuk tegak kembali. Mahesa Jenar masih tetap berdiam diri, ketika ia melihat tombak muridnya menyambar Pasingsingan, disusul oleh sebuah trisula yang terbang secepat kilat. Namun kedua senjata itu sama sekali tidak mengenai sasarannya. Tetapi ia tidak dapat tetap berbaring di situ, ketika ia melihat Rara Wilis dengan tanpa menghiraukan keadaan diri sendiri, mencoba menerobos lingkaran aji Alas Kobar. Apalagi ketika ia melihat gadis itu menjadi sangat payah dan hampir-hampir saja terjatuh. Dengan sigapnya ia melenting berdiri dan meloncat ke arah Rara Wilis. Untunglah Mahesa Jenar berbuat cepat pada saatnya, sehingga dengan lemahnya Rara Wilis terkulai di tangannya. Meskipun dalam keadaan yang bagaimanapun juga, namun Rara Wilis yang dengan lemahnya, menyandarkan kepalanya pada dadanya itu, telah menggetarkan perasaannya.

Perasaan seorang laki-laki yang sedang mengenyam angan-angan tentang seorang gadis. Mau rasa-rasanya, untuk tidak melepaskan gadis itu dari tangannya untuk seumur hidupnya. Tetapi keadaan itu kemudian hancur terurai oleh geram Pasingsingan. Dan karena itulah maka Mahesa Jenar sadar, bahwa bahaya masih tetap melekat di hidungnya.

Maka perlahan-lahan Rara Wilis itu kemudian diletakkan di atas tanah. Mahesa Jenar menjadi terharu juga, ketika muridnya berlari-lari untuk meraba-raba tubuhnya, seolah-olah mencari-cari apakah ada yang hilang darinya. Dengan penuh perasaan sayang seorang ayah, Mahesa Jenar menepuk kepala anak muda itu sambil menjawab pertanyaan, “Aku tidak apa-apa, Arya. Bukankah anggota badanku masih utuh?”

Tetapi mereka tidak bercakap-cakap lebih banyak. Pasingsingan yang melihat Mahesa Jenar itu bangkit kembali dan seolah-olah tidak pernah mengalami sesuatu, menjadi tidak kalah herannya. Tetapi justru dengan demikian hatinya menjadi semakin panas. Ia cemas pada kenyataan, bahwa Mahesa Jenar kini adalah seorang yang memiliki kesaktian yang tinggi.

Cemas pada kegagalannya untuk mendapatkan Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten yang akan dipergunakan sebagai pancatan, nggayuh kemukten, mencapai impiannya yang indah. Kekuasaan atas gerombolannya, untuk kemudian meningkat pada kekuasaan atas tanah ini. Atas kerajaan Demak.

Namun demikian, terdorong oleh nafsu yang bergelora di dalam dadanya, maka ia merasa, bahwa Mahesa Jenar harus dibinasakan. Ia tidak perlu berfikir lagi, apakah ia harus bersikap jantan atau tidak.

Namun tujuannya sudah pasti. Membunuh laki-laki yang menghalang-halangi niatnya. Selama orang yang bernama Mahesa Jenar dan bergelar Rangga Tohjaya itu masih hidup, selama itu pula niatnya akan selalu dirintanginya.

Karena itu, maka dengan menggeram penuh kemarahan, berkilat-kilatlah sebuah pisau belati panjang di tangan hantu berjubah abu-abu itu. Ia sudah bertekad untuk membunuh Mahesa Jenar dengan Alas Kobar bersama-sama dengan pusaka Pasingsingan, Kiai Suluh, yang bercahaya kekuning-kuningan.

Melihat Pusaka itu, Mahesa Jenar terkejut. Ia tahu benar betapa berbahayanya pisau belati itu. Pisau belati ciri khusus dari orang yang bernama Pasingsingan, yang diterima turun-temurun dari Pasingsingan tua, Raden Buntara, lewat Radite, yang kemudian karena keteguhan jiwa Radite dapat digoncangkan oleh paras yang cantik, akhirnya pusaka itu jatuh ke tangan iblis yang berbahaya ini. Demikianlah, maka kini Mahesa Jenar harus berjuang mati-matian.

Untunglah bahwa aji Alas Kobar itu sudah tidak berpengaruh atas tubuhnya, sehingga ia dapat memusatkan daya perlawanan terhadap pisau belati Pasingsingan itu. Ketika Pasingsingan sudah siap,

Mahesa Jenar segera melangkah maju. Dengan dada tengadah ia berjalan perlahan-lahan, namun dengan penuh kepercayaan pada diri sendiri, penuh kepercayaan pada kekuasaan Tuhan, bahwa pengabdiannya akan mendapat limpahan perlindungan-Nya. Sebab iapun yakin bahwa setiap pengingkaran pada kebenaran, bagaimanapun juga dipertahankan dan diperjuangkan oleh kekuatan apapun, namun tak ada kekuatan yang mampu melawan hukum kebenaran dan keadilan yang digoreskan oleh tangan Yang Maha Adil.

Sekali lagi dada Pasingsingan bergetar melihat sikap Mahesa Jenar. Tenang, namun meyakinkan. Dalam saat yang sekejap itu melingkar-lingkarlah di dalam benak Pasingsingan, bayangan-bayangan dari masa lampaunya dan gambaran dari masa idamannya, yang bergumul pula dengan bayangan-bayangan Pasingsingan-Pasingsingan yang terdahulu, silih berganti.

Kemudian sampailah ia pada suatu umpatan yang kotor terhadap Radite dan Anggara. Kepadanyalah ia melimpahkan kesalahan, sebab Umbaran itu menyangka bahwa Mahesa Jenar menjadi masak karena tangan mereka, untuk dijadikan alat membalas sakit hatinya, sebab Radite sendiri terikat dengan suatu perjanjian yang tak akan dilanggarnya.

Apalagi ketika ia melihat Mahesa Jenar sama sekali tidak terpengaruh oleh aji andalannya, Alas Kobar.

Ketika ia sedang menimbang-nimbang, tiba-tiba bersama dengan desir angin malam yang mengusap daun-daun pepohonan, terdengarlah kembali telapak kaki kuda yang semakin lama semakin dekat.

Mahesa Jenar tersenyum mendengar telapak kaki kuda itu. Ia percaya bahwa tak seorangpun dapat menghalangi perjalanan Kebo Kanigara. Kalau orang itu cepat sebelum hantu itu pergi, maka ia mengharap akan dapat menangkap Umbaran itu hidup-hidup. Ia ingin menyerahkannya kepada Pasingsingan tua, untuk mendapat pengadilan.

Serial Bersambung 03 Juli 2000
Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta
NAGASASRA DAN SABUK INTEN
Karya SH. Mintarja No. 488

PASINGSINGAN melihat perubahan wajah Mahesa Jenar itu. Karena itu ia curiga. Ia tidak tahu siapakah yang datang berkuda itu.

Dengan penuh perhatian ia mencoba mengetahui, kira-kira berapa orang yang akan datang pula ke tempat itu. Telinganya yang tajam segera dapat mengetahui bahwa derap kuda itu tidak akan lebih dari lima atau enam. Dengan demikian ia dapat mengira-ira kekuatan rombongan itu. Tetapi karena otak Pasingsingan sedang terganggu oleh bayangan-bayangan yang mencemaskan hatinya, bayangan bayangan Pasingsingan tua, Radite, dan Anggara, maka tiba-tiba menjalarlah dugaannya kepada salah seorang dari mereka.

Apakah didalam rombongan itu akan datang pula Radite atau Anggara? Atau malah kedua-duanya…? Seandainya bukan mereka sekalipun, semakin banyak orang yang harus dilawannya, semakin kecil pula kemungkinan yang dapat diperoleh untuk memenangkan pertempuran ini. Sebab ia yakin bahwa seandainya ia pun pasti tidak akan tinggal diam. Karena itu disamping Mahesa Jenar sendiri, kehadiran orang lain di perkemahan itu akan dapat menambah kesulitan bagi Pasingsingan. Apalagi kalau ia mengetahui, bahwa yang datang itu adalah seekor burung rajawali yang perkasa, yang bahkan melampaui keperkasaan Mahesa Jenar, lawannya yang mencemaskan hatinya itu. Karena itulah maka akhirnya dengan kecewa Pasingsingan terpaksa melihat kenyataan-kenyataan itu.

Sebagai seekor serigala yang ganas, ia tidak mau mati di dalam kandang kelinci. Maka ketika didengarnya bahwa telapak kuda itu dengan lajunya mendekati perkemahan itu, tiba-tiba Pasingsingan menggeram keras sekali. Mahesa Jenar pun segera bersiap menghadapi setiap kemungkinan. Matanya tidak bergeser dari ujung pisau belati Pasingsingan yang berwarna kuning kemilau. Tetapi adalah diluar dugaannya, bahwa tiba-tiba hantu berjubah abu-abu itu seperti terbang melontar mundur, dan dengan kecepatan luar biasa ia memutar tubuhnya dan meluncur seperti dihembus badai.

Mahesa Jenar untuk beberapa saat tertegun heran. Karena itulah ia kehilangan waktu untuk mengejarnya. Meskipun kemudian Mahesa Jenar dengan kecepatan yang tak kalah dari kecepatan Pasingsingan meloncat mengejarnya, namun hantu itu telah lenyap di dalam semak-semak, berselimut kehitaman malam. Sementara itu, derap kaki-kaki itu sudah semakin dekat. Dan tiba-tiba dari dalam gelap tersembullah beberapa orang penunggang kuda.

Yang paling depan adalah Kebo Kanigara yang masih melekatkan hampir seluruh tubuhnya pada punggung kudanya. Demikian kuda itu masuk ke halaman perkemahan itu, dengan sigap para penunggangnya segera menarik kekangnya, sehingga kuda-kuda itu meringkik dan berdiri pada kedua kaki belakang. Demikian kuda itu meletakkan kedua kaki mereka, sedemikian para penunggangnya berloncatan turun.

Ketika Endang Widuri melihat ayahnya datang, segera ia meloncat berlari ke arahnya sambil berteriak, ”Ayah, sayang ayah terlambat.”

Melihat putrinya berlari-lari menyongsong, dada Kebo Kanigara serasa tersiram embun. Namun ia menjadi sedikit ragu mendengar kata-kata itu, sehingga terlontarlah pertanyaannya, ”Apa yang terlambat?”

Widuri kemudian dengan manjanya memeluk lambung ayahnya sambil menjawab, ”Baru saja kami menonton pertunjukan yang luar biasa.”

”Pertunjukkan apa?” desak ayahnya tidak sabar.

”Paman Mahesa Jenar bermain sulap melawan tukang sihir berjubah abu-abu,” jawab gadis itu.

Mendengar keterangan Endang Widuri, Kebo Kanigara menarik nafas. Terdengarlah ia berdesis perlahan, ”Pasingsingan…?”

Tetapi ia sudah tidak terkejut lagi, sebab ia memang sudah menduga sebelumnya, bahwa guru Lawa Ijo itu berada di perkemahan.

”Di mana pamanmu sekarang?” tanya Kebo Kanigara.

”Paman mengejar tukang sihir itu,” jawab Endang Widuri.

Sementara itu yang lainpun telah berdiri mengitarinya.

Dengan penuh hormat mereka membungkukkan kepala. ”Adakah kalian selamat?” tanya Kebo Kanigara kepada mereka.

”Atas pangestu Kakang, kami semua selamat. Karena Adi Mahesa Jenar tidak terlambat datang,” jawab Mantingan.

Kebo Kanigara masih melihat kesan-kesan yang mencemaskan pada wajah-wajah mereka. Apalagi pada wajah Rara Wilis yang hampir-hampir saja hangus oleh aji Alas Kobar, sedang Widuri itupun masih kelihatan pucat.

”Apa yang sudah dilakukan?” Kebo Kanigara bertanya pula. Tetapi sebelum Mantingan sempat menjawabnya, terdengarlah Endang Widuri berceritera dengan riuhnya, ”Setan itu bisa menjadikan dirinya panas seperti bara, dan dengan suara tertawa ia dapat merontokkan isi rongga dada. Ah sayang, ayah tidak melihat kami pada waktu itu. Lucu sekali. Pasingsingan itu sama sekali tidak berbuat apa-apa kecuali tertawa. Dan kami semuanya menggigil, bahkan seperti ayam disembelih. Bukankah itu aneh sekali? Untunglah bahwa Paman Mahesa Jenar dapat menghentikannya sebelum jantung kami patah karenanya.”

Mendengar ceritera anaknya, Kebo Kanigara mau tidak mau harus tersenyum. Tetapi kemudian senyumnya terpaksa ditahannya ketika anaknya itu meneruskan, ”Kenapa ayah tersenyum, sedang kami hampir mati karenanya?”

”Bukankah kau sendiri berkata bahwa hal itu adalah lucu sekali?” bantah ayahnya.

”Tetapi ayah jangan tersenyum. Sebaiknya ayah mengucapkan ikut berduka cita. Apalagi Bibi Wilis. Ketika bibi mencoba menolong Paman Mahesa Jenar yang tiba-tiba terbanting karena serangan Pasingsingan itu, agaknya Bibi Wilis nekad melawan udara panas yang memancar dari tubuh tukang sihir jahat itu,” sahut Widuri.

Serial Bersambung 04 Juli 2000
Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta
NAGASASRA DAN SABUK INTEN
Karya SH. Mintarja No. 489

SEKALI lagi Kebo Kanigara tak dapat menahan senyumnya.

Tanpa disengaja ia memandang ke arah Rara Wilis yang menundukkan wajahnya. Ia menjadi malu mendengar ceritera gadis kecil itu. ”Aku berkata benar, Ayah…”

Widuri meneruskan sambil merengut.

”Paman Mahesa Jenar itupun dapat dijatuhkannya, meskipun kemudian terpaksa bangun kembali.”

”Kenapa terpaksa?” tanya Kebo Kanigara.

”Sebab Rara Wilis hampir terjatuh pula. Kalau tidak, barangkali Paman Mahesa Jenar masih enak-enak berbaring, menikmati hangatnya udara yang memancar dari tubuh Pasingsingan dimalam yang begini dingin,” jawab Widuri.

”Sudahlah… jangan membual,” potong ayahnya.

”Siapa bilang aku membual…?” sahut gadis itu.

”Aku berkata sebenarnya.”

Kebo Kanigara masih saja tersenyum. Tetapi kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya.

Melontarlah di dalam benaknya perkataan anaknya itu, ”Paman Mahesa Jenar itupun dapat dijatuhkannya.”

Kemudian kepada Mantingan ia bertanya, ”Apakah Mahesa Jenar selamat?”

”Bagi kami agak sulit untuk dapat mengetahui keadaan sebenarnya. Sebab pertempuran itu berada jauh dalam tingkatan yang tidak dapat kami capai. Meskipun ia masih tetap segar dan bahkan sekarang iblis itu sedang dikejarnya,” jawab Mantingan.

Kebo Kanigara mengerutkan keningnya. Ia terkejut ketika tiba-tiba didengarnya kemersik daun didalam semak-semak. Kemudian muncullah dari dalam semak itu, seorang laki-laki yang berjalan perlahan-lahan ke arahnya.

”Mahesa Jenar…” sapa Kebo Kanigara.

Mahesa Jenar mengangguk hormat sambil menjawab, ”Ya, Kakang.”

”Bagaimana dengan Pasingsingan?” tanya Kebo Kanigara.

Sambil menggeleng Mahesa Jenar menjawab, ”Aku tak berhasil menangkapnya.”

Kembali Kebo Kanigara mengangguk-angguk.

Kemudian katanya, ”Tak apalah, bukankah ia tidak berhasil menimbulkan bencana?”

”Pangestu Kakang,” jawab Mahesa Jenar.

”Baiklah…” kata Kebo Kanigara seterusnya, ”Sekarang cobalah, bangunkan orang-orang yang terkena sirep itu. Mungkin pengaruhnya sudah jauh berkurang. Apalagi sumbernya telah pergi pula.”

Jaladri, Bantaran dan Penjawi tidak menunggu perintah itu diulangi. Segera mereka pergi berpencaran untuk membangunkan orang-orang yang tertidur nyenyak karena syarafnya dipengaruhi sirep yang disebarkan oleh Lawa Ijo. Sementara itu malam telah sampai di ujungnya. Di kejauhan sudah terdengar ayam hutan berkokok bersahutan. Sedang langit telah diwarnai oleh cahaya perak pagi. Cahaya lintang-lintang telah mulai pudar. Satu-satu mulailah mereka menghilang dari wajah langit yang biru bersih. Angin pagi yang berhembus lemah, menggoncang-goncang daun-daun pepohonan rimba.

”Marilah kita beristirahat,” kata Kebo Kanigara, ”Bukankah kaliah lelah?”

”Semalam aku tidak tidur,” sahut Widuri, ”Karena itu aku akan tidur sehari penuh.”

”Aku tidak percaya,” jawab ayahnya.

”Kenapa?” tanya Widuri.

”Belum lagi matahari sepenggalah, kau pasti sudah bangun dan bertanya apakah sudah ada makan pagi,” jawab ayahnya.

Widuri tidak menjawab. Ia hanya mencibirkan bibirnya. Kemudian ia memutar tubuhnya dan berjalan ke pondok yang disediakan baginya. Yang lainpun kemudian berlalu pula ke tempat masing-masing.

Mantingan berjalan dengan langkah gontai, sedang Wirasaba seolah-olah tinggal mampu menjerat tubuhnya dengan lemah. Meskipun sebenarnya ia tidak sedemikian parah tenaganya, namun peristiwa yang baru saja dilihatnya merupakan suatu peristiwa yang membekas dalam sekali di dalam hatinya.

Rara Wilis yang masih sangat pucat pun berjalan menyusul Endang Widuri untuk beristirahat. Ternyata para anggota laskar Banyu Biru yang tertidur, sudah tidak lagi dipengaruhi oleh sirep Lawa Ijo.

Meskipun masih ada diantara mereka yang merasa betapa nikmat mimpi yang diperoleh, namun merekapun kemudian berloncatan bangun ketika tubuh mereka digoncang-goncang oleh pemimpin-pemimpin mereka. Beberapa orang malahan menjadi bingung, sedang beberapa orang lain menjadi cemas dan malu. Lebih-lebih para petugas yang pada malam itu sedang mendapat giliran jaga.

Ketika mereka meninggalkan gardu pimpinan, mereka mendapat pesan untuk berhati-hati. Sebab mereka mendapat tanda-tanda buruk pada siang harinya. Apalagi firasat para pemimpin laskar Banyubiru itupun telah memberi mereka peringatan. Tetapi tiba-tiba pemimpin mereka itu terpaksa membangunkan mereka di saat fajar hampir pecah. Meskipun demikian, tersangkut pula di dalam dada mereka sebuah pertanyaan yang tak dapat mereka jawab sendiri, ”Kenapa mereka telah melakukan suatu perbuatan yang belum pernah mereka lakukan, dan bahkan belum pernah terjadi didalam perkemahan itu, dimana seorang yang diserahi tanggungjawab melalaikan tanggungjawab…? Apalagi tidur di saat-saat penjagaan.”

Serial Bersambung 05 Juli 2000
Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta
NAGASASRA DAN SABUK INTEN
Karya SH. Mintarja No. 490

MEREKA menjadi agak terhibur ketika mereka mendengar penjelasan dari pemimpin-pemimpin mereka, bahwa meskipun mereka tertidur dalam tugas mereka, namun itu bukanlah kesalahan mereka seluruhnya. Sebab memang pengaruh sirep Lawa Ijo itu sedemikian tajamnya, sehingga sulitlah untuk melepaskan darinya.

Ketika para pemimpin Banyu Biru itu kemudian menempatkan petugas-petugas baru pada titik-titik yang dianggap perlu untuk mendapat pengawasan, merekapun berpesan wanti-wanti kepada para petugas itu, bahwa mereka harus benar-benar waspada. Mereka diwajibkan segera memberikan tanda-tanda apabila ditemuinya sesuatu yang mencurigakan, apalagi membahayakan. Sesaat setelah mereka berangkat, di dalam gardu pimpinan itu duduklah beberapa orang yang bercakap-cakap dengan asyiknya. Diantara mereka adalah Jaladri, Bantaran, Penjawi dan Wanamerta. Dengan penuh semangat Jaladri berceritera tentang apa yang baru saja dilihatnya. Sesuatu yang belum pernah dibayangkan, meskipun hanya di dalam mimpi. Meskipun Jaladri sendiri pada saat itu harus bertempur, tetapi setiap kali ia sempat melirik ke arah lingkaran-lingkaran pertempuran yang lain. Ia melihat Rara Wilis itu bertempur seperti sikatan menyambar belalang. Sigap, cepat dan lincah. Endang Widuri benar-benar seperti burung camar yang bermain-main di atas gelombang. Meskipun lawannya adalah seorang yang gemuk dan bersenjata di keduabelah tangannya, namun gadis itu sama sekali tidak dapat digetarkan.

Yang menggemparkan dada Jaladri kemudian adalah Arya Salaka. Ketika ia telah kehilangan lawannya, melarikan diri, ia sempat untuk menyaksikan sepenuhnya pertempuran antara Arya Salaka melawan Lawa Ijo. Tak pernah ia membayangkan bahwa Arya Salaka mampu mengimbangi kekuatan Lawa Ijo dari Mentaok itu. Apalagi Lawa Ijo telah berhasil menyerang anak muda itu dengan udara panas, meskipun tidak sedahsyat Pasingsingan, namun seakan-akan tak terasa sama sekali oleh Arya Salaka. Bantaran dan Penjawi mendengarkan ceritera itu dengan seksama. Ia kecewa tidak dapat menyaksikan sendiri tingkat ilmu Arya Salaka. Sebab ia ingin membandingkan dengan tingkat ilmu Sawung Sariti, yang menurut pendengarannya telah meningkat sedemikian, bahkan ia telah memiliki ilmu sakti Lebur Seketi.

Di sebuah pondok yang lain, tampaklah Mahesa Jenar duduk, bersama Kebo Kanigara. Di sudut yang lain dari ruangan itu pula, Arya Salaka berbaring di atas sebuah bale-bale bambu. Ia pun ternyata lelah.

Meskipun demikian ia tidak tertidur. Lamat-lamat ia masih mendengar gurunya itu bercakap-cakap dengan Kebo Kanigara.

”Aku dengar dari Widuri, Pasingsingan itu berhasil mendorongmu jatuh…?” tanya Kebo Kanigara.

”Ya, Kakang,” jawab Mahesa Jenar.

”Semula aku tidak tahu bagaimana aku melawan udara panas yang dilontarkan berdasarkan ajinya Alas Kobar.”

”Tetapi bukankah kau akhirnya dapat mengatasi aji Alas Kobar itu?” tanya Kanigara pula.

”Ya, tanpa aku ketahui, bagaimana terjadinya. Tetapi pada saat aku membulatkan tekad untuk melawan panas yang melibat seluruh tubuhku itu, tiba-tiba terasalah dari dalam dadaku getaran-getaran yang aku kenal sebagai sumber kekuatan Sasra Birawa mengalir ke segenap tubuhku. Dan dengan demikian aku kemudian terbebas dari pengaruh udara panas itu. Pada saat aku mengerahkan getaran-getaran itulah aku dapat dikenai oleh Pasingsingan, di pundakku, sehingga aku terdorong jatuh. Karena aku memang tidak mengadakan perlawanan pada daya dorong itu, sebab aku tidak mau kehilangan kesempatan, sehingga getaran-getaran itu terganggu.”

Kebo Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum. Ia merasa bangga pula, bahwa Mahesa Jenar, meskipun tanpa disadarinya sendiri telah meningkat pula pada penguasaan ilmunya lebih sempurna lagi dengan mengalirkan ilmu Sasra Birawa ke segenap tubuhnya dalam bentuk perlawanan dan pertahanan.

Kemudian ia bertanya pula, ”Tidakkah iblis itu kau lumpuhkan dengan Sasra Birawa itu pula? Aku kira ia mempunyai cukup daya tahan sehingga ia tidak akan mati karenanya. Dengan demikian kau akan dapat menangkapnya hidup-hidup.”

Mahesa Jenar ragu sebentar.

Kemudian ia menjawab, ”Kakang, semula akupun bermaksud demikian. Tetapi ketika aku sadar bahwa getaran-getaran ilmuku sedang mengalir ke segenap tubuhku, aku takut kalau-kalau dengan demikian getaran-getaran itu harus terhisap kembali untuk kemudian aku salurkan ke sisi telapak tanganku. Dengan demikian aku akan hangus oleh aji Alas Kobar itu.”

Kebo Kanigara kini tidak hanya tersenyum.Tetapi ia tertawa. Katanya, ”Itulah keistimewaanmu Mahesa Jenar. Kau berhasil menekuni ilmu perguruan Pengging sehingga hampir sempurna, tanpa tuntunan dari siapapun. Karena itu di dalam perkembangan yang terjadi pada dirimu, ada beberapa unsur yang tak kau kenal sendiri. Kau berhasil meragakan sukmamu pada saat kau capai kesempurnaan ilmu Sasra Birawa. Tetapi dalam penerapan yang pernah kau kenal sebelumnya. Sedangkan sebenarnya engkau dapat menerapkan dalam keperluan lain, karena kekuatan-kekuatan yang tersimpan di dalam tubuhmu itu adalah kelengkapan darimu sendiri yang tunduk pada kehendakmu. Dengan demikian, Mahesa Jenar, aku yakin sekarang, bahwa kau benar-benar akan dapat mengalahkan iblis itu apabila pertempuran diteruskan. Sebab ilmu Sasra Birawa adalah seperti mata air yang agung yang tak akan kering meskipun airnya mengalir siang dan malam ke segenap penjuru.”

Mendengar uraian Kebo Kanigara itu, alangkah besarnya hati Mahesa Jenar. Ia merasa bahwa dadanya bergetar karena bangga. Ah, seandainya saja ia tahu sebelumnya, bahwa ilmu Sasra Birawa yang bersumber di pusat dadanya itu seperti mata air yang tak akan kering disegala musim.

Seandainya ia tahu bahwa ia dapat mempergunakan ilmu itu sekaligus untuk berbagai kemungkinan. 94

491

SEBAGAI manusia, Mahesa Jenar merasa bahwa ia kini memiliki senjata yang dahsyat tiada taranya. Bukankah dengan demikian ia menjadi seorang yang dapat membebaskan diri dari perasaan sakit yang disebabkan oleh rangsang dari luar tubuhnya apabila ia menghendaki dengan matek aji Sasra Birawa?

Meskipun ia tidak menjadi kebal karenanya, namun ia memiliki ketahanan yang mirip dengan ilmu kekebalan.

Tetapi sebenarnya pada saat-saat yang demikian itulah saat-saat yang paling berbahaya bagi manusia. Pada saat ia menyadari kelebihan diri dari orang lain. Pada saat ia dengan penuh kesadaran merasa tak akan mudah orang mengalahkannya.

Untunglah bahwa Mahesa Jenar memiliki bekal yang cukup untuk menerima kurnia dari Tuhan Yang Maha Esa atas usahanya yang tak kenal lelah dalam pembajaan diri. Itulah sebabnya, pada saat ia sadar akan dirinya, meskipun mengembang pula perasaan bangga sebagaimana perasaan manusia biasa, namun di dalam relung hatinya, Mahesa Jenar dengan penuh kerendahan diri, mengucapkan syukur dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Yang Maha Pengasih atas karunia itu. Bahkan diam-diam ia berjanji untuk mempergunakan ilmunya dalam kebaktian dan pengabdian pada titahnya, sesama manusia, dengan penuh rasa cinta kasih.

Kebo Kanigara menyaksikan wajah Mahesa Jenar dengan seksama, seolah-olah ia sedang membaca apakah yang tersirat dari wajah itu.

Sebagai seorang yang penuh dengan bermacam-macam pengalaman, tahulah Kebo Kanigara bahwa pada saat-saat yang paling berbahaya itu, Mahesa Jenar tidak tergelincir ke dalam sikap yang tercela. Ia tahu bahwa Mahesa Jenar tidak menjadi sombong karenanya sehingga kehilangan pengamatan atas tingkah laku dan perbuatan-perbuatannya pada masa-masa yang akan datang. Sebagai seorang yang berpandangan luas, Kebo Kanigara mengerti bahwa Mahesa Jenar itu sampai tergelincir karena kesombongannya atas keperkasaan diri, atas ilmu yang dimilikinya, maka akibatnya akan sangat berbahaya.

Ia akan mampu menggoncangkan kerajaan Demak. Tidak menggoncangkan keamanan dan ketertiban, namun seandainya ia mau, ia akan dapat menghimpun kekuatannya untuk menghancurkan Demak.

Tetapi ia yakini kemudian, bahwa Mahesa Jenar akan tetap dapat memelihara kemurnian dari tujuannya. Mengabdikan diri setulus-tulusnya pada keyakinannya, pada kebenaran dan keadilan.

Beberapa saat setelah pondok itu dicekam oleh keheningan, terdengarlah Mahesa Jenar berkata perlahan-lahan, ”Aku bersyukur kepada Yang Maha Kuasa, serta berterima kasih kepada Kakang Kebo Kanigara yang telah memberi aku kemungkinan-kemungkinan yang lebih luas dalam pengabdian diri. Mudah-mudahan aku dapat mrantasi, dapat memanfaatkan ilmuku ini sebaik-baiknya.”

Kebo Kanigara mengangguk-angguk puas. Ia tidak menjawab, tetapi hatinya berkata, ”Berbahagialah kau Mahesa Jenar. Berbahagialah atas kurnia yang kau terima, dan berbahagia atas keluhuran hatimu.”

Namun yang terucapkan adalah, ”Meskipun demikian Mahesa Jenar, aku atas nama gurumu, ayah Penging Sepuh almarhum ingin memperingatkan bahwa ilmu perguruan Pengging janganlah kau pergunakan pada setiap saat, pada setiap kesempatan sebagai pameran kekuatan yang tak berarti. Ilmu itu hanya akan kau pergunakan pada saat-saat dimana kau harus dapat mempertanggungjawabkan akibatnya. Tidak kepada sesama manusia, tidak kepada para pemimpin di Demak, bahkan tidak kepada Sultan Demak saja. Tetapi lebih daripada itu, kau akan mempertanggungjawabkan kepada Yang Maha Ada di atas segala pertanggunjawaban yang lain. Sebab kau menjadi lantaran, tidak dari para pemimpin dan tidak siapapun. Tetapi ilmumu kau terima dari Yang Maha Tinggi.”

Meskipun apa yang didengarnya dari Kebo Kanigara itu seperti apa yang didengarnya dari suara hati nuraninya, namun Mahesa Jenar dengan penuh minat mendengarkan nasihat dari orang yang dianggapnya pengganti gurunya. Sebab ia tahu benar bahwa Kebo Kanigara tidak hanya mampu berkata, tetapi apa yang dilakukannyapun sesuai benar dengan kata-katanya itu. Mempergunakan-ilmunya pada kesempatan yang tepat, untuk keperluan yang tepat pula.

Kecuali Mahesa Jenar, di salah satu sudut ruangan itu berbaring Arya Salaka. Ia mendengar semua pembicaraan gurunya dengan Kebo Kanigara itu. Ia mengetahui pula, betapa gurunya kini benar-benar menjadi manusia yang luar biasa, yang tidak akan dapat dikalahkan oleh Pasingsingan. Dengan demikian gurunya sudah tidak akan lagi silau seandainya ia duduk bersama-sama dengan Ki Ageng Pandan Alas, Ki Ageng Sora Dipayana, kakeknya, dan orang-orang lainyang setingkat dengan mereka itu. Namun disamping itu, ia mendengar pula nasihat-nasihat Kebo Kanigara kepada gurunya.

Dengan demikian, di dalam hati Arya Salaka timbul pula harapan, bahwa apabila ia bekerja dengan tekun, iapun akan mampu pula menerima kekuatan seperti gurunya itu. Meskipun demikian, di dalam hatinya tumbuh pula janji kepada dirinya sendiri bahwa iapun akan berbuat seperti gurunya, seperti apa yang dinasihatkan oleh Kebo Kanigara.

Karena angan-angannya itu, maka tiba-tiba merasa badan Arya Salaka bergetar. Bergetar karena harapan pada masa yang akan datang, pada kesulitan-kesulitan yang masih harus diatasi.

Ketika kemudian Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar itu bangkit dari tempat duduknya masing-masing untuk beristirahat, dan membaringkan diri mereka masing-masing, Arya Salaka masih tetap berangan-angan.

Tiba-tiba meloncatlah perasaan rindunya kepada masa depan itu. Kepada masa dimana ia dapat menikmati cerahnya sinar matahari, tanpa perasaan was-was dan gelisah, tanpa perasaan cemas pada hari kemudian. Dan tiba-tiba saja ia merasa rindu pula kepada keluarganya, kepada ibunya yang mengasuhnya pada masa kanak-kanaknya dengan penuh kasih sayang, kepada ayahnya, yang meskipun terkadang-kadang marah kepadanya, namun dengan penuh keikhlasan seorang ayah telah mendidiknya menghadapi masa kemudian.

Serial Bersambung 07 Juli 2000
Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta
NAGASASRA DAN SABUK INTEN
Karya SH. Mintarja No. 492

ARYA SALAKA ingat benar betapa ayahnya berkata kepadanya, bahwa kelak ia akan menjadi seorang pahlawan. Semula ia mengira bahwa seorang pahlawan adalah seorang yang hebat berkelahi, yang tak terkalahkan oleh siapapun juga. Tetapi sekarang ia berpendapat lain. Karena pergaulannya dengan gurunya, dan karena umurnya yang semakin dewasa tahulah ia apa yang dimaksud dengan kata pahlawan.

Arya Salaka menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia mencoba memejamkan matanya, malah hilir-mudiklah bayangan-bayangan masa lampaunya, masa kini dan harapan-harapan bagi masa mendatang. Meskipun ia menggeleng-gelengkan kepalanya untuk mencoba melenyapkan bayang bayang itu, namun semakin ia berusaha, semakin jelaslah bayangan-bayangan itu mengganggu. Ketika ia membuka matanya kembali, dilihatnya sinar matahari yang masih sangat condong menembus dinding-dinding pondoknya, membuat lingkaran-lingkaran cahaya di lantai. Di kejauhan terdengar riuh burung-burung liar berkicau bersahutan. Suaranya terdengar betapa merdunya, semerdu lagu puji-pujian terhadap Tuhan, yang memperkenankan mereka masih menikmati indahnya pagi ini.

Sekali-kali di tengah-tengah rimba, melengkinglah kokok ayam hutan bersambutan, di sela-sela angin pagi yang berdesir lemah. Di luar pondok itu, Arya Salaka mendengar orang berjalan hilir-mudik dalam kewajiban masing-masing, diantar oleh suara gerit timba serta debur air orang mandi. Tetapi bayangan di dalam rongga matanya masih saja mengganggu otak Arya Salaka. Bahkan kemudian ia ikut pula dalam barisan-barisan angan-angan itu seorang gadis yang nakal, namun cukup memiliki daya hidup yang menyala-nyala di dalam dadanya. Mula-mula ia mencoba mengenal gadis itu baik-baik di dalam angan-angannya. Bentuk tubuhnya, senyum serta tawanya yang renyah, seolah tingkahnya yang penuh kejujuran.

”Ah…” desah Arya Salaka. Sekali lagi ia mencoba melenyapkan bayang-bayang yang aneh-aneh itu sambil menarik nafas panjang. Tetapi bayang-bayang itu tetap tegak di dalam angan-angannya. Arya Salaka kemudian bangkit dari tempat pembaringannya. Perlahan-lahan ia melangkah ke arah pintu. Ketika ia berdiri di atas tlundhak pintu itu, ia melihat kakak-beradik Sendang Papat dan Sendang Parapat lewat di mukanya. Kedua kakak-beradik itu dengan hormat membukuk kepadanya. Arya Salaka pun membungkuk sambil tersenyum bangga. Ia bangga kepada anak-anak Banyubiru yang gigih itu. Mereka ternyata tidak sekadar berbuat untuk mendapat pujian atau gelar-gelar yang menyenangkan, atau hadiah yang berharga. Tetapi mereka melakukan semua itu dengan penuh kesadaran. Sadar akan kewajibannya terhadap kampung halaman, sadar akan kesetiaannya kepada tumpah darah.

Dari ruang di sebelah, Arya mendengar nafas gurunya mengalir dengan irama teratur. Agaknya Mahesa Jenar itu telah tertidur dengan nyenyaknya. Tiba-tiba Arya Salaka pun menguap. Perlahan-lahan ia menutup pintu pondok itu dan perlahan-lahan ia berjalan ke tempat pembaringannya, untuk kemudian merebahkan diri. Karena lelah dan kantuk, akhirnya iapun tertidur pula. Apa yang terjadi di perkemahan itu, ternyata telah memberikan keyakinan yang lebih tebal lagi bagi Mahesa Jenar maupun Arya Salaka, bahwa golongan hitam benar-benar telah meningkatkan kegiatannya. Mereka untuk sementara memang dapat bekerja bersama, diantara mereka menghanyutkan Banyubiru dengan harapan untuk menemukan keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, dan mempergunakan Banyubiru sebagai sasaran pertama dalam usaha mereka membentuk pemerintahan yang akan dapat menjadi tandingan dari pemerintah di Demak. Bahkan dengan tujuan terakhirnya, melenyapkan kekuasaan Demak.

Dengan demikian, jelaslah kemudian, siapakah yang mula-mula membuat rencana itu. Dengan desas desus serta berbagai macam dalih dan alasan, akhirnya tergeraklah golongan hitam seluruhnya untuk berusaha mendapatkan keris-keris Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten, mereka mengadakan semacam perjanjian, siapa yang memiliki keris sipat kandel Kraton Demak itu akan diangkat menjadi pemimpin dari segenap gerombolan hitam yang terserak-serak hampir di segenap sudut Demak. Dalam himpunan itu, mereka mengharap dapat menguasai sebagian wilayah Demak dan mempergunakan wilayah itu sebagai daerah pancatan untuk menandingi kekuasaan Demak.

Dalam penelahan Mahesa Jenar, rencana itu pasti timbul dari Pasingsingan. Apalagi ia telah menyuruh Lawa Ijo untuk mengambil pusaka-pusaka dari perbendaharaan Istana, yang sebenarnya perbuatan itu hanya sekedar usaha darinya untuk membuktikan apakah kedua pusaka yang diperebutkan itu bukan sekadar turunannya saja. Meskipun dalam ilmu mereka, Pasingsingan merasa tidak lebih tinggi dari Sima Rodra, Bugel Kaliki, dan sebagainya, namun ia merasa bahwa ia memiliki kecerdasan dan kemampuan berpikir lebih daripada mereka itu. Sehingga bagi Pasingsingan, apabila keris-keris itu sudah berada di dalam salah seorang anggota gerombolan hitam, baginya akan lebih mudah untuk mendapatkannya daripada apabila pusaka-pusaka itu berada di istana atau di tangan golongan lain. Karena itu, demikian Pasingsingan mendengar Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten jengkar dari Istana, demikian ia menyusun rencananya.

Tetapi rencana yang disusunnya itu tak dapat dilaksanakannya dengan baik. Sebab tiba-tiba muncullah Lembu Sora yang meskipun tidak termasuk di dalam golongan hitam, bahkan yang sebenarnya mempunyai pertentangan kepentingan, namun dalam beberapa hal mereka menunjukkan adanya persamaan perbuatan dan tingkah laku. Mereka sama-sama menaruh minat yang besar terhadap Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, tidak untuk diserahkan kembali kepada yang berhak, tetapi mereka ingin kedua pusaka itu untuk diri mereka sendiri.

Serial Bersambung 08 Juli 2000
Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta
NAGASASRA DAN SABUK INTEN
Karya SH. Mintarja No. 493

DENGAN demikian jelaslah bagi Mahesa Jenar, bahwa meskipun dalam gerak mereka dapat mewujudkan irama yang senada, namun di dalam tubuh mereka itu, seperti api di dalam sekam, setiap kali berkobarlah api pertentangan yang maha dahsyat untuk memuaskan nafsu kekuasaan mereka masing-masing. Meskipun demikian Mahesa Jenar yakin, bahwa mereka tak akan mampu untuk menyusun pemerintahan tandingan, namun apabila mereka mulai melaksanakan rencana mereka, berarti akan terjadi kekacauan dan keributan. Pembunuhan, perkosaan terhadap sendi perikemanusiaan dan banyak lagi hal-hal yang akan terjadi.

Rencana Pasingsingan menjadi semakin terpecah belah, ketika kemudian Gajah Sora telah bertindak jauh mendahului perhitungannya disusul dengan munculnya orang yang bernama Mahesa Jenar. Yang ternyata adalah orang itulah yang menentukan kegagalannya. Karena itu, tak ada jalan lain bagi Pasingsingan, kecuali membunuh Mahesa Jenar. Dalam keadaan yang terakhir, muncullah rencana Pasingsingan yang mahahebat menurut perasaannya. Mengarahkan segenap kekuatan golongan hitam untuk menghancurkan Banyubiru, memusnahkan orang-orang seperti Mahesa Jenar, Lembu Sora, Sora Dipayana, laskar Banyubiru kedua belah pihak, serta tunas-tunas masa depan, yaitu Arya Salaka dan Sawung Sariti sekaligus.

Mahesa Jenar dapat merasakan betapa dendam yang tersimpan di dalam tubuh golongan hitam itu kepadanya. Tetapi adalah menjadi tanggungjawabnya untuk menanggulanginya.

Rombongan dari Nusakambangan yang datang ke Banyubiru, serta rombongan Alas Mentaok yang datang di perkemahan ini, memperjelas keadaan. Ternyata ketajaman otak Mahesa Jenar cukup mampu untuk mengurai segala sesuatu yang mungkin bakal terjadi, serta yang telah direncanakan oleh golongan hitam itu.

Demikian lelahnya Arya Salaka pada saat itu sehingga ia tertidur demikian nyenyaknya. Ketika matahari telah lewat puncak langit, ia terkejut karena gurunya membangunkannya. Ketika ia membuka matanya, dilihatnya Kebo Kanigara duduk menghadap hidangan makan siang. Nasi jagung dengan lauk daging binatang buruan dan sayur-sayuran.

”Tidakkah kau lapar?” tanya Mahesa Jenar.

Arya Salaka menggeliat. Kemudian iapun segera bangkit dan pergi mencuci mukanya, untuk kemudian bersama-sama dengan Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar, menikmati makan siang dengan lahapnya.

Ketika mereka telah selesai makan, serta sisa-sisa makannya telah disingkirkan oleh Endang Widuri, tiba-tiba terdengarlah Mahesa Jenar berkata seperti kepada diri sendiri, ”Itulah yang aku cemaskan, Kakang.”

Arya Salaka tidak tahu maksud kata-kata itu. Agaknya gurunya telah lama membicarakan sesuatu masalah dengan Kebo Kanigara. Kebo Kanigara mengangguk kecil. Tampaknya iapun sedang berpikir. Sesaat kemudian iapun menjawab, ”Kita dihadapkan pada kemungkinan-kemungkinan yang tak menyenangkan.”

Arya memandang kedua laki-laki itu tanpa berkedip. Sebenarnya ingin juga ia mengetahui persoalannya, namun ia tidak berani bertanya. Ia menjadi semakin tertarik pada persoalan itu, ketika dilihatnya wajah gurunya menjadi bersungguh-sungguh. Beberapa saat mereka kemudian berdiam diri. Seakan-akan masing-masing terbenam dalam persoalan yang kurang menyenangkan. Di luar terik matahari seperti membakar daun-daun rerumputan yang menjadi kering karenanya. Tidak seberapa jauh dari pondok itu terdengar orang menumbuk padi dan jagung. Suaranya beruntun seperti suara orang berlagu dengan irama yang tetap. Di arah lain terdengar suara tempaan besi gemerinting bersahut-sahutan. Beberapa orang pandai besi sudah bekerja keras untuk membuat atau memperbaiki alat-alat pertanian dan bahkan ada diantara mereka yang membuat senjata.

Kemudian terdengarlah Mahesa Jenar berkata, ”Kakang, aku kira, aku perlu memberikan keterangan keterangan mengenai tugas kita kepada Arya Salaka.”

Kebo Kanigara mengangguk mengiyakan, jawabnya, ”Berilah ia gambaran apa yang sudah terjadi dan apa yang kira-kira akan terjadi.”

Arya Salaka mengingsar duduknya. Ia menjadi bergembira. Dengan demikian ia mengharap akan dapat mengetahui kesulitan-kesulitan apakah yang sedang membebani perasaan gurunya serta Kebo Kanigara.

”Arya…” kata Mahesa Jenar, ”Aku akan menceritakan perjalanan kami sebagai utusanmu ke Banyubiru. Aku akan mengatakan apa adanya, supaya kau mendapat gambaran yang benar terhadap daerahmu, serta orang-orang yang sedang berada di sana.”

Arya Salaka mendengarkan kata-kata Mahesa Jenar dengan penuh minat. Ketika kemudian Mahesa Jenar menceriterakan apa yang telah dialami selama ini, maka kata demi kata diperhatikannya dengan sungguh-sungguh. Bahkan seolah-olah ia sendiri ikut serta mengalami perjalanan yang kurang menyenangkan itu.

Serial Bersambung 09 Juli 2000
Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta
NAGASASRA DAN SABUK INTEN
Karya SH. Mintarja No. 494

MAHESA JENAR menceriterakan apa yang telah terjadi, namun ia mencoba untuk tidak menimbulkan kecemasan, apalagi ketakutan pada Arya Salaka. Ia mencoba untuk menyingkirkan sentuhan-sentuhan pada perasaan anak itu. Sebab ia tahu benar, betapa halusnya perasaan Arya Salaka sebagai seorang anak yang sejak belasan tahun harus sudah berpisah dari ikatan kasih sayang ayah bundanya.

Meskipun demikian Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara terkejut mendengar pertanyaan Arya Salaka yang pertama. Ia tidak bertanya tentang kemungkinan-kemungkinan bagi dirinya sendiri. Ia tidak bertanya, apakah dirinya masih mempunyai kemungkinan untuk kembali ke tanah pusakanya yang telah lama terlepas dari tangannya. Ia tidak bertanya apakah masih ada kemungkinan baginya untuk kembali ke Banyu Biru sebagaimana ayahnya. Tetapi pertanyaan yang pertama-tama diucapkan oleh anak muda itu adalah, ”Paman, tidakkah Paman bertemu dengan Bunda?”

Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Beberapa saat ia berpandangan saja dengan Kebo Kanigara. Bagaimana ia akan menjawab pertanyaan itu. Memang dalam saat yang gawat, seperti yang dihadapinya pada saat itu, terlupakanlah kepentingan-kepentingan lain, sehingga pada saat itu ia tidak bertanya dan berusaha menemui Nyai Ageng Gajah Sora.

Karena itulah maka ia tidak berceritera tentang orang itu. Arya Salaka yang mendengarkan setiap kata demi kata, menjadi kecewa ketika ceritera Mahesa Jenar itu berakhir tanpa menyebut ibunya, justru ibunya itu bagi Arya Salaka adalah suatu kepentingan yang tak kalah artinya dari segenap kepentingan-kepentingan yang lain.

Akhirnya Mahesa Jenar menjawab, ”Arya, aku minta maaf kepadamu, bahwa aku tidak mendapat kesempatan sama sekali untuk berbuat lebih banyak dari yang sudah aku lakukan. Sehingga dengan demikian aku tidak dapat menemui Nyai Ageng Gajah Sora. Tetapi karena kakekmu Ki Ageng Sora Dipayana tidak mengatakan sesuatu, aku kira ibumu itupun tidak mengalami sesuatu.”

Mendengar jawaban itu Arya Salaka menundukkan wajahnya. Ia benar-benar kecewa. Demikian rindunya ia kepada ibunya, sehingga rasa-rasanya ia meloncat langsung ke Banyu Biru saat itu juga.

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara dapat menyelami perasaan anak itu sedalam-dalamnya. Mereka merasa juga bahwa Arya telah menyalahkan mereka, kenapa mereka sama sekali tidak ingat kepada orang yang telah melahirkan, membesarkan dengan penuh kasih sayang.

Maka berkatalah Mahesa Jenar perlahan-lahan dan hati-hati untuk menentramkan hati anak itu, ”Arya, tenangkanlah hatimu. Berbanggalah kau, karena kau telah menjauhkan kepentingan pribadimu, terpisah dari ayah bunda, tetapi dengan menjunjung tinggi pengabdian diri terhadap sesama, terhadap rakyatmu dan terhadap Tuhanmu, sebagai sumber dari pengabdianmu menegakkan kebenaran dan keadilan.”

Arya Salaka masih saja menundukkan wajahnya. Namun kata gurunya itu meresap pula di dalam kalbunya. Akhirnya ia mencoba untuk menghadapi kenyataan itu sebagai seorang laki-laki. Bagaimanapun kerinduan itu bergolak di dalam dadanya, namun ia mencoba untuk menekannya kuat-kuat. Bukankah kepentingan rakyatnya jauh lebih berharga dari kepentingan diri? Seandainya ia kemudian tenggelam dalam duka karena perasaan rindunya kepada bunda, apakah yang akan dapat disumbangkan kepada tanah perdikan Banyu Biru, tanah pusakanya? Karena itu maka kemudian ia mengangkat wajahnya.

Dengan penuh tekad ia berkata, ”Paman, biarlah aku lupakan perasaan rinduku kepada bunda. Lalu apakah yang harus aku kerjakan?”

Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya dengan bangga.

Katanya, ”Demikianlah putra Ki Ageng Gajah Sora….Tengadahkanlah dadamu, besarkanlah hatimu. Sebab di depanmu ternganga jurang kewajiban yang maha besar. Nah anakku, bersiaplah untuk dapat beberapa hari ini bersama-sama dengan segenap laskarmu, datang ke Banyu Biru.”

Tiba-tiba wajah Arya Salaka jadi berseri. Dengan demikian ia akan bertemu kembali dengan tanah tercinta, dengan sawah ladang kampung halaman, meskipun mungkin harus ditebusnya dengan darah.

Beberapa saat kemudian, berjalanlah Arya Salaka meninggalkan pertemuan itu. Ia tidak tahu, kenapa yang mula-mula dilakukan adalah pergi kepada Endang Widuri dan mengabarkan rencana pamannya itu kepadanya.

”Kita akan bersama-sama ke Banyu Biru?” tanya Endang Widuri yang tiba-tiba menjadi bergembira pula.

”Ya,” jawab Arya Salaka.

”Aku akan dapat melihat rumahmu yang pernah kau ceriterakan kepadaku dahulu di lereng pegunungan Telamaya,” sahut Widuri dengan mata yang berkiliat-kiliat.

”Bukankah begitu?”

”Ya,” jawab Arya Salaka singkat.

”Dari halaman rumahmu dapat kita lihat wajah Rawa Pening yang berkilau…?” Widuri meluruskan.

”Bukan dari halaman rumahku, tetapi dari alun-alun di muka rumahku.”

Arya Salaka membetulkan. ”Ya. Dari alun-alun di muka rumahmu. Jadi rumahmu itu mempunyai alun-alun?” tanya Endang Widuri.

”Hem…” Widuri meneruskan, ”Kalau begitu kau adalah anak seorang yang kaya dan terhormat. Menurut ayahku, di muka istana Demak pun ada alun-alun.”

”Tidak selalu,” potong Arya, ”Ayahku bukanlah orang yang kaya. Tetapi adalah lazim bahwa di muka rumah kepala daerah perdikan terdapat alun-alun. Di Pamingit juga ada alun-alun. Di Pangrantunan, bekas rumah kakek dahulu juga terdapat alun-alun. Bahkan di muka rumah kademangan Paman Sarayuda di Gunungkidul, katanya ada alun-alun juga.”

”Kapan kita berangkat?” Tiba-tiba Endang Widuri bertanya seolah-olah tidak sabar lagi menunggu sampai esok.

Cerita Bersambung 10 Juli 2000
NAGASASRA dan SABUK INTEN
Karya SH Mintarja
495

ARYA SALAKA menggelengkan kepalanya.

”Entahlah,” jawabnya.
”Sebulan… dua bulan… atau setahun lagi…?” tanya Endang pula.
”Seharusnya Arya Salaka-lah yang paling tidak bersabar.” Tiba-tiba terdengar suara Rara Wilis dari belakang mereka.

Segera mereka itu pun menoleh. Dan tiba-tiba terbersitlah perasaan malu di dalam dada Endang Widuri. Perasan yang selama ini belum pernah dirasakannya. Karena itu pipinya pun kemudian menjadi merah. Tetapi perasaan itu hanya sebentar menjalar di dalam dirinya, kemudian kembali terdengar suaranya renyah, ”Kakang Arya Salaka pun sebenarnya tidak bersabar pula. Tetapi ia tidak mau mengatakannya. Sedang aku menjadi sangat ingin melihat kehidupan bukit Telamaya dan kecerahan wajah Rawa Pening di pagi yang bening.”

Rara Wilis tersenyum. Sebenarnya di dalam hatinya sendiripun tersimpan pula harapan, agar segala sesuatunya menjadi lekas terselesaikan. Sebagai seorang gadis ia lebih mudah tersentuh oleh perasaan rindu kepada keluarga. Kepada hidup kekeluargaan yang lumrah. Meskipun di dalam tubuhnya mengalir juga darah pengembara dari kakeknya, Pandan Alas, namun baginya lebih baik hidup tentram damai dalam pelukan keluarga yang bahagia. Bermain-main dengan anak dan suami serta bergurau dengan tetangga.

Rara Wilis menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia pun ikut duduk bersama dengan Arya dan Endang Widuri. Ikut bercakap-cakap dengan mereka itu, untuk melupakan kerinduannya pada masa yang diimpikan. Namun ia pun sadar sesadar-sadarnya, bahwa ia harus mengutamakan membantu orang yang dicintainya dalam mengemban kewajiban. Ia harus dapat menekan diri, dalam pergolakan masa kini.

Tetapi agaknya Mahesa Jenar tidak menunda-nunda waktu lebih lama. Ketika matahari pada sore hari itu terbenam, mulailah ia mengumpulkan beberapa orang pemimpin laskar Banyubiru, di gardu pimpinan. Kebo Kanigara, Rara Wilis bahkan Endang Widuri pun hadir pula. Mantingan, Wirasaba, Wanamerta, Bantaran, Panjawi, Jaladri, Sedang Papat, Sendang Parapat, dan beberapa orang lagi.

Dalam kesempatan itu Mahesa Jenar membeberkan segala sesuatu mengenai persoalan yang rumit yang menyangkut diri Arya Salaka. Karena itu ia ingin membawa Arya Salaka ke Banyubiru. Tetapi tidak dalam rombongan kecil, tetapi mereka bersama-sama akan berangkat, sebagai suatu pernyataan bahwa apabila terpaksa, laskar Banyubiru yang setia itupun memiliki kekuatan yang tak dapat diabaikan.

Dalam keriuhan sambutan yang bergelora, disertai dengan keikhlasan berkorban dari para pemimpin laskar, terdengar Mahesa Jenar berkata, ”Laskar Banyubiru yang setia, kalian harus ingat akan tujuan kalian. Sekali lagi aku katakan, kita kembali ke Banyubiru tidak akan membalas dendam. Kita datang ke Banyubiru untuk kepentingan kebenaran dan keadilan, untuk kepentingan kemanusiaan. Karena itu jangan berbuat hal-hal yang bertentangan dengan kemanusiaan. Bertentangan dengan perasaan keadilan dan bertentangan dengan sendi-sendi kemanusiaan.”

Pertemuan itu menjadi hening. Suatu pertanda bahwa kata-kata Mahesa Jenar itu benar-benar meresap ke dalam dada setiap orang yang mendengarkan.

Kemudian terdengarlah ia melanjutkan, ”Ingatlah bahwa kalian berada dalam satu pimpinan. Jangan berbuat sendiri-sendiri yang dapat merugikan nama baik kalian sebagai pejuang. Nah, sejak besok pagi, bersiagalah untuk setiap saat berangkat ke Banyubiru.”

Laskar Banyubiru yang setia itu menyambut pernyataan Mahesa Jenar dengan penuh tekad. Mereka menyingkir ke daerah Candi Gedong Sanga karena mereka sama sekali tidak mau menerima keadaan yang menyedihkan di tanah mereka. Karena itu ketika mereka mendapat kesempatan untuk kembali ke Banyubiru, mongkoklah hati mereka. Mereka tidak mengharap hal yang berlebih-lebihan. Mereka tidak mengharap untuk kemudian menjadi Demang, Lurah atau Bahu. Tetapi mereka sekedar mengharap pemerintahan yang adil dan jujur, berlandaskan pada sendi-sendi yang telah diletakkan sejak masa pemerintahan Ki Ageng Sora Dipajana.

Sebagai seorang yang patuh kepada agamanya, Ki Ageng Sora Dipajana mendasarkan pemerintahannya kepada ketaatannya, pengagungan dan kebaktiannya kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai sumber tindak tanduk dan tingkah lakunya di dalam menjalankan pemerintahan, cinta kasih kepada sesama, kepada manusia sebagaimana Tuhan menjadikan manusia dengan penuh Cinta kasih, kepada tumpah darah, kampung halaman serta lingkungan yang dikurniakan Tuhan kepada manusia. Mendasarkan pemerintahan pada kepentingan rakyatnya serta mendengarkan dan melaksanakan pendapat mereka untuk kesejahteraan mereka lahir dan batin. Tidak hanya dalam ucapan penghias bibir, tetapi benar-benar dalam pengamalan dan perbuatan.

Sendi-sendi itu pulalah yang kemudian diterapkan dalam pemerintahan Ki Ageng Gajah Sora di Banyubiru. Tetapi sejak masih berada di Pamingit, adiknya Ki Ageng Lembu Sora agaknya sedikit demi sedikit tersesat dari jalan itu. Sedikit demi sedikit ia tenggelam dalam kepentingan diri sendiri, nafsu lahiriah yang kadang-kadang sama sekali bertentangan dengan sendi-sendi dasar yang menurut pengakuannya juga dianutya.

Tetapi apakah artinya pernyataan, pengakuan dan kesediaan yang diteriakkan sampai menyentuh langit, namun dalam tindak tanduk dan tingkah lakunya bertentangan dengan kata-katanya…? Apakah artinya janji yang tidak pernah ditepati…? Apakah artinya pengabdian diri yang hanya berupa pameran lahiriah tanpa satunya kata dan perbuatan…?

Beberapa orang yang pernah mengalami penderitaan lahir batin dapat menjadi saksi. Lapangan-lapangan yang pernah dipergunakan sebagai tempat penyelenggaraan tayub, mabuk-mabukan dan adu jago merupakan saksi-saksi bisu pula. Sedang tempat ibadah yang semakin hari semakin susut dikunjungi orang dapat merupakan saksi-saksi yang tak dapat dibantah. Penganiayaan dan tindak sewenang-wenang betapapun alasannya. Sebab sebenarnya bahwa pelanggaran atas azas-azas kemanusiaan adalah pelanggaran pula dari azas-azas ke-Tuhan-an. 95

ITULAH yang tidak dikehendaki oleh orang-orang Banyubiru yang setia. Setia kepada sendi-sendi dasar pemerintahan itu. Dengan demikian, ketika matahari mulai menjengukkan wajahnya di keesokan harinya, sibuklah laskar Banyubiru mempersiapkan diri. Mereka mempertinggi irama latihan mereka, mempertajam pedang serta tombak mereka. Meskipun senjata-senjata itu bukan mutlak harus dipergunakan, namun terhadap orang yang bernama Lembu Sora dan Sawung Sariti, hal yang demikian itu tak dapat dikesampingkan.

Hari itu Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara sendiri memerlukan menyaksikan latihan-latihan yang diselenggarakan tanpa mengenal lelah. Beberapa kali kedua orang sakti itu langsung memberikan nasehat-nasehat serta petunjuk-petunjuk. Bahkan beberapa orang yang cukup kuat, langsung mendapat latihan-latihan khusus dari Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara disamping usaha-usaha yang terus-menerus yang dilakukan oleh Mantingan, Wirasaba dan pimpinan laskar mereka sendiri.

Pada hari ketiga, ketika Mahesa Jenar menganggap bahwa waktunya telah masak, dipersiapkannya laskar Banyubiru itu. Dan pada suatu pagi yang cerah, didahului oleh pengantar kata dari setiap pimpinan kelompok, untuk memperteguh jiwa anak-anakBanyubiru itu, menjalarlah sebuah iringan yang seperti ular menelusuri jalan-jalan perbukitan.

Di ujung barisan itu berjalanlah Mahesa Jenar di samping Arya Salaka. Kemudian di belakangnya berjalan seenaknya Endang Widuri di samping ayahnya. Perhatiannya sama sekali tidak tersangkut pada perjalanan yang penting ini, tetapi ia lebih senang memberhatikan lembah yang berwarna hijau kekuning-kuningan, diantara batu-batu padas yang merah tembaga menjorok seakan-akan menghadang perjalanan itu.

Sinar matahari pagi yang dilemparkan ke lembah-lembah itu menari dengan lincahnya mempermainkan titik-titik embun yang masih tersangkut di ujung-ujung daun. Ketika Arya Salaka muncul dari balik sebuah bukit kecil, tiba-tiba dadanya berdesir. Tanpa sesadarnya ia berhenti. Mahesa Jenar cepat dapat mengetahui perasaan apakah yang bergolak di dalam dada anak itu. Cepat Mahesa Jenar menariknya ke tepi dan memberi isyarat kepada pasukannya untuk berjalan terus.

Ketika Endang Widuri lewat beberapa langkah di depan Arya Salaka, ia menoleh kepadanya dengan heran. Tetapi ia tidak bertanya sesuatu, sebab kemudian kembali ia tertarik pada dataran yang berkilat-kilat memantulkan cahaya matahari yang sudah cukup tinggi.

”Ai…” teriak gadis kecil itu, ”Apakah itu?”

Ayahnya tertawa, dijawabnya, ”Seharusnya aku mengajak kau merantau supaya kau tidak menjadi anak yang heran melihat matahari terbit.”

Endang Widuri sama sekali tidak memperhatikan kata-kata ayahnya, bahkan kemudian ia berteriak gembira sekali, ”Rawa Pening? Bukankah itu Rawa Pening?”

”Ada apa dengan Rawa Pening?” tanya ayahnya.

”Sejak lama aku ingin melihatnya. Kalau demikian, bukankah kita sudah tidak jauh lagi dari rumah Kakang Arya Salaka?” tanya Widuri pula.

Pertanyaan itu terdengar aneh bagi Kebo Kanigara. Tetapi sebagai seorang ayah dari seorang gadis yang sedang menjelang mekar, ia hanya menarik nafas. Tetapi kemudian terdengar jawabannya, ”Widuri, Banyubiru masih jauh. Jalan lembah itu akan berkelok-kelok seperti ular yang sedang berenang. Meskipun demikian kau sudah dapat melihat arahnya dari tempat ini. Itulah Bukit Telamaya.”

Telamaya dalam pendengaran Endang Widuri, merupakan daerah yang sejuk, tenteram dan damai.

Tiba-tiba angan-angannya memanjat tinggi ke alam cita. Meskipun ia belum pernah melihat daerah Bukit Telamaya, namun ia tiba-tiba menjadi sedemikian besar keinginan untuk pergi ke daerah itu, sebagai daerah yang menyenangkan. Tanpa sesadarnya pula kemudian ia menoleh ke arah Arya Salaka. Anak muda itu ternyata masih berdiri tegak di samping Mahesa Jenar, memandang jauh ke arah lambung Bukit Telamaya yang membujur di hadapannya seperti raksasa yang tidur dengan nyenyaknya.

Di balik bukit itu membayanglah warna biru kehijauan disaput oleh awan yang tipis, Gunung Merbabu. Kemudian Endang Widuri meneruskan perjalanannya dengan penuh angan-angan di kepalanya. Sebagai seorang gadis ia senang pada keindahan. Juga keindahan alam yang terbentang di hadapannya. Lembah, ngarai, jurang-jurang terjal dan dinding-dinding padas yang menjulang tinggi, ditelusuri oleh jalur-jalur putih, jalan setapak yang selalu dipergunakan oleh orang-orang yang mencari kayu di hutan-hutan. Di sana-sini jalur-jalur itu hilang terputus ditelah oleh hutan-hutan yang berserakan di lembah itu. Agak jauh di sebelah Rawa Pening, terbentanglah sawah yang luas. Setingkat demi setingkat pematang-pematang sawah itu seperti memanjat tebing pada sisinya. Tetapi daerah itu masih jauh.

Arya Salaka yang berdiri di samping Mahesa Jenar merasa betapa hatinya berdebar-debar menyaksikan semuanya itu. Seperti seorang akan menjelang kekasih yang telah bertahun-tahun tak bertemu. Sawah, ladang, kampung halaman rumahnya dengan pohon jambu yang lebat berbuah.

Semuanya itu seperti hilir mudik di depan matanya. Dan dibalik kehijauan lambung Bukit Telamaya itulah tinggal seorang yang paling dicintai, serta dirindukannya, yaitu ibunya. Mahesa Jenar ikut merasakan betapa perasaan rindu itu mengusik hati muridnya. Tetapi tak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Sebab ia tahu pula bahwa kata-katanya akan dapat menambah gelora perasaan rindu itu. Untuk beberapa lama mereka saling berdiam diri. Di samping mereka berjalanlah iringan laskar Banyubiru. Di pundak merekalah terletak masa depan Bukit Telamaya itu, dan kepada merekalah bukit itu menggantungkan nasibnya.

Serial Bersambung 12 Juli 2000
Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta
NAGASASRA DAN SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 497

TIBA-TIBA Arya Salaka menjadi semakin terharu ketika ia melihat keserasian yang mengetuk dadanya. Di hadapannya terbentang lembah yang hijau dibatasi oleh lereng bukit Telamaya, sedang di sampingnya menjalarlah laskar yang setia. Betapa kemudian tergambar di dalam otaknya itu seolah-olah merupakan seekor naga raksasa yang sedang berjuang untuk merebut kembali sebutir telur raksasanya yang teronggok di hadapannya. Arya menarik nafas. Bukit Telamaya itu seolah-olah sebuah permata yang berkilauan ditimpa cahaya matahari. Sinarnya memancarkan ke segenap penjuru, memerangi seluruh langit dan bumi.

Kemudian teringatlah anak muda itu akan sebuah kisah terjadinya Rawa Pening. Seekor naga yang rindu kepada ayahnya. Sedang ayah itu bersedia untuk menerimanya apabila ular itu sanggup melingkari gunung Merbabu. Tetapi sayang, bahwa panjang tubuhnya tidak memungkinkan, meskipun hanya kurang sejengkal. Karena itu ular raksasa itu tidak menyenangkan ayahnya. Dengan serta merta, lidah ular raksasa itu segera dipotongnya. Maka matilah ular itu. Tetapi jiwa ular itu kemudian berubah menjadi seorang kerdil yang menancapkan lidi di lembah bukit sebelah utara Gunung Merbabu. Tak seorang pun dapat menarik lidi itu. Karena itu kemudian orang kerdil itu sendirilah yang menariknya.

Dari lubang bekas lidi itu memancarlah mata air yang semakin lama semakin besar dan besar. Akhirnya terjadilah di lembah itu sebuah Rawa. Rawa Pening.- Sekarang, Arya Salaka pun sedang melakukan tugas yang seolah-olah dibebankan oleh ayahnya. Melingkari bukit Telamaya. Pasukannya itulah ibarat tubuh ular yang harus mampu melilit bukit itu. Tetapi kalau kemudian panjang tubuh itu tidak memungkinkan, ia tidak akan menyambung hanya dengan lidahnya. Tidak dengan janji dan prasetya. Tetapi ia akan menyambung kekurangan itu dengan darahnya. Dengan nyawanya.

Arya Salaka terkejut ketika terasa setetes air menyentuh tangannya. Cepat ia mengusap matanya yang sedang mengaca. Untunglah bahwa pada saat itu Mahesa Jenar pun agak terpaku juga pada kebesaran alam yang tergelar di hadapannya. Memang demikianlah tabiatnya. Setiap kali ia berhadapan dengan kebesaran alam, setiap kali ia menyebut nama Yang Maha Besar. Kalau ciptaan-Nya saja sedemikian agungnya, betapa Agung Yang Menciptakannya. Ketika Mahesa Jenar menoleh kepadanya, Arya Salaka mencoba untuk tersenyum. Senyum yang diwarnai oleh gelora hatinya. Meskipun demikian, Mahesa Jenar melihat juga warna merah yang menyaput mata muridnya. Tetapi ia pura-pura tidak melihatnya dan malah ia bertanya kepada anak muda itu dengan pertanyaan yang sama sekali tidak bersangkut paut dengan Banyubiru, sambil menengadahkan mukanya. ”Arya, udara cerah. Sebentar lagi matahari akan sampai di atas kepala kita. Mudah-mudahan kita dapat beristirahat sebentar di hutan di depan kita.”

Arya Salaka mengangguk. Dengan terbata-bata ia menjawab, ”Ya, Paman. Hutan itu sudah tidak begitu jauh.”

”Kita perlu istirahat sebentar, Arya. Kemudian kita meneruskan perjalanan. Kita akan bermalam satu malam sebelum esok paginya kita sampai ke hadapan Bukit Telamaya itu.”

”Tidakkah hari ini kita lanjutkan perjalanan, Paman?” tanya Arya Salaka sekenanya.

”Tidak perlu,” jawab Mahesa Jenar, ”Sebab menurut pertimbanganku, sebelum kita memasuki daerah itu, biarlah dua tiga orang mendahului menyaksikan keadaan. Sebab apabila terpaksa terjadi perselisihan, maka kita dapat mengetahui siapakah yang berada di pihak kita, dan siapakah yang berbeda pendapat dengan kita. Dengan demikian kita akan mendapat gambaran yang tegas, apakah yang perlu kita lakukan.”

Arya Salaka yang telah dapat menguasai perasaanya, sekali lagi mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata pertimbangan gurunya itu adalah benar-benar merupakan suatu tindakan yang berhati-hati dan penuh kewaspadaan. Karena itu ia menjawab, ”Agaknya demikianlah yang seharusnya, Paman.”

Sekali lagi Mahesa Jenar melemparkan pandangannya ke Bukit Telamaya yang melintang di hadapannya, lembah, ngarai serta jurang-jurang yang terjal. Sekali lagi ia memandang cahaya matahari yang terpantul dari wajah Rawa Pening. Maka kemudian katanya, ”Marilah Arya, ujung pasukanmu telah berjalan agak jauh mendahului kita.”

Arya tersadar dari perasaan rindu, haru serta gambaran-gambaran masa datang. Ketika ia menoleh ke belakang, dilihatnya laskarnya yang berjalan berjajar dua di jalan sempit itu telah hampir sampai ke pangkalnya. Di belakang pasukan itu dilihatnya Mantingan dan Wirasaba berjalan beriringan dengan Bantaran dan Penjawi.

Melihat Arya Salaka dan Mahesa Jenar yang seolah-olah sengaja menyaksikan seluruh isi laskarnya, Mantingan tersenyum. Kemudian setelah sampai di hadapan anak muda itu ia berkata, ”Adakah yang kurang dalam barisan ini?”

Sambil berjalan di samping mereka itu Arya menjawab, ”Tidak, Paman. Namun demikian aku mengharap bahwa barisan kita menjadi semakin lengkap. Apabila kita besok mulai memasuki Banyubiru, aku harap bahwa di samping Sang Saka Gula Kelapa, berkibar pula Panji-panji Dirada Sakti, sebagai lambang kebesaran tanah Perdikan Banyubiru, di dalam pelukan persatuan dan kesatuan Demak.”

Mantingan dan Wirasaba mengangguk-anggukkan kepalanya, apalagi Bantaran dan Penjawi. Sehingga terdengarlah Penjawi menjawab, ”Hebat. Kita pasang pula umbul-umbul dan tanda-tanda kebesaran lainnya. Bukankah dengan demikian pasukan kita akan bertambah megah?”

”Demikianlah hendaknya,” jawab Arya Salaka, ”Asal hati kita bertambah megah dan besar.”

Serial Bersambung 13 Juli 2000
Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta
NAGASASRA DAN SABUK INTEN
Karya SH. Mintarja No. 498

MAHESA JENAR kagum akan kecepatan berpikir Arya. Dengan demikian ia benar-benar seperti menanti laskarnya berjalan dahulu untuk berbicara dengan Mantingan. Hilanglah kesan keharuan dari wajahnya. Hilanglah sikap kekanak-kanakannya yang rindu pada orang tua. Yang kemudian menjadi sikap seorang putra kepala daerah perdikan yang rindu pada kebesaran tanah perdikannya. Kemudian untuk beberapa lama pasukan itu berjalan dalam keheningan. Tak seorangpun yang mengucapkan kata-kata, namun di dalam dada masing-masing bergeloralah berbagai macam persoalan yang hilir-mudik, serta kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi silih berganti. Wajah-wajah mereka kadang-kadang tampak cerah seperti cerahnya matahari, kadang-kadang menjadi suram oleh kenyataan yang mereka hadapi. Bahwa mereka harus melampaui banyak persoalan, untuk kembali kekampung halaman sendiri. Bahwa mereka merasa, seolah-olah mereka adalah orang buruan yang dikejar-kejar dan terasing karena mereka adalah perampok-perampok dan penjahat-penjahat. Bahwa mereka harus berhadapan dengan orang-orang yang tak tahu diri dan membuat kadang-kadang diluar perikemanusiaan, hanya karena ia berkata, ”Aku tetap setia kepada Banyubiru.” Apakah salah mereka dengan kesetiaannya itu? Kesetiaan yang dilandasi oleh kesadaran, bahwa dalam keadaan yang sedemikian ini, hanya pemerintahan yang berlandaskan kebenaran dan keadilanlah yang akan dapat menjamin ketentraman Banyubiru. Bahkan pulihnya hubungan yang wajar antara Banyubiru dan Pamingit, diantara segala sesuatu dapat dikembalikan kepada tempatnya yang sebenarnya. Sebab menurut keyakinan mereka, hanya dengan cara-cara yang demikian, Banyubiru akan dapat berkembang atas perkenaan Yang Maha Kuasa, serta sejahtera lahir dan batin. Akan bergemalah kembali kesibukan serta keriuhan para penjual dan pembali di pasar-pasar. Serta akan berkembanglah kembali usaha-usaha pendidikan, sebagai taburan benih buat masa depan. Hanya dari benih-benih yang baik serta pemeliharaan yang baiklah akan dapat tumbuh bibit-bibit serta pohon-pohon yang baik pula. Tetapi apabila pada bibit-bibit yang baik itu tidak pernah mendapat rabuk yang baik, bahkan kemudian disiram dengan racun, akan kerdillah pohon-pohon yang akan menjadi tempat bernaung di masa depan, serta akan muncul pulalah buah yang dihasilkan.

Demikianlah tanpa dirasa, oleh karena tekad yang memang sudah membaja, matahari telah berada di atas kepala. Sesaat kemudian pasukan itu memasuki sebuah hutan perdu yang tak begitu lebat. Ketika seluruh barisan itu telah ditelan oleh kesejukan rimba, terdengarlah suara sangkalala. Suatu pertanda bahwa pasukan itu harus berhenti beristirahat.

Dalam kesempatan itu Mahesa Jenar, Arya Salaka, Kebo Kanigara, Mantingan serta beberapa orang penting lainnya mengadakan pembicaraan-pembicaraan. Mereka memilih beberapa orang untuk mendahului laskar Banyubiru, melihat-lihat suasana. Di pundak merekalah diletakkan kepercayaan untuk mengabarkan kedatangan laskar mereka kepada rakyat Banyubiru. Laskar yang akan menempatkan mereka ke dalam wadah yang sewajarnya. Serta kepada mereka diletakkan tanggungjawab untuk memberikan warna kepada rakyat Banyubiru dalam menghadapi kehadiran laskar mereka. Mereka harus sadar, bahwa kedatangan laskar itu bukan berarti bencana seperti yang mereka sangka, yang ditimbulkan oleh berita-berita yang sengaja ditiup-tiupkan oleh berbagai pihak yang mempunyai kepentingan yang sama. Golongan hitam yang takut berhadapan dengan rakyat Banyubiru dan Pamingit yang bersatu bulat selalu berusaha untuk memperbesar perselisihan antara rakyat Banyubiru dan Pamingit, antara rakyat Banyubiru dan rakyat Banyubiru sendiri. Bahkan kadang-kadang mereka dapat menjadikan diri mereka seolah-olah laskar Banyubiru yang menyingkir ke Gedong Sanga untuk mengadakan pengacauan dan bahkan kadang-kadang perampokan atas rakyat Banyubiru sendiri.

Namun kadang-kadang mereka dapat merubah dirinya untuk menjadi orang-orang Pamingit atau laskar Banyubiru yang menerima pemerintahan Lembu Sora untuk mengadakan penganiayaan atas orang Banyubiru yang dianggapnya setia kepada kampung halaman. Dengan demikian mereka telah menggali jugang yang semakin dalam antara dua keluarga sedarah itu. Disamping itu, mereka yang telah disilaukan oleh kedudukan serta harta benda pun menjadi mata gelap. Mereka pun melakukan perbuatan yang serupa, yang tidak mereka sengaja telah membantu memperdalam jurang antara keluarga sendiri. Dari mulut mereka selalu timbul berbagai celaan dan hinaan terhadap laskar Banyubiru. Seolah-olah mereka tidak lebih dari gerombolan penjahat yang sama sekali tidak berbeda dengan penjahat-penjahat yang lain.

Tugas itu bukanlah tugas yang ringan. Karena itu dipilihlah diantara laskar Banyubiru itu beberapa orang yang dianggap akan dapat menunaikan tugas dengan baik. Pilihan itu jatuh kepada kakak-beradik Sendang Papat dan Sendang Parapat dibantu oleh beberapa orang.

Serial Bersambung 14 Juli 2000
Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta
NAGASASRA DAN SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 499

MESKIPUN demikian Mahesa Jenar masih agak kurang tenang dengan anak-anak muda itu. Karena itu akhirnya ia minta kepada tetua tanah perdikan Banyubiru, Wanamerta, untuk mengawasi pelaksanaan tugas itu.

Dengan senang hati mereka menerima kehormatan itu. Dengan penuh tekad mereka berjanji akan melaksanakan sebaik-baiknya, apapun yang akan terjadi dengan mereka.

”Sendang Papat dan Sendang Parapat…” pesan Mahesa Jenar, ”Kalian datang ke Banyubiru bukan untuk menambah keributan, bukan untuk menakut-nakuti dan bukan untuk mengancam. Kalian datang ke Banyubiru untuk menjelaskan persoalan-persoalan yang sewajarnya. Karena itu jangan menuruti darah muda kalian. Kita memilih kalian, karena kalian dalam wawasan kami dapat mempergunakan otak kalian dengan baik. Nah, seterusnya Paman Wanamerta ada diantara kalian. Jagalah keselamatannya. Turutilah nasehatnya. Kemudian datanglah kembali kepada kami dengan kawan yang lebih banyak, bukan lawan.”

Maka setelah beristirahat beberapa saat, rombongan kecil itu pun berangkat mendahului. Mereka mengharap bahwa menjelang malam, mereka sudah akan memasuki kota. Sepeninggal rombongan itu, Mahesa Jenar menyusun rombongan yang kedua, untuk memenuhi anjuran Ki Ageng Sora Dipayana, membawa Arya Salaka menghadap. Tugas ini tak dapat dibebankan kepada orang lain, kecuali dirinya sendiri bersama Kebo Kanigara. Bantaran, Penjawi dan bahkan hampir segenap pimpinan laskar Banyubiru itu tidak mengerti, kenapa Mahesa Jenar masih saja melakukan hal-hal yang menurut pertimbangan mereka tidak akan berguna. Mereka menjadi tidak bersabar, bahwa mereka masih harus menunggu dan menunggu.

Perjalanan dari Candi Gedong Sang ke Banyubiru itu terasa betapa panjangnya. Mereka menjadi gelisah karena dengan rombongan-rombongan itu mereka masih harus bersabar. Mereka harus menanti rombongan pertama itu kembali, seterusnya merekapun harus menunggu Mahesa Jenar membawa Arya Salaka kepada kakeknya. Bukankah hal itu tidak akan banyak berarti? Mahesa Jenar melihat kegelisahan itu. Karena itu ia berkata dengan sareh, ”Para pemimpin laskar Banyubiru… aku masih mengharap kalian bersabar. Sekali lagi aku ingatkan, bahwa yang penting bagi kita bukanlah menghantam Banyubiru dengan kekerasan, tetapi yang penting adalah penempatan kembali segala sesuatunya pada tempat yang seharusnya. Kita ingin melihat Ki Ageng Lembu Sora sudi meninggalkan Banyubiru. Nah, dengan mempergunakan pengaruh yang masih ada, dari hubungan darah yang rapat antara Ki Ageng Lembu Sora, Ki Ageng Sora Dipayana dan Arya Salaka, mudah-mudahan usaha kita tercapai tanpa setetes darahpun yang mengalir dari tubuh kita. Kita mengharap bahwa apabila Arya Salaka telah benar-benar berada di hadapan Lembu Sora, akan berubahlah pendirian pamannya itu. Sebab bagaimanapun juga anak ini adalah kemanakannya.”

Tiba-tiba dari antara para pimpinan laskar Banyubiru itu terdengar sebuah pertanyaan yang menggambarkan betapa kesal hati mereka ”Tuan, kalau begitu apakah artinya kita berarak-arak kemari, kalau kita tidak menggilas Lembu Sora sampai ke anak cucunya? Sebab selama orang itu masih hidup beserta segenap pengikutnya, maka keadaan Banyubiru masih akan selalu ribut dibuatnya.”

Mahesa Jenar menarik nafas panjang. Ia dapat mengerti sepenuhnya perasaan itu. Sejak semula mereka sudah bersiap untuk bertempur, seperti mereka siap pula bertempur melawan golongan hitam. Karena itu Mahesa Jenar menjawab dengan sareh, ”Kedatangan kalian kemari adalah bukti dari kesetiaan kalian terhadap Banyubiru. Sebagai suatu kenyataan yang harus diperhitungkan oleh Ki Ageng Lembu Sora dalam keputusannya. Nah, para pimpinan laskar Banyubiru, aku berjanji untuk yang terakhir kalinya mengecewakan kalian. Kalau usahaku kali ini gagal, maka akulah yang akan memerintahkan kalian untuk menggempur Banyubiru, dan akulah yang akan berdiri di barisan yang paling depan bersama-sama dengan Arya Salaka. Sebab Arya Salaka-lah yang berwewenang atas tanah Perdikan Banyubiru, mengemban kewajiban memegang pimpinan. Kecuali ia adalah putra Ki Ageng Gajah Sora, suatu kenyataan yang tak dapat disangkal, bahwa Arya Salaka-lah yang menerima Tombak Kyai Banyak sebagai lambang pemerintahan Banyubiru.”

Meskipun keterangan Mahesa Jenar itu belum memuaskan mereka, namun para pimpinan laskar Banyubiru itu mencoba untuk mengertinya. Tetapi mereka sadar bahwa untuk beberapa saat mereka akan melampaui masa-masa yang menjemukan. Menunggu dan menunggu. Sedangkan menunggu bagi seorang prajurit yang sudah bersiap untuk bertempur, adalah pekerjaan yang paling tidak menyenangkan. Namun mereka adalah laskar yang mempunyai ikatan yang kuat, sehingga setiap perintah akan dilaksanakan dengan baik. Demikian juga perintah untuk menunggu itupun akan mereka laksanakan pula.

Ketika mereka sudah cukup beristirahat, kembali laskar Banyubiru itu melanjutkan perjalanannya. Mereka mengharap untuk sampai ke perbatasan perjalanannya. Mereka mengharap untuk sampai perbatasan menjelang senja. Di sanalah mereka akan berkemah, dan menghabiskan waktu-waktu mereka dengan sebal dan gelisah.

Di langit, matahari yang menyala-nyala berputar demikian cepatnya. Maka ketika sorotnya yang kemerahan di langit sebelah barat tenggelam di balik bukit-bukit, laskar Banyubiru itu telah sampai ke tujuannya. Mereka segera menempatkan diri sebaik-baiknya. Meskipun mereka tidak dalam gelar perang, namun mereka harus selalu bersiaga, kalau-kalau laskar Lembu Sora mendahului menyerang mereka. Sebagian dari para laskar itupun segera beristirahat, sebab besok mereka harus membangun perkemahan untuk beberapa hari lamanya.

Dalam pada itu Wanamerta, Sendang Papat dan Sendang Parapat telah pula memasuki kota Banyubiru. Untuk menjaga keamanan diri, mereka sengaja memilih jalan-jalan yang sepi. Satu-dua mereka bertemu juga dengan penduduk yang memandang mereka dengan curiga. Namun karena malam telah gelap, tak seorangpun yang dapat mengenalinya. Karena itu, Wanamerta bersama kawan-kawannya dapat mencapai pusat kota dengan selamat.

Serial Bersambung 15 Juli 2000
Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta
NAGASASRA DAN SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 500

DI sepanjang jalan mereka sempat membicarakan apakah yang sebaiknya mereka lakukan. Mereka pasti tidak akan mempunyai waktu yang cukup untuk menemui orang-seorang, memasuki rumah yang satu ke rumah yang lain. Karena itu mereka mencoba untuk bertemu dengan penduduk Banyubiru dalam jumlah yang besar sekaligus. Dari Bantaran mereka pernah mendengar bahwa orang-orang Banyubiru sekarang mempunyai kebiasaan yang menyedihkan. Menyabung ayam, judi dan tayub di lapangan di ujung kota. Maka ketika Wanamerta teringat pada ceritera Bantaran itu, ia berkata, ”Sendang berdua, bukankah sebaiknya kita pergi ke tanah lapang itu?”

Kakak-beradik itu ragu sejenak. Jawab Sendang Papat, ”Paman, tidakkah perbuatan itu terlalu berbahaya?”

Wanamerta tersenyum.

Jawabnya, ”Aku kira tidak, Sendang Papat, aku kira lebih mudah berbicara dengan orang banyak daripada berbicara dengan mereka satu demi satu, apabila kita dapat menempatkan diri kita. Tetapi kalau kita gagal, bahayanya menjadi lebih besar. Nah, biarlah kita mencoba mengail ikan yang besar sekaligus, meskipun umpannya pun harus besar.”

”Baiklah Paman,” jawab Sendang Papat. Meskipun dengan demikian mereka harus bersiap menghadapi bahaya. Tiga orang yang pergi bersama mereka, berjalan agak jauh di belakang. Ketika Wanamerta sudah mengambil keputusan, maka segera Sendang Parapat menemui mereka, dan memberi mereka pesan-pesan untuk dilaksanakan sebaik-baiknya.

Demikianlah, maka ketika mereka mendengar suara gamelan tidak demikian jauh di hadapan mereka mulai dibunyikan, berkatalah Wanamerta, ”Nah, itulah, mereka segera akan mulai dengan acara gila-gilaan itu.”

Sendang Papat dan Sendang Parapat tidak menjawab. Mereka hanya mengangguk-anggukkan kepala.

”Marilah kita mulai dengan permainan kita,” sambung Wanamerta, ”Kita ambil jalan yang berbeda-beda, supaya kedatangan kita tidak menarik perhatian.”

Maka Wanamerta pun kemudian berjalan sendiri, Sendang Papat dan Sendang Parapat beserta ketiga orang yang lainpun kemudian berpisah-pisah untuk seterusnya pergi ke tanah lapang yang memancarkan kemaksiatan yang memuakkan itu. Ketika mereka sampai ke tempat itu lewat jalan-jalan berbeda dan berdiri ditempat yang berserak-serak dan gelap, segera mereka melihat kebenaran ceritera Bantaran itu.

Mereka melihat beberapa orang tledek menari-nari di tengah arena dengan gerak-gerak yang menggairahkan. Sendang Papat dan Sendang Parapat adalah penari yang baik pula. Tetapi mereka belum pernah mempelajari bentuk-bentuk tarian seperti yang ditarikan oleh tledek-tledek itu. Apalagi ketika mereka kemudian mengenal siapakah yang kemudian bersedia merendahkan diri mereka sendiri untuk melakukan perbuatan itu, tanpa sengaja. Sendang Papat, Sendang Parapat dan Wanamerta, tanpa berjanji, di tempat masing-masing menggeleng-gelengkan kepala mereka.

Gadis-gadis itu ternyata beberapa tahun yang lalu adalah gadis-gadis yang baik, bahkan mereka adalah penari-penari yang baik pula. Tetapi tiba-tiba mereka sekarang menari dengan gaya yang tak pernah mereka kenal sebelumnya. Bahkan menurut penilaian mereka, gadis-gadis itu sama sekali tidak menari, tetapi mereka benar-benar mencoba untuk memancing-mancing nafsu jasmaniah yang rendah, dalam irama gelap yang gila-gilaan pula. Diantara nada-nada yang berirama panas itu terdengar suara pesinden yang tidak kalah gilanya dari tari-tarian itu sendiri. Pesinden yang telah kehilangan patokan-patokan seni.

Maka di lapangan itu terdapatlah suatu perpaduan antara tari-tarian, lagu dan irama yang benar-benar dapat membakar hangus dada yang berisi hati yang lemah. Namun sayang, terlalu sayang, bahwa justru tari-tarian, lagu dan irama yang demikian itulah yang kini mendapat penggemar-penggemar yang cukup banyak. Sendang Papat, Sendang Parapat dan Wanamerta melihat, betapa pemuda-pemuda sebaya dengan kakak-beradik Sendang itu, bahkan diantaranya masih sangat muda. Mereka telah benar-benar tenggelam dalam lagu-lagu yang sama sekali telah kehilangan bentuknya sebagai lagu, tari-tarian yang hanya memantulkan gairah tanpa keindahan dan watak. Apalagi harus dipanaskan dengan suasana yang benar-benar telah berubah seperti panasnya api neraka, telah menelan seluruh tanah lapang itu ke dalam suasana yang mengerikan.

Ketika Wanamerta dengan beberapa orangnya masih saja berdiri di dalam bayang-bayang yang gelap, mereka dalam waktu yang tidak terlalu lama telah menyaksikan dua kali perkelahian diantara para penonton. Perkelahian orang-orang yang mabuk tuak, dibelai oleh suara tertawa beberapa orang perempuan dengan gembira sekali menyaksikan perkelahian itu. Namun di samping itu, Wanamerta dan kawan-kawannya, masih juga melhat beberapa orang laki-laki yang hanya berjongkok-jongkok saja menonton suasana itu dari kejauhan. Dari wajah-wajah mereka, Wanamerta menangkap beberapa kesan yang berbeda-beda. Ada diantara mereka yang kecewa karena kehabisan uang. Ada yang kecewa karena mereka menyaksikan tingkah laku yang seolah-olah kehilangan kesadaran. Ada yang kecewa karena sejak akhir-akhir ini mereka tidak dapat menyaksikan lagi bentuk-bentuk kesenian seperti yang pernah mereka nikmati dahulu. Wanamerta tidak menunggu suasana menjadi bertambah ribut dan gila. Ia ingin menjumpai sesuatu pada orang-orang Banyubiru itu. Karena itu, ia tidak berlindung di bawah bayang-bayang yang gelap lagi. Dengan sengaja ia berjalan maju diantara orang-orang yang berserak-serak di tanah lapang itu. Di dalam hatinya bergolaklah berbagai macam perasaan sehingga terasa jantungnya berdebar-debar.96

TIBA-TIBA Wanamerta merasa seperti seorang bekel Bayangkari pada masa pemerintahan Baginda Jayanegara yang bernama Gajah Mada. Setelah ia berhasil menyingkirkan Baginda Jayanegara dari pemberontakan yang dipimpin oleh Kuti, kemudian ia kembali ke Majapahit mengabarkan kepada rakyatnya bahwa Baginda telah wafat. Ketika ia mengetahui bahwa rakyat Majapahit dan para pembesar berduka cita atas berita itu, tahulah ia bahwa rakyat masih cinta kepada Baginda Jayanegara.

Demikianlah kali ini, ia harus berhadapan dengan rakyat Banyubiru, membawa kabar tentang laskar mereka. Mula-mula tak seorangpun memperhatikan kehadirannya. Tetapi beberapa saat kemudian seorang demi seorang memandangnya dengan penuh perhatian. Mula-mula mereka ragu, apakah benar yang berdiri di antara mereka dengan sikap acuh tak acuh itu Kiai Wanamerta.

Ki Wanamerta pura-pura sama sekali tak merasakan perhatian orang kepadanya. Dengan berdiam diri, ia semakin maju, melihat pertunjukan di arena. Pertunjukan yang telah menjadi semakin gila dan panas.

Dalam pada itu terdengarlah bisik-bisik di antara para penonton. Seorang perlahan-lahan berkata kepada kawan yang berdiri di sebelahnya, ”He Kakang, bukankah itu Kiai Wanamerta?”

Dengan mengedipkan matanya, kawannya itu menjawab, ”Kalau aku tidak salah lihat, beliaulah Kiai Wanamerta”. – Mereka jadi berdiam diri. Tetapi karena keinginan mereka untuk mendapatkan kebenaran atas sangkaan itu, mereka berjalan perlahan-lahan mengikutinya. Ternyata bukan hanya kedua orang itu sajalah yang ingin melihat, apakah orang itu benar-benar Kiai Wanamerta. Dengan demikian para penonton di tanah lapang itupun berdesakan maju. Kali ini bukan karena tledeknya yang semakin membuat tingkah yang aneh-aneh, tetapi karena mereka ingin memandang wajah orang yang mereka sangka Kiai Wanamerta itu dengan lebih seksama lagi.

Diam-diam Kiai Wanamerta merasa, bahwa sedikit demi sedikit ia telah dapat menarik perhatian.

Tinggal kemudian apakah ia dapat melakukannya dengan baik. Sekali dua kali ia menarik nafas untuk mengatur perasaannya, dan menenangkan debar jantungnya. Ketika ia telah merasa yakin, bahwa hatinya tidak akan bergetar lagi, maka perlahan-lahan ia berjalan ke samping pertunjukan itu, untuk kemudian menjauhinya. Orang-orang yang mengikutinya, masih saja berjalan beriring-iring di belakangnya. Bahkan semakin lama semakin banyak. Orang-orang yang semula tenggelam dalam lagu dan tarian yang sudah semakin bubrah itu, kemudian satu demi satu meninggalkan gelanggang. Sebab dalam pandangan mereka, kehadiran Kiai Wanamerta adalah sesuatu yang aneh dalam suasana yang demikian itu.

Para tledek, merasakan suatu keadaan yang berbeda dengan hari-hari yang telah mereka lewati. Mereka kali ini merasa seolah-oleh tidak mendapat perhatian dari para pengunjungnya. Malahan satu demi satu mereka meninggalkan arena. Karena itu, para tledek itu berusaha habis-habisan untuk mengikat penggemarnya. Mula-mula mereka memperpanas suasana dengan gerak-gerak yang semakin gairah. Tetapi ketika para penonton masih saja satu demi satu melangkah pergi, tledek-tledek itu benar-benar kehilangan akal. Mereka bernyanyi dan menari semakin liar, dan bahkan kemudian mereka lupa diri, bahwa mereka adalah manusia yang memiliki ikatan-ikatan susila, meskipun telah sejak lama dilanggarnya, namun tidaklah sehebat kali ini, dimana mereka menjerit-jerit dengan lagunya yang merangsang. Tertawa-tawa tak menentu, meskipun hatinya menangis, sebab apabila para penggemarnya sudah meninggalkannya, berarti tak ada makan di esok hari.

Kiai Wanamerta pun kemudian berhenti di tengah-tengah lapangan itu. Perlahan-lahan ia memutar tubuhnya menghadap kepada orang-orang yang mengikutinya. Ketika mata orang tua yang sejuk itu memandang mereka yang berderet-deret di hadapannya, maka tiba-tiba terasalah suatu tusukan yang tajam ke dalam setiap dada orang-orang Banyubiru itu. Meskipun Wanamerta belum mengucapkan sepatah katapun, namun cahaya matanya telah berkata banyak sekali. Bahkan setiap hati di dalam dada penduduk Banyubiru itupun ikut serta berkata-kata. Ikut serta mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab, ”Kenapa hal-hal semacam ini bisa terjadi…?” Teringatlah mereka peristiwa beberapa bulan berselang. Ketika di tanah lapang ini pula, mereka menyaksikan perkelahian yang sengit antara Suraban dan Bantaran. Pada saat itu, mereka seolah-oleh telah berjanji untuk tidak akan mengulangi kelakuan-kelakuan mereka yang gila ini. Namun karena pengaruh keadaan, sedikit demi sedikit, tanah lapang yang penuh dengan kemaksiatan ini menariknya kembali.

Dan sekarang yang berdiri di hadapannya bukan sekedar Bantaran, tetapi orang yang pernah menjadi kepercayaan Ki Ageng Sora Dipayana sejak Pangrantunan lama. Tetua tanah perdikan Banyubiru, Kiai Wanamerta. Karena itulah maka beberapa orang diantara mereka menundukkan wajahnya, bahkan ada yang berusaha bersembunyi di punggung kawan-kawannya, supaya mukanya tidak terlihat oleh Kiai Wanamerta yang mereka hormati itu. Tetapi disamping perasaan yang demikian, disamping perasaan sesal dan malu, ada pula yang merasa betapa akibat yang akan ditimbulkan oleh kehadiran Wanamerta itu. Seperti pada saat Bantaran mengacau di tanah lapang itu, maka Wanamerta pun akan melakukan hal yang sama. Karena itu wajah orang-orang yang berpendirian demikian segera menjadi gelap dan tegang.

Mereka memandang Wanamerta dengan perasaan benci. Meskipun tanggapan mereka atas kehadiran Wanamerta itu berbeda-beda, namun tak seorangpun yang mengucapkan kata-kata. Sementara itu para niyaga dan penarinyapun akhirnya mengetahui pula, apa sebabnya para penontonnya meninggalkan arena. Bahkan beberapa orang diantaranya segera meninggalkan pekerjaan mereka, dan ikut pula berderet-deret melihat tetua tanah perdikan mereka, yang dengan tiba-tiba ada diantara mereka.

Serial Bersambung 17 Juli 2000
Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta
NAGASASRA DAN SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 502

BEBERAPA lama tanah lapang itu tenggelam dalam kesepian. Suara riuh gamelan dengan irama yang gila, suara perempuan tertawa, seperti iblis betina, segera lenyap dalam keheningan yang tegang.

Sesaat kemudian terdengarlah suara Wanamerta perlahan-lahan, namun merata ke segenap telinga, ”Kenapa kalian berhenti bersuka ria?”

Bergetarlah setiap jantung mereka yang mendengarnya. Namun tak seorangpun dapat menjawab. ”Kalian benar-benar telah menjadikan tanah kalian makmur. Ternyata dengan perbuatan kalian, siang-malam bersuka ria, bergembira atas kemakmuran kalian, seperti apa yang sering kalian lakukan dahulu hanya setahun sekali, sesudah kalian menuai padi musin basah. Itu saja kalian lakukan dalam batas-batas yang jauh lebih sempit daripada batas-batas yang kalian buat sekarang ini. Dalam batas-batas yang dibenarkan oleh kepribadian kita, dan lebih dari itu dalam batas-batas yang diperkenankan oleh agama kita.”

Tanah lapang itu menjadi bertambah hening. Dengan demikian gemersik daun yang disibakkan oleh angin, terdengarlah betapa kerasnya. Ketika tak ada akibat apapun dari kata-katanya, Wanamerta meneruskan, ”Aku datang untuk melihat kalian bersuka ria. Nah, teruskanlah.”

Tak seorangpun beranjak dari tempatnya. Tetapi bagi mereka yang sejak semula merasa terganggu oleh kehadiran Wanamerta, menjadi semakin tersinggung oleh kata-kata ejekan itu. Ketika untuk beberapa lama masih saja orang-orang Banyubiru itu berdiri seperti patung, Wanamerta meneruskan, ”Kenapa kalian memandang aku seperti memandang hantu? Adakah kalian tidak mengenal aku lagi?”

Masih belum terdengar suara dari antara mereka. ”He Berdapa, Uda, Saripan, berbicaralah,” sambung Wanamerta. Yang disebut namanya menjadi semakin bingung. Mereka tidak tahu apa yang mesti dilakukan.

Tiba-tiba dalam ketegangan terdengarlah sebuah suara yang berat dan parau, “Kiai, apakah yang sebenarnya akan Kiai lakukan di sini?”

Pandang Wanamerta segera beredar ke arah suara itu. Suara yang keluar dari mulut seorang yang bertubuh jangkung, berkumis pendek seperti lalat yang hinggap di bawah hidungnya, dengan bibir yang tebal dan hidung yang melengkung seperti paruh burung.

”Ha, kau itu agaknya Sontani?” tanya Wanamerta.

”Ya, akulah,” sahut orang jangkung itu. Matanya memancarkan perasaan yang kurang senang atas kehadiran Wanamerta. Sebagai seorang yang pernah mendapat hadiah pangkat dari Lembu Sora, ia merasa berkewajiban untuk mengamankan daerahnya.

”Ah, hampir aku tak mengenalmu lagi,” sambung Wanamerta, ”Kau sekarang nampak begitu gagah.”

Sontani adalah seorang yang sombong. Yang merasa dirinya mempunyai banyak kelebihan daripada orang-orang lain. Karena itulah maka sudah sewajarnya kalau ia diangkat menjadi bahu dan mengepalai pedukuhan Lemah Abang. Juga terhadap Wanamerta, ia ingin menunjukkan jabatannya, sebagai suatu kewajiban.

”Kiai, aku berbicara sebagai kepala pedukuhan Lemah Abang. Karena itu jangan Kiai merajuk seperti anak-anak.”

Wanamerta terkejut. Lemah Abang, daerah pinggiran kota Banyubiru, semula berada di bawah pimpinan sorang tua yang saleh, Kiai Bakung. Tetapi ia sama sekali tidak mengesankan keheranannya, bahkan dengan tersenyum Kiai Wanamerta menjawab, ”Aku mengucapkan selamat kepadamu Sontani. Tetapi lalu bagaimana dengan Kiai Bakung?”

”Huh,” jawab Sontani sambil mencibirkan bibirnya, ”Orang tua yang tak tahu diri. Seharusnya ia lebih baik mengeram saja di rumahnya. Tak ada yang dapat dilakukan.”

Wanamerta mengangguk-anggukan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab. Maka terdengarlah kembali suara Sontani, ”Nah Kiai… aku ulangi pertanyaanku. Apakah yang akan kau lakukan di sini?”

Sekali lagi Wanamerta tertawa, jawabnya, ”Sudah aku katakan, aku ingin melihat kalian bersuka ria.”

”Bohong!” bentak Sontani. Selangkah ia maju. Katanya kemudian, ”Telah sekian lamanya kau menghilang. Sekarang tiba-tiba muncul seperti hantu bangkit dari kuburnya.”

Wanamerta mengerutkan keningnya. Ia kurang senang mendengar kata-kata itu. Tetapi ia ingin bahwa suasana tidak rusak karenanya. Maka iapun menjawab, ”Sontani, pertama, memang kedatanganku ini tertarik oleh suara gamelan yang demikian hangatnya. Kedua, aku memang sudah rindu kepada kampung halaman. Aku telah memutuskan untuk pulang dan hidup diantara kalian seperti sediakala.”

”Kiai, kau sudah tidak punya hak untuk kembali ke Banyubiru,” bantah Sontani.

”Kenapa?” sahut Wanamerta.

”Kau telah meninggalkan kampung halamanmu terlalu lama. Kau telah meninggalkan nama yang kotor. Bahkan sepantasnya kau sekarang ditangkap dan diserahkan kepada Ki Ageng Lembu Sora,” ancam Sontani.

”O….” jawab Wanamerta sambil mengangguk-anggukan kepalanya.

”Ketahuilah Sontani, dan ketahuilah anak-anakku rakyat Banyubiru. Bukan saja aku yang berhasrat untuk kembali pulang kampung halaman, tetapi juga orang-orang lain seperti Bantaran, Penjawi, Sendang Papat dan Sendang Parapat, Wiraga dan yang lain-lain. Bahkan, dengarlah sebaik-baiknya, Cucunda Arya Salaka pun akan kembali ke Banyubiru.”

Serial Bersambung 18 Juli 2000
Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta
NAGASASRA DAN SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 503

TIBA-TIBA terdengarlah gumam yang merata di seluruh tanah lapang itu seperti beribu-ribu lebah sedang terbang berputaran. Mereka menjadi terkejut untuk sesaat, namun yang kemudian menjadikan mereka bertanya-tanya, kepada diri sendiri, kepada orang-orang yang berdiri di sekitarnya, ”Apakah berita itu benar…?”

Gumam itu terhenti ketika Wanamerta melanjutkan kata-katanya, ”Nah, apakah salahnya kalau kami pulang ke tanah kelahiran, setelah beberapa lama kami merantau menambah pengalaman?”

Sebagian besar dari mereka yang berdiri di tanah lapang itu, tiba-tiba dengan penuh kegembiraan mengharap kebenaran dari berita itu. Maka kembali terdengar mereka bergumam, ”Mudah-mudahan berita itu benar.”

Tetapi tiba-tiba disela-sela gumam yang bergetar dilapangan itu, terdengarlah suara Sontani lantang, ”Bohong…!”

Kembali suara yang merata itu mendadak berhenti. Disusul dengan suara Sontani melanjutkan, ”Apakah keuntungan kita dengan kedatangan anak itu?”

”Bukankah ia putra Ki Ageng Gajah Sora?” jawab Wanamerta.

”Tidak peduli anak siapa dia. Anak setan, hantu, thethekan. Anak itu melarikan diri pada saat Banyubiru mengalami bencana. Pada saat golongan hitam menyerang daerah ini. Untunglah bahwa pada saat itu seluruh rakyat Banyubiru bangkit melawannya bersama-sama dengan rakyat Pamingit. Kalau tidak, musnahlah tanah perdikan ini. Sekarang anak itu akan kembali dan masih menyebut-nyebut sebagai putra Ki Ageng Gajah Sora.”

Wanamerta mengerutkan keningnya. Ketika ia akan menjawab, Sontani sudah berteriak pula, ”Ia masih merasa berhak pula atas kedudukan ayahnya. Omong kosong. Aku yakin bahwa kedatangannya hanya akan menambah bencana saja. Setiap masa peralihan sama sekali tidak akan menguntungkan. Kiai, katakan kepada anak itu, supaya ia mengurungkan niatnya sebelum ia menyesal!”

Kata-kata Sontani itu agaknya mempengaruhi beberapa orang, lebih-lebih yang sejak semula memandang kehadiran Wanamerta itu sebagai bencana. Maka terdengarlah seseorang berteriak, ”Jangan tambah kesulitan kami dan hal-hal yang tetek bengek. Biarlah kami hidup seperti apa yang kami alami sekarang ini.”

Mendengar teriakan-teriakan itu, Wanamerta tidak jadi menjawab kata-kata Sontani, bahkan ia berdiam diri untuk memberi kesempatan kepada mereka berteriak-teriak sepuas-puasnya. Sebab apabila keinginan mereka berteriak itu terhalang, maka semakin bernafsulah mereka. Sehingga suaranya sendiri tidak akan dapat didengar orang. Agaknya kesempatan itupun dipergunakan sebaik-baiknya oleh orang-orang yang tidak menghendaki kehadirannya.

Maka terdengarlah, ”He, Wanamerta. Jangan bikin ribut di tanah yang kau anggap tanah kelahiranmu ini.”

Kata-kata itu disusul oleh yang lain, ”Kami tidak perlukan anak itu. Juga tidak kami perlukan kau, Wanamerta.”

Orang-orang yang semula mengharap kebenaran berita tentang kehadiran Arya Salaka, lambat laun menjadi ragu pula. Apakah untungnya? Pergeseran-pergeseran kekuasaan hanya akan menambah keributan.

Satu demi satu merekapun terpengaruh oleh teriakan-teriakan yang semakin ribut. Bahkan akhirnya seorang berteriak, ”Pergilah kau Wanamerta, keledai tua yang tak tahu diri. Pergi…. Pergi….”

Disaut oleh suara gemuruh, ”Pergi…. Pergi…. Biarlah kami menikmati malam-malam yang indah ini tanpa gangguan. He, Nyi Gadung Sari, menarilah, biar Kiai Wanamerta tergila-gila kepadamu.”

Terdengarlah kemudian suara tertawa seperti meledak di tengah-tengah tanah lapang itu. Sendang Papat dan Sendang Parapat yang berdiri di bawah bayang-bayang yang gelap, hampir-hampir tak dapat menguasai diri mereka. Peluh dingin mengalir di segenap bagian tubuhnya. Tangan mereka sudah bergetar di hulu keris mereka. Namun ketika mereka masih melihat Kiai Wanamerta berdiri dengan tenangnya, merekapun menahan diri mereka sekuat-kuatnya. Memang pada saat itu Wanamerta masih berdiri tegak di tempatnya tanpa bergerak. Ia memandang setiap wajah orang-orang Banyubiru yang seakan-akan telah kehilangan akal itu. Dibiarkannya mereka berteriak-teriak seperti orang kemasukan setan.

Teriakan-teriakan itupun semakin lama menjadi semakin keras dan ribut. Tetapi mereka tak berbuat lain daripada berteriak-teriak. Ketika mereka masih melihat Wanamerta berdiri saja seperti patung, mereka menjadi heran. Dengan demikian teriakan-teriakan itupun menjadi semakin berkurang. Apalagi ketika mereka melihat ketenangan yang membayang di wajah orang tua itu, seolah-oleh teriakan-teriakan mereka itu seperti suara angin yang berdesir, menyegarkan tubuhnya. Wanamerta mengamati keadaan secermat-cermatnya. Ia berusaha untuk memperhitungkan waktu sebaik-baiknya. Ketika suara teriakan-teriakan itu sudah susut, berkatalah ia dengan lantangnya, ”He, Nyi Gadung Sari kenapa kau belum juga menari? Marilah kita menari bersama-sama. Bukankah Wanamerta juga seorang penari yang baik? Lebih baik dari kalian yang berada di tanah lapang ini?”

Suara Wanamerta itu benar-benar mengejutkan. Apalagi Nyi Gadung Sari sendiri. Tetapi yang lebih terkejut adalah mereka yang mengharapkan Wanamerta menjadi marah. Dengan demikian mereka punya alasan untuk mengusirnya. Tetapi ternyata orang tua itu sama sekali tidak marah.

”Saudara-saudaraku serta anak-anakku, bukankah aku sudah berkata bahwa aku akan kembali ke kampung halaman? Bukankah dengan demikian aku harus menyesuaikan diri dengan cara hidup kalian?”

Teriakan-teriakan dari orang-orang yang berdiri di tanah lapang itu telah benar-benar berhenti. Ada diantaranya yang sudah puas, ada yang karena suaranya telah menjadi serak parau. Tetapi ada juga yang karena terkejut mendengar kata-kata Wanamerta yang sama sekali tak mereka duga sebelumnya. ”Bukankah kalian menghendaki agar aku tidak mengganggu kalian?” tanya Wanamerta. (Bersambung)-m

Serial Bersambung 19 Juli 2000
Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta
NAGASASRA DAN SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 504

SUASANA menjadi hening.

Namun sesaat kemudian terdengar beberapa orang menjawab, ”Ia benar, jangan ganggu kami.”

”Aku berjanji untuk tidak mengganggu kalian.”

Wanamerta meneruskan, ”Bahkan aku ingin menyesuaikan diri dengan kalian. Bukankah apa yang kalian lakukan itu sangat menarik? Menari-nari menyanyi dan bergembira sepanjang hari. Bukankah dengan demikian kalian akan awet muda?”

Wanamerta diam sesaat.

Maka kembali tanah lapang itu ditelan kesepian. Yang terdengar hanyalah tarikan nafas yang saling memburu. Ketika tak seorangpun yang memotong kata-kata itu, Wanamerta meneruskan, ”Inilah kelebihan kalian dari masa-masa lampau. Dari jaman nenek moyang nenek moyang kita. Apa yang kalian lakukan sekarang belum pernah terjadi di tanah perdikan ini sejak masa tanah ini masih bernama Pangrantunan. Kita sekarang tidak perlu bekerja keras, tidak perlu membanting tulang untuk tanah kita yang sudah melimpah ruah ini. Sawah ladang, parit-parit dan jalan-jalan. Begitu?”

Tanah lapang itu menjadi semakin sunyi. Namun dada orang-orang Banyubiru menjadi semakin riuh. Benarkah mereka sekarang tidak perlu lagi bekerja keras? Benarkah sawah ladang mereka telah melimpah ruah? Pertanyaan-pertanyaan itu bergelora disetiap dada.

Dan perlahan-lahan mereka menggelengkan kepala mereka.

”Nah…” sambung Wanamerta, ”Sekarang kita tidak usah bersusah payah, berpikir tentang tetek bengek. Kita sekarang tidak usah bersusah payah berpikir tentang kesejahteraan kampung halaman lahir maupun batin. Begitu?”

Tak satu suara pun yang terdengar, sehingga Wanamerta berkata terus, ”Jadi bagaimana? Atau kita memang menghendaki hal-hal seperti ini berlangsung terus? Kita biarkan masjid-masjid, banjar-banjar desa dan balai-balai kita menjadi sarang labah-labah dan runtuh sedikit demi sedikit seperti keruntuhan akal kita…? Bagus-bagus. Demikian agaknya yang kalian kehendaki. Mari, mari anak-anakku. Marilah kita berpikir tentang diri kita sendiri. Tidak perlu tentang tanah pusaka kita yang tercinta. Karena itulah maka aku sependapat dengan kalian. Menyabung ayam di siang hari, judi, tuak dan tayub di malam hari seperti sekarang ini. Hem….”

Wanamerta berhenti untuk menelan ludahnya. Wajahnya telah basah oleh peluh yang mengalir dari keningnya. Kata-katanya seakan-akan menghujam ke dalam dada orang-orang Banyu Biru yang berdiri tegak berhimpit-himpitan di sekitarnya. Ketika tak seorangpun menjawab ia meneruskan lagi, ”Dan sekarang semua itu ada pada kita. Menyabung ayam, judi, perempuan, dan apalagi…?”

Kata-kata itu tajamnya seperti sembilu. Mereka yang semula terseret oleh arus kebencian kepada orang tua itu, sekali lagi menundukkan wajah mereka. Mereka menjadi sangat malu kepada diri sendiri. Seterusnya Wanamerta berkata, ”Nah, sekarang kalian boleh memilih. Tenggelam dalam lumpur kemaksiatan atau tegak kembali lewat jalan kebenaran. Atau kita menunggu masanya kita menjadi hancur dengan sendirinya, kemudian orang-orang dari kalangan hitam akan menari-nari di atas bangkai kita bersama. Sadar atau tidak sadar apa yang kalian lakukan adalah sangat menguntungkan dan mempercepat keruntuhan kita. Lahir dan batin. Sekarang kita dapat tertawa, menari dan menyanyi. Tetapi besok kita akan mati dengan bau tuak menghambur dari mulut kita. Dan kita telah kehilangan jalan untuk menghadap kembali kepada Tuhan kita.”

Tanah lapang itu benar-benar seperti padang luas yang kosong. Sepi hening. Yang terdengar kemudian adalah Wanamerta kembali, ”Sekarang kalian tinggal memilih. Aku berada di pihak kalian. Dan apakah kalian pernah melihat wayang? Apakah kalian pernah mendengar ceritera Baratayuda? Pada saat Pendawa menuntut haknya kembali dari para Kurawa…?”

Juga tidak seorangpun yang memotong kata-kata Wanamerta, sehingga ia dapat meneruskan, ”Dalam ceritera pewayangan, wayang beber atau wayang kulit, diceriterakan bahwa akhir dari Baratayuda itu, yang sayang tidak memuaskan kita semua. Kenapa akhir dari Baratayuda itu menunjukkan kemenangan pihak Pendawa? Tidak Kurawa?”

Wanamerta melihat kegelisahan rakyat Banyubiru yang berdiri mengelilinginya. Pada wajah-wajah mereka tampak ketegangan yang mencekam. Tetapi masih belum seorang yang berkata sepatah katapun. Yang terdengar kemudian adalah suara Wanamerta kembali, ”Nah, baiklah lain kali kita mengadakan pertunjukan wayang tujuh hari tujuh malam. Sejak Kresna Duta sampai Karna Tanding, lalu seterusnya kita ubah, Arjuna lah yang mati oleh Adipati Karna dari Awangga. Dan seterusnya berturut-turut habislah Pandawa setelah para putra gugur lebih dahulu. Juga Parikesit kita bunuh.”

Meskipun Wanamerta bercakap terus, namun perhatiannya tidak terlepas dari setiap wajah yang dengan tenang dan gelisah mendengar kata-katanya. Ceritera wayang, apalagi Baratayuda dianggap keramat oleh penduduk Banyubiru. Tiba-tiba secara tepat Wanamerta mengungkapkan sindirannya dengan mempergunakan ceritera itu. Sehingga tiba-tiba terdengarlah seseorang berkata, meskipun perlahan-lahan, ”Tidak bisa Kiai, Baratayuda tidak bisa diubah demikian.” (bersambung)-m

Serial Bersambung 20 Juli 2000
Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta
NAGASASRA DAN SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 505

WANAMERTA pura-pura terkejut mendengar perkataan itu.

Dengan mengerutkan keningnya ia menjawab, ”Kenapa tidak bisa? Bukankah Prabu Astina, Prabu Kurapati dapat memberi kepada rakyatnya keleluasaan seperti yang kita kehendaki. Sabung ayam, judi, tayub, tuak dan sebagainya, sedang orang-orang Pendawa sepanjang hidupnya hanya prihatin saja?”

”Tidak, Kiai,” terdengar suara yang lain, ”Kita tidak menghendaki demikian. Kita tidak menghendaki seperti orang-orang Astina di Banyubiru.”

”He…?” kembali Wanamerta pura-pura terkejut.

”Apakah yang kau katakan?”

”Kami tidak menghendaki hal itu terjadi di Banyubiru,” ulang suara itu.

”Yang mana tidak kau kehendaki? Bukankah raja Astina Ratu Gung Binatara, Raja yang kaya? Bukankah adinda baginda yang berjumlah 99 orang itu semuanya pandai berjudi, tayub dan tuak? Bukankah di Astina ada seorang pendeta yang putus saliring ilmu, agal alus, yang kasat mata, yang tidak kasatmata? Yang bernama Dorna?”

”Tidak… tidak…” terdengar beberapa orang memotong kata-kata Wanamerta, ”Kami tidak menghendaki itu.”

”Itu yang mana…?” Wanamerta memancing ketegasan mereka.

”Judi. Kami tidak mau judi,” jawab yang lain.

”O, hanya itu saja?” desak Wanamerta.

”Tidak. Tidak hanya itu. Kami tidak mau tuak,” jawab beberapa suara berbareng.

”Judi dan tuak itu saja?” Wanamerta merasa bahwa ia hampir mencapai maksudnya.

Dan ada yang didengarnya kemudian sangat menyenangkannya. Orang-orang Banyubiru itu kemudian berteriak, ”Tidak. Kami tidak mau judi, tuak, tayub dan sabung ayam. Kami bukan orang-orang Astina. Kami adalah orang-orang Banyubiru.”

”Tunggu dulu,” potong Wanamerta, ”Bukankah putra-putra Astina berada dalam asuhan Maha Pendeta Dorna yang bijaksana, yang dapat memberikan kepada mereka kenikmatan jasmaniah, rohaniah dalam kekuasaan mereka atas Astina?”

”Kami tidak mau pendeta itu. Kami tidak mau orang semacam Dorna.” Terdengar mereka berteriak-teriak, ”Pendeta degleng, pendeta bermulut ular.”

”Jadi bagaimana seterusnya? Bagaimana dengan akhir dari Baratayuda itu?” tanya Wanamerta. ”Prabu Kurupati terbunuh. Semua adik-adik terbunuh. Pendeta Dorna mati di tangan Drestajumena yang berhasil memancung lehernya,” sahut mereka bersama.

”Tetapi dengan demikian masyarakat yang kita cita-citakan. Jadi, kemenangan Pendawa berarti kemenangan keprihatinan dari kemenangan lahiriah, tetapi juga berarti kemenangan dari jiwa rohaniah yang tawakal, percaya kepada keadilan Yang Maha Pencipta. Dengan demikian kita tidak akan dapat membayangkan masyarakat seperti masarakat kita malam ini. Tetapi masyarakat yang bekerja keras menuju tata kehidupan yang tenteram damai tata tentrem karta raharja, gemah ripah lohjinawi”.

Semua terdiam. Hening. Sepi. Seandainya sepotong lidi jatuh di tengah lapang itu, suaranya pasti akan sangat mengejutkan. Angin malam yang lembut mengusap wajah-wajah yang terbanting-banting. Dalam keheningan itu tiba-tiba terdengar suara Wanamerta gemuruh seperti guruh yang membelah langit-langit lapis, ”Hei rakyat Banyubiru, katakan kepadaku sekarang, adakah kalian masih tetap pada pendirian kalian? Supaya aku membiarkan kalian hanyut dalam arus kesenangan lahiriah, yang berpangkal melulu pada nafsu yang tak terkendali seperti sekarang ini?”

Tak ada suara yang terdengar.

Karena itu Wanamerta meneruskan, ”Jawablah pertanyaanku. Adakah kalian masih akan meneruskan cara hidup kalian sekarang ini? Judi, tuak, tayub dan berkelahi sesama kita karena kita sudah mabuk…?”

Mula-mula yang terdengar hanyalah suara-suara bergumam. Namun kemudian terdengarlah suara mereka saur manuk, ”Tidak…tidak… tidak….”

Wanamerta kemudian meneruskan, ”Nah, dengarlah baik-baik. Aku ingin bertanya sekali lagi, apakah cara hirup kita ini akan kita akhiri?”

”Ya, Kiai, ya, ya, kita akhiri sampai di sini,” sahut mereka berebut keras.

”Bagus. Itulah yang aku harapkan. Rakyat Banyubiru yang sejati. Kalian harus melupakan racun yang dengan perlahan-lahan membunuh kalian, membunuh semangat kalian, sehingga kalian lupa pada masyarakat yang kalian cita-citakan, lupa kepada kampung halaman, lupa kepada pribadi kalian. Nah, dengarlah baik-baik. Arya Salaka itu akan datang. Benar-benar akan datang.”

Tiba-tiba meledaklah suara mereka gemuruh. ”Kita sambut anak muda itu diantara kita. Kita sudah sampai pada ceritera Lahirnya Parikesit. Dan Parikesit itu akan datang membebaskan kita.”

Teriakan-teriakan yang gemuruh itu mengumandang sampai beberapa saat. Tiba-tiba diantara suara gemuruh itu terdengar sebuah teriakan, ”Belum. Kita belum sampai ke sana. Kita masih harus menyelesaikan Baratayuda dahulu.”

”Marilah kita tuntut hak kita, hak atas tanah dan kampung halaman sendiri,” teriak yang lain.

Dalam keriuhan itu terdengarlah suara Sontani menggelegak menggetarkan tanah lapang itu, ”Omong kosong! Omong kosong semuanya. Apakah yang akan kalian tuntut? Tak seorangpun merasa kehilangan hak atas tanah ini sekarang.”

Tiba-tiba suara riuh itu mereda.

Karena itu Sontani meneruskan, ”Apakah yang hilang dari milik kalian. Tanah, sawah, halaman dan rumah kalian. Bukankah barang-barang itu masih tetap di tanganmu. Dan bukankah tak ada seorangpun yang merampasnya?”

Suara riuh itu kini menjadi diam. Memang mereka yang berdiri di tanah lapang itu masih memiliki tanah mereka, sawah mereka dan rumah mereka. Tetapi kemudian terdengarlah suara Wanamerta tenang, ”Kau benar Sontani, tetapi aku dan kalian harus membayar upeti lebih dari dua kali lipat dari upeti yang harus kalian bayar dulu.”

”Benar, benar….” Kembali mereka berteriak-teriak.
MUKA Sontani menjadi merah padam. Ia merasa terdesak. Tetapi ia tidak akan membiarkan keributan itu terjadi. Kalau rakyat Banyubiru itu menerima Arya Salaka, belum pasti ia akan tetap menjabat pangkatnya yang sekarang. Ia tidak peduli apakah dengan demikian ia berkhianat atau tidak. Yang penting ia menjadi kepala pedukuhan Lemah Abang.

Karena itu Sontani harus berusaha keras untuk melawan Wanamerta. ”Upeti adalah kewajiban setiap tanah perdikan untuk membiayai tanahnya. Kalau upeti tanah ini terpaksa berlipat dua, itu adalah karena kebutuhan-kebutuhan kamipun meningkat pula,” katanya.

Wanamerta tersenyum, jawabnya, ”Apakah yang pernah dihasilkan oleh upeti itu? Adakah kau dapat membangun rumah-rumah pendidikan? Banjar-banjar desa…? Bukankah selama ini tak satu pun rumah baru berdiri di Banyubiru? Yang sudah adapun tak terpelihara lagi. Bahkan tempat-tempat ibadahpun tidak ada. Dan bukankah upeti itu mengalir ke Pamingit?”

”Benar, benar….!” Teriakan itu semakin mengumandang.

Sontani tidak dapat mengendalikan diri lagi. Ia melompat menembus lingkaran manusia yang berdiri di sekeliling Wanamerta, sambil berteriak, ”Persetan dengan sesorahmu. Kau hanya akan mengacau saja di sini. Pergi atau aku tangkap kau.”

Wanamerta masih tegak di tempatnya seperti tugu. Dengan masih setenang tadi ia menjawab, ”Jangan marah Sontani. Bukankah aku tidak berbuat apa-apa? Bukankah semula akupun telah mengatakan semuanya itu? Bahkan semula akupun telah mengatakan bahwa aku berada di pihak kalian, apapun yang kalian kehendaki. Dan sekarang kalian menghendaki meletakkan segala sesuatunya pada tempat-tempat yang sewajarnya, yang seharusnya. Tidak lebih dan tidak kurang. Bukan judi, tuak, nafsu dan kekuasaan. Inilah suatu usaha untuk menegakkan kebenaran dan keadilan yang sebenar-benarnya.”

”Jangan berkicau, menco tua. Aku perintahkan kau meninggalkan tempat ini sebelum aku sumbat mulutmu dengan tanganku.”

Sontani sudah tidak dapat menyabarkan diri lagi.

”Jangan Sontani,” jawab Wanamerta masih setenang tadi, ”Akibatnya tidak akan menjadi lebih baik.”

Tetapi Sontani telah kehilangan akalnya. Ia melangkah semakin dekat. Wajahnya yang keras dan matanya yang hitam kelam, menunjukkan betapa kerasnya hatinya. Sementara itu Sendang Papat dan Sendang Parapat telah meninggalkan tempat mereka. Dengan tanpa menarik perhatian, mereka telah berada diantara rakyat Banyubiru yang berdesak-desakan itu. Mereka melihat betapa Sontani dengan marah menghampiri Wanamerta. Tetapi karena Sontani agaknya seorang diri, maka Sendang Papat dan Sendang Parapat pun menyabarkan diri mereka dan melihat saja apa yang akan terjadi.

”Wanamerta…” kata Sontani dengan suara yang bergetar oleh kemarahannya.

”Jangan menjawab pertanyaanku. Tetapi kau hanya bisa melaksanakan. Tinggalkan tempat ini.”

Wanamerta masih belum bergerak. Tetapi orang-orang yang berdiri melingkar itu menjadi cemas. Sontani adalah seorang yang benar-benar keras hati. Ia benar-benar dapat melakukan apa saja yang ia katakan. Tetapi Wanamerta belum juga beranjak dari tempatnya. Maka ketika ia melihat Sontani semakin dekat di hadapannya, ia mencoba untuk sekali lagi menjawab.

Tetapi demikian Wanamerta menggerakkan mulutnya, Sontani sudah membentaknya, ”Jangan menjawab dengan kata-kata, pergi!” Wanamerta memandanginya dengan seksama. Dari ujung rambutnya sampai ke ujung kakinya.

Maka ketika ia sudah mendapat ketetapan hati, sengaja ia berkata, ”Kenapa tidak boleh?” Sontani telah benar-benar marah. Ketika ia mendengar Wanamerta masih berkata lagi, ia tidak dapat mengendalikan dirinya.

Dengan satu loncatan ia telah berhasil menangkap baju Wanamerta dan mengguncangnya sambil membentak, ”Jangan menjawab. Kau hanya bisa pergi dari sini.”

Gerakan Sontani itu tiba-tiba telah menggerakkan semua orang yang berdiri di sekeliling mereka berdua. Tiba-tiba mereka menjadi sedemikian benci terhadapnya. Terhadap orang yang gila pangkat dan gila hormat itu. Ketika Sontani sekali lagi mengguncang baju Wanamerta, terdengarlah sebuah teriakan, ”Lepaskan dia Sontani, lepaskan.”

Sontani melirik ke arah suara itu. Namun ia tidak mau mendengarkan. Sehingga tiba-tiba dari arah lain terdengar pula suara, ”Sontani, jangan main kekerasan.”

”Diam kalian!” bentak Sontani, ”Aku dapat berbuat apa yang aku kehandaki. Jangan turut campur.”

”Jangan keras kepala Sontani.” Terdengar suara yang lain, ”Supaya kami tidak berkeras kepala pula.” Sontani menjadi gemetar.

Tetapi suara-suara itu terus saling menyusul. ”Lepaskan dia….. Lepaskan dia…. Atau kami harus melepaskannya?”

Disusul pula dengan suara-suara yang mulai bernada kemarahan. ”Pergi kau Sontani. Pergi kau. Atau kami harus memaksa?”

Tetapi diantara teriakan-teriakan itu terdengar pula jerit pengikut-pengikut Sontani, ”Hantam dia. Hantam kambing tua itu.”

Sontani melihat pengikut-pengikutnya. Dengan demikian ia menjadi semakin sombong. Sekali lagi ia menggoncang-goncangkan baju Wanamerta itu sambil menggeram, ”Babi tua, jangan banyak tingkah.”

Pada saat itulah maka keadaan hampir tak dapat dikuasai lagi. Kedua belah pihak hampir saja bertindak, dan apabila demikian, di tanah lapang itu akan terjadi medan pertempuran kecil-kecilan.

Serial Bersambung 22 Juli 2000
Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta
NAGASASRA DAN SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 507

TIBA-TIBA Wanamerta berteriak tanpa memperdulikan Sontani, ”He, orang-orang Banyubiru. Sadarlah pada diri kalian masing-masing. Jangan dibiarkan perasaan kalian menjerat kalian ke dalam suatu perbuatan yang tolol.”

Teriakan Wanamerta itu ternyata berpengaruh juga. Beberapa orang mengurungkan niatnya dan memandangnya dengan heran. Sementara itu, orang tua yang telah dipenuhi oleh pengalaman dalam pemerintahan dan pengendalian terhadap orang-orang Banyubiru itu memandang Sontani langsung ke dalam matanya. Mata yang memancarkan kemarahan, ketamakan dan nafsu yang tak habis-habisnya.

Ketika Sontani melihat mata orang tua itu, ia terkejut. Seolah-olah dari dalam mata itu memancarkan pengaruh yang aneh. Sehingga tiba-tiba Sontani membuang matanya ke arah orang-orang Banyubiru yang berdiri, dengan tenang, namun masing-masing telah bersiap untuk memukul dan berkelahi. ”Lepaskan Sontani,” kata Wanamerta lirih. Lirih saja. Tetapi bagi Sontani terdengar seperti guruh yang meledak di atas kepalanya. Ia mencoba untuk melawan pengaruh kata-kata itu dengan menggenggam baju itu lebih erat dan mencoba menarik Wanamerta ke dadanya, namun Wanamerta itu menjadi seperti tugu yang tegak dan tak tergerakkan.

Bahkan sekali lagi ia berkata lirih, ”Lepaskan Sontani, lepaskan.”

Tangan Sontani bergetar. Tanpa sesadarnya tiba-tiba ia melepaskan tangannya perlahan-lahan. Ia tidak dapat melawan pengaruh perbawa orang tua yang dahulu sangat dihormatinya itu. Tetapi demikian tangannya terlepas, demikian ia sadar, bahwa Bahu Lemah Abang akan lepas dari tangannya apabila Arya Salaka benar-benar akan datang. Karena itu, didorong pula oleh kesombongannya, serta untuk menutupi kelemahannya, ia berteriak, ”Aku lepaskan kau kelinci tua, tetapi pergilah dari sini.”

Wanamerta tidak mendengarkan lagi kata-kata itu, tetapi ia berkata kepada orang-orang Banyubiru, ”Apa yang kalian lakukan? Aku lihat kalian akan berkelahi satu sama lain”.

Mereka yang membenarkan kata-kata sebagian besar dari kalian, melawan mereka yang berpihak kepada Sontani. Kenapa kalian…? Bukankah kalian sama-sama orang Banyubiru? Aku berterima kasih kepada kalian yang berusaha untuk menyelamatkan aku. Aku tahu itu. Dan aku berbangga pula melihat pengikut-pengikut Sontani yang berani, meskipun jumlah mereka tidak sebanyak yang lain. Tetapi aku sedih melihat pertentangan kalian. Aku sedih melihat kalian akan bertempur satu sama lain, sesama orang Banyubiru.”

Keadaan menjadi hening. Tetapi orang-orang yang mendengar kata-kata itu menjadi bingung. Mereka sama sekali tidak tahu maksud perkataan itu. Bagaimanakah seharusnya mereka berbuat? Bukankah mereka harus merebut hak atas tanah ini? Tetapi mereka tidak boleh berbuat apa-apa.

Wanamerta melihat keragu-raguan itu. Karena itu ia menjelaskan, ”Anak-anakku, jangan berbuat sendiri-sendiri. Hal itu sama sekali tidak akan menguntungkan. Tidak bagiku dan tidak bagi Sontani. Yang harus kalian lakukan hanyalah menempa tekad untuk melebarluaskan berita itu. Kalian hanya akan menyambut kedatangannya dua tiga hari lagi di tanah ini dengan tombak Kyai Bancak di tangannya. Pembicaraan seterusnya biarlah dilakukan oleh yang berhak membicarakannya. Yaitu Arya Salaka dan yang mengembaninya, yaitu Mahesa Jenar. Selebihnya tunggu perintahnya.”

Wanamerta masih melihat keheranan terbayang di wajah mereka. Keheranan seperti yang terbayang di wajah-wajah laskar Banyubiru di Gedong Sanga ketika mendengar keputusan Mahesa Jenar bahwa mereka masih harus menunggu. Tetapi disamping itu Wanamerta merasa berbangga bahwa ia dapat langsung berbicara dengan mereka dan memberikan kepada mereka jalan lurus yang harus mereka tempuh. Meskipun ia yakin bahwa apa yang sudah dicapainya itu tidak boleh terlepas lagi.

Tetapi sementara itu Sontani menjadi bermata gelap. Ia tidak dapat mendengar, otaknya tak dapat menahannya. Karena itu dengan suara yang mengguruh ia berkata, ”Wanamerta, baiklah kalau kau tidak mau pergi. Dan baiklah kalau kau masih akan berteriak-teriak terus. Karena aku sudah cukup memberi kau kesempatan, aku sekarang terpaksa bertindak terhadapmu. Menyumbat mulutmu.”

Wanamerta melihat mata Sontani telah menyala-nyala. Ia tidak mungkin lagi menghindari bentrokan dengannya. Tetapi ia tidak mau orang-orang Banyubiru terlibat ke dalam bentrokan itu. Orang-orang yang sebenarnya tidak banyak menentukan penyelesaian masalah hanya karena berkelahi sesamanya.

Karena itu ia menjawab, ”Baiklah Sontani. Kau ingin aku diam, tetapi aku ingin berbicara terus. Kita berlawanan kehendak. Karena itu terserah apa yang akan kau lakukan dan biarlah aku mencoba untuk berbuat atas kehendakku pula. Tetapi satu hal yang akan aku katakan kepada orang-orang Banyubiru dan termasuk pengikut-pengikutmu. Tenaga mereka masih sangat diperlukan buat masa depan. Buat ketentraman terakhir. Karena itu kalau ada perbedaan pendapat diantara kau dan aku, janganlah menyangkut mereka.”

Sontani mendengar kata-kata itu. Ia sadar bahwa kata-kata itu berarti suatu tantangan tanding seorang lawan seorang. Ia menjadi bergembira, sebab iapun tahu bahwa pengikutnya tidak sedemikian banyak berada di tanah lapang itu.

Maka ia menjawab lantang, ”Suatu kehormatan bagiku orang tua yang sombong. Dahulu aku mengagumimu. Tetapi waktu itu aku adalah seekor anak ayam yang kagum melihat ayam jantan berkokok di atas pagar. Tetapi sekarang tidak. Akulah ayam jantan itu.”

Wanamerta menarik nafas. Ia adalah seorang yang mempunyai cukup pengalaman. Ia adalah emban kepala daerah perdikan ini. Sejak masa pemerintahan Ki Ageng Sora Dipayana, ia telah menjabatnya.

Karena itu iapun cukup tajam untuk menilai seseorang. Terhadap Sontani, iapun dapat menilai pula dengan tepat. Ia tidak lebih dari seorang yang besar kepala, sombong dan keras hati.

”Kau benar,” jawab Wanamerta, ”Kau adalah ayam jantan itu. Hanya saja kau adalah ayam jantan yang berkokok setelah matahari hampir terbenam.”

Serial Bersambung 23 Juli 2000
Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta
NAGASASRA DAN SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 508

SONTANI menggeram. Sekali dua kali ia melihat berkeliling. Tetapi ia tidak melihat Sendang Papat dan Sendang Parapat yang tersenyum melihat kesombongannya. Sontani dengan sombongnya seolah-olah berkata kepada rakyat Banyubiru, ”Inilah aku, Sontani Bahu dari Pedukuhan Tanah Abang.”

Kemudian kepada Wanamerta ia berkata, ”Wanamerta, bukan salahku kalau kemudian tanganmu patah, atau lehermu terpuntir. Sebab kau adalah orang tua yang tak tahu diri.”

Wanamerta tersenyum. Senyum yang sangat menjemukan bagi Sontani. Karena itu ia menggeram sekali lagi dan berkata, ”Bersedialah. Lihatlah bintang-bintang di langit dengan seksama, barangkali ini untuk yang terakhir.”

”Yang terakhir?” tanya Wanamerta heran. ”Ya, sebab ada suatu kemungkinan, bahwa dengan tersentuh tanganku kau akan mati,” jawab Sontani dengan sombongnya. Wanamerta mengangguk-angguk. Sontani benar-benar sombong. Dan kesombongan itu menjengkelkan sekali.

Maka jawab Wanamerta, ”Gemintang yang bercahaya-cahaya itu. Jadi aku tidak akan memandangnya untuk yang terakhir kalinya. Tetapi kalau kau yang mati, mungkin karena pokalmu sendiri, kau akan berdiam menjadi ampas Rawa Pening.”

Hati Sontani menjadi semakin menyala. Dan tiba-tiba saja ia berteriak, ”Jagalah mulutmu baik-baik Wanamerta, sebab aku ingin sekali meremasmu.” Wanamerta segera bersiaga, dan dengan suatu loncatan yang cepat, Sontani mulai menerjang. Beberapa orang yang berdiri disekitarnya berdesakan mundur.

Dada mereka tergoncang. Sontani adalah seorang yang kasar dan keras hati. Karena itu serangannya pun kasar pula. Beberapa orang menjadi cemas apakah Wanamerta dapat menjaga dirinya menghadapi Bahu Pedukuhan Lemah Abang yang sedang gila untuk mempertahankan kedudukannya itu. Wanamerta heran melihat serangan Sontani yang dapat demikian cepat. Ia mengenal Sontani lima tahun yang lalu, sebagai seorang yang selalu merasa tidak puas. Dan sekarang orang itu berjuang untuk mempertahankan kepuasan-kepuasan yang pernah dicapainya. Kepuasan-kepuasan lahiriah yang tak berharga sama sekali.

Wanamerta segera menghindarkan diri dengan satu gerakan yang sederhana. Dan itu menambah kemarahan Sontani. Meskipun beberapa tahun yang lampau ia benar-benar mengagumi orang tua itu, tetapi sementara ini ia merasa bahwa ia telah bertambah dewasa dalam ilmu tata perkelahian. Dengan gerakan-gerakan yang keras, ia bertempur dengan penuh nafsu. Tangannya bergerak berputar-putar, seolah-olah roda yang berputar-putar hendak menggilas lumat orang tua yang memuakkan itu.

Mengalami serangan yang datang bertubi-tubi itu, Wanamerta menarik dirinya beberapa langkah surut. Ia baru dalam taraf mempelajari gerakan-gerakan lawannya yang cukup cepat dan berbahaya itu.

Tetapi Sontani yang sedang marah itu tidak memberinya kesempatan. Sebagai seekor harimau yang gila, ia meloncat menerkam, menghantam, bertubi-tubi.

Tetapi Wanamerta cukup berpengalaman. Karena ia merasa lebih tua, maka ia menjaga agar ia tidak kehabisan nafas di tengah jalan. Karena itu ia bertempur dengan sangat menghemat tenaga. Meskipun demikian, setiap gerakan Wanamerta cukup memberi perlawanan yang gigih. Sehingga setelah beberapa saat mereka bertempur, Sontani sama sekali tak berhasil menyentuhnya. Karena itulah maka hatinya menjadi semakin membara. Dengan demikian ia menjadi semakin buas dan liar. Sontani mengerahkan segenap tenaganya untuk secepatnya menghancurkan orang tua yang akan menjadikan sebab hilangnya kekuasaan yang sudah berada di tangannya atas pedukuhan Lemah Abang yang subur di pinggiran kota Banyubiru itu.

Menghadapi serigala yang marah itu, Wanamerta harus berhati-hati pula. Sebab segala gerakan Sontani selalu dilambari oleh segenap kekuatannya. Dan ia adalah orang yang cukup mempunyai tenaga. Hanya sayang bahwa tenaganya tidak disalurkannya dengan tepat. Bahkan seperti terhambat tak berarti. Tetapi meskipun demikian, apabila serangannya itu dapat mengenai sasarannya, agaknya akan berbahaya juga. Karena Wanamerta masih selalu menghindari serangan-serangan Sontani, maka seolah-olah Wanamerta menjadi terdesak. Rakyat yang berdiri di sekitar perkelahian itu menjadi cemas, sebab mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Bahkan Sontani pun berpendapat demikian pula, meskipun ia hampir tidak sabar karena serangan-serangannya tak pernah mengenai sasarannya. Diantara para penonton itu tampak Sendang Papat dan Sendang Parapat tersenyum-senyum.

Lima tahun yang lampau, memang agaknya Sendang Papat dan Sendang Parapat itu tidak lebih dari Sontani. Tetapi setelah mereka menggembleng diri di bawah asuhan Ki Dalang Mantingan, Wirasaba, bahkan kemudian mereka itupun mendapat petunjuk-petunjuk dari Mahesa Jenar sendiri. Maka ia melihat betapa lemahnya serangan-serangan Sontani. Mereka dengan tersenyum melihat betapa Wanamerta dengan sabarnya melayani permainan Sontani yang menjemukan dan sama sekali tidak bermutu.(Bersambung)-m

Serial Bersambung 24 Juli 2000
Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta
NAGASASRA DAN SABUK INTEN
Karya SH. Mintarja No. 509

WANAMERTA tidak ingin melihat keadaan semakin keruh. Agaknya Wanamerta berusaha untuk mengalahkan Sontani tanpa melukainya. Tetapi Sontani agaknya benar-benar orang yang tidak berotak. Ia sama sekali tidak menyadari keadaan. Karena itu ia malahan menjadi semakin berbesar hati dan sombong. Bahkan kemudian ia berteriak-teriak, ”Jangan berlari-lari seperti kelinci menghadapi serigala, Wanamerta yang malang. Agaknya kau telah terjerumus karena kesombonganmu ke dalam sudut yang celaka. Tetapi janganlah kau ingkar pada kejantananmu. Kepada sesumbarmu yang seolah-olah membelah langit.”

Wanamerta menggeleng lemah. Sambil menghindari serangan Wanamerta, Sontani berkata, ”Ha, kau sudah semakin ketakutan. Aku beri kau kesempatan sekali lagi. Berjongkoklah dan minta maaf kepada Bahu Pedukuhan Lemah Abang agar kau kuampuni karena kesalahanmu. Setelah itu kau harus meninggalkan lapangan ini dengan merangkak sampai ke batas tanah lapang.”

”Sejak umur setahun aku sudah tidak biasa lagi merangkak, Sontani. Maafkan kalau aku tidak dapat memenuhi permintaanmu,” jawab Wanamerta. Sontani membelalakkan matanya. Ia mengharap Wanamerta benar-benar minta maaf kepadanya, meskipun seandainya ia tidak dapat memenuhi perintahnya itu seluruhnya. Tetapi tiba-tiba Wanamerta menjawab sedemikian menyakitkan hati. Karena itu sekali lagi Sontani berkata untuk menghina orang tua itu, ”Aku beri kesempatan dalam hitungan lima kali. Setelah itu tak ada kesempatan lagi bagimu. Kalau akan aku tangkap, aku cukur gundul dan aku arak berkeliling kota besok pagi.”

Wanamerta tidak menjawab. Ia membiarkan saja Sontani menghitung untuk memuaskan hatinya. Tetapi ketika Sontani sampai ke hitungan yang ketiga, tiba-tiba Wanamerta mulai dengan melontarkan beberapa serangan balasan. Sontani terkejut. Ia sama sekali tidak menduga bahwa Wanamerta yang tua itu masih mampu bergerak sedemikian cepat dan berturut-turut. Karena itu ia sama sekali kurang bersiaga, sehingga beberapa serangan Wanamerta itu berturut-turut mengenai tubuhnya. Tidak hanya sekali, tetapi dua-tiga kali, sehingga ia terdorong beberapa langkah surut.

Mengalami perisitwa itu tiba-tiba mata Sontani yang hitam kelam itu menjadi memerah darah, seolah-olah dari sana menyembur api yang menyala-nyala. Dadanya terasa sesak, bukan karena sakit oleh serangan lawannya, tetapi karena perasaan yang bercampur baur. Marah, malu, muak dan segala macam. Tetapi dalam pada itu, ia menjadi semakin bernafsu untuk menghancurkan musuhnya itu. Dalam tanggapannya, serangan Wanamerta itu adalah karena kelengahannya. Meskipun demikian ia sama sekali tidak menjadi jera, sebab pukulan Wanamerta, meskipun mengenainya tetapi tidak menyakitkan.

Namun dengan perasaan itu ia telah membuat kesalahan untuk yang kedua kalinya. Ia tidak menyadari bahwa Wanamerta sebenarnya tidak menggunakan seluruh tenaganya. Ia hanya mempergunakan kecepatan dan mendorong dada Sontani, menyentuh pundaknya dan dengan kaki ia menyinggung lambungnya.

Tetapi kemarahan Sontani telah benar-benar menggelapkan pikirannya. Ia benar-benar sudah tidak dapat menimbang untuk rugi dari perbuatannya itu. Dengan demikian ia menjadi semakin membabi buta. Menerjang, menghantam, memukul dengan penuh nafsu. Ia berkelahi seperti serigala gila sedang kelaparan. Dari mulutnya terdengarlah nafasnya memburu dan geramnya yang seram.

Wanamerta membiarkan Sontani bertempur dengan cara yang demikian. Ia mengharap Sontani akan kehabisan tenaga dan berhenti dengan sendirinya. Dengan demikian ia tidak mengalahkannya dengan menyinggung kehormatannya beserta pengikut-pengikutnya. Tetapi Sontani berpendirian lain. Karena pikirannya yang gelap itulah ia tidak dapat menimbang apa yang akan dilakukan. Apakah akibat yang bakal timbul, dan apakah itu akan menimbulkan korban ataukah tidak. Ketika ia merasa bahwa tenaganya sudah mulai berkurang karena peluh yang sudah membasahi tubuhnya seperti orang mandi, ia menjadi tidak bersabar lagi. Ia ingin dengan segera menangkap dan menghinakan lawannya di hadapan umum.

Sedangkan Wanamerta benar-benar licin seperti belut. Sebenarnya heranlah Sontani, bahwa orang setua itu masih mampu menghindarkan diri dari serangan-serangannya yang mengalir seperti banjir.

Tetapi bagi Wanamerta, Sendang Papat dan Parapat, gerakan-gerakan itu sama sekali tidak seperti banjir sungai yang paling kecil sekalipun. Gerakan-gerakan itu tidak lebih dari gerakan-gerakan yang hanya dikendalikan oleh nafsu dan kesombongan. Kepercayaan yang berlebih-lebihan terhadap diri sendiri, sehingga tidak mampu lagi untuk melihat kenyataan. Perasaan yang demikian itulah yang mendorong seseorang ke dalam sudut kekalahan. Sebab kesombongan dan sikap menghina lawan adalah unsur utama dari kekalahan itu sendiri. Demikian juga Sontani. Ia merasa dirinya berlebihan.

Tetapi sekali waktu ia mengalami peristiwa yang ia takut mengakuinya. Ia takut berpikir bahwa sebenarnya Wanamerta adalah lawan yang tak dapat dikalahkan. Oleh karena itu, oleh perasaan yang bercampur baur itulah kemudian ia menjadi bermata gelap. Dengan penuh kemarahan ia berteriak nyaring, ”He Wanamerta, bertempurlah dengan laku seorang jantan. Jangan hanya mampu berlari dan menghindar. Bertahanlah, dan marilah kita sama-sama mengangkat dada.”

”Hem…” gumam Wanamerta. Di dalam hati ia mulai menyesali sikap Sontani yang keras kepala itu. Tetapi ia menyabarkan diri. Ketika beberapa saat kemudian Wanamerta masih belum menjawab, sekali lagi Sontani berteriak, ”Hai, kelinci betina. Bertempurlah dengan dada tengadah. Jangan lari berputar-putar seperti ayam disembelih. Kalau kau takut mati dalam pertempuran ini, bertobatlah dan mintalah ampun.”

Serial Bersambung 25 Juli 2000
Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta
NAGASASRA DAN SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 510

WANAMERTA menggeleng lemah. Tetapi ia tetap menunggu sampai Sontani kehabisan tenaga. Karena itu perlahan-lahan ia menjawab, ”Kau belum sampai ke hitungan yang kelima, Sontani.”

Alangkah sakitnya hati Sontani. Ia sendiri sudah lupa pada hitungan itu karena serangan Wanamerta yang tiba-tiba. Sekarang dari lawannya itu ia mendapat peringatan akan kelalaiannya. Karena itu ia menjadi bertambah marah dan tiba-tiba terjadilah apa yang dicemaskan oleh Wanamerta. Apa yang sejak semula dihindari, sehigga ia lebih senang menghindari serangan Sontani itu terus menerus tanpa menjatuhkannya.

Dengan penuh kemarahan, Sontani berteriak, ”Hei orang-orang Lemah Abang yang setia. Tangkap kelinci tua ini.”

Perintah itu benar-benar menggetarkan hati Wanamerta. Bukan karena ia takut seandainya ia terpaksa melawan seluruh pengikut Sontani, bahkan seandainya ia terpaksa mati karenanya. Tetapi dengan menggerakkan pengikutnya, Sontani harus menghadapi akibat yang barangkali tak pernah dipikirkan.

Karena itu Wanamerta mencoba mencegahnya. Dengan nyaring ia berteriak, ”Tunggulah Sontani.”

Sontani benar-benar telah kesurupan setan. Ia tidak mendengar seruan itu, bahkan beberapa orang pengikutnya yang mendengarnya menganggap bahwa Wanamerta telah menjadi ketakutan. Dengan demikian mereka semakin bernafsu dan berloncatan maju, mendesak orang-orang yang berdiri di sekitarnya. Bahkan beberapa orang mereka dorong jatuh tanpa peringatan apapun. Gelang raksasa yang terdiri dari manusia yang berjejal-jejal itu tampak bergerak-gerak. Beberapa orang masih belum sadar apa yang akan terjadi. Baru ketika beberapa orang berloncatan memasuki arena, tahulah mereka bahwa Sontani bersama-sama dengan pengikutnya akan menangkap Wanamerta itu beramai-ramai.

Itulah permulaan dari bencana yang menimpa diri Sontani. Sebab orang-orang yang telah terbuka hatinya, melihat kebenaran keadilan, tidak rela Wanamerta menjadi makanan pesta dari orang-orang yang hanya dapat menghitung kebenaran dari kepentingan mereka sendiri. Karena itulah maka merekapun serentak, tanpa perintah dari siapapun, bergerak melawan orang-orang Sontani. Sehingga di lapangan terbuka itu terjadilah semacam perang kecil-kecilan antara para pengikut Sontani melawan orang-orang Banyubiru yang lain. Sendang Papat, Sendang Parapat dan beberapa orang kawannya telah berdiri di sekitar Wanamerta. Mereka harus menjaga keselamatan orang tua itu. Orang tua yang telah menjadi emban kepala daerah perdikan Banyubiru sejak masa pemerintahan Ki Ageng Sora Dipayana.

”Apa yang akan kita lakukan, Kiai?” tanya Sendang Papat. Wanamerta tegak seperti patung, mulutnya komat-kumit, namun belum terdengar ia berkata. Tetapi dari matanya telah terlontar betapa ia menyesal melihat hal ini terjadi. Tawuran antara rakyat dan rakyat yang sebenarnya sama-sama menanti masa depan yang lebih menyenangkan. Sontani sendiri tiba-tiba didorong oleh hiruk-pikuk menjauhi Wanamerta.

Dengan penuh kemarahan ia berkelahi. Namun lawannya terlalu banyak. Karena itu ia terpaksa mundur dan mundur. Demikian pula agaknya para pengikutnya. Mereka ternyata korban lawan. Lawan yang dengan penuh kemarahan melawan mereka. Bagaimanapun kuatnya Sontani, dan bagaimanapun para pengikutnya berkelahi membabi buta, namun akhirnya mereka terpaksa mengalami perlakuan yang sama sekali tak mereka harapkan. Demikian pula Sontani. Meski ia telah berkelahi mati-matian namun akhirnya ia tidak berhasil melepaskan diri dari tangan orang-orang yang semula dianggapnya tak akan menghalangi tindakannya. Beberapa orang menangkapnya dan memegangi tangan serta kakinya.

Beberapa orang mencoba memukulnya pada bagian-bagian tubuhnya sekenanya. Sontani meronta-ronta sejadi-jadinya. Tetapi tangan orang-orang itu terlalu keras, dan ia tak mampu melepaskan diri dari mereka yang tak terkendali lagi itu.

Wanamerta melihat bahaya itu. Bagaimanapun juga ia tak menghendaki adanya korban. Karena itu hampir tak terdengar dari sela-sela bibirnya yang bergetar ia berkata, ”Sendang, selamatkanlah Sontani itu.”

Sendang Papat dan Sendang Parapat adalah orang muda yang selama ini ikut merasakan betapa tekanan-tekanan yang telah dialami oleh orang-orang Banyubiru dari orang-orang semacam Sontani itu.

Di hadapan hidungnya ia melihat Sontani telah berusaha untuk menghina Wanamerta, sesepuh tanah perdikan ini. Karena itu, ketika ia mendengar perintah Wanamerta, mereka menjadi heran dan ragu, sehingga Wanamerta terpaksa mengulangi, ”Sendang…” suaranya perlahan-lahan, ”Selamatkan Sontani.”

Sendang Papat dan Sendang Parapat sadar dari keragu-raguannya. Bagaimanapun perasaannya bergolak di dalam dadanya, namun mereka adalah orang-orang yang patuh. Karena itu mereka tidak menunggu lebih lama lagi. Dengan sigapnya mereka meloncat diantara orang yang bergolak seperti gabah diinteri itu, menyusup langsung ke arah Sontani. Dengan mempergunakan pengalaman-pengalaman serta kelebihan-kelebihan mereka, merekapun segera berhasil berdiri di samping Sontani yang sedang meronta-ronta itu.

Dengan penuh tenaga, Sendang Papat berteriak mengatasi keriuhan suara orang-orang Banyubiru yang marah itu, ”Hai, kawan-kawan yang baik. Aku harap kerelaan kalian. Serahkanlah orang ini kepadaku.”

Beberapa orang yang dekat berdiri dengan Sendang Papat itu terkejut, ketika mereka memandanginya, dalam samar-samar sinar obor yang jauh. Bukankah yang berteriak itu Sendang Papat…?

Tiba-tiba seorang diantara mereka berkata, ”He, adakah kau Adi Sendang Papat?”

”Ya,” jawabnya singkat. 99

DARI arah lain terdengar suara, ”Dan inilah adiknya, Sendang Parapat.”

”Bagus, bagus,” teriak yang lain, ”Bukankah kau datang untuk membunuhnya?”

”Lepaskan dia,” kata Sendang Papat keras-keras.

Beberapa orang menjadi ragu-ragu. Tetapi Sendang Papat mendesakkan kata-katanya pula, ”Lepaskan dia. Berhentilah berkelahi. He, yang di sana, berhentilah berkelahi.”

Suara itu disahut oleh Sendang Parapat dan oleh beberapa kawan-kawan yang datang bersamanya. Karena suara-suara itulah maka perkelahian itu terpengaruh pula.

Peperangan itu semakin lama menjadi mereda, dan akhirnya berhenti, meskipun masing-masing wajah masih diliputi oleh ketegangan dan kemarahan.

”Serahkan orang itu kepadaku,” kata Sendang Papat dengan kewibawaan yang mengagumkan orang-orang yang berdiri di sekitarnya. Namun meskipun demikian tampak mereka ragu, seperti Sendang Papat mula-mula juga ragu. Di sebelah lain berdiri dengan kaki renggang, adiknya Sendang Parapat.

”Apakah kalian keberatan?” desak Sendang Papat. Matanya beredar berkeliling. Memandang wajah-wajah yang penuh mengandung pertanyaan. Sedang Sontani sendiri, yang berdiri di hadapan Sendang Papat, tidak pula kalah herannya. Ia tahu benar bahwa Sendang Papat adalah salah seorang yang dikejar-kejarnya selama ini seperti juga Bantaran, Penjawi, Jaladri dan yang lain-lainnya lagi.

Tiba-tiba dari antara mereka, yang berdiri berkeliling itu terdengar sebuah pertanyaan, ”Akan kau apakan dia, Sendang Papat?”

Sendang Papat sendiri untuk sesaat bingung mendengar pertanyaan itu. Tetapi kemudian ia menjawab, ”Serahkanlah kepada kebijaksanaan Kiai Wanamerta.”

”Apa yang akan dilakukan?” bertanya yang lain.

”Ia tahu apa yang akan dilakukan,” jawab Sendang Papat.

Keadaan menjadi sepi. Sepi namun penuh keraguan. Masing-masing mencoba mengangan-angankan apakah kira-kira yang akan dilakukan oleh Wanamerta.

Tetapi sepi itu tiba-tiba dipecahkan oleh suatu peristiwa yang tak terduga-duga, yang merusak suasana yang hampir baik kembali itu.

Tiba-tiba dari sela-sela orang yang mengerumuni yang pucat lesu itu meloncatlah seseorang yang dengan serta merta menyerang Sendang Parapat. Sebuah tusukan yang kuat mengenai lambung kirinya, sehingga terdengar ia mengaduh.

Tetapi Sendang Parapat adalah seorang yang terlatih. Karena itu sedemikian ia merasakan sebuah tusukan mengenai dirinya, selain tanpa sesadarnya ia mengaduh perlahan, namun dengan cepatnya ia bergerak dengan tenaganya yang terakhir, menangkap tubuh orang yang menusuknya itu, sehingga ketika orang itu akan melarikan diri, tubuh Sendang Parapat yang lemah terseret beberapa langkah.

Tetapi dengan demikian orang itu tidak dapat segera melenyapkan dirinya ke dalam gerombolan orang-orang yang masih berdiri di sana sini. Ia terpaksa berhenti mendorong Sendang Parapat untuk melepaskan pegangannya yang seolah-oleh terkunci.

Dalam saat itulah Sendang Papat, memandangi kejadian itu dengan mata terbelalak. Tusukan yang mengenai adiknya, pada saat ia sedang melindungi Sontani, yang dibencinya, adalah serasa tusukan pada dadanya, yang ditutupinya rapat-rapat, kini seolah-olah tersiram minyak. Seperti kawah gunung berapi yang tak menemukan jalan, tiba-tiba meledaklah kemarahan Sendang Papat.

Ia sempat melihat adiknya berputar cepat sekali, dan menangkap pergelangan tangan orang yang menusuknya. Ia melihat tubuh adiknya yang telah lemah itu terseret beberapa langkah. Maka ia sendiri kemudian seperti thathit meloncat beberapa langkah ke arah orang yang mendorong adiknya, untuk melepaskan pegangannya. Demikian Sendang Parapat terlepas, dan tubuhnya terbanting di tanah, demikian Sendang Papat sampai kepada orang itu.

Wajah Sendang Papat tiba-tiba berubah. Seolah-olah di dalamnya tersembunyi malaikat pencabut nyawa. Dengan tidak berkata sepatah katapun, ia menyerang orang yang menusuk adiknya itu. Orang itupun agaknya sadar pula. Karena itu iapun segera melawan serangan itu.

Sendang Papat benar-benar marah. Tenaganya menjadi seakan-akan belipat-lipat. Seperti badai yang tak tertahan lagi ia menerkam orang yang menusuk lambung adiknya. Betapa orang itu mencoba melawannya, tetapi ternyata Sendang Papat bukanlah lawannya. Karena itu ia terdorong surut beberapa langkah, yang kemudian disusul sebuah pukulan dengan tenaga tergenggam pada dagunya. Pukulan itu demikian kerasnya sehingga orang itu seolah-olah terangkat beberapa jengkal dan terlempar ke belakang, untuk kemudian dengan kerasnya pula terbanting ke tanah.

Sendang Papat sendiri mata gelap. Ia tidak ingat lagi kata Wanamerta, ia tidak ingat lagi pesan Mahesa Jenar dan pemimpin-pemimpin yang lain. Yang teringat hanyalah, seorang dengan licik dan curang telah menusuk adiknya. Seperti seekor harimau ia meloncat ke atas tubuh orang itu, dan dengan sekuat tenaga seperti hujan yang tercurah dari langit, ia menghantam bertubi-tubi wajah orang itu. Terdengarlah orang itu berteriak ngeri. Tetapi juga teriakan itu seolah-olah tak terdengar oleh Sendang Papat yang sedang marah.

Orang-orang yang berdiri di sekitar tempat itu, justru menjadi terdiam seperti patung. Dengan mata terbelalak pula mereka menyaksikan kejadian itu. Kejadian yang berlangsung sedemikian cepatnya. Sehingga apa yang mereka ketahui kemudian adalah Sendang Papat yang marah itu duduk di atas tubuh lawannya yang terlentang di tanah sambil memukulnya habis-habisan untuk mencurahkan kemarahannya yang meluap-luap.

Tetapi kawan-kawan orang itu ternyata tidak tinggal diam. Ketika mereka melihat kawannya tak mampu lagi untuk bergerak, mereka pun kemudian mencoba untuk melepaskannya. Ternyata mereka adalah pengikut-pengikut Sontani.

Serial Bersambung 27 Juli 2000
Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta
NAGASASRA DAN SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 512

BEBERAPA orang bersama-sama dengan mempergunakan senjata-senjata tajam yang kecil, semacam pisau-pisau runcing, menyerang Sendang Papat. Sendang Papat betapapun marahnya, namun naluri keprajuritannya segera memperingatkannya akan bahaya yang mengancam itu. Namun justru karena itulah dengan tangkasnya ia berdiri, menarik bagian dada baju orang yang menusuk adiknya itu sehingga berdiri dan dengan segenap tenaga yang ada, Sendang Papat memukul orang itu dengan tangan kanannya ke arah perutnya.

Terdengarlah suaranya seperti tersumbat di kerongkongan. Tubuhnya terbungkuk dan terhuyung-huyung akan jatuh menelungkup. Pada saat itu Sendang Papat melepaskan pegangannya, dengan tangan kirinya, ia mengangkat muka orang itu menengadah, dan sekali lagi dengan tangan kanannya ia menghantam wajah itu. Ternyata orang itu sudah tidak mampu untuk mengaduh lagi. Tubuhnya demikian saja terlempar ke belakang, dan sekali lagi ia terbanting di tanah.

Pada saat itu beberapa orang telah berada di sekeliling Sendang Papat dengan pisau-pisau di tangan.

Tetapi Sendang Papat adalah seorang yang terlatih menghadapi bahaya. Meskipun ia sendiri tidak mempergunakan senjata, namun ia sama sekali tidak takut melawan orang-orang itu. Karena itulah maka segera berkobar kembali perkelahian. Sendang Papat melawan lebih dari empat lima orang yang menyerangnya dari segenap penjuru. Meskipun demikian belum terlintas di dalam otak Sendang Papat itu untuk mempergunakan keris yang terselip di lambung kirinya. Demikian ia melompat kesana-kemari, seperti seekor kijang yang keriangan di padang rumput yang hijau. Tangannya menyambar-nyambar seperti berpuluh-puluh pasang tangan yang bergerak bersama-sama. Pengalaman-pengalaman serta latihan-latihan yang ditekuninya selama ini, ternyata menempatkannya pada kedudukan yang menguntungkan.

Apalagi kali ini orang yang bernama Sendang Papat itu benar-benar mengamuk tanpa terkendali.

Perkelahian itu ternyata telah memancing berkobarnya kembali pertempuran kecil di tanah lapangan itu.

Ketika para pengikut Sontani mulai menyerang Sendang Papat, orang-orang yang memihak Wanamerta pun mulai bergerak pula. Tetapi orang-orang Sontani itu telah merasa bahwa mereka tidak akan mempu melawan kemarahan orang-orang yang jauh lebih banyak dari jumlah mereka. Karena itu sebagian besar dari mereka segera melarikan diri ke dalam kegelapan malam. Yang tinggal kemudian hanyalah kelima orang yang bersama-sama bertempur melawan Sendang Papat itulah.

Karena mereka bersenjata, mereka merasa bahwa mereka akan mampu mempertahankan diri mereka. Wanamerta, yang tak jauh dari mereka, melihat keributan timbul kembali. Cepat ia berlari untuk mengetahui apakah yang terjadi.

Alangkah terkejutnya ketika ia melihat Sendang Parapat terbaring di tanah dengan darah yang mengalir dari lukanya. Ia melihat dua orang yang datang bersama dari Gedong Sanga berusaha untuk menahan darah yang mengalir itu. Sedang seorang lagi agaknya ikut serta berkelahi melawan orang Sontani.

Wanamerta kemudian menekan dadanya, ketika ia melihat Sendang Papat mengamuk tanpa dapat mengendalikan dirinya sama sekali. Beberapa saat Wanamerta berdiam diri dengan cemas.

Perkembangan keadaan itu agaknya sama sekali tidak seperti yang dikehendaki Wanamerta, meskipun darinya ia dapat mengambil keuntungan-keuntungan. Dengan demikian ia telah dapat menempatkan beberapa bagian orang-orang Banyubiru itu kepada kesadarannya kembali. Tetapi peristiwa yang terjadi ini dapat membawa akibat yang buruk. Meskipun hanya sementara. Pada saat itu Wanamerta sudah tidak melihat Sontani lagi. Orang itu lari terbirit-birit ketika terbuka kesempatan, tanpa mempedulikan lagi apakah orang-orangnya masih berkelahi terus, dan apakah ada diantara mereka yang menjadi korban. Yang penting baginya adalah menyelamatkan diri sendiri.

Yang mula-mula dilakukan oleh Wanamerta adalah menyuruh kedua orang yang berusaha untuk membendung darah yang keluar dari lambung kiri Sendang Parapat itu untuk membawanya ke tepi.

Kemudian kepada kedua orang itu, Wanamerta bertanya, ”Bagaimana luka itu?”

”Berat Kiai,” jawab salah seorang diantaranya.

”Adakah kau kenal seorang yang dapat kau percaya di sekitar tempat ini?” tanya Wanamerta pula. Kedua orang itu berpikir.

Kemudian salah seorang menjawab, ”Bagaimana dengan Kakang Prana?”

Wanamerta mengerutkan keningnya. Sesaat kemudian ia mengangguk-angguk.

”Aku kira ia baik. Bawalah Sendang Parapat kepadanya. Kami akan menyelesaikan beberapa persoalan di sini. Kami akan menyusul kau nanti ke sana. Aku sendiri masih harus mengawasi Sendang Papat yang kehilangan keseimbangan.”

Tak dapat disalahkan,” gumam orang itu seperti kepada diri sendiri.

”Ya,” jawab Wanamerta singkat. Kemudian ia berkata, ”Nah pergilah kepada Prana. Usahakan obat-obatan apapun buat luka itu. Barangkali daun metir, atau sarang labah-labah.”

”Baik Kiai,” sahut orang itu sambil berdiri dan mengangkat tubuh Sendang Parapat ke rumah Ki Prana yang tak jauh dari lapangan itu.

Mereka mengharap akan dapat beristirahat dan menyembunyikan Sendang Parapat yang terluka itu.

Sepeninggal kedua orang itu, kembali Wanamerta mendekati Sendang Papat yang sedang ngamuk.

Beberapa orang telah berdiri di sekitar tempat itu dan beberapa orang lagi berbondong-bondong berlari-lari ke titik perkelahian itu pula. Mereka itu datang kembali setelah mengejar-ngejar orang-orang Sontani.

Tiba-tiba salah seorang yang baru datang itu dengan nafas tersengal-sengal berteriak, ”Bunuh saja mereka semua, bunuh saja.”

”Bunuh… bunuh….” sahut yang lain.

Serial Bersambung 28 Juli 2000
Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta
NAGASASRA DAN SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 513

WANAMERTA menjadi semakin cemas. Dengan demikian permusuhan antara orang-orang Banyubiru itu akan bertambah menjadi-jadi. Karena itu Wanamerta segera bertindak. Ia mengharapkan pertanggunganjawab sepenuhnya terletak di bahunya, setidak-tidaknya pada Sendang Papat. Maka segera ia meloncat maju sambil berteriak, ”Jangan ganggu mereka. Biarkan mereka bertempur dengan jujur.”

Beberapa orang menjadi heran mendengar kata-kata Wanamerta itu. Mereka benar-benar tidak tahu maksudnya. Mereka mengira bahwa Wanamerta pun akan sependapat dengan mereka. Bahkan seorang yang berdiri di deretan paling depan bertanya, ”Bagaimanakah perkelahian itu dapat disebut jujur? Adi Sendang Papat hanya seorang diri tanpa senjata, harus melawan lima orang bersenjata.”

Wanamerta melangkah maju semakin dekat. Ia tidak melihat kesulitan pada Sendang Papat, karena itu ia menjawab, ”Jangan takut. Malah kalian harus bangga bahwa Sendang Papat bertempur melawan lima orang sekaligus. Lihatlah apa yang akan terjadi.”

Tetapi Sendang Papat sendiri sama sekali tidak mendengar mereka merasa cemas, bahwa Sendang Papat akan mengalami bencana seperti adiknya. Kemudian tak seorangpun berbicara lagi. Mereka dengan seksama memperhatikan perkelahian itu. Tetapi bagaimanapun juga pembicaraan itu. Ia sama sekali tidak melihat Wanamerta dan tidak tahu bahwa sekian banyak orang, perhatiannya tercurah kepadanya. Yang ia ketahui adalah gelora dadanya sendiri. Gelora kemarahan yang meluap-luap. Sendang Parapat adalah satu-satunya saudaranya. Sejak kecil keduanya tidak pernah berpisah. Seolah-olah mereka mampunyai ikatan batin yang sedemikian eratnya. Sakit bagi yang seorang adalah sakit pula bagi yang lain.

Tiba-tiba sekarang di hadapan hidungnya ia melihat adiknya jatuh berlumurah darah. Karena itu otaknya menjadi terguncang dan karena itu ia kehilangan kesadaran. Sedang lima lawannya tiba-tiba menjadi cemas. Mereka melihat rakyat yang marah itu mengitarinya. Tetapi mereka merasa bahwa seolah-olah mereka telah terjebak di dalam kepungan. Karena itu mereka tidak mungkin lagi untuk melarikan diri.

Dengan demikian maka merekapun mengamuk pula. Mereka harus bertempur mati-matian, sambil menunggu perkembangan keadaan. Mereka mengharap Sontani datang membantu, atau Sontani akan datang dengan kawan-kawan yang lebih banyak lagi, sukar kalau Sontani dapat menghubungi pasukan Pamingit. Apalagi ketika mereka mendengar kata-kata Wanamerta, mereka merasa bahwa orang-orang Banyubiru tidak akan berani bertindak terhadap mereka. Sebab dengan demikian pasti akan terjadi bencana bagi mereka itu.

Tetapi meskipun orang-orang Banyubiru itu tidak bertindak apa-apa terhadap mereka, namun akan sama sajalah akibatnya. Sebab Sendang Papat yang mata gelap itu, tendangannya jauh lebih menakutkan daripada seandainya orang-orang Banyubiru itu menyerang mereka beramai-ramai.

Sekali-sekali mereka mencoba juga untuk mencari jalan melarikan diri, tetapi orang-orang yang berdiri di sekitar tempat itu sudah sedemikian tepatnya. Karena itu tidak ada pilihan lain, bertempur mati-matian.

Demikianlah perkelahian itu berlangsung beberapa lama. Sendang Papat yang mata gelap terpengaruh oleh kemarahannya, melawan lima orang yang mata gelap karena putus asa. Sebab setelah sedemikian lama belum juga Sontani datang membantu, mereka tidak dapat menghadapinya lagi. Orang-orang yang ada di sekitar perkelahian itu, semakin lama menjadi semakin terpaku oleh perasaan kagum atas tandang Sendang Papat yang hanya seorang diri melawan lima orang yang bersenjata. Bahkan Wanamerta sendiri pun heran melihat Sendang Papat bertempur. Seolah-olah kekuatan serta kelincahannya bertambah-tambah.

Bahkan seolah-olah ia bergerak tidak atas kehendak dirinya. Demikianlah seorang yang sedang meluap-luap. Tanpa sesadarnya sendiri segala ilmu yang tersimpan tercurah seperti hujan yang melimpah. Apa yang terjadi kemudian adalah sangat mengejutkan. Tiba-tiba Sendang Papat berhasil merampas sebuah belati dari salah seorang lawannya, dan sebelum seorang sempat melihatnya, terdengarlah sebuah teriakan nyaring, dan salah seorang dari lawan-lawannya itu rubuh di tanah. Darah yang merah menyembur dari dadanya.

”Sendang Papat…!” teriak Wanamerta cemas. Tetapi Sendang Papat sama sekali tidak mendengarnya. Bahkan sesaat kemudian seorang lagi mengaduh keras dan menggelepar tak berdaya. Tiga orang yang lain, betapapun mereka tak mengenal takut pada mulanya, namun setelah mereka melihat kenyataan itu, hati mereka pun berdesir. Sekali lagi mereka mencoba melihat keadaan sekeliling mereka, dan tiba-tiba mereka berteriak sambil meloncat ke arah orang-orang yang sedang menyaksikan perkelahian itu.

Beberapa orang terkejut dan bergerak mundur. Dengan serta-merta, mereka mendesak menyusup ke dalam kepepatan orang-orang yang merubungnya. Tetapi agaknya salah seorang dari mereka mengalami nasib yang malang. Sendang Papat sempat menangkap lehernya dan tanpa ampun lagi, belati kecilnya menyusup diantara tulang-tulang iganya. Terdengar sekali ia memekik tinggi, kemudian terdiam untuk selama-lamanya. Tiga orang telah menggeletak berlumuran darah yang mengalir dari mulutnya. Namun agaknya Sendang Papat sama sekali belum puas.

Dengan marahnya ia berteriak nyaring, ”Tangkap iblis-iblis itu.”

Orang-orang yang mengaguminya, tiba-tiba menjadi cemas pula melihat wajah anak muda yang menjadi liar itu. Mereka hanya dapat menyibak ketika Sendang Papat meloncat mengejar dua orang lagi yang mencoba menyelamatkan diri. Mereka, yang berdiri memagar lingkaran pertempuran itu, malahan terpaku diam, dan membiarkan kedua orang lawan Sendang Papat itu menyusup diantara mereka, dan membuat keributan bagian belakang lingkaran itu. Untunglah bahwa malam itu cukup gelap.

Serial Bersambung 29 Juli 2000
Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat-Yogyakarta
NAGASASRA DAN SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 514

SINAR obor yang menyala agak jauh dari tempat itu, sama sekali tertutup oleh bayangan-bayangan orang-orang yang bergerak-gerak di sekitar tempat itu. Dengan demikian maka Sendang Papat mendapat banyak kesulitan untuk menemukan kedua orang yang melarikan diri menyusup diantara sekian banyak orang yang kemudian dari ujung lapangan mereka meloncat ke dalam gerumbul-gerumbul di tepi tanah lapang itu.

Ketika Sendang Papat tidak berhasil menemukan kedua orang lawannya, menjadi semakin marah. Seperti orang yang hilang ingatan ia berteriak, ”Hai, orang-orang Banyubiru… di mana kedua orang gila itu? Kenapa kalian hanya diam menonton seperti menonton tayub. He, di mana…? di mana…?”

Tak seorangpun menjawab. Sendang Papat dengan liar memandang ke segenap arah. Namun kedua orang itu tak dapat diketemukan.

Tiba-tiba mata Sendang Papat menyangkut pada seperangkat gamelan, obor-obor yang menyala-nyala, beberapa dingklik dasaran tuak dan minum-minuman semacamnya, air tape yang dikentalkan, badhek dan sebagainya.

Hatinya yang marah itupun menjadi semakin menyala seperti obor-obor itu dibongkok bersama-sama. Gamelan yang seperangkat itupun merupakan salah satu sumber kemunduran akhlak di Banyubiru, merupakan salah satu sebab rakyat Banyubiru kehilangan gairah pada perjuangannya.

Sendang Papat adalah seorang penari yang mencintai gamelan seperti ia menyayangi pakaian-pakaiannya.

Tetapi gamelan yang seperangkat ini, yang berada di tanah lapang untuk mengiring tayub dan mabuk-mabukan, adalah gamelan yang mengkhianati kemurnian seni, serta menerapkan seni dalam perjuangan yang tak terkendali.

Tiba-tiba Sendang Papat meloncat sambil berteriak, ”He, orang-orang Banyubiru, adakah kalian masih akan menyelenggarakan tari-tarian gila seperti malam-malam yang pernah kau lalui dengan gila-gilaan?”

Tak seorangpun yang menjawab.

”Dengar…!” teriak Sendang Papat, ”Aku akan membakar gamelan yang telah menghantarkan kalian pada keadaan yang cemar ini. Kalau kalian keberatan, lawanlah aku. Tetapi kalau kalian sependapat, ikutlah aku.”

Juga tak seorangpun menjawabnya. Karena itu tiba-tiba dengan sigapnya Sendang Papat berlari ke arah gamelan yang dibencinya itu. Dengan tangkasnya pula tangannya menyambar sebuah obor di tangan kiri dan satu obor lagi di tangan kanan. Dilemparkannya kedua obor itu ke tengah-tengah jajaran gamelan itu. Tidak hanya dua obor, tetapi tiga, empat dan lampu-lampu minyak di dingklik-dingklik itu disepak-sepaknya.

Bahkan kemudian orang-orang yang melihat perbuatannya itu menjadi terpengaruh pula. Dengan serta merekapun tiba-tiba sambil berteriak-teriak mencabut segala obor yang berada di tanah lapang itu dan dilemparkan bersama-sama ke arah seperangkat gamelan itu.

”Bakar saja, bakar saja…!” teriak mereka bersama-sama.

Obor-obor itupun kemudian menyala berkobar-kobar. Minyak yang berada di dalam bumbung pun kemudian tumpah ruah dan membasahi gamelan-gamelan itu. Karena itulah maka sesaat kemudian, apipun menyala-nyala dengan garangnya, seolah-olah hendak menyentuh langit. Lidah api yang dihembus angin perlahan-lahan, bergoyang-goyang seperti penari-penari yang menari-nari dengan riangnya di atas gamelan yang sedikit demi sedikit hangus dimakannya. Tanah lapang itu kemudian menjadi terang benderang. Beberapa orang berusaha menyelamatkan dagangan-dagangan mereka. Tuak, minuman-minuman biasa, makanan dan apa saja diatas dasaran mereka. Tetapi api mengamuk demikian hebatnya. Dingklik-dingklik, warung-warung kacang itupun dalam sekejap telah lenyap dalam pelukan penari maut yang menari-nari dengan iringan lagu derak-berderaknya gamelan dan bambu-bambu yang terbakar.

Orang-orang Banyubiru itu seperti kelompok orang-orang yang kehilangan akal dan kesadaran. Mereka menghancurkan apa saja yang dapat mereka pegang di tanah lapang itu.

Kembali Wanamerta menekan dadanya. Keadaan berkembang sedemikian cepatnya. Tetapi ia tidak menyalahkan Sendang Papat. Sebab telah jatuh korban di pihaknya, karena kelicikan lawannya. Yang dipikirkan kemudian, bagaimanakah tanggapan Mahesa Jenar atas kejadian ini. Kejadian yang terang tidak dikehendakinya.

Tetapi kalau Mahesa Jenar mengalami sendiri peristiwa-peristiwa ini, maka iapun akan dapat mengerti.

Api semakin lama semakin tinggi menggapai-gapai di udara. Asap yang hitam membubung tinggi ke langit. Melihat api serta asap itu, Wanamerta dapat memperhitungkan keadaan. Mau tidak mau, cahaya merah yang mewarnai kehitaman malam itu pasti akan dapat dilihat oleh orang-orang Lembu Sora.

Karena itulah maka mereka pasti akan datang. Dan dengan demikian keadaan akan bertambah buruk.

Karena itu selagi,masih ada kesempatan

Posted 5 Februari 2010 by Hartoyo in Uncategorized

Tinggalkan komentar